Ads

Thursday, January 24, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 006

<<== Kembali <<==

"Waahh.......... celaka, raden.......... celaka ..........tiga belas..........!!"

Raden SIndupati mengangkat alis dan menatap Klabangkoro dan Klabangmuko yang datang berlari-lari dengan napas senln kemis hampir putus, wajah penuh keringat sehingga kumis mereka yang sekepal sebelah itu menjadi basah kuyup dan kini berjuntai turun, sama sekali kehilangan kegagahannya, Di belakang Raden Sindupati, sekelompok pasukan terdiri dari dua puluh orang lebih, rata-rata berperawakan tinggi besar bersenjata tombak, golok, atau penggada. Mereka berikat kepala seperti Klabangkoro dan Klabangmuko, dengan ujung menjungat ke atas seperti tanduk. Biarpun mereka itu orang-orang yang kelihatan kasar, namun jelas mereka bukan orang-orang sembarangan, melainkan "berisi' . Inilah pasukan dari Blambangan, anak buah Adipati Blambangan yang tersohor kuat.

Pemimpin mereka, Raden Sindupati, berbeda dengan mereka. Memang dia juga mengenakan ikat kepala yang sama, akan tetapi perawakannya sedang, berdada bidang, wajahnya tampan dan usianya belum lewat empat puluh tahun. Kulitnya kuning bersih dan wajahnya selalu tersenyum, pandang matanya tajam. Kalau anak buahnya adalah orang-orang yang membayangkan kekuatan dan ketangkasan, adalah Raden Sindupati ini membayangkan kekuatan batin dan kesaktian. Senjatanya pun lebih sederhana, sebatang keris terselip di pinggangnya. Sudah belasan tahun, semenjak ia berusia kurang dari dua puluh lima tahun, Raden Sindupati melarikan diri ke Blambangan. Tadinya ia adalah seorang senopati muda di Jenggala yang melakukan pelanggaran besar, yaitu memperkosa dengan bujuk rayu dan ketampanannya seorang puteri Jenggala. Ketika ketahuan, puteri itu membunuh diri dan Raden Sindupati menjadi buronan. Semenjak itu tak pernah ia kembali ke Jenggala dan karena kesaktiannya, ia memperoleh kedudukan tinggi di Blambangan, bahkan kini dipercaya oleh Adipatl Blambangan untuk mengacau dan melemahkan kedudukan Jenggala dan Panjalu, bahkan kalau mungkin membunuh Endang Patibroto.

"Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko!" katanya tenang akan tetapi penuh wibawa. "Tidak layak seorang prajurit tenggelam ke dalam kegelisahan. Takut dan gentar merupakan pantangan terbesar bagi seorang perajurit utama! Betapapun buruknya kenyataan yang dihadapi, seorang perajurit harus tetap tenang dan waspada."

"Maaf, raden, kami memang salah .... " kata Kiabangkoro merendah.

"Yang belum mengerti itu tidak salah, kakang. Nah, sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi? Pagi ini kami telah mendengar akan tewasnya Demang Kanaroga, Ini berita baik, mengapa kalian seperti ketakutan?"

"Malam tadi, menurut rencana Wiku Kalawisesa akan merobohkan dua orang ponggawa Jenggala, pertama Demang Kanaroga dan ke dua Pangeran Panjirawit suami Endang Patibroto." Terdengar suara mencela seorang kakek berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar, dialah yang paling tinggi besar di antara semua prajurit Blambangan yang berada di situ.

"Kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki hasil usahanya itu di dekat gedung Pangeran Panjirawit. Malam itu mula-mula kami melihat dua ekor kelelawar terbang pulang dari atas gedung Demang Kanaroga, agaknya sudah selesai tugas. Kemudian seperti bayangan iblis...... tampak bayangan wanita itu.......... seperti terbang layaknya!"

"Hemm, kau maksudkan bayangan Endang Patibroto?" tanya Raden Sindupati tertarik. Karena sudah belasan tahun ia tidak kembali ke Jenggala, ia tidak pernah bertemu dengan wanita sakti itu, hanya mendengar namanya.

"Betul, raden. Dia memang hebat luar biasa. Kelelawar besar disambitnya, kemudian ia seperti terbang mengikuti kelelawar itu. Dari istananya tidak terdengar sesuatu, tIdak ada tanda-tanda Pangeran Panjirawit tewas. Kami sedapat mungkin tergopoh-gopoh mengikutlnya pula, dari jauh karena larinya cepat seperti angin. Dia membayangi kelelawar terbang. Coba bayangkan!" Klabangkoro menoleh kepada teman-temannya dengan mata terbelalak. "Dia dapat berlari begitu cepatnya sehingga dapat membayangi seekor kelelawar terbang!"

Semua pasukan menjadi gempar, kecuali kakek tinggi besar tad! Yang kembali mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan Raden Sindupati yang merasa tidak aneh karena banyaknya pendekar di Jenggala yang mampu melakukan hal ini, termasuk dia sendiri!

"Lalu bagaimana?" tanya Sindupati, tidak puas melihat pasukannya ribut-ribut.
Semua orang diam, tertarik dan ingin mendengarkan lebih lanjut.

"Ketika kami berdua tiba di pondok sang wiku, kami terkejut setengah mati. Pondok itu sudah hancur lebur, seperti diamuk gajah! Arca Bathara Kala sudah menjadi keping-kepingan batu dan di luar pondok sang wiku bertanding melawan Endang Patibroto. Cantik dan gagah dia. Cantik manis sekali ya, adi Klabangmuko?"

"Seperti bidadari dari Bali!" kata Klabangmuko meram-melek, agaknya membayangkan wajah yang jelita dan tubuh yang montok itu. Ia tampak seperti seekor anjing Herder melihat daging, menjilat-jilat bibir.

"Teruskan, kakang. Bagaimana akhir pertandingan?"

"Kami tadinya hendak membantu sang wiku, akan tetapi tidak keburu lagi karena sekali tampar sang wiku menggeletak tak berkutik lagi. Bahkan berdiripun tidak mampu dia. Agaknya lengannya poklek (patah) dan iganya remuk. Kemudian......kemudian........" Orang tinggi besar dengan kumis sekepal sebelah ini bergidik ngeri.

"Tenanglah, kakang. Lalu bagaimana, terbunuhkah sang wiku?" tanya Raden Sindupati tenang.

"Kalau terbunuh biasa saja kami tidak akan ngeri, raden. Wanita itu.......... huh, begitu cantik jelita, begitu halus kulitnya, begitu manis senyumnya, kiranya...... seperti iblis sendiri! Dia membuat boneka dari lempung menyerupai sang wiku, kemudian.......... kemudian ia terbang..........”

"Terbang??" Raden Sindupati terkejut juga, karena sesakti-saktinya manusia, belum pernah ia mendengar ada orang dapat terbang, kecuali kalau sudah memiliki tingkat setengah dewa seperti misalnya mendlang Sang Prabu Airlangga, atau Sang Rakyan Kanuruhan Patih Narotama, atau sedikitnya setingkat Sang Resi Empu Bharodo!

"Betul, terbang! Bukankah kau melihat dia terbang, Klabangmuko?"

"Betul! Dia bersila begini, lalu tubuhnya dalam keadaan bersila itu melayang ke arah sang wiku, mencabut rambutnya dan kembali melayang ke tempat tadi, masih duduk bersila seperti ini," kata Klabangmuko sambll meniru gerak-gerak Endang Patibroto.

Raden Sindupati mengangguk-angguk. Ia mengerti sekarang dan diam-diam ia kagum juga. Blarpun bukan terbang, namun cara meloncat dengan keadaan duduk bersila bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kakek tinggi besar yang matanya lebar hanya mendengus lagi, seakan-akan semua yang diceritakan Itu tidak aneh baginya, biasa saja dan sudah diketahuinya.

"Kemudian.......... kemudian ia melakukan persis seperti yang dilakukan sang wiku selama ini dengan Aji Kalacakranya. Ia mengambil tusuk konde dan menusuk-nusuk boneka dan ……. dan sang wiku berlumur darah dari semua tubuhnyal" cerita ini membuat para prajurlt merasa ngeri dan mereka hanya saling pandang.

"Sudah kuduga.......... sudah kuduga.......... wiku sombong itu mana mampu menandingi murid gustiku Dibyo Mamangkoro?" kata kakek tinggi besar itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Semua itu tidak penting," kata Raden Sindupati tak sabar, "yang penting.......... apakah yang dikatakan oleh sang wiku ketika ia hendak dibunuh? Tentu kalian dapat mendengar apa yang mereka, bicarakan."

"Betul, raden. Endang Patibroto mengancam dan mendesak agar sang wiku mengaku siapa yang menyuruhnya melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Dan sang wiku, dalam saat terakhir sekalipun, tetap berpegang kepada kesetiaan, dia mengatakan bahwa yang menyuruhnya adalah Pangeran Darmokusumo dari Panjalu."

"Bagus..........I Ha-ha-ha-ha, bagus.......... Wiku Kalawisesa, andika (kamu) tewas sebagai seorang gagah sejati yang masih memegang kesetiaan. Bagus, ha-ha-ha, tepat sekali rencana Sang Adipati Blambangan." Tiba-tiba ia menoleh ke arah kakek tinggi besar Itu.dan berkata, "Paman Brejeng, kau yakin betul bahwa Endang Patibroto akan mengenalmu?"

"Mungkin lupa, akan tetapi kalau aku mengingatkan hal-hal lalu, tentu ia ingat bahwa aku adalah Brejeng, pelayan pribadi Gusti Dibyo Mamangkoro," jawab kakek itu dengan sikap dan kata-kata yang kasar sekali. Agaknya ia tidak bisa bicara halus seperti sikap orang-orang liar. Memang orang liarlah kakek ini, bekas anak buah Dlbyo Mamangkoro.

"Baik sekali. Memang untuk itulah kau kubawa serta, paman Brejeng. Sekarang dengarkan kalian semua rencanaku selanjutnya." Raden Sindupatl duduk di atas sebuah batu dan anak buahnya berjongkok mengelilinginya, mendengarkan rencana siasat yang akan dipergunakan terhadap Endang Patibroto.

==== 006 ====
==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 007 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment