Ads

Saturday, January 19, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 096

◄◄◄◄ Kembali

Kali ini ketika Joko Wandiro mohon menghadap sang prabu di Panjalu, bergegas para penjaga mempersilahkannya menanti dan cepat-cepat orang melaporkan permohonannya kepada sang prabu. Semua orang telah mengenal pemuda sakti ini. Diam-diam Joko Wandiro melihat kenyataan akan bukti watak manusia yang serba palsu ini. Dahulu, ketika pertama kali menghadap, ia dihina dan dipandang rendah, tidak dilayani sebagaimana mestinya. Sekarang, setelah mereka tahu bahwa dia memiliki kedigdayaan, mereka bersikap berlebih-lebihan. Adakah manusia di dunia ini yang bersikap sewajarnya, tidak membeda-bedakan antara manusia, tidak memandang kekayaan, kedudukan, dan kepandaian? Mungkin sekali ada akan tetapi.......ah, alangkah sukarnya mendapatkan manusia seperti itu!

Pada waktu itu, sang prabu di Panjalu sedang dihadap para hulubalang, menteri, dan penasehat, merundingkan tentang peristia pemberontakan Nusabarung terhadap Kerajaan Jenggaia. Biarpun sejak menjadi pangeran dahulu, sang prabu di Jenggala selalu memperlihatkan sikap bermusuh terhadap sang prabu di Panjalu, akan tetapi permusuhan itu merupakan pertikaian keluarga, merupakan urusan dalam. Kini begitu mendengar bahwa Kerajaan Jenggala dimusuhi oleh Nusabarung yang memberontak, sang prabu di Panjalu ikut menjadi marah! Betapapun juga, Kerajaan Jenggala merupakan sebagian daripada wilayah kerajaan mendiang Sang Prabu Airlangga, ayah mereka berdua. Dan betapapun juga, sang prabu di Jenggala adalah adik sendiri, adik tiri, serama berlainan ibu.

Karena mendengar betapa kuatnya pemberontak Nusabarung yang dibantu oleh adipati-adipati di sebelah timur, sang prabu di Panjalu sudah mengutus pasukan untuk membantu Jenggala secara diam-diam dan menggempur Nusabarung. Ketika pasukan pertama ini yang tidak begitu besar menderita kerugian dan terpukul oleh Nusabarung, sang prabu telah mengirim pasukan yang lebih besar lagi!

Pada saat sang prabu merundingkan urusan ini bersama para hulubalangnya, penjaga datang menghadap melaporkan kedatangan Joko Wandlro bersama adiknya yang bernama Ayu Candra mohon menghadap sang prabu. Mendengar disebutkan nama Joko Wandiro ini, seketika berseri wajah sang prabu. Juga para hulubalang dan Ki Patih Suroyudo berubah wajahnya. Tentu saja mereka semua teringat akan pemuda yang dahulu pernah mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini itu. Bahkan ketika sang prabu mendengar tentang sepak terjang pemuda itu, sang prabu lalu mengutus para senopati untuk pergi menyelidik, siapakah sesungguhnya pemuda perkasa yang tadinya mereka pandang rendah itu.

Ketika akhirnya mendengar bahwa Joko Wandiro yang semula mereka sangka seorang anak dusun yang ingin mencari kedudukan di kerajaan itu ternyata adalah murid Ki Patih Narotama, sang prabu dan semua senopati menjadi terkejut dan menyesal bukan main mengapa mereka kurang menaruh perhatian dan penghargaan kepada pemuda itu. Apalagi ketika Ki Darmobroto dan juga puteranya, Joko Seto, datang ke kota raja dan menceritakan keadaan Joko Wandiro, sang prabu merasa makin menyesal. Kini secara tiba-tiba pemuda itu datang hendak menghadap. Hati siapa tidak menjadi kaget dan girang?

"Lekas persilahkan dia masuk dan menghadap padaku!" teriak sang prabu dengan wajah riang.

Sepasang mata sang prabu masih bersinar-sinar terang dan semua mata para hulubalang yang hadir ditujukan kepada Joko Wandiro ketika pemuda ini dengan sikap hormat sekali memasuki ruangan diikuti oleh Ayu Candra. Gadis itu saking kagum menyaksikan ruangan keraton, masuk sambil memandang ke kanan kiri, kemudian ketika ia melihat sang prabu yang duduk penuh wibawa ia menjadi takut dan menundukkan muka, berjalan perlahan memegangi lengan kakaknya.

"Hemm, bagus sekali, Joko Wandiro. Kedatanganmu menghadap kami benar-benar mendatangkan rasa syukur dan gembira di hati kami. Sayang bahwa dahulu ketika engkau datang menghadap, kami belum tahu siapa engkau dan tidak dapat bercakap-cakap sebagaimana mestinya," demikian sang prabu menyambut ketika pemuda itu sudah menghaturkan sembah, adapun Ayu Candra menyembah tanpa dapat mengeluarkan kata saking tertegun dan gentar di hati.

"Joko Wandiro, setelah diri kami mengetahui bahwa engkau adalah murid tersayang mendiang paman Patih Narotama, kami harap kau suka membantu kami di sini mengatur pemerintahan dan memperkuat barisan Panjalu. Kami yakin andaikata paman Patih Narotama masih hidup, tentu akan menganjurkan engkau untuk mengabdi kepada Panjalu."

"Semua sabda paduka gusti benar dan tepat. Memang sesungguhnya dahulu bapa guru meninggalkan pesan agar hamba bersuwita (menghambakan diri) kepada Kerajaan Panjalu. Akan tetapi ketika hamba untuk pertama kali menghadap paduka, sengaja hamba tidak menyebut nama bapa guru oleh karena hamba sungguh merasa malu untuk mencari kedudukan mengandalkan nama besar guru. Menurut pendapat hamba yang picik, pahala harus diperoleh dengan Jasa sendiri, barulah berharga. Pada waktu itu, hamba sama sekali belum melakukan sesuatu untuk paduka, sama sekali belum berjasa. Kalau dahulu paduka memberi kedudukan kepada hamba mengingat akan jasa-jasa bapa guru, bukankah hal itu amat mengecewakan dan bukan sepantasnya diterima oleh seorang satria? Harap paduka sudi mengampuni hamba, jika sekiranya pendapat hamba itu keliru."

Sang prabu tertawa bergelak sambil mengelus dagu yang tak berjenggot. Pandang matanya makin berseri-seri dan diangkatnyalah wajahnya memandang para senopati dan hulubalang yang hadir. Suaranya lantang ketika sang prabu berkata,

"Heh para senopati dan hulubalang, kalian sudah mendengar ucapan seorang satria. Camkanlah baik-baik ucapan itu karena di dalam kata-katanya aku seperti mendengar suara mendiang paman Patih Narotama yang kalian semua sudah mengetahui sebagai seorang yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Inilah Joko Wandiro muridnya yang memiliki pandangan serta pendirian yang sama dengan mendiang paman Patih Narotama. Rendah hati, tidak gila kedudukan, setia, dan jujur." Kemudian sri baginda menoleh kepada Joko Wandiro, bertanya, "Aku girang mendengar pendapatmu itu, Joko Wandiro. Sekarang kau datang menghadap, aku tidak mengharapkan jasamu, hanya aku percaya penuh akan kesanggupanmu. Biarpun kau tidak mengutarakannya kepadaku, aku sudah mendengar betapa engkau mengusir dua orang wanita iblis dari Panjalu, bahkan aku mendengar pula akan sepak terjangmu menolong nini Mayagaluh keponakanku dari Jenggala, mendengar pula tentang bantuan-bantuanmu kepada Kerajaan Jenggala. Setelah kau datang menghadap, aku harapkan engkau, suka membantuku dan menerima kedudukan yang akan kuberikan kepadamu. Aku sudah tahu bahwa engkau adalah putera Raden Wisangjiwo dari Selopenangkep, kau cucu bekas Adipati Selopenangkep. Ayahmupun tewas dalam perang membelaku sehingga jasa ayahmu saja sudah cukup bagiku untuk memberi imbangan jasa kepada puteranya."

Joko Wandiro menyembah
"Sebelumnya hamba menghaturkan terima kasih atas kurnia paduka kepada hamba. Sesungguhnya, kedatangan hamba menghadap ke depan kaki paduka adalah untuk menyerahkan kembali pusaka Mataram yang lenyap sejak belasan tahun yang lalu."

Saking kagetnya, sang prabu sampai bangkit dari tempat duduknya. Bahkan. Ki Patih Suroyuda dan para senopati sepuh menjadi pucat wajahnya.

"Pusaka... pusaka Mataram...?"

Sang prabu bertanya, suaranya gemetar karena tegangnya. Pusaka ini sudah dianggap lenyap dan hal itu membuat semua keluarga menjadi berduka dan gelisah. Kini secara tiba-tiba Joko Wandiro menyebut-nyebut tentang pusaka, tentu saja mereka semua menjadi terkejut dan heran.

"Benar sabda paduka, gusti. Inilah pusaka Mataram yang baru hari ini dapat hamba persembahkan kepada paduka." Ia mengeluarkan patung kencana dari bungkusan, patung kencana Sri Bhatara Whisnu, lengkap dengan isinya, yaitu keris pusaka Brojoi Luwuk. Patung itu mencorong cahayanya dan semua orang menjadi silau memandangnya.

"Duh Jagad Dewa Bathara....!!" Sang prabu bersabda dengan wajah berseri dan bergegas menerima patung kencana itu, diangkatnya patung kencana dengan kedua tangan, dibawanya ke atas ubun-ubun kepalanya dengan khidmat, kemudian diturunkannya ke muka dan diciumnya kaki patung atau gagang keris pusaka. Setelah itu dipeluknya patung kencana, dekat dengan hatinya seakan-akan khawatir kalau-kalau patung kencana itu terlepas lagi dari tangannya.

”Dewata telah mengabulkan doaku siang malam, dan semoga arwah ramanda prabu mengampuni dosaku. Dengan kembalinya pusaka Mataram, akan pulih kembali kebesaran Mataram yang jaya. Akan lenyap segala rubeda (rintangan) dan rakyat senegara akan mengecap kenikmatan tata tenteram kerta raharja!" Suara sang prabu berubah menjadi terharu sekali, dan para senopati mendengarkan dengan muka tertunduk.

"Bocah bagus Joko Wanctro! Tak terkira besar dan bahagianya hati dengan persembahanmu yang sungguh di luar dugaan ini. Satria yang perkasa, coba ceritakanlah bagaimana pusaka yang sudah sekian lamanya lenyap ini dapat terjatuh ke dalam tanganmu."

Keadaan di ruang persidangan sunyi sekali. Semua orang seakan-akan menahan napas dan tidak mau kehilangan sepatahpun kata yang keluar dari mulut Joko Wandiro ketika pemuda ini menceritakan secara singkat tentang pusaka Mataram yang hilang. Betapa pusaka itu dicuri oleh Jokowanengpati, kemudian betapa pusaka itu dirampas dari tangan orang jahat ini oleh Resi Bhargowo yang kemudian menyerahkannya kepada Joko Wandiro dan Endang Patibroto untuk disembunyikan ketika orang-orang sakti utusan Pangeran Anom menyerbu ke Pulau Sempu untuk merampasnya. Kemudian betapa baru-baru ini ia mengambil kembali pusaka itu dan menerima kerisnya dari Endang Patibroto. Ia tentu saja tidak menceritakan tentang peristiwa pribadi yang menyangkut dirinya dan Endang Patibroto.

"Demikianlah, gusti. Setelah hamba berhasil mendapatkan kembali pusaka Mataram dalam keadaan utuh, hamba bergegas menghadap kepada paduka untuk mempersembahkan kembali pusaka ini sesuai dengan perintah eyang Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."

Amat bahagia dan gembira hati sang prabu mendengar penuturan itu. Sambil memeluk keris pusaka dalam patung kencana, sang prabu berkata,

"Joko Wandiro, jasamu besar tak ternilai. Dan siapakah gadis jelita yang ikut dating menghadap bersamamu ini?"

Mendengar dirinya disebut-sebut, Ayu Candra menundukkan mukanya yang menjadi merah, dadanya berdebar penuh ketegangan

"Dia ini adik kandung hamba, Ayu Candra namanya, gusti."

"Hemm, patut menjadi adikmu. Cantik jelita penuh susila. Heh, Joko Wandiro, sebagai imbalan jasamu, mulai saat ini kuangkat engkau menjadi adipati di Selopenangkep dengan julukan Adipati Tejolaksono. Kakang Patih Suroyudo, siapkan sepasukan perajurit pilihan untuk membantu Adipati Tejolaksono memerintah di Selopenangkep. Persidangan kububarkan sekarang juga!" Sang prabu yang masih terharu memeluk pusaka Mataram, memandang ke arah Joko Wandiro yang menyembah dan menghaturkan terima kasih dengan sinar mata penuh haru dan syukur. Sang prabu ingin cepat-cepat menyendiri agar dapat menikmati saat yang amat bahagia itu, saat kembalinya pusaka Mataram yang amat dirindukan oleh segenap isi istana.

**** 096 ****
Lanjut ke Jilid 097 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment