Ads

Thursday, January 24, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 007

<<== Kembali <<==

Kita tInggalkan dulu pasukan Blambangan yang sedang mengatur slasat dan mari kita mengikuti perjalanan Endang Patibroto. Tentu saja Endang Patibroto tidak mengetahui sama sekali akan keadaan suaminya, dan lebih-lebih tidak menyangka ada pasukan Blambangan yang merencanakan siasat untuk menjebaknya. Ia melakukan perjalanan siang malam menuju ke istana Kota Raja Panjalu. Di sepanjang perjalanan, ia mellhat betapa kehidupan rakyat Panjalu jauh lebih makmur daripada keadaan rakyat JenggaIa. Rumah-rumah penduduk dusun lebih baik, pakaian mereka lebih bersih dan terutama sekali sinar wajah mereka lebih gembira dan tubuh mereka leblh gemuk sehat. Ia menghela napas panjang dan harus mengakui bahwa sang prabu di Panjalu jauh lebih pandai mengatur pemerintahan daripada sang prabu di Jenggala.

Ketika tiba di Kota Raja Panjalu, ia tidak berani memperlihatkan dirl, bersembunyi dan malam harinya ia menyusup ke dalam kota raja, langsung ia mencari istana tempat tinggal Pangeran Darmokusumo. Malam itu sunyi sekali karena hujan turun rintik-rintik semenjak sore. Akan tetapi suasana sunyi ini menyenangkan hati Endang Patibroto. Memang lebih sunyi lebih baik. La hendak menculik Pangeran Darmokusumo dan dipaksanya mengaku.

Kemarahannya terhadap pangeran ini masih belum mereda, bahkan setelah tiba di situ, amarahnya makin meluap. Ia teringat betapa pangeran ini yang menjadi biang keladi segala urusan, yang mengotorkan dan mencemarkan nama baiknya, bahkan yang hampir saja membunuh suaminya. Kalau teringat akan ini, sudah sepatutnya kalau ia membunuh pangeran ini. Akan tetapi ia tidak akan membunuhnya, hanya akan memaksanya mengakui semua perbuatannya di depan sang prabu, di depan umum.

Endang Patibroto sama sekali tidak mengira bahwa desas-desus tentang dirinya pada waktu itu lebih hebat lagl. Berita yang didesas-desuskan oleh Suminten kiranya telah mendahuluinya sampai ke Panjalu! Juga kepergiannya, bahkan ia tidak berada di rumah, telah terdengar sampai ke Panjalu. Di dalam beberapa hari ini tidak pernah terjadi pembunuhan-pembunuhan mujijat lagi dan hal ini dihubungkan dengan kepergiannya. Setelah ia pergi, tidak ada lagi terjadi pembunuhan-pembunuhan. Makin yakinlah hati orang-orang yang tidak menyukainya bahwa dialah biang keladi semua pembunuhan! Juga Endang Patlbroto sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada saat itu, baris pendem pasukan Panjalu sudah siap menantinyal Para senopati Panjalu telah menerima berita rahasia yang dikirim oleh Raden Sindupati tentang kedatangannya ke Panjalu. Terutama istana Pangeran Darmokusumo telah dijaga oleh baris pendem yang amat banyak dan kuat. Inllah merupakan hasil sebuah di antara siasat Raden Slndupati. Dengan menyamar sebagaI seorang ponggawa Jenggala ia mengirim seorang pembantunya berkuda secepatnya ke Panjalu membawa berita bahwa Endang Patibroto berusaha menyerang dan membunuh Pangeran Darmokusumo! Dan karena memang desas-desus tentang Endang Patibroto sudah santer mempengaruhi orang-orang dan terutama sekali para senopatl Panjalu, maka tanpa memeriksa lebih lanjut lagi para senopati lalu membuat persiapan menyambut kedatangan Endang Patibroto!

Karena memang dibiarkan masuk, dengan mudah Endang Patibroto malam itu meloncat masuk melalui dinding tinggi yang mengelilingi istana Pangeran Darmokusumo. Akan tetapi begitu ia menyelinap ke ruangan depan, terdengar bentakan keras,
"Tangkap pembunuh!" Seketika ia dikurung oleh puluhan orang pengawal bersenjata lengkap. Obor-obor dipasang dan ia segera diserbu! Endang Patibroto terkejut sekali. Ia hendak membuka mulut, akan tetapi maklum bahwa percuma saja bicara. Para pengawal itu tentulah kaki tangan Pangeran Darmokusumo yang entah bagaimana sudah mengetahui kedatangannya.

"Pangeran Darmokusumo, keluarlah kalau kau laki-lakil Jangan mengusahakan rencana pemberontakan dan pembunuhan secara keji dan pengecut!" teriak Endang Patibroto, akan tetapi segala macam senjata sudah mengurung dan menyerangnya. Terpaksa Endang Patibroto bergerak dan robohlah empat orang pengeroyok! Ia hendak nekat masuk, ingin menangkap Pangeran Darmokusumo, akan tetapi dari dalam berlompatan keluar lima orang senopati pilihan dari Panjalu dikepalai oleh Ki Patih Suroyudo sendiri! Patih tua ini memegang tombak pusaka dan ia membentak.

"Endang Patibroto, kau benar-benar iblis betina! Kau pembunuh pengecut dan keji, masih berani mengeluarkan kata-kata keji terhadap gusti pangeran?"

"Paman Patih Suroyudo! Dengarlah baik-baik.., Bukan aku, melainkan Pangeran Darmokusumo yang menjadi biang keladi segala..........”

"Tutup mulut, iblis wanita laknat!" Ki Patih Suroyudo sudah menerjang dengan tombaknya, namun sedikit miringkan tubuh, Endang Patibroto sudah mengelak dan sekali tangannya bergerak, ia menangkap tombak dan didorong kuat-kuat ke belakang sehingga ki patih yang tua itu terhuyung-huyung dan terjengkang roboh. Lima orang senopati berseru marah dan menubruk dengan senjata masing-masing.

“Kalian tidak mau mendengar kata-kataku?? Biarkan aku menghadap sang prabu, akan kubuka semua rahasia Pangeran Darmokusumo!" teriaknya akan tetapl siapa sudi mendengar kata-katanya?

SEMUA ORANG sudah membencinya, yakin bahwa dialah wanita iblis yang menyebar maut dan kini datang hendak membunuh Pangeran Darmokusumo pula. Lima orang senopati dengan gerakan lincah mendesak maju. Endang Patibroto kewalahan juga karena hujan senjata menyerang dirinya. Ia mengeluarkan pekik melengking saking marahnya dan...,... Aji Sardulo Bairowo ini membuat lima orang pengawal yang kurang kuat terguling roboh.

Menggunakan kesempatan selagi lima orang senopati itu mundur karena pengaruh Sardulo Bairowo, Endang Patibroto meloncat ke belakang. Seorang senopati melontarkan tombaknya. Endang Patibroto membuat gerak loncat berjungkir balik, ujung kakinya menyentuh tombak yang terbang menyeleweng dan menembus dada seorang pengawal, pengawal itu menjerit dan roboh tewas, dadanya ditembus tombak.

Geger di pekarangan istana Pangeran Darmokusumo. Tampak oleh Endang Patibroto kini Pangeran Darmokusumo keluar dari istana berdiri tegak dengan muka marah. Puteri Mayagaluh berdiri di samping suaminya, sebatang keris telanjang di tangan, menjaga keselamatan suaminya. Hampir Endang Patibroto tertawa. Puteri ini masih cantik, bekas sahabatnya,. adik suaminya.

Memegang keris, seakan-akan dengan keris itu akan dapat melawannya. Ingin ia terbang menyambar pangeran itu, namun jarak terlampau jauh dan di depannya terlampau banyak pengawal mengeroyoknya. Bahkan kini lima orang senopati sudah maju lagi, yang kehilangan tombak sudah memegang tombak baru. Juga Ki Patih Suroyudo sudah maju sambil memberi aba-aba membesarkan hati anak buahnya.

Endang Patibroto menarik napas panjang. Percuma saja menggunakan kekerasan. Tak mungkin ia dapat melawan sekian banyaknya perajurit, belum lagi kalau pasukan-pasukan pembantu tiba. Dia seorang diri mana mampu menghadapi ratusan, bahkan ribuan perajurit Panjalu? Juga, tidak baik kalau ia menyebar maut di antara para perajurit ini, yang tidak tahu apa-apa dan yang terkena bujuk Pangeran Darmokusumo si pengkhianat, si pemberontak! Lebih baik ia pulang, menceritakan terus terang kepada suaminya. Suaminya tentu akan mencari jalan keluar yang baik, mungkin dengan melapor kepada sang prabu di Jenggala.

Ingin rasanya ia menangis saking kecewa hatinya. Usahanya gagal malah ia dikurung rapat. Ia menjadi marah dan kembali beberapa orang pengeroyok roboh terjungkal. Ia hanya mengandalkan kaki tangan, namun para perajurit itu tidak berdaya. Sekali tangkis tombak patah, pedang golok beterbangan. Sekali tampar biarpun perlahan, pengeroyok-pengeroyok berjatuhan. Endang Patibroto memekik lagi, hebat sekali pekik Sardulo Bairowo ini. Para pengeroyok terdekat mundur ketakutan, saling tabrak saling tindih, saling himpit. Endang Patibroto meloncat, dan terus berloncatan menggunakan kepala-kepala dan pundak-pundak para pengeroyok sebagai landasan. Akhirnya ia tiba di luar istana.

"Tangkap.......... ! Bunuh.......... ! Kejar.......... !!" Teriakan-teriakan ini saling sahut dan bertubi-tubi. Mereka mengejar, namun sia-sia. Bagaikan bayangan iblis tubuh Endang Patibroto berkelebat dan senjata-senjata beterbangan lagi.
Teriak-teriakan kesakitan terdengar susul-menyusul. Para pengeroyok banyak yang roboh, membuat yang lain gentar. Namun Endang Patibroto tidak berniat membunuh mereka, hanya merobohkan dengan tamparan-tamparan sekedar membuat tulang lengan patah dan kepala pening. Kemudian ia melompat lagi, merobohkan lagi beberapa belas pengeroyok kemudian lenyap menghilang ditelan malam. Hujan masih turun rintik-rintik, keadaan gelap pekat namun para perajurit masih sibuk mencari dan mengejar sampai jauh. Suara mereka berisik, mengagetkan para penduduk yang tidak berani keluar dan menjadi penakut sejak terjadinya peristiwa pembunuhan-pembunuhan aneh pada diri para ponggawa selama ini.

Terengah-engah Endang Patibroto berhenti berlari di dalam hutan, berteduh di bawah sebatang pohon besar. Ia lelah, lelah sekali. Lelah lahir batin, Sudah sepuluh tahun ia tidak pernah bertanding, maka pertandingan melawan Wiku Kalawlsesa yang sakti, ditambah lagi perjalanan tak kunjung henti ke Panjalu, kemudian pengeroyokan ketat tadi, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Dan sepuluh tahun ia hidup bahagia, aman tenteram di samping suaminya yang tercinta, kini menghadapi pelbagai hal menjengkelkan hati, batinnyapun lelah sekali. Ia bersandar kepada sebatang pohon, dan tak terasa lagi tertidur, biarpun air hujan ada satu dua yang menetes turun ke atas tubuhnya melalui daun-daun pohon yang lebat.

Hatinya diliputi kekhawatiran besar ketika Endang Patibroto melanjutkan perjalanannya, pulang ke Jenggala. Ia dapat membayangkan betapa gelisah hati suaminya yang malam itu ditinggalkan, kemudian sampai hampir dua pekan ia tidak pulang! Akan tetapi suaminya akan lebih gelisah lagi kalau sudah mendengar ceritanya tentang pengakuan Wiku Kalawisesa. Siapa kira, Pangeran Darmokusumo. Bedebah!
Hari telah senja ketika ia tiba di pintu gerbang sebelah selatan Kota Raja Jenggala. Tiba-tiba dari arah kiri ia mendengar bunyi burung emprit gantil.

“Tiiiiit-tuiiiiit-tuiiit-tit-tit-tit..........”

Tak mungkin bunyi burung emprit gantil. Itulah suara tanda rahasia yang biasa dipakai para pengawal suaminya! Hatinya berdebar tak enak dan secepat kilat tubuhnya berkelebat ke kiri. Keadaan sudah remang-remang akan tetapi ia dapat melihat bergeraknya tubuh orang di selokan dekat sawah.

"Gusti puteri..........” Bayangan itu memanggil, lirih dan suaranya mengandung rintihan.

Ia meloncat dekat. Melihat orang itu merangkak keluar dari selokan.

"Gusti puterl.......... !”

"Aahhh, engkaukah ini, kakang Sungkono..........?“ Endang Patibroto meloncat menghampiri dan orang itu mengeluarkan keluhan, lalu menubruk kaki Endang Patibroto.

"Aduhhh, gusti puteri.......... “

"Ada apa, kakang Sungkono? Mengapa kau di sini dan.......... eh, kenapa berlumur darah? Engkau terluka, kenapa?" Hati Endang Patibroto seperti ditusuk-tusuk pisau, indra ke enamnya bekerja dan ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.

"Gust! puteri.......... bencana hebat menimpa.......... gusti pangeran ditangkap dengan tuduhan melindungi paduka.......... dituduh memberontak.......... karena pembunuhan-pembunuhan itu.......... karena paduka menyerang istana Pangeran Darmokusumo.......... !"

Dada Endang Patibroto terguncang, menggelora, kakinya menggigil. Suaminya ditangkap! Akan tetapi ia masih dapat menguasai suaranya yang bertanya mendesak.

"Lalu bagaimana.......... ? Dia dibawa kemana.......... ?" Ia merasa ngeri mendengar suaranya sendiri, seperti suara orang lain yang asing, suara yang kosong.

"Mula-mula.......... pasukan datang........ hendak menangkap paduka, atas perintah gusti prabu. Gusti pangeran membantah, melawan dan dikeroyok. Hamba.......... hamba membelanya, tapi kena tusuk tombak....... aduhh, hamba tak kuat lagi, gusti.......”
Endang Patibroto berjongkok, memegang pundak Raden Sungkono yang ternyata terluka parah, terutama di lambungnya.

"Kakang.......... ke mana dibawanya suamiku.......... “

"Di penjara istana.......... paduka larilah .......... paduka akan ditangkap.......... hamba............ hamba tak kuat, aduhhhh.........” Sungkono menjadi lemas tubuhnya.

"Kakang.......... ! Kakang Sungkono.........” Akan tetapi Endang Patibroto tahu bahwa panggilannya tak terjawab. Sungkono pengawal setia itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Ia meletakkan kepala pengawal itu ke atas tanah, lalu berdiri seperti arca. Suaminya ditangkap gara-gara Pangeran Darmokusumo! Ia menggertakkan giginya. la harus membebaskan suaminya, biar harus mengorbankan nyawa. Ia harus menyerbu penjara istana, biar dikepung seluruh perajurit Jenggala! Suaminya tidak bersalah, suaminya tidak berdosa. Dan kalau hendak menangkap Pangeran Darmokusumo si pengkhianat dianggap dosa, dialah yang berdosa, bukan suaminya.

"Kakangmas pangeran.......... !" Ia menjerit lalu terduduk mendeprok di atas tanah, dekat mayat Sungkono, menangis! Baru kali ini Endang Patibroto menangis hebat semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Kemudian ia memegang pundak mayat itu dan berbisik, "Terima kasih, kakang.......... terima kasih atas pembelaanmu sehingga kau mengorbankan nyawa untuk suamiku.......... maafkan aku, tak dapat aku mengurus mayatmu karena aku harus membebaskan suamiku.......... selamat tinggal, kakang Sungkono!" Ia lalu meloncat bangun, mukanya beringas dan lahirlah kembali Endang Patibroto wanita sakti mandraguna. Air matanya berhenti mengucur, pandang matanya berkilat ketika tubuhnya melesat jauh ke depan, menuju dinding tinggl yang mengelilingi Kota Raja Jenggala.

Karena sudah sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, tentu saja Endang Patibroto sudah hafal akan keadaan di istana dan tahu pula di mana letaknya tempat tahanan. Tempat tahanan ini merupakan sebuah gedung besar di sudut belakang kelompok bangunan istana, terbuat daripada dinding batu yang tebal dan kuat, dikelilingi pekarangan yang lebar.

Malam itu amat sunyi di lingkungan istana. Endang Patibroto yang berkelebat melalui jalan di atas wuwungan, melihat betapa penjagaan di tempat-tempat biasa diperketat, bahkan tampak seragam-seragam perajurit yang biasanya tidak tampak menjaga keraton. Ia dapat menduga bahwa pasukan pengawal keraton yang tidak berapa besar jumlahnya, kini ditambah dengan pasukan-pasukan perajurit. Namun berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, Endang Patibroto berhasil menyusup melalui wuwungan-wuwungan, dilindungi kegelapan malam, sampai ia berada dekat dengan rumah tahanan.

Dari atas wuwungan dapur istana di belakang, ia mengintai. Rumah tahanan itu berada di depannya, di bawah. Ketika ia mengintai, kagetlah hatinya melihat banyaknya perajurit dan pengawal memenuhi pekarangan rumah tahanan itu. Bukan main! Sedikitnya tentu ada tiga ratus orang perajurit, mengawal ketat, menjaga rumah tahanan itu seperti semut-semut merubung bangkai jangkerik. Bahkan ia melihat pula banyak perajurit berada di atas wuwungan rumah itu, siap dengan busur dan anak panah! Kalau ia nekat menyerbu, agaknya takkan mungkinlah menembus penjagaan yang sekuat itu. Kiranya sang prabu Jenggala benar-benar sudah siap sedia menanti kedatangannya! Ia mengertak gigi, hatinya panas sekali. Apapun yang akan terjadi, ia harus dapat membebaskan suaminya! Siapapun orangnya, baik sang prabu sendiri, tidak boleh menahan suaminya, tidak boleh membelenggu suaminya, kecuali melalui mayatnya sendiri!
Endang Patibroto termenung, mengasah otak mencari akal. Ia tidak mau secara sembrono menyerbu begitu saja. Bukan karena ia takut. Ditambah lima kali jumlah itupun ia tidak akan takut, mati bukan apa-apa baginya. Akan tetapi ia harus dapat membebaskan suaminya dan hal ini takkan mungkin terlaksana kalau ia berlaku nekat. Ia harus cerdik. Setelah termenung sejenak, tubuhnya lalu berkelebat, melayang turun di bagian yang tak terjaga. Kurang lebih satu jam kemudian tampak asap mengebul di bagian sebelah kanan dapur istana.

"Kebakaran…… ! Kebakaran ……!!” teriak penjaga yang melihat asap dan api.

"Air.......... ! Air.......... !”

"Hayo bantu padamkan........., lekas sebelum membesar apinya.......... !” Seorang perwira berseru keras ketika melihat anak buahnya tersebar panik.

"Hei! Jangan membantu semua! Sebagian tetap menjaga di sini!" Karena tindakan tegas sang perwira, keadaan tidak begitu panik lagi dan hanya beberapa orang penjaga secukupnya saja yang ditugaskan membantu pemadaman apa yang membakar atap bangunan itu. Akan tetapi pada menit-menit berikutnya, kembali tampak asap mengebul, kini di sebelah utara dekat kandang kuda.

"Kebakaran lagi! Itu di sana, dekat kandang!"

"Dan itu di sana ada api! Dekat gudang!"

"Tolong! Bantu! Kebakaran di mana-mana.......... !”

Kini tak dapat dicegah lagi, kepanikan terjadi dengan hebat. Para perajurit tersebar seperti semut digebah. Seorang di antara para perajurit, yang memisahkan diri, agaknya hendak mencari ember atau alat lain pemadam kebakaran, tiba-tiba menerima pukulan dua jari yang ditekuk, tepat mengenai leher di bawah telinga kiri. Hanya terdengar suara "ngukkk!" dan perajurit ini roboh lemas tak sadarkan diri. Endang Patibroto cepat menanggalkan pakaian luar perajurit ini, dan cepat pula mengenakan pakaian itu pada tubuhnya sendiri. Tubuh perajurit ini lebih besar daripadanya, akan tetapi karena pakaian itu ia kenakan di luar pakaiannya sendiri, maka tidaklah terlalu besar amat. Rambutnya kini tersembunyl di dalam topi perajurit dan jadilah ia kini seorang perajurit yang tampan dan gagah.

Endang Patibroto menyambar tombak perajurit itu kemudian iapun berlari-lari. Tak lama kemudian, iapun tampak di antara para perajurit dan pengawal yang bercampur-aduk, sehingga tidak ada bahaya baginya ketahuan kepala pasukan. Keadaan amat panik dan lima tempat kebakaran yang dibuat olehnya cukup membuat para perajurit tidak begitu memperhatikan rumah tahanan. Dengan pura-pura berdiri tegak dengan tombak di tangan, Endang Patibroto beraksi "menjaga" di' depan jendela kamar tahanan. Ketika mendapat kesempatan, ia membuka daun jendela dari kayu itu.
Jeruji-jeruji besi di sebelah belakang daun jendela yang sebesar lengan-lengan manusia bukan apa-apa bagi Endang Patibroto. Ia mengerahkan aji kekuatannya dan sekali tangannya mementang, dua buah jeruji melengkung lebar, bahkan bagian atas yang menancap pada kayu terlepas! Bagaikan seekor burung, Ia melompat masuk dan tidak lupa menarik daun jendela dari dalam sehingga jeruji yang tidak sebagaimana mestinya itu tidak tampak dari luar. Cepat ia lari ke dalam.

"Hai.......... , kawan, mau apa kau masuk ke sini?" Tiba-tiba muncul empat orang penjaga penjara, yaitu petugas penjara.
Endang Patibroto meniru suara pria lalu berkata.

"Kepala pasukan menyuruh melihat apakah Pangeran Panjirawit masih ada di tempatnya. Di luar banyak terjadi kebakaran, kepala pasukan khawatir kalau-kalau pangeran dilarikan musuh."

"Mana bisa? Kami menjaga di sini siapa dapat melarikannya? Akan tetapi, baik kau lihat sendiri, kawan." Karena keadaan di luar yang panik membuat para penjaga di sebelah dalam juga panik sehingga dalam keadaan kacau itu penistiwa masuknya seorang perajurit yang mestinya tidak wajar dianggap biasa. Bersama empat orang petugas penjara itu, Endang Patibroto dibawa masuk ke sebelah belakang. la melihat bahwa petugas di dalam tahanan hanya ada delapan orang, maka hatinya menjadi lega.

"Nah, itulah dia. Masih meringkuk seperti tikus. Apa kaukira siluman yang menjadi isterinya itu dapat.......... “

"Ngekk!!" Sebuah tinju mengenai ulu hati si pembicara yang roboh tak bersuara dan tak bernapas lagi. Tiga yang lain terkejut, akan tetapi tiga kali tubuh Endang Patibroto bergerak dan tiga kali terdengar suara mengaduh dibarengi robohnya tiga orang. Mendengar ribut-ribut ini, empat petugas yang lain datang. Inilah yang dikehendaki Endang Patibroto.

"Eh, ada apakah..........” Empat orang petugas yang masih mengira Endang Patibroto seorang perajurit biasa, datang berlarian dan bertanya. Namun pertanyaan mereka disambut gerakan kaki tangan yang luar biasa cepatnya dan hampir berbareng empat orang itupun roboh semua.

"Endang..........”

"Pangeran.......... !!,!

Mereka berpelukan, saling dekap erat-erat seakan-akan takut kalau-kalau mereka terpisah lagi........... .

"Aku tahu, kau takkan membiarkan aku dikeram terus, isteriku.......... " Pangeran Panjirawit merangkul dan menciumi isterinya...........
Air mata Endang Patibroto membasahi pipi dan dagu suaminya.

"Kakanda........maafkan hamba.......... telah membikin sengsara kakanda.......... “

"Hushhh.......... !" Pangeran Panjirawit menutup mulut isterinya dengan bibir, untuk mencegahnya melanjutkan kata-kata. "Kau tidak pernah salah, aku yakin. Apakah yang telah terjadi? Benarkah engkau menyerbu ke Panjalu? Aku tidak percaya.......... “

"Nanti saja, kakanda. Kita belum bebas. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat keluar dari sini."

Pangeran Panjirawit baru teringat akan hal ini dan keningnya berkerut penuh kekhawatiran. Ia memandang isterinya yang berubah menjadi seorang perajurit dan kalau saja keadaan tidak berbahaya seperti itu, tentu ia akan mentertawakan dan menggoda isterinya sedemikian rupa sampai isterinya menghentikan godaannya dengan cium, gigit dan cubit. Biasanya begitu kalau di rumah. Kemudian ia melirik ke arah petugas tahanan yang menggeletak malang-melintang.

"Benar, kakanda. Sebaiknya kanda menyamar," kata Endang Patibroto yang agaknya mengikuti .gerak mata dan sikap suaminya. Hatinya lega bukan main melihat suaminya dalam keadaan sehat selamat dan hanya hal inilah yang terasa di hatinya. Yang lain-lain tidak ia hiraukan. Cepat Endang Patibroto membelejeti (menanggalkan) pakaian luar seorang di antara para petugas tahanan yang tubuhnya sama besar dengan tubuh suaminya, kemudian membantu suaminya mengenakan pakaian itu. Pada saat itu, terdengar pintu depan digedor-gedor dari luar. Teriakan perwira menggema ke dalam rumah tahanan,

"Haii! Penjaga-penjaga di dalam, apakah kalian tuli? Ataukah tertidur? Keparat, hayo buka pintu ini.......... !!"

Endang Patibroto memegang lengan suaminya.
"Cepat, pangeran." Ia menarik lengan suaminya melalui ruangan dalam, terus menuju ke jendela yang jerujinya sudah ia buka tadi. Dari belakang jendela itu terdengar suara hiruk-pikuk para perajurit dan pintu depan kini digedor-gedor dengan kerasnya, bahkan mulai didorong oleh banyak perajurit.

"Cepat, kakanda. Melalui jendela ini!" bisik Endang Patibroto.

"Tapi.......... tapi di luar banyak perajurit, yayi. Bagaimana engkau.......... ?"

Di dalam hatinya Endang Petibroto terharu. Dalam keadaan seperti itu, suaminya masih mengkhawatirkan dirinya, tidak menghiraukan diri sendiri. Sama pula dengan dia, baginya mati tidak apa-apa asal suaminya selamat!

"Jangan khawatir, kakanda sayang, adinda melindungi." Endang Patibroto kini mengerahkan Aji Gelap Musti memukul ke arah jendela dan..........

"krekkk!" jeruji-jeruji itu patah-patah semua.

"Mari kugendong, pangeran, agar kami dapat lari lebih cepat, menggunakan ajiku Bayu Tantra!"

Pangeran Panjirawit maklum akan kesaktian isterinya, maklum bahwa dalam usaha melarikan diri ini sepenuhnya tergantung dari tenaga isterinya. Ia lalu merangkul pundak isterinya dari belakang, membiarkan dirinya digendong, mengempit pinggang yang ramping itu dengan kedua kakinya. Mulutnya berbisik di dekat telinga isterinya,

"Aku sudah siap .......... mati bersama.......... “

"Tidak, kita hidup bersama, suamiku” bisik Endang kembali, kemudian ia melangkah mundur tiga tindak lalu mengerahkan Aji Bayu Tantra dan tubuhnya melesat melalui jendela. Daun jendela itu tertabrak dan terbuka lebar. Pangeran Panjirawit sungguhpun sudah yakin akan kesaktian isterinya, tak dapat tidak menjadi kagum sekali ketika tubuhnya "diterbangkan" melalui lubang jendela yang tidak berapa lebar, begitu tepat dan hanya sedikit pundaknya menyentuh pinggir jendela!
Di luar para perajurit masih sibuk memadamkan api dan sebagian pula mendongkrak pintu depan rumah tahanan. Ketika melihat munculnya seorang perajurit muda menggendong seorang berpakaian penjaga, mereka tertegun dan terbelalak heran. Akan tetapi ketika tubuh perajurit itu meloncat jauh dan mereka mengenal wajah si penjaga yang digendong, berteriak-teriaklah mereka.

"Pangeran lolos.......... ! Kepung.......... ! Tangkap..........”

Segera banyak perajurit menghadang dengan tombak dan pedang di tangan. Endang Patibroto sudah menduga bahwa ia harus bertanding mati-matian, tidak membuang banyak waktu, kaki tangannya bergerak dan empat orang perajurit roboh. la tidak biasa menggunakan tombak, maka tombak tadi kini ia serahkan kepada suaminya, sedangkan ia sendiri menyambar sebatang pedang lawan yang ia robohkan. Mulailah Endang Patibroto mengamuk. Suaminya yang berada di punggungnya juga menggerakkan tombak ke kanan kiri merobohkan perajurit yang datang dari jurusan ini. Biarpun punggungnya menggendong Pangeran Panjirawit, namun gerakan Endang Patibroto masih amat lincah dan ganas. Pedangnya berkelebat, bergulung-gulung sinarnya dan banyak perajurit roboh. Akan tetapi, makin banyak yang roboh, makin banyak pula yang datang, seperti semut mengeroyoknya dan teriakan-teriakan mereka amat bising. Endang Patibroto mulai khawatlr, mengkhawatirkan suaminya, ia dapat mengamuk lebih leluasa, akan tetapi takut kalau-kalau suaminya terpisah dan terluka.

"Pangeran, buang tombak dan pegang erat-erat!" bisiknya.

Biarpun Pangeran Panjirawit tak mengerti mengapa ia harus membuang tombak, namun percaya penuh kepada isterinya, ia melemparkan tombaknya dan memeluk leher isterinya erat-erat.

"Awas, pangeran!" bisik Endang Patibroto.

Dengan pedangnya ia menyapu dengan gerakan tiba-tiba sehingga lima enam orang prajurit yang tak menyangka-nyangka wanita itu akan berjongkok dan menyapu ke bawah, roboh dengan kaki buntung atau setengah buntung terbabat pedang! Dan tiba-tiba bagaikan seekor burung, Endang Patibroto sudah mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuhnya ke atas genteng rumah tahanan! Akan tetapi sebelum kakinya menginjak genteng, belasan batang anak panah menyambar dari depan seperti hujan!

"Celaka.......... awas anak panah, Endang .......... I" Pangeran Panjirawit berteriak cemas. Akan tetapi kembali ia kagum bukan main karena biarpun tubuhnya masih melayang di udara, namun dengan memutar pedang sampai pedang itu mengeluarkan bunyi mengaung, semua anak panah dapat dipukul runtuh. Bahkan tangan kirinyapun menyambar dan.......... dua batang anak panah dapat ditangkapnya. Tubuhnya terus ke depan sambil tangan kiranya bergerak menyambitkan anak panah ke depan. Terdengar, teriakan dua orang pemanah yang dadanya termakan senjata sendiri. Kini Endang Patibroto sudah turun ke atas genteng. Segera la dikeroyok oleh belasan orang pengawal yang memiliki ilmu sIlat lumayan. DI sini Endang Patibroto mengamuk lagi, dalam waktu singkat merobohkan lima orang pengeroyok dengan pedangnya.

Akan tetapi kini banyak pengawal dan perwira yang berkepandaian sudah berlompatan naik ke atas genteng. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang. Endang Patibroto yang sudah banyak pengaiamannya bertempur di waktu mudanya (baca Badai Laut Selatan), mengerti bahwa tidak akan mungkin dapat melayani mereka semua. Sedangkan kini fajar hampir menyingsing. Kalau malam sudah berganti pagi, tidak mungkin lagi dapat melarikan diri keluar dari kota raja. Ia harus dapat melarikan suaminya sekarang juga. Harus!

"Kakanda, tutup telinga kakanda keduanya.......... " Ia berbisik dan maklumlah Pangeran Panjirawit bahwa isterinya hendak menggunakan Aji Sardulo Bairowo. Ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi sepasang telinganya. Benar saja, Endang Patibroto lalu mengeluarkan suara pekik dahsyat, melengking tinggi mengatasi semua suara hiruk-pikuk para perajurit!

Semua pengeroyoknya yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu terkejut, bahkan ada delapan orang yang tidak dapat menahan, roboh bergulingan di atas genteng terus jatuh ke bawah! Yang lain-lain tersentak mundur, kaget dan ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk mengerahkan tenaga meloncat ke atas genteng bangunan yang berdekatan, yaitu bangunan dapur istana. Banyak anak panah mengaung dan bercuitan di kanan kiri, bawah dan atasnya. Akan tetapi tidak sebuahpun mengenainya. Tiba-tiba Endang Patibroto merasa betapa tubuh suaminya di atas punggungnya menegang.

"Ada apa, pangeran?"

“Ti....... tidak apa-apa .......... " Suaminya mengerang ditahan. "Lekas pergi, Endang, lekas.......... !”

Dengan hati berdebar Endang Patibroto mempercepat larinya. Para pengejarnya tertinggal jauh dan anak-anak panah tidak dapat mencapainya lagi. Ia amat khawatir. Apakah suaminya menjadi gentar? Akan tetapi kini selamatlah sudah. la mempercepat pula larinya dan sebentar saja ia sudah berhasil keluar dari dinding kota raja, terus berlari menuju ke selatan.

"Kita selamat dan bebas, pangeran .......... !" bisiknya sambil lari terus.
"......... syukurlah.......... , mari kita istirahat, isteriku.......... “

"Nanti, kakanda. Biar jauh dulu ...... ." Endang lari terus, masih amat cepat larinya sehingga bagaikan terbang saja layaknya. Dusun-dusun dilalui, hutan-hutan dan sementara itu, angkasa sudah mulai merah, terbakar sinar sang surya.

"Endang.......... nimas.......... berhentl dulu .......... aku.......... aku tak kuat.......... “

Endang Patibroto menghentlkan larinya dengan tiba-tiba, wajahnya pucat, matanya terbelalak, hampir tidak berani ia menurunkan suaminya, tidak berani melihat suaminya. Jangan-jangan.......... !

"Paduka.......... paduka.......... kenapa.......... kakanda.......... ?”
"......... ughh, terluka.......... , anak panah .......... “

Endang Patibroto menahan isak, lari ke sebuah gubuk di tengah sawah yang berada tak jauh dari situ. Kemudian la menurunkan suaminya yang ternyata sudah lemas tubuhnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan cemas hatinya ketika melihat punggung suaminya tertancap anak panah.

"Kakanda.......... !" Ia menjerit, merebahkan suaminya ia sendiri berlutut memeriksa. Seluruh bulu di tubuhnya berdiri ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap dalam sekali, hampir sampai ke gagangnya, agaknya menembus celah-celah tulang iga. "Kakanda pangeran.......... !!" kembali ia menjerit dan memeluk, menangis terisak-isak. Sebagai seorang ahli, sekali pandang tahulah ia bahwa suaminya takkan dapat tertolong lagi. Anak panah itu menancap amat dalam, menembus bagian yang penting. Kalau dicabut, tentu akan mempercepat suaminya meninggalkannya. "Aduh, pangeran.......... , suamiku.......... bagaimana.......... ??"

Pangeran Panjirawit meraih leher isterinya sehingga tubuh Endang Patibroto kini juga rebah di sampingnya, miring beradu muka. Diciumnya mulut isterinya, dihisap air matanya, tangannya mengelus-elus rambut, mulutnya berbisik,

"Isteriku, mutiara hatiku.......... ingatkah engkau akan pembicaraan kita tentang takdir? Mati hidup manusia dalam tangan Hyang Widhi..........”

Endang Patibroto memandang suaminya dan mellhat bahwa mulut itu tersenyum! Ah, hampir ia lupa bahwa suaminya menghadapi maut, bahwa mereka berada di gubuk sawah. Rebah beradu muka seperti ini mebuat ia merasa seakan-akan mereka masih di dalam istana, tidur di atas pembaringan, rebah miring beradu muka, bercengkerama, bersendau gurau, bermain cinta mencurahkan kasih sayang.

"Kakangmas pangeran.......... !" Ia menjerit lagi dan merangkul leher suaminya, mendekap muka itu ke atas dadanya, seakan-akan ia hendak membenamkan muka itu ke dalam dasar hatinya, menjadi satu dengan dirinya, takkan dilepaskan lagi. "Ah, semua gara-garaku, kakanda.......... paduka tertimpa bencana karena hamba.......... !!”

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 008 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment