Ads

Thursday, January 24, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 008

<<== Kembali <<==

Dengan muka masih terbenam di dada isterinya, Pangeran Panjirawit berbisik,
"Hushhh, aku tak pernah menyalahkan engkau, jiwaku. Apapun yang kaulakukan, aku akan berfihak kepadamu, apapun juga yang kau lakukan..........!"

Biarpun ucapan ini menunjukkan kasih sayang yang tiada batasnya, namun menusuk perasaan Endang Patibroto karena mengandung pula kepercayaan bahwa dia telah bertindak salah. Maka cepat-cepat ia berkata,

"Suamiku, dengarlah baik-baik. Betapapun juga, isterimu tidak melakukan hal-hal yang jahat. Dengarlah .......... “

"Aku percaya, Endang.......... “

"Tapi harap paduka mendengarkan...... beginilah sebenarnya yang terjadi."

Dengan suara mengandung isak Endang Patibroto menceritakan betapa ia telah berhasil mencari si pembunuh gelap yaitu Wiku Kalawisesa, betapa ia bahkan telah berhasil membunuh si laknat dan mengorek rahasia dari mulutnya, betapa kakek itu mengaku bahwa ia bersekutu dengan Pangeran Darmokusumo yang bermaksud jahat, hendak memberontak.

"Nah, hamba memang menyerbu ke sana. Akan tetapi hanya untuk menawannya dan untuk memaksanya mengaku. semua perbuatan dan dosanya di depan sang prabu, akan tetapi.......... hamba ……. Hamba gagal.......... “

"......... nimas.......... aku percaya.......... augghh.......... dekaplah aku, nimas, dekaplah aku erat-erat.......... “

Hati Endang Patibroto bagaikan ditusuk-tusuk keris berkarat. Didekapnya suaminya, diciuminya.

"Kakangmas.......... aku tahu.......... kakangmas tak mungkin dapat disembuhkan lagi.......... “

“......... oohhh, kekasihku.......... , jadi kau sudah tahu.......... ? Susahkah hatimu, sayang.......... “

Endang Patibroto mencium lagi.
"Tidak, pangeran, karena kita akan berangkat bersama. Hamba akan ikut, ke mana juapun paduka pergi. Ingat akan kata-katamu tadi, kakangmas? Kita mati bersama!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah lemas itu bertenaga lagi, dekapannya amat kuat dan terdengar pangeran itu mengguguk, menangis!

"Mengapa, suamiku? Jangan takut, kematian bukan apa-apa, dan lagi, hamba berada di samping paduka.......... !!”

"Tidak! Tidak.......... !! Sekali lagi tidak …… !" Pangeran itu mencengkeram pundak Endang Patibroto seakan-akan hendak menarik tenaga dari isterinya.

"Betapapun hancur hatiku oleh perpisahan ini, namun tidak! Engkau tidak boleh ikut bersamaku ......... aku tidak rela membiarkan isteriku membunuh diri...........“

Endang Patibroto tersenyum, air matanya masih bercucuran.
"Suamiku, kakanda pujaan hati; lupakah kakanda akan nama hamba? Hamba adalah Endang Patibroto? Ingat, kakanda, Patibroto? Hamba adalah seorang isteri yang setia, yang siap sedia dengan segala kesenangan hati untuk ikut mati bersama suaminya!"

"Tidak! Endang, isteriku. Aku akan mati penasaran! Rohku akan menjadi setan gentayangan kalau kau membunuh diri! Aku tidak suka. Tidak suka!!"

Pangeran itu memekik-mekik keras. Pucat wajah Endang Patibroto, kaget hatinya dan ia bangkit duduk. Dipegangnya wajah suaminya, dipandangnya baik-baik dan ia mendapat kenyataan bahwa suaminya masih sadar sepenuhnya.

"Apa.......... apa maksud paduka.........” Kemball tubuh pangeran Itu menjadi lemas, napasnya terengah-engah karena tadi dikuasai nafsu amarah.

"Endang.......... kalau benar kau mencintaku.......... sepenuh jiwa raga seperti aku mencintamu.......... kau mutiara hatiku.......... sebelum aku mati.......... agar aku dapat mati tenang, kau berjanjilah untuk memenuhi pesanku ini, yaitu.......... kau jangan ikut, jangan membunuh diri.......... kau berjanjilah, sayang.......... demi cintaku.......... !! »

Jantung Endang Patibroto serasa dikerat-kerat, perih dan sakit. Air matanya membanjir, ia terisak-isak, sesenggukan, tersedu-sedan dan tidak dapat menjawab untuk beberapa lamanya. Ia maklum bahwa suaminya tidak ingin melihat ia mati membunuh diri dan.......... tiba-tiba ia teringat bahwa kalau ia mati, siapakah yang akan membalas dendam ini kepada Pangeran Darmokusumo? Teringat akan pangeran yang menjadi biang keladi kematian suaminya ini, timbul semangatnya untuk hidup, dan ia menggangguk sambil berkata,

"Hamba berjanji, kakangmas ...... "

"Aahhh, terima kasih, Endang. Kini lega hatiku. Ke sinilah, adinda.......... mendekatlah engkau, kekasih.......... !”

Kembali Endang Patibroto rebah berhadapan muka, berpelukan, berbisik-bisik seperti pengantin baru.

"Endang.......... ingatkah engkau.......... Dahulu.......... ketika kita berpengantinan.........?"

"Aduhhh.......... kakanda.......... " Endang Patibroto menjerit dari dasar hatinya, tubuhnya menggigil saking sakit hatinya mendengar ucapan itu.

"Eh-eh, biarkan aku mengenangkan kemball peristiwa itu, manis. Biarkan aku mati membawa kenangan masa kita berpengantinan. Ahhh.......... mula-mula.......... engkau tidak suka kudekati.......... engkau seperti hendak menolakku.......... “

"Kakangmas.......... “

"Aku tahu.......... tadinya engkau tidak mencinta.......... akan tetapi.......... oh, akhirnya cinta kasihku yang murni dan sepenuh jiwa raga.......... ha-ha, meruntuhkan juga hati bajamu.......... mencairkan gunung es.......... dan kau menjadi panas membara ...... kau menjadi kawah Gunung Bromo .......... sampai nanar aku oleh cintamu, nimas.......... sampai mabuk aku.......... mabuk kebahagiaan.......... ah, tiada wanita keduanya sepertimu, adindaku.......... " Tangan Pangeran Panjirawit membelai-belai, bibirnya mencium-cium, pandang matanya mesra.

Terisak-isak Endang Patibroto.
"Kakanda, hamba bersumpah.......... sungguhpun amat berat hamba harus hidup menyendiri, paduka tinggalkan.......... hamba takkan membunuh diri, hamba akan menanti maut seperti ditakdirkan Hyang Widdhi.... akan tetapi.......... paduka sabarlah...... sabarlah menanti hamba.......... !!

"Endang.......... auugghhh.......... terlalu lama kutahankan.......... tak kuat lagi aku............. Endang Patibroto, isteriku, ciumlah .......... ciumlah.......... “

Sambil menangis sesunggukan Endang Patibroto menangkap kedua pipi suaminya, lalu mencium mulut yang terengah-engah itu, mencium mesra sepenuh hatinya. Tiba-tiba ia merasa betapa tubuh suaminya mengejang, mengerang dan menghembuskan napas panjang. Endang Patibroto merasa dunia berputar, pandang matanya gelap, akan tetapi ia meramkan mata, tidak melepaskan ciuman, menyedot dari mulut suaminya, seakan hendak menghisap napas terakhir itu.......... terasa darah.......... darah suaminya .......... terasa pelukan tangan suaminya mengendur, lepas, tampak suaminya tersenyum, lalu segala berputaran, gelap, lalu merah, seribu bintang menari.......... dan iapun tidak ingat apa-apa lagi.

Endang Patibroto pingsan dengan tubuh masih menelungkupi mayat suaminya, bibir mereka masih saling menempel, kedua tangan Endang Patibroto merangkul leher. Angin pagi yang bertiup di sawah itu menerobos memasuki gubuk, menggerak-gerakkan rambut Endang Patibroto yang tadi dilepas sanggulnya oleh suaminya dan yang kini menyelimuti tubuh mereka berdua.

Wajah mayat Pangeran Panjirawit tersenyum, matanya setengah terbuka, seperti mata orang mengantuk, seperti matanya kalau sedang bercinta dengan isterinya. Ia tidak nampak seperti mati, melainkan seperti orang tidur bermimpi indah, mimpi bercumbu rayu dengan isteri tercinta. Anak panah yang menancap di punggungnya kini membengkok karena tertindih tubuhnya ketika melepaskan napas terakhir dan tubuhnya yang miring menjadi terlentang.

Endang sadar, serasa bangun dari mimpi buruk. Membuka mata. Ah, suaminya masih tidur seperti biasa. Suaminya akan bangun agak siang seperti biasa, tidur kelelahan, dengan wajah membayangkan kelelahan dan kepuasan, kebahagiaan yang nikmat, Endang Patibroto tersenyum. Melihat wajah yang puas dan bahagia itu mendatangkan nikmat luar biasa di dalam hatinya. Ah, ia harus cepat bangun, menyediakan santapan pagi untuk suaminya. Biar banyak abdi dalam di situ, ia selalu menyediakan santapan suaminya dengan tangannya sendiri, pekerjaan ini amat menyenangkan hatinya seperti menyiapkan pakaian, membereskan pembaringan, tak boleh pelayan melakukannya, dilakukan sendiri dengan kasih sayang. Ia menunduk dan mencium perlahan dan.......... matanya terbelalak, lehernya serasa dicekik dan dalam sekejap mata teringatlah ia kembali, datanglah semua itu seperti cahaya kilat menyambar.

"Aduh.......... kakanda.......... !!" la menjerit, masih tidak percaya, memandang anak panah di punggung, meraba-raba wajah suaminya, meraba dada, pergelangan tangan sampai ia yakin bahwa suaminya benar-benar telah meninggalkannya.
“......... kakanda pangeran ...... suami hamba ……… !" Ia memeluk tubuh itu, menangis sampai mengguguk, merintih, mengerang seperti orang tersiksa hebat.

"Tangkap.........! Tangkap.......... !!”

Bagaikan seekor harimau betina marah, Endang Patibroto yang sedang menangis mengguguk itu membalikkan tubuh. Wajahnya yang pucat penuh air mata amat beringas, rambutnya masih terurai riap-riapan, matanya bersinar-sinar kemarahan. la melihat tiga belas orang perajurit mengepung gubuknya, dengan tombak dan pedang ditodongkan, seperti para pemburu mengurung seekor harimau yang sudah tersudut.

Sejenak Endang Patibroto menyapu mereka dengan pandang mata, kemudian menoleh ke wajah suaminya yang tersenyum. Inilah! Ya, untuk inilah suaminya tidak menghendaki ia ikut mati. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya mencelat keluar gubuk. Bagaikan angin puyuh tubuhnya bergerak, berputaran di antara para pengepung yang cepat menggerakkan senjata masing-masing. Terdengar tombak-tombak patah, pedang-pedang beterbangan, jerit-jerit kesakitan dan dalam waktu sebentar saja tiga belas orang perajurit itu sudah menggeletak mati semua di tengah sawah!

"Hayoh, majulah semua perajurit Jenggala dan Panjalu! Amuk-amuk suramrata jayamrata! Inilah Endang Patibroto, isteri Pangeran Panjirawitl" Ia menebak-nebak dada, matanya liar memandang, kemudian la melihat penduduk kampung di dekat sawah itu berbondong-bondong keluar karena mendengar ribut-ribut. Melihat mereka ini, Endang Patibroto yang sudah menggila saking marah dan duka, segera meloncat menyambut mereka. Seorang laki-laki tinggi besar yang berada paling depan ditangkapnya seperti seekor burung rajawali menangkap anak ayam, diangkatnya ke atas, diputar-putarnya sehingga penduduk kampung itu kaget dan gentar. Lalu dibantingnya laki-laki itu sampai pecah kepalanya. Endang Patibroto mengamuk dan penduduk kampung Itu tersebar cerai-berai seperti gabah diinteri!

"Wanita gila mengamuk!"

"Bukan! Dia siluman"

"Iblis mengamukl"

Penduduk kampung melarikan diri dan beberapa orang yang kurang cepat menjadi korban amukan Endang Patibroto. Setelah dusun itu kosong, Endang Patibroto kembali ke gubuk dan menangisi mayat suaminya. la tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya diikuti orang-orang dari jauh. Itulah pasukan Blambangan yang dipimpin Raden Sindupati. Kini dari tempat sembunyinya, tidak jauh dari gubuk Itu, Raden Sindupati menyaksikan gerak-gerak Endang Patibroto, kagum melihat wanita itu membunuh tiga belas orang perajurit Jenggala yang hendak menangkapnya, dan ngeri menyaksikan Wanita itu mengamuk ke dusun membuat semua penghuni dusun lari cerai-berai. Namun ia masih belum yakin benar akan tingginya ilmu kepandaian Endang Patibroto. Ketika Endang Patibroto menyerbu tempat tahanan dan membebaskan suaminya, ia tidak berani membawa pasukannya masuk ke kota raja, hanya menanti di luar dinding, sehingga ia tidak melihat sepak terjang wanita sakti itu yang menggiriskan.

"Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko, kalian ikut bersamaku menghadapinya" katanya tenang.

Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi pucat wajahnya.
"Tapi.......... tapi.........” mereka meragu, hati mereka giris menyaksikan kehebatan wanita itu yang tidak saja sudah membunuh Wiku Kalawisesa, juga telah berani menyerbu Panjalu malah berhasil membebaskan suaminya dari keraton Jenggala dan baru saja membunuhi tiga belas orang perajurit danpenduduk kampung.

"Hemm, beginikah sikap prajurit? Takut apa? Aku di samping kalian, dan juga ini hanya siasat. Paman Brejeng, kalau kau melihat kami terdesak, kau dan semua kawan maju, lakukan apa yang sudah kupesan padamu."
Raksasa tua Ki Brejeng hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang ke arah gubuk dengan pandang mata termenung, seperti orang sedih. Dengan langkah tegap yang membesarkan hati Klabangkoro dan Klabangmuko, Sindupati menghampiri gubuk. Dilihatnya Endang Patibroto masih menangisi mayat suaminya. Ia lalu berdiri tegak dan menegur,

"Teja-teja sulaksana! Siapakah gerangan andika, seorang wanita cantik menangis seorang diri di antara sekian banyaknya mayat?"

Endang Patibroto yang sedang menangis dan memeluki tubuh suaminya, mengangkat muka dan menengok. Matanya membendul merah karena tangis, kini mengeluarkan sinar yang beringas dan liar. Sejenak ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya, membuat Klabangkoro undur dan ngeri, kemudian Endang Patibroto turun dari gubuk itu dan berkata, suaranya serak karena terlalu banyak menangis,

"Semua orang harus mati, mengikuti suamiku!" bentaknya sambil melangkah maju.

Sindupati tersenyum, senyumnya yang selalu dapat meruntuhkan hati wanita, baik ketika ia masih muda menjadi senopati di Jenggala dahulu maupun sekarang setelah ia berada di Blambangan. Banyak wanita Blambangan, termasuk puterl adipati sendiri, jatuh hatinya oleh senyum itu. Akan tetapi Endang Patibroto hanya memandang dengan mata mendelik marah.

"Aih-aihh, tidak begitu mudah, wong ayu!" katanya sambil siap karena maklum betapa saktinya wanita ini.

Endang Patibroto mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya sudah menerjang, dengan tangan kanan menghantam arah kepala Sindupati. Lawannya mundur sambil mengerahkan tenaga mengibas, menangkis.

"Dukkkl"

Raden Sindupati terhuyung mundur sampai tiga langkah, terkejut bukan main karena lengan wanita itu mengeluarkan tenaga dahsyat dan hawa panas. Juga Endang Patibroto terheran. Laki-laki itu dapat menangkis pukulannya Gelap Musti? Baik, makin tangguh lawannya makin baik, pikirnya dan timbul kegembiraannya bertanding. la lalu menerjang lagi. Kali ini Sindupati mengelak dengan gerakan yang cepat sekali sehingga kembali Endang Patibroto tertegun. Pada saat itu, sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau, dari kanan kiri Klabangkoro dan Klabangmuko menerjang maju, menghantam dengan kepalan tangan mereka sebesar buah kelapa muda! Antep dan keras sekali pukulan mereka, seperti serudukan celeng (babi hutan). Namun dengan cekatan Endang Patibroto dapat mengelak, bahkan menyambar dan berhasil menepuk pundak Klabangkoro dengan ujung jari tangan. Biarpun hanya menepuk karena tangannya tidak sampai, namun ujung-ujung jari itu mengandung Aji Pethit Nogo, maka tubuh Klabangkoro terguling masuk ke selokan, mukanya berlumur lumpur! Ia kaget dan terbelalak, lalu marah dan bangkit kembali Klabangmuko, seperti kakaknya, memilik aji kekebalan Lindungseto sehingga tidak tedas tapak paluning pande sisaning gurindo (tidak mempan senjata tajam), akan tetapi tepukan jari tangan Endang Patibroto membuat kulit pundaknya pedas panas dan tulang pundaknya linu!

Pertandingan itu berlangsung seru. Sepak terjang Klabangkoro dan Klabangmuko seperti dua ekor celeng goteng yang marah membabi-buta, tenaga mereka besar dan pukulan-pukulan mereka walaupun tidak akan menimbulkan luka dalam, namun cukup berbahaya bagi kulit Endang Patibroto yang halus. Adapun Sindupati gerakannya amat cepat, bagaikan seekor trenggiling, adakalanya bergulingan dan memang dia adalah ahli Aji Trenggiling Wesi, semacam ilmu silat mendasarkan gerakan bergulingan kemudian dari bawah mengirim tendangan-tendangan kilat atau kadang-kadang meloncat dan mengirim pukulan-pukulan ampuh.

Endang Patibroto makin gembira. Sudah lama ia tidak bertemu tanding yang tangguh. Wiku Kalawisesa tidak termasuk lawan yang tangguh mengenai ilmu berkelahi, sungguhpun ilmu hitam kakek hitam Itu berbahaya. KinI Endang Patibroto menggunakan ilmunya, gerakannya seperti burung walet, kedua tangannya mengandung aji yang amat ampuh, yang kanan terkepal mengandung Aji Gelap Musti ajaran Dibyo Mamangkoro, yang kiri terbuka, jari-jarinya mengandung Aji Pethit Nogo ajaran kakeknya, mendiang Resi Bhargowo! Hebat bukan main gerakannya, cepat tak dapat diikuti pandang mata, hanya tampak bayangannya berkelebat menyambar ke sana ke mari.

Tiga orang tokoh Blambangan itu terdesak hebat. Klabangkoro roboh terguling-guling ketika kena serempet pukulan Gelap Musti, untungnya hanya terserempet pada pundaknya saja, akan tetapi tulang pundak serasa remuk. Klabangmuko juga roboh terpental oleh tendangan kaki Endang Patibroto, untung Aji Lindungseto membuat ia tidak terluka. Raden Sindupati yang dianggap lawan terberat oleh Endang Patibroto didesak sampai tak mampu balas menyerang. Betapapun tubuhnya bergulingan, selalu dikejar dan dibayangi pukulan-pukulan maut sehingga ia terengah-engah dan wajahnya berubah pucat.
Tiba-tiba sinar terang menyambar dari kiri. Endang Patibroto maklum bahwa lawannya menggunakan senjata. Golok di tangan Klabangkoro yang menyambar itu dielakkan dan terpaksa ia mengurangi tekanannya pada Sindupati karena pada saat yang hampir bersamaan, golok Klabangmuko juga menyambar, membabat ke arah pinggangnya. Dua serangan sekaligus. Ia mengelak, miringkan tubuh dan meloncat ke atas ketika golok ke dua membabat pinggang. Dari atas ia lalu menerjang Sindupati yang sudah mencabut kerisnya. Keris ini mengeluarkan sinar hijau, keris Nogo-kikik berlekuk tujuh dengan gandhik berbentuk kepala anjing serigala. Ada hawa dingin terbawa oleh keris ini. Namun Endang Patibroto sudah menggerakkan kakinya dari depan membuat gerakan melingkar, kemudian dari samping ia menendang dengan tumit kakinya mengenai pergelangan tangan lawan. Sindupati berseru keras dan meloncat menghindarkan tangannya, akan tetapi tusukannya gagal.

Baru saja kaki Endang Patibroto sudah menginjak tanah, kembali dua buah golok menyambar, menyilang dari kanan kiri. Endang Patibroto membiarkan dirinya terancam golok, agaknya ia memang memasang diri untuk dimakan golok yang menyambar dari kanan kiri! Sesuai dengan rencana Sindupati, memang sedapat mungkin kakak beradik itu akan membunuh Endang Patibroto. Kalau ternyata wanita itu terlalu sakti dan kuat, barulah dijalankan siasat selanjutnya. Maka kini melihat betapa golok mereka agaknya akan berhasil mengenai sasaran, kedua kakak beradik ini menjadi girang sekali.
Merupakan pantangan bagi ahli silat untuk terlalu terburu nafsu dan terseret perasaan. Takut, gentar atau girang mabuk kemenangan merupakan titik-titik kelemahan. Karena kegirangan ini, Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi kurang waspada, tidak dapat melihat bahwa wanita itu agaknya sengaja memasang diri untuk dimakan golok dari kanan kiri, suatu hal yang sama sekali tidak wajar dalam perkelahian.

"Awasss.......... !” teriak Sindupati yang lebih matang dalam siasat pertempuran, namun terlambat. Pada setengah detik terakhir, Endang Patibroto yang berada di tengah itu merendahkan diri, kedua tangannya menangkap ke atas, tepat pada pergelangan tangan kedua lawan yang memegang golok, "meminjam" tenaga bacokan mereka menarik mereka saling bacok sendiri dan pada detik berikutnya, ia menggantung pada kedua lengan sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri kanan, tepat mengenai perut gendut kedua lawan.

"Blekk! Blekk!!"

"Aduuhh.......... I Augghl" Kedua orang raksasa Blambangan itu terjengkang ke belakang, golok terpental dan pundak mereka berdarah terkena bacokan saudara sendiri! Masih untung bahwa kekebalan mereka membuat golok itu meleset dan hanya melukai kulit dan sedikit daging pundak, akan tetapi tendangan pada perut itu membuat perut mereka seketika mules sekali. Mereka menggeh-menggeh (terengah-engah) memegangi perut sambil menyeringai seperti kuda kedinginan.
Endang Patibroto hendak menerjang Sindupati, akan tetapi orang itu sudah mengangkat tangan kanan ke atas danEndang Patibroto menunda serangannya, melihat dengan mata tajam ke arah pasukan sebanyak puluhan orang yang datang berbondong-bondong dari tempat sembunyi.

"Bagus! Lebih banyak yang mati menjadi pengiring suamiku lebih baik!" bentak Endang Patibroto dan tubuhnya sudah siap menerjang.

"Tahan dulu.......... !" Tiba-tiba terdengar suara parau besar dan majulah seorang raksasa yang tubuhnya amat kuat dan kokoh, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Gusti Endang Patibroto..... Gusti puteri.......... ! Ah, kiranya padukakah ini?"

Endang Patibroto memandang dengan mata merah. Ia merasa kenal dengar raksasa ini akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan. Dengan wajah dingin ia membentak,

"Siapa engkau?"

Ki Brejeng lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Duhai gusti puteri Endang Patibroto.......... ! Lupakah paduka kepada hamba? Hamba Ki Brejeng.......... “

Berkerut kening Endang Patibroto. Nama inipun tidak asing baginya.
"Brejeng .......... ?" Suaranya berbisik.

"Ya, hamba Ki Brejeng, pelayan guru paduka, Senopati Dibyo Mamangkoro........!. Lupakah paduka ketika di Pulau Iblis hamba mengajak paduka bermain-main ...... ?"
Teringatlah kini Endang Patibroto, matanya berkejap-kejap memandang penuh perhatian, terbayang semua peristiwa ketika ia masih kecil dahulu, bersama gurunya Dibyo Mamangkoro. Ya, Ki Brejeng temannya bermain-main di pulau itu.

"Gusti puteri, kita orang-orang sendiri, bukan musuh.......... r Ah, kenapa gusti sampai menjadi begini.......... ?"

Mendengar suara yang menyatakan belas kaslhan ini, tak tertahan lagi air mata Endang Patibroto jatuh berderai, ia terhuyung maju, berlutut di depan Ki Brejeng lalu merangkul pundak raksasa itu, menaruh muka pada dada yang bidang itu sambil menangis.

"Aduh.......... paman Brejeng.......... !!" keluhnya.

Ki Brejeng merangkul pundak wanita Itu, menepuk-nepuk punggungnya, teringat ia dahulu ia seringkali mengendong wanita itu di waktu masih kecil dan tak terasa lagi sepasang mata raksasa yang keras hati ini menjadi basah. Setelah tangis Endang Patibroto mereda, Ki Brejeng lalu berkata halus dan parau,

"Tenanglah, gusti puteri dan mari saya perkenalkan dengan kawan-kawan ini. Sudah lama semenjak guru paduka tewas, hamba melarikan diri ke Blambangan dan bekerja mengabdi pada Adipati Blambangan. Hamba ikut dengan pasukan Blambangan ini, di bawah pimpinan Raden Sindupati untuk menyelidil keadaan Panjalu dan Jenggala. Marilah gusti.......... “

Endang Patibroto bangkit berdiri dan Raden Sindupati cepat melangkah maju lalu member! hormat.

"Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami. Sungguh saya menyangka bahwa andika adalah puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal di seluruh dunia! Melihat andika bersama mayat-mayat perajurit Jenggala, kami menglra andika adalah musuh. Maafkan saya Sindupati dari Blambangan."

Kalau tidak ada Ki Brejeng di situ, tentu Endang Patibroto tidak sudi berbicara dengan orang-orang Blambangan. Sikapnya masih angkuh ketika ia bertanya.

"Hemm, kalian orang-orang Blambangan mengapa berada di sini?"
Raden Sindupati tersenyum dan kembali memberi hormat.

"Seperti telah dikatakan paman Brejeng tadi, kami bertugas untuk menyelidiki keadaan Jenggala dan Panjalu dan kami banyak mendengar hal-hal aneh sekali yang membayangkan betapa kacau keadaan Jenggala! Hamba mendengar betapa Raja Jenggala menangkap puteranya sendiri, tanda bahwa Kerajaan Jenggala sudah mendekati kehancuran! Blambangan sudah lama mencita-citakan untuk menyerbu Jenggala, membalas atas penumpasan Adipati Nusabarung."

Akan tetapi mendengar peristiwa suaminya disebut-sebut, Endang Patibroto teringat akan suaminya dan ia berkata,

"Suamiku, Pangeran Panjirawit telah meninggal dunia .........”

"Ya Jagad Dewa Bathara.......... l" Raden SIndupatl berseru kaget dan di dalam suaranya terkandung iba hati. Akan tetapi Endang Patlbroto sudah menangis lagi dan lari memasuki gubuk, tidak memperdulikan lagi kepada pasukan Blambangan. Raden Sindupati lalu memberi isyarat kepada Ki Brejeng yang menghampirinya, lalu raksasa Itu dibisiki. Ki Brejeng berulang-ulang mengangguk, kemudlan perlahan-lahan memasuki gubuk. Dia memang kasihan kepada Endang Patibroto, maka suaranya menggetar ketika berkata,

"Gusts puteri, yang sudah matl tidak perlu terlalu ditangIsl, tidak baik untuk perjalanan ke alam asal. Lebih baik kita merawat dan melakukan penyempurnaan jenazah gusti pangeran suami paduka. Biarlah, serahkan saja kepada Ki Brejeng dan kawan-kawan dari Blambangan, gusti. Percayalah, Ki Brejeng tidak akan menipu paduka, tidak akan membikin susah paduka."

"Aduh.......... paman Brejeng.......... " kembali Endang Patibroto menangis mengguguk, akan tetapi ia tidak membantah ketika Ki Brejeng memegang pundaknya dan menariknya keluar dari gubuk. Kemudian Ki Brejeng yang dibantu Sindupati dan anak buahnya lalu membersihkan jenazah Pangeran Panjirawit, mencabut anak panah dan membereskan pakaiannya. Kebetulan sekali di situ terdapat gubuk itu, mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu mereka semua bermuja samadhi untuk menghormat dan mengantar roh yang mati ke alam akhir. Semua upacara ini diikuti oleh Endang Patibroto dengan hati penuh keharuan. Akhirnya, ketika api dinyalakan, gubuk dibakar di mana terdapat suaminya, ia menangis lagi mengguguk memanggil-manggil nama suaminya. Semangatnya seakan-akan ikut terbang melayang bersama asap putih yang membubung tinggi.

Sementara itu Ki Brejeng yang menemani dan mendekati Endang Patibroto mulai membujuk Endang Patibroto. la bertanya apa sebenarnya yang sudah terjadi. Karena pada saat seperti itu Endang Patibroto amat membutuhkan seorang kawan yang dapat ia ajak bicara dan dapat mendengarkan curahan hatinya yang penuh penasaran dan karena ia percaya akan kesetiaan raksasa ini, berceritalah ia secara singkat akan segala peristiwa yang sebetulnya sudah diketahui oleh Ki Brejeng. Ki Brejeng menyumpah-nyumpah Pangeran Darmokusumo dan Sang Prabu Jenggala, kemudian ia membujuk Endang Patibroto agar suka ikut ke Blambangan.

"Paduka tentu dicari-cari dan dikejar-kejar oleh kedua kerajaan itu."

"Aku tidak takut! Aku akan melawan!" jawab Endang Patibroto, penuh dendam.

"Apa gunanya, gusti? Apa gunanya paduka seorang diri melawan barisan kedua kerajaan itu? Tidak, seyogianya paduka ke Blambangan. Kebetulan sekali Blambangan memang berniat menggempur Jenggala dan Panjalu, dan Adipati Blambangan amat baik, dapat menghargai orang-orang pandai. Lihat saja, hamba juga telah diterima menjadi ponggawa. Kalau paduka suka bersama hamba ke sana, paduka dapat bersama bala tentara Blambangan kelak maju menggempur Jenggala dan Panjalu dan saat itulah paduka dapat melakukan balas dendam atas kematian suami paduka!"

Akhirnya, setelah Raden Sindupati juga ikut membujuk-bujuk dengan‘ manis budi dan janji-janji yang memungkinkan wanita ini membalas kematian suaminya, Endang Patibroto mengangguk.

"Baiklah, Ki Brejeng, aku menurut nasehatmu. Raden Sindupati, aku suka ikut bersamamu ke Blambangan."

Bukan main girangnya hati Sindupati. Biarpun ia tidak berhasil membunuh Endang Patibroto, namun ia sudah berhasil memancing wanita ini ke sana! Alangkah akan girangnya hati Adipati Blambangan dan untuk ini ia tentu akan menerima pahala besar sekali. Apalagi, ia telah berhasil pula melemahkan kedua kerajaan dengan pembunuhan para ponggawanya. Betapapun juga, di hatinya terkandung niat lain. Melihat Endang Patibroto, janda kembang yang cantik jelita dan menggairahkan ini, hatinya sudah jatuh! la merasa sayang kalau wanita secantik ini dibunuh begitu saja oleh Adipati Blambangan. Tidak, terlalu sayang kalau begitu! Ia mempunyai siasat lain!

Setelah pembakaran jenazah selesai dan abu jenazah sudah dirawat untuk kemudian dilarung (dihanyutkan) di laut, pasukan itu melanjutkan perjalanan. Endang Patibroto memulai hidup baru dan di sepanjang perjalanan, ia dihibur oleh Ki Brejeng yang betul-betul merasa kasihan kepada bekas junjungannya ini.

==== 008 ====
==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 009 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment