Ads

Saturday, January 19, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 095

◄◄◄◄ Kembali

"Badai.......!" seru Roro Luhito terkejut. "Badai Laut Selatan mengamuk! Mari berlindung!"

Kartikosari yang mengkhawatiran keadaan Endang Patibroto dan Joko Wandiro, tidak mau meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Roro Luhito yang maklum akan bahaya, menarik lengan madunya itu.

"Ayu Candra, bantu aku, mari ajak bibimu berlindung. Berbahaya. Badai Laut Selatan mengamuk. Ganas... ganas...!!"

Selama tinggal di pulau itu, pernah satu kali badai Laut Selatan mengamuk dan hampir saja keduanya tewas. Kini Roro Luhito sudah berpengalaman, maka cepat ia menyeret Kartikosari yang berteriak-teriak memanggil anaknya, dibantu oleh Ayu Candra yang juga menangis, karena gadis ini teringat akan kakaknya. Akhirnya mereka itu sambil berlari-lari setengah merangkak di antara tiupan angin yang amat keras, berhasil tiba di gunungan batu di mana terdapat sebuah guha besar dan di sinilah mereka berlindung.

Angin bertiup amat kerasnya sehingga terdengar suaranya melengking bersiuran. Seluruh pohon di pulau itu diamuk, daun-daun beterbangan, bahkan ada pohon yang tercabut berikut akar-akarnya. Pondok kecil tempat tinggal Kartikosari dan Roro Luhito sudah diterbangkan pula oleh angin, dibawa ke laut dan disambut ombak menggelombang. Dari atas pulau tampak betapa ombak sebesar gunung bergerak-gerak menuju kepantai selatan. Kepalanya putih, badannya panjang seperti naga hitam berkepala putih. Kilat yang menyambar-nyambar seperti keluar dari mulut naga. Angin datang membawa air hujan. Basah kuyup tubuh tiga orang wanita itu. Pakaian mereka kusut, rambut awut-awutan. Kartikosari menangis ketika Roro Luhito membereskan rambutnya dan menyusut! air yang membasahi seluruh muka.

"Anakku.. dan Joko....... di mana ..mereka.. ehhh !"

"Tenanglah, ayunda Sari. Mereka berdua bukan orang-orang lemah. Badai Laut Selatan takkan mencelakai mereka. Hanya aku khawatir, Endang Patibroto, takkan mau sudah sebelum menandingi Joko Wandiro.."

"Ahhh..bagaimana baiknya? Anakku... dia durhaka...ah, ketika.. terlahir dulu juga disambut badai... dia... ganas seperti badai selatan, dia kejam seperti gelombang Laut Selatan. Bagaimana kalau Joko Wandiro..."

"Kakang Joko Wandiro akan mampu melindungi diri sendiri," tiba-tiba terdengar suara Ayu Candra.

Wajah gadis ini pucat, napasnya memburu, namun pandang matanya penuh kepercayaan. Tiga orang itu lalu diam, seperti berdoa, terlalu tegang mereka untuk membuka mulut lagi. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing, atau tertelan oleh suara angina yang memanjang mengerikan. Badai Laut Selatan kembali mengamuk, memperlihatkan keganasan dan kekuatannya.

Apa yang terjadi pada saat itu di atas pulau, di dalam badai mengganas, benar amat hebat mengagumkan. Dua orang muda itu agaknya tidak merasa bahwa badai mengamuk hebat. Begitu Endang Patibroto menerjangnya dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan, Joko Wandiro maklum bahwa ia harus menghadapi gadis ini mati-matian. Dari keris pusaka itu menyambar hawa panas yang membuat ia silau dan merasa kaki tangannya lumpuh. Ia mengeraskan hati dan mengerahkan semua aji kesaktiannya, namun tetap saja ia gemetar dan ketika mengelak, ia merasa betapa gerakannya berkurang kegesitannya. Maklumlah ia bahwa keris pusaka itu benar-benar amat ampuh dan mempunyai daya kekuatan yang jauh melampaui kekuatan dan hawa saktinya sendiri.

Endang Patibroto seperti sudah gila, atau seperti kesurupan hawa badai yang mengamuk. Ia memekik-mekik dan menyambar-nyambar dengan kerisnya. Suara badai mengamuk memasuki telinganya semerdu suara gamelan yang mendorongnya untuk bergerak makin ganas lagi. Angin yang melengking-lengking meniup pergi suara yang keluar dari mulut Endang Patibroto. Bagaikan mimpi gadis ini berteriak-teriak, memekik-mekik,

”Joko Wandiro! Kau menolak perjodohan denganku dan mencinta gadis lain? Baiklah, memang kau harus mati di tanganku!" teriaknya berkali-kali, akan tetapi suara badai yang hiruk-pikuk disertai lengking angin yang memanjang menulikan telinga, membuat suara gadis ini tidak terdengar oleh Joko Wandiro. Pula, pemuda ini memang sibuk sekali menghindarkan serangan-serangan Endang Patibroto yang amat berbahaya. Karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, Joka Wandiro mengelak sambil balas memukul, menggerakkan tangan dengan Aji Bojro Dahono.

"Weerrr...!!" Pukulan Joko Wandiro dahsyat sekali dan biasanya pukulannya ini tidak ada yang kuat menahannya. Akan tetapi, ketika pukulan itu meluncur ke arah Endang Patibroto, secara tiba-tiba pukulan itu terpental mundur oleh hawa yang panas, yang menyerbu keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk! Dan pada saat itu, keris pusaka bagaikan naga sudah menyambar datang menusuk ke arah dadanya. Silau mata Joko Wandiro oleh sinar yang menyambar keluar dari ujung keris pusaka itu.

"Celaka ....... !" serunya dan cepat ia membuang diri ke kiri. Ia berhasil lolos dari cengkeraman maut, akan tetapi tak dapat menghindarkan diri ketika kaki kanan Endang Patibroto menyambar, mencium lambungnya dan tubuh Joko Wandiro roboh tersungkur.

"Matilah kau, Joko Wandiro!"

Ketika itu tubuh Joko Wandiro sudah rebah miring dan keris pusaka Brojol Luwuk menghujam ke bawah mengarah dada. Tampak kilat menyambar dari angkasa, disusul bunyi meledak dan menggeletar. Halilintar menyambar-nyambar dan pada saat itu tampak pula sinar kuning emas menyilaukan mata, sinar yang menyambut datangnya keris pusaka Brojol Luwuk.

"Cringgg ...!!" Bunga api berpijar dan hawa di sekitar tempat itu seperti terbakar.

"Aihhhh ....... !!!" Endang Patibroto menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang. Ia memandang dengan mata terbelalak, marah, penasaran dan juga kaget melihat betapa pusakanya kali ini dapat tertangkis sehingga tubuhnya seperti dilontarkan. Ketika ia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang, ternyata Joko Wandiro sudah berdiri dan tangan kanannya memegang sebuah patung kencana Sri Bhatara Whisnu! Golek kencana yang dulu menjadi bahan ejekannya, atau warangka dari keris pusaka Brojol Luwuk! Kiranya benda itulah yang telah dipergunakan pemuda itu untuk menangkis kerisnya. Dan ternyata dari pantung kencana itu keluar hawa yang adem dan mempunyai pengaruh yang menggiriskan!

Namun kenyataan ini bukan meredakan amarahnya, bahkan membuat gadis ini menjadi penasaran sekali. Sambil memekik nyaring ia lalu meloncat maju dan menerjang lagi dengan kecepatan dan kekuatan dahsyat. Joko Wandiro juga sudah timbul kemarahannya. Berkali-kali ia hampir tewas di tangan gadis yang amat ganas ini. Dengan hati-hati ia melayani Endang Patibroto. Hatinya kini besar dan tenang karena tanpa disengaja ia mendapatkan senjata yang ampuh, yang dapat menandingi keris pusaka Brojol Luwuk. Tadi ia telah berhasil menemukan patung kencana Sri Bhatara Whisnu di dalam cabang pohon dan mengambilnya. Ketika ia kembali ke pondok, ternyata Endang Patibroto telah membunuh Ki Jatoko dan sedang mengancam hendak membunuh Ayu Candra.

Tadi ia teiah terdesak hebat dan hampir tewas. Dalam keadaan kepepet ia tadi secara kebetulan menggunakan patung kencana untuk menangkis keris pusaka dan hasilnya menakjubkan. Kini hatinya besar dan tahulah ia bahwa keris pusaka itu kehilangan pengaruhnya menghadapi warangkanya.

Hebat bukan main pertandingan kali ini antara Endang Patibroto dan Joko Wandiro. Pemuda itu maklum dari gerak-gerik gadis itu bahwa sekali ini Endang Patibroto hendak mengadu nyawa, bertanding mati-matian. Joko Wandiro betapapun juga tak seujung rambut mempunyai niat untuk
membunuh Endang Patibroto, dan ia masih khawatir kalau-kalau gadis sakti yang ganas ini masih akan mengalihkan perhatian untuk mencoba menyerang Ayu Candra. Oleh karena itu, setelah kini ia dapat mengimbangi gerakan lawan dengan patung kencana di tangan, Joko Wandiro main mundur dan memancing Endang Patibroto bertanding makin menjauhi pondok itu.

Dalam keadaan marah yang hebat, juga dalam tiupan angina badai yang menggelora, Endang Patibroto tidak sadar akan hal ini dan tahu-tahu ia bersama lawannya telah bertanding di pinggir pantai. Ombak air Laut Selatan mengamuk naik ke pulau dan di antara sambaran lidah-lidah ombak inilah mereka kini bertanding. Gerakan mereka amat hebat, berloncatan dari karang ke karang, saling sambar di antara kilatan halilintar. Tubuh mereka sudah basah kuyup, namun semangat bertanding makin menggelora.

Untuk kesekian kalinya Endang Patibroto memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas udara, kemudian dengan ganasnya ia meluncur turun sambil menggerakkan keris pusaka Brojol Luwuk menyerang dada sedangkan tangan kiri melancarkan serangan pukulan jarak jauh dengan Aji Wisangnala yang amat ampuh! Namun Joko Wandiro sudah bersiap sedia menanti datangnya serangan. Kedua kakinya memasang kuda-Kuda kokoh kuat. Dalam keadaan seperti itu, biarpun diserang ombak besar membadai, ia tidak akan roboh. Kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, kedua telapak kaki seakan-akan sudah berakar pada batu karang yang dipijaknya. Tangan kiri dengan jari-jari terbuka menjaga di depan dada, kemudian ketika ia melihat datangnya keris pusaka, tangan kanan yang memegang patung kencana digerakkan ke atas, menangkis, sedangkan tangan kiri dengan Aji Bojro Dahono mendorong ke depan menerima pukulan Wisangnala.

"Tranggg..! Dessss ...."

Tubuh Endang Patibroto terhuyung-huyung dan pada saat itu, lidah ombak yang besar panjang datang menyambar dan menyeret tubuhnya ke laut! Akan tetapi, gadis perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dari dalam air, kemudian dengan gerakan kacau-balau dan dahsyat bagaikan badai Laut Selatan sendiri, ia sudah menerjang lagi ke arah berdirinya Joko Wandiro!

Bertubi-tubi keris pusakanya menyerang dan bertubi-tubi pula kena ditangkis oleh Joko Wandiro. Namun sekali lagi Joko Wandiro kena diakali karena secara tiba-tiba kaki kiri Endang Patibroto berhasil menendang lututnya sehingga Joko Wandiro terpeleset dan terguling. Kali ini dialah yang digulung ombak. Untung bahwa ombak itu cukup besar sehingga menutup dan menenggelamkan tubuh Joko Wandiro, karena pada saat itu Endang Patibroto sudah terjun pula ke dalam air untuk mengirim tusukan maut. Karena besarnya ombak, tubuh Joko Wandiro lenyap dan hal ini menolongnya. Ketika ombak sudah pergi, mereka berdiri berhadapan di atas pasir dan ternyata jarak di antara mereka amat dekat.

"Singgg...."

Keris pusaka Brojol Luwuk menyambar ke depan. Hawanya yang panas membuat tubuh Joko Wandiro setengah lumpuh rasanya. Namun pemuda ini dapat menggerakkan patung kencana menangkis. Karena kedudukannya agak miring, maka kini ia menangkis dari samping dan kaki patung yang meluncur di depan.

"Siuuuttt....... cappp.......!!"

Entah bagaimana kedua orang muda itu sendiri tidak tahu. Bagaikan besi yang tersedot besi sembrani, keris pusaka dan patung kencana itu saling tarik-menarik dan tanpa dapat dicegah lagi, keris pusaka itu menancap ke dalam lubang di bagian bawah patung, masuk ke dalam warangka dan tak dapat dicabut kembali! Joko Wandiro melihat kesempatan baik ini, mengerahkan tenaga di tangan kanan, merenggut patung dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pethit Nogo.

"Plakk..! Aduhhh..!!"

Tubuh Endang Patibroto terjengkang dan kebetulan pada saat itu, ombak badai sudah datang lagi sehingga tubuhnya diterima ombak dan dilontarkan sampai jauh! Joko Wandiro cepat meloncat ke atas batu karang dan cepat-cepat ia meloncat lagi menjauhi jangkauan ombak. Hanya sebentar tubuh Endang Patibroto ditelan ombak. Agaknya, ombak badai Laut Selatan masih belum cukup kuat untuk menelan dan melenyapkan tubuh gadis perkasa yang semenjak lahir sudah berada di antara ombak dan badai ini. Segera ia sudah tampak berloncat-loncatan mengejar Joko Wandiro, rambutnya riap-riapan membasah, pakaiannyapun basah kuyup sehingga menempel pada tubuhnya, menempel ketat mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan? Sepasang matanya bersinar-sinar marah mulutnya berteriak-teriak di antara gemuruh badai,

"Joko Wandiro! Kembalikan pusakaku! Keparat, kembalikan.....!!!"

Bagaikan seorang mabuk ia menerjang lagi, dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dan menonjok. Namun dengan mudah Joko Wandiro mengelak dan sekali kakinya menyabet, gadis itu jatuh terduduk.

"Keparat! Pengecut, kembalikan pusakaku!"

"Endang, ingatlah. Pusaka ini bukan milikmu, bukan pula milikku. Lupakah kau bahwa pusaka itu oleh mendiang eyang Resi Bhargowo dititipkan kepada kita untuk disembunyikan dan disimpan agar tidak terjatuh ke tangan orang jahat? Kita tiba saatnya aku mengumpulkan dua pusaka itu dan mengembalikan kepada yang berhak, Endang."

"Kembalikan padaku...! Ahh, kembalikan...!" Kini gadis itu sudah menyergap lagi, tangan kirinya meraih ke arah patung kencana, tangan kanannya memukul dada.

Namun sekarang hati Joko Wandiro sudah lega dan besar. Dengan pusaka di tangan, kesaktiannya makin hebat. Ia membiarkan saja pukulan tangan gadis itu mengenai dadanya.

"Bukk!" Tubuhnya tak bergeming dan sekali dorong, kembali Endang Patibroto terjengkang di atas tanah sampai rambut dan pakaiannya kotor semua terkena tanah.

"Endang, ingatlah. Pusaka ini miliki kerajaan, hendak kukembalikan ke Panjalu. Dahulu guruku berpesan bahwa lenyapnya pusaka menimbulkan geger dan kekacauan, hanya kalau pusaka sudah kembali ke tempatnya, maka negara akan menjadi tata tenteram kerta raharja. Engkau bertobatlah, Endang, kembalilah kepada ibumu. Dia menunggu. Kembalilah dan bebaskan dirimu daripada pengaruh buruk, jangan membiarkan dirimu diperhamba hawa nafsumu sendiri, Endang, kau ingatlah!"

Namun bujukan Joko Wandiro tak pernah didengarkan oleh Endang Patibroto. Beberapa kali ia masih menerjang dengan nekat dan ganas sehingga akhirnya Joko Wandiro terpaksa menampar kepalanya dengan Aji Pethit Nogo sehingga Endang Patibroto terbanting dan roboh pingsan. Badai mulai mengendur dan mereda. Joko Wandiro masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar memandang tubuh Endang Patibroto.

Dalam keadaan pingsan, gadis ini kelihatan cantik jelita, luar biasa sekali kecantikan gadis ini setelah sifat-sifat keji dan ganas lenyap dari permukaan wajahnya. Joko Wandiro menarik napas berkali-kali, kemudian ia membungkuk dan mengempit tubuh Endang Patibroto dan larilah ia dengan ilmu lari cepat menuju ke pondok.

Setelah badai mereda, Kartikosari, Roro Luhito, dan Ayu Candra sudah kembali ke pondok, atau lebih tepat, ke bekas pondok karena pondok itu sendiri hanya tinggal beberapa buah tiang dan lantainya saja. Bilik dan atapnya sudah lenyap dibawa badai!

"Maafkan saya, bibi. Untuk mengakhiri pertandingan yang tak kunjung henti karena kenekatan Endang, terpaksa saya memukulnya pingsan. Saya menyerahkannya kepadamu, bibi. Semoga bibi dapat menyadarkannya daripada jalan sesat. Pusaka Mataram saya bawa untuk saya kembalikan ke Panjalu, dan lebih baik saya segera pergi bersama Ayu Candra sebelum dia sadar untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan."

Kartikosari hanya dapat menggangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu hatinya. Ia memangku anaknya yang pingsan sambil bercucuran air mata. Roro Luhito memandang keponakannya dengan bangga ketika berkata,

"Joko Wandiro, kau pergilah dan laksanakan kewajibanmu dengan baik. Kami hanya dapat memberi bekal doa restu semoga ke manapun juga kau akan selalu bersikap sebagai seorang satria utama dan akan selalu mendapat perlindungan Hyang Maha Wisesa, anakku."

Joko Wandiro menggandeng tangan Ayu Candra lalu mengundurkan diri, pergi mencari perahunya. Untung ia mengikat perahunya kuat-kuat pada pohon di pantai, kalau tidak tentu perahunya akan lenyap tertiup badai.

**** 095 ****
Lanjut ke Jilid 096 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment