Ads

Thursday, January 24, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 009

<<== Kembali <<==

Kadipaten Selopenangkep! Kadipaten ini letaknya dl tepi Sungai Progo, tidak amat jauh dari pantai Laut Kidul. Kadipaten yang tidak berapa besar, namun jelas tampak keadaan yang aman tenteram kerta raharja meliputi seluruh daerah kadipaten. Pamong tani hidup ayem, tanahnya subur tak kekurangan maupun kebanyakan air, sawah ladang terlalu penuh tanaman yang subur sehingga di waktu habis tandur, sawah ladang tampak ijo (hijau) royo-royo bagaikan lautan tenang. Adapun menjelang panen, sawah ladang berubah menjadi lautan emas dengan padi-padi menguning dan gemuk-gemuk menunduk.

Semua penduduk, dari dusun sampal kadipaten, tiada yang malas, semua rajin bekerja karena hasil karya mereka selain tampak di depan mata, juga terasa sampai di perut sendiri dan perut anak isterinya. Di wajah mereka tampak kegairahan bekerja itu, dari wajah anak-anak penggembala yang mengarit rumput, sampai kepada wajah pamong tani, nelayan, seniman dan pedagang, berseri penuh galrah kerja, memuliakan karya masing-masing dengan hati cinta dan tulus. Tidak ada iri-mengiri sehingga tak pernah tercipta tindak sesat, tidak ada maling atau perampok. Tidak ada waktu bermalas-malasan yang dapat terisi tindak iseng maksiat, tidak ada perjudian, tidak ada perjinahan atau mabuk-mabukan, semua tunduk kepada hukum yang tak tertulis, hukum kehidupan masyarakat damai, makmur dan tenteram, yang cinta akan ketenteraman.

SEMUA ini adalah sebagIan besar akibat wibawa dan pengaruh dari penguasa setempat, yaitu sang adipati di Selopenangkep. Perbawanya menyorot luas sampai keluar daerah Selopenapgkep, perbawa yang didasari keadilan dan cinta kasih seorang penguasa, seperti keadilan dan cinta kasih seorang bapak terhadap anak-anaknya. Keadilan dan cinta kasih Adipati Tejolaksono seolah-olah sinar matahari yang menyorot ke segenap pelosok, tiada memilih bulu, tidak pilih kasih. Adil dan keras dalam memberantas kejahatan disertai petunjuk-petunjuk kembali ke jalan benar bagi yang sesat, menghukum bukan karena benci karena bagi sang adipati yang arif bijaksana, bukan manusialah yang dihukum, melainkan kejahatan untuk memaksa manusianya insyaf sadar dan bertaubat, kembali ke jalan benar. Kebaikan-kebaikan dipuji, dianjurkan, dipupuk, seperti halnya kesenian dan kebudayaan yang serba indah. Kebaikan disamakan dengan keindahan, sehingga kebaikan bukan lagi merupakan perbuatan yang dipamrihi balas jasa dan ingin puji, melainkan menjadi semacam keindahan yang disuka oleh segenap golongan.

Sang Adipati Tejolaksono adalah seorang adipati yang masih muda, baru tiga puluh dua tahun usianya, namun memiliki kebijaksanaan seorang sepuh (tua) yang sepi hawa, artinya sepi daripada hawa nafsu, yang patut menjadi tetuanya masyarakat, yang bekerja bahkan hidup hanya dengan satu pamrlh, yakni mengabdi kepada Hyang Widhi dengan cara menyebar cinta kasih antara manusla, bekerja demi kebahagiaan masyarakatnya, keluarganya, baru dirinya sendiri.

Keadilan dan cinta kasih inilah yang menyinar seperti cahaya matahari merata di antara kawulanya, sehingga menjadi milik semua orang, bahkan meresap menjadi watak semua orang, yaitu, adil dan mencinta sesamanya.

Pagi itu amat indahnya. Matahari bersinar cerah. Pamong tani tidak lagi begitu sibuknya seperti di musim tandur atau panen. Musim tandur baru saja lewat. Padi sudah mulai tumbuh subur. Pekerjaan kaum tani menjadi lebih ringan, hanya menjaga dan merawat agar tanaman mereka tidak kekurangan atau kebanyakan air, tidak terganggu hama dan rumput liar.

Pada hari itu, serombongan orang berkuda keluar dari kadipaten. Dua belas orang perajurit pengawal yang gagah-gagah menunggang kuda, mengiringkan seorang pria yang tarnpan dan gagah perkasa menunggang kuda putih, berpakaian sederhana namun berbeda dengan kedua belas orang pengawal. Inilah Sang Adipati Tejolaksono sendiri, yang seperti kedua belas orang pengiringnya, menyandang sebatang anak panah.

Sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, sang adipati mellrik ke arah sampingnya, di mana terdapat seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menunggang kuda berbulu dawuk. Anak ini biarpun baru berusia sepuluh tahun, namun jelas membayangkan sifat-sifat satria, duduk tegak di punggung kuda seperti seorang ahli dan punggungnya tersandang sebuah busur kecil pula, di pinggang kiri tergantung sebatang pisau bersarung kulit.

Sang adipati tersenyum bahagia melihat puteranya ini. Pagi tadi ketika berangkat, isterinya berkali-kali membekali pesan agar hati-hati menjaga Bagus Seta. Isterinya, yang pagi hari itu kelihatan seperti Dewi Sri yang dipuja-puja rakyatnya untuk memberkahi sawah ladang mereka, yang tak pernah kelihatan berubah, tak pernah bertambah tua sejak menikah, seperti ibu-ibu di seluruh dunia ini amat menyayang puteranya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Masih terdengar ucapan isterinya,

"Kakangmas adipati, sebetulnya Baguseta masih terlalu kecil untuk diajak berburu. Di hutan banyak sekali binatang buas."

"Ah, nimas Ayu, mengapa khawatir? Bagus Seta sudah cukup besar dan dapat menjaga diri, apalagi aku tidak akan membiarkan ia diterkam harimau."

"Ihhh, kakangmas mengapa mengeluarkan kata-kata yang mengerikan Itu?"

"Ha-ha-ha, nimas, lupakah bahwa engkau sendiri sejak dahulu selalu bermain-main di hutan? Lupakah ketIka dahulu kita bermain-main dengan harimau sebesar lembu?”

Ayu Candra, isterinya yang sesuai dengan namanya itu amat cantik seperti bulan purnama, tersenyum dan mengerling manja, dengan kedua pipi kemerahan, mengerling malu-malu kepada para pengawal yang sudah siap mengiringkan junjungan mereka. Kalau mereka berdua di dalam kamar di mana tiada mata lain memandang, biasanya kalau sudah bersikap manja begitu Ayu Candra tentu akan mencubitnya, karena percakapan tentang dahulu tentu akan berlarut-larut menjadi godaan dan senda-gurau, menghidupkan lagi kenangan lama yang membuat isterinya tersipu-sipu malu dan manja.

Dulu, sepuluh tahun yang lalu, sebelum menjadi adipati di Selopenangkep atas pengangkatan sang prabu di Panjalu, dia bernama Jaka Wandiro. Setelah mengalami banyak hal-hal yang hebat, akhirnya ia memperoleh Ayu Candra sebagai isteri dan menjadi adipati (baca cerita Badal Laut Selatan). Dahulu, Ayu Candra sejak kecil ditunangkan dengan Joko Seta yang kemudian gugur dalam perang sehIngga dara itu bebas dan dapat menikah dengannya. Untuk mengenang Joko Seta, seorang satria perkasa yang gugur membela negara, maka putera mereka ini mereka beri nama Bagus Seta. Dan nama ini memang tepat karena semenjak lahirnya, Bagus Seta berkulit putih kuning dan bersih. Hidupnya penuh bahagia! Memang, sang adipati puas dan selalu bersyukur kepada Hyang Widhi, yang telah melimpahkan berkah yang tiada berkeputusan kepadanya.

Di dalam kadipaten, ia merasa seperti di tempat yang aman, tenang, dan menyenangkan selalu. Isterinya setia dan mencintanya sepenuh jiwa raga, dan di samping isteri dan putera mereka, di kadipaten tinggal pula kedua bibinya, yaitu bibi Roro Luhito dan bibi Kartikosari. Roro Luhito adalah adik kandung mendiang ayahnya, dan Kartikosari bibi gurunya, ibu Endang Patibroto. Kedua orang wanita yang kini usianya sudah sekitar empat puluh tahun ini sudah janda, keduanya adalah isteri mendiang guru pertamanya, atau bapak angkatnya yang bernama Pujo, seorang satria utama pendekar perkasa yang oleh sang adipatl dijadikan cermin atau tauladan hidupnya (baca Badal Laut Selatan). Bibinya, Kartikosari, mempunyai seorang puteri yang usianya baru sebelas tahun, bernama Setyaningsih sedang bibinya, Roro Luhito juga mempunyai seorang puteri bernama Pusporini. Mereka ini kedua adik-adiknya, biar baru berusia dua belas tahun, sudah nampak sebagai dara-dara remaja yang cantik jelita, halus budi pekertinya, sopan santun dan ramah budi bahasanya, pandai dalam segala macam kesenian, merupakan calon-calon puteri pilihan yang menjadi kebanggaan kadipaten. Adipati Tejolaksono dan isterinya amat menyayang kedua orang puteri ini yang terhitung adik-adik misan mereka.

Kini rombongan yang menjalankan kuda perlahan-lahan melalui tegalan yang penuh rumput hijau. Tiga ekor kerbau asylk makan rumput yang gemuk hijau dan tebal. Tiba-tiba sang adipati menghentikan kudanya, diturut oleh puteranya dan para pengawal yang tadinya bersenda-gurau dan bercakap-cakap, otomatis juga menghentikan kuda mereka, tidak ada yang bicara lagi, ikut memperhatikan.
Kiranya sang adipati tekun mendengarkan suara orang menembang, suara yang tidak begitu merdu, agak serak Seperti suara orang tua, yang sedang menyanyikan tembang Asmaradana.,

"Nora suwe wong urip iki
lelana ing alam donya
tan rinasa pira lawase
weruh-weruh sugih uwan
nora suwe mesti sirna
cilik gedhe cendhek dhuwur
wekasan mesthi palastra
Suglh mlarat kabeh sami
menang kalah nora beda
yen wis pinasthi wancine
kabeh bali marang asal
mula yen sih doyan sega
ja nuruti hawa nepsu
urip pisan sing sampurna."

Terjemahannya :
"Tidak lama manusia hidup ini... berkelana di dalam dunia... tidak terasa berapa lamanya... tahu-tahu banyak uban... tidak lama tentu lenyap... kecil besar pendek tinggi... akhlrnya tentu mati... Kaya miskin semua sama... menang kalah tiada beda... kalau sudah dipastikan waktunya... semua kembali kepada asal... maka kalau masih suka nasi... jangan menurutkan hawa nafsu... hidup sekalI yang sempurna."
Sang Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk, terharu dalam hatinya.

"Kulup Bagus Seta. Kau mendengar tembang tadi, bukan?"
Anak itu mengangguk. Sejak kecil ia sudah diajar tembang dan kesenian lain.

"Timbang Asmaradana, ayah. Tapi kata-katanya kasar bersahaja."

"Memang, anakku. Kata-kata itu hanyalah kulitnya belaka. Menilai sesuatu lihatlah isi, jangan terpengaruh kulit. Justeru kesederhanaan itulah yang mengharukan. Kau ingat baik-baik, mencari pujangga-pujangga besar tak usah jauh-jauh ke kota raja. Mencari orang bijaksana tak usah dicari di antara orang cerdik pandai. Dia yang mengerti akan hidup, dialah orang bahagia, bijaksana dan berguna. Di dusun-dusun, di tempat-tempat sunyi tempat orang-orang yang oleh orang kota dianggap bodoh, di mana rakyat hidup diselimuti kesederhanaan yang tak dibuat-buat, di sanalah tempat kebijaksanaan dan kebahagiaan, di mana orang hidup tidak menjadi hamba nafsu, di mana orang hidup penuh kebahaglaan karena mereka ini menerima segala apa yang mereka miliki dengan hati puas, dengan hati menerirna, dengan hati tulus mengucap syukur kepada Hyang Widhi, dijauhkan angkara murka dan iri hati. Kelak, kalau engkau sewaktu-waktu berada di kota raja, dan engkau sudah dewasa, kalau engkau terjalin dalam keributan orang-orang yang berebutan keduniawian, kau ingatlah kepada kesederhanaan tembang dan kehidupan di dusun, anakku."

Bagus Seta belum begitu mengerti atau belum dapat menangkap betul arti daripada wejangan ayahnya, akan tetapi para perajurit pengawal yang berada di belakang menundukkan kepala dan di dalam hati terdapat kesan yang dalam.

Seorang kakek yang berpakaian serba hitam, amat sederhana, akan tetapi biarpun kepalanya penuh uban, wajahnya masih kemerahan dan sinar matanya berseri, muncul dari balik rumput di mana tadi ia mengarit. Ketika melihat rombongan sang adipati yang berkuda berhenti di pinggir sawah, tergopoh-gopoh ia menghampiri dan berjongkok menghaturkan sembah. Adipati Tejolaksono tersenyum mengangguk.

"Paman sedang mengarit rumput menggembala kerbau?" tanyanya dengan suara halus dan pandang mata berseri.

"Benar seperti yang paduka katakan, gusti adipati."

"Kerbaumukah itu, paman?"

"Bukan, gusti. Milik anak mantu hamba yang dua ekor, yang seekor kepunyaan anak hamba. Hamba membantu mereka, gusti."

Diam sejenak, pandang mata sang adipati menyelidik, tertarik.
"Paman, maafkan pertanyaanku ini karena, menyangkut penghidupan dan isi hatimu. Bahagiakah hidupmu, paman?"

Kakek itu termenung, agaknya bingung mendengar pertanyaan yang tak pernah disangka-sangkanya ini.

"Bahagia? Apa maksud paduka, gusti? Hamba tidak membutuhkan bahagia itu!"
Sang adipati tertawa bergelak sambil menengadah, memandang angkasa di mana awan putih bergerak seperti domba-domba putih. Ada persamaan antara awan itu dengan kakek ini. Tidak membutuhkan apa-apa, tidak kekurangan sesuatu. Itulah bahagia. Karena tidak mencari maka tidak pernah terluput, karena tidak membutuhkan maka tidak kekurangan. Yang mengejar-ngejar bahagla hanyalah orang pandir.

“Ha-ha-ha!” Adipati Tejolaksono tertawa gembira sampai keluar air matanya. Kemudian ia mengambil dua potong emas dari saku bajunya, memberikannya kepada si kakek sederhana.

"Sesungguhnya engkau tidak kekurangan sesuatu, paman, terimalah hadiahku ini, belikan lagi satu dua ekor kerbau untuk membantu pekerjaan keluargamu."

Kakek itu terbelalak, menerima hadiah itu lalu menyembah, menghaturkan terima kasih kepada junjungannya, akan tetapi sang adipati telah menjalankan kudanya lagi, wajahnya berseri-seri. Kakek yang sederhana itu telah mengajarkannya flisafat hidup yang tak terniIai yang hanya dia seorang yang dapat menikmati dan mengertinya karena selosin perajurit pengawalnya itu saling pandang, tidak mengerti. Bagus Seta hanya bergembira karena kembalI ayahnya melakukan perbuatan yang amat elok, yang menyenangkan hati seorang kakek-kakek sederhana.

Mereka berburu di kaki Gunung Merapi, di mana terdapat sebuah hutan yang amat lebat dan liar, penuh binatang-binatang hutan seperti harimau, kijang, dan lain-lain binatang buruan. Mulailah mereka berburu. Yang diutamakan oleh sang adlpati adalah memburu harimau karena pemburuan ini lebih menggembirakan hati, lebih menegangkan.
Kalau bertemu harimau, pengawal-pengawalnya lalu menggiring dan mengurungnya, kemudian sang adipati akan menghadapinya dengan tangan kosong, membunuhnya dengan pukulan-pukulan maut. Ini merupakan latihan baginya, di samping kegembiraan mendapat kulit dan daging.

Akan tetapl kalau harimau itu terlalu gesit sehingga tidak dapat dikurung, anak panah dipergunakan untuk merobohkannya. Juga kijang dan binatang-binatang yang mempunyal daging lezat dipanah roboh.

Sudah setengah harian mereka memburu binatang akan tetapi hanya berhasil memanah roboh empat ekor kijang. Tidak ada harimau tampak. Hati sang adlpati mulai kesal. Akan tetapl Bagus Seta yang baru pertama kali ini ikut berburu, menjadi gembira bukan main. Permainan ini penuh ketegangan, dan suasana di dalam hutan liar itu menggairahkan hatinya. Dua kali mereka diserang ular-ular besar, sebesar pahanya, akan tetapi dengan cekatan para pengawal memanah ular-ular itu pada leher dan kepalanya. Mereka mengulitinya dan mengambil kulitnya yang berwarna dan bercorak indah.

"Kita masuk ke dalam, masa tidak ada harimau di sana," kata sang adipati penasaran. Para pengawal menurut, sungguhpun di dalam hati mereka khawatir kalau-kalau mereka akan kemalaman pulang. Belum pernah sang adipati berburu sampai bermalam, karena hal ini tidak pernah diperkenankan isterinya, Juga para blbinya.

Sang adipati mengeprak kuda ke dalam hutan yang amat rungkut, diikutl puteranya, kemudian baru para pengawal yang merupakan barisan di kanan kiri dan belakang, terdiri empat orang masing-masing bagian. Hal ini dilakukan untuk dapat cepat bergerak mengurung kalau ada harimau.

Tiba-tiba kuda sang adipatl merIngkik aneh. Wajah sang adipatl berseri, karena ia mengenal watak kudanya, mengenal penciuman kudanya yang tajam terlatih. Harimau, pikirnya. Benar saja, terdengar auman keras yang menggetarkan seluruh rimba raya itu. Bagus Seta tergetar hatinya, mendekatkan kudanya. Mereka semua turun, dan Bagus Seta juga cepat-cepat turun terus mendekati ayahnya, matanya memandang ke kanan kiri karena auman harimau itu menimbulkan gema yang sukar ia terka dari mana datangnya. Seakan-akan di sekelilingnya penuh dengan harimau mengaung-ngaung.

Semua pengawal sudah menyiapkan tombak, lalu mereka menyelinap-nyelinap di antara semak belukar berusaha mengurung harimau yang berada di sebuah gerombolan alang-alang. Mereka mengambil batu, melempari semak-semak itu dan mengeprak-ngeprak dengan tombak, berteriak-teriak. Tak lama kemudian, terdengar pula aum yang dahsyat dan tampaklah kepala seekor harimau gembong yang besar sekali.

Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak, mulut celangap. Sebesar kerbau macan itu, pikirnya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena tegang. la sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak ada rasa takut menyelinap ke dalam hatinya. Sekecil itu ia sudah dapat mempertimbangkan dan menilai keadaan. Betapapun besar dan galaknya macan gembong itu, di situ terdapat dua belas orang pengawal, bahkan terdapat pula ayahnya. Perlu apa takut?

Tiada alasan untuk takut. Maka ia memandang penuh perhatian, ingin melihat dengan mata kepala sendiri kesaktian ayahnya yang sering didengarnya dari dongengan para pengawal, betapa dengan tangan kosong ayahnya sanggup mengalahkan seekor harimau. Kinilah tiba saatnya ia melihat dengan mata kepala sendiri dan mempelajari gerakan-gerakan ayahnya ketika menghadapi macan.

"Dia membawa anaknya …… !" Tiba-tiba Bagus Seta tak dapat menahan kata-katanya yang diucapkan setengah berteriak ketika ia melihat kepala macan itu menunduk lenyap ke dalam semak-semak kemudian tampak lagi dan kini seperti seekor kucing, harimau betina yang besar itu menggigit punggung seekor harimau kecil.

Terlambat sang adipati mencegah puteranya berteriak. Harimau itu kaget, kemudian mengeluarkan suara gerengan dengan kerongkongannya dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melompat jauh ke depan. Seorang pengawal yang menjaga di situ, berusaha menggebah sang harimau kembali ke tengah kurungan dengan menusukkan tombaknya. Akan tetapi harimau yang amat besar itu menggerakan kaki depan menyampok dan ………

"krekkk….!" Tombak itu patah dua dan si pengawal terpelanting. Harimau lalu lari.

"Biar kupanah dia!" Tiba-tiba sang adipati berseru keras. Seruan ini keras dan seperti auman harimau tadi, mendatangkan gema. Si harimau agaknya terkejut, menengok. Pada detik itulah anak panah sang adipati menyambar, semula menyambar ke arah leher dengan amat cepatnya, akan tetapi karena harimau itu menoleh, kini anak panah itu tepat sekali mengenai perut harimau kecil yang digigit punggungnya. Harimau kecil meronta, terlepas dari gigitan induknya, dan harimau yang besar itu melompat cepat lalu menghilang ke dalam rimba, meninggalkan raung yang seperti ratap tangis bunyinya. Bagus Seta sudah lari ke arah harimau kecil yang terpanah, melihat harimau itu berlumur darah dan sudah matl dengan pandang mata penuh sesal. Ayahnya datang menghampiri.

"Rama, mengapa memanah anaknya.... ...... ?" tanyanya, suaranya mengandung kemarahan dan kekecewaan.

Sang adipati menaruh tangannya di atas pundak puteranya.
"Bukan niatku memanah dia, Bagus. Tadinya kuincar leher induknya, akan tetapl harimau itu menoleh dan anak panah mengenai anaknya."

Karena cuaca sudah mulai gelap di dalam hutan itu, sang adipati lalu mengajak rombongannya pulang. Mereka menunggang kuda mereka dan biarpun sang adipati tidak memperoieh seekor harimau besar sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi rombongan itu tetap gembira karena kijang-kijang dan kulit dua ular besar itu lumayan juga. Sate daging kijang amat lezat, tidak kalah oleh sate daging kambing.

Tiba-tiba terdengar auman yang luar biasa dahsyatnya. Auman yang jauh lebih dahsyat daripada auman harimau tadi. Dan kali ini, auman ini membuat semua kuda, termasuk kuda sang adipati, gemetar dan meringkik ketakutan, berdiri di atas kaki belakang dan bahkan beberapa ekor kuda tunggangan pengawal lalu meloncat dan kabur. Kuda tunggangan Bagus Seta juga berdirl di atas kaki belakang, meringkik-ringklk dan meloncat jauh sambil meringkik terus ketakutan. Bagus Seta yang secara tiba-tiba dlbawa lari itu, hampir terlempar jatuh, dan cepat-cepat ia mendekam di atas kudanya, memegangi kendali eret-erat dengan kedua tangannya. Akan tetapl ia sama sekall tidak mampu lagi menguasai kudanya.

"Bagus.......... ! Bagus..........!” Adipatl Tejoleksono berterlak memanggil, namun karena Bagus Seta tak dapat menguasai kudanya, anak itu hanya berteriak-teriak,

"Ayah.......... ! Ayah.......... !!"

Para pengawal juga bingung karena kuda mereka semua menjadi binal, apalagi ketika suara auman itu terdengar kembali, membuat kuda mereka semua kabur ke pelbagai jurusan tanpa dapat dicegah. Sang adipati yang mengkhawatirkan puteranya segera melompat turun dari atas kuda, meninggalkan kuda yang tak dapat dikuasai lagi itu lalu berlari cepat melesat di antara semak belukar. Kuda putih itupun lari sambil meringkik-ringkik. Akan tetapl kuda tunggangan Bagus Seta sudah tak tampak dan dengan hati gelisah sang adipati terus mengejar, mengerahkan ajinya berlarl cepat. Sang adipati memiliki Aji Bayu Sakti yang amat hebat, akan tetapi karena hutan itu amat liar, penuh semak belukar, dan ia tidak tahu ke mana larinya kuda puteranya, ia harus menyusup-nyusup dan menyelinap-nyelinap dengan hati tidak karuan rasanya.

Kuda tunggangan Bagus Seta berlari terus, jauh dari tempat tadi. Tiba-tiba dari gerombolan semak belukar muncul seekor harimau yang amat luar blasa. Harimau ini amat besar, hampir setinggi kuda itu sendiri, berdiri menghadang sambil menggereng. Gerengannya tidak nyarIng, akan tetapi bumi terasa tergetar. Kuda itu berhenti seketika, ngoplok (menggigil kakinya) dan lumpuh seketika, tidak mampu lari lagi, hanya mengeluarkan suara meringkik seperti orang merintih. Melihat harimau yang amat besar dan berbulu panjang putih ini, Bagus Seta juga merasa takut. Baru kali ini ia merasa takut, karena ayahnya tidak berada di situ, karena ia seorang diri harus menghadapi harimau yang amat luar biasa ini. Namun darah pendekar mengalir kencang di tubuhnya. Ketika kudanya lumpuh dan mendeprok roboh, ia meloncat turun dan mencabut pisau belatinya. Anak berusia sepuluh tahun ini berdiri tegak, memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan ayahnya, pisau belati di tangan kanan, slap menghadapi terjangan harimau putih yang besar sekali itu! Pantang menyerah sebelum kalah.

Macan putih itu berdiri memandang, agaknya terheran, kepalanya miring ke kanan kemudian ke kiri, lalu membuka, mulutnya yang besar memperlihatkan gigi yang besar-besar panjang dan kuat meruncing, lidahnya merah kasar dan kumisnya yang kaku bergerak-gerak tertarik kulit bibir atas yang menaik. Kemudian terdengar suara gerengannya; gerengan yang membuat tanah yang terpijak kaki Bagus Seta tergetar, yang membuat daun-daun pohon di atasnya yang sudah menguning tua, rontok melayang-layang. Namun Bagus Seta tidak menjadi gentar, bahkan melangkah maju, mengatur kuda-kuda dan mencari akal bagaimana untuk dapat mengatasi bahaya yang mengancam ini.
Tiba-tiba ia teringat akan busur dan anak panah yang tersandang di punggung. Tangan kirinya perlahan-lahan merayap, bergerak ke punggung, akan tetapi pandang matanya tak pernah terlepas dari kepala harimau dan pisau belati masih terpegang erat-erat di tangan kanan. Ia berhasil mengambil busur dan anak panah dengan tangan kini, kemudian tangan kanannya membantu memasangkan anak panah pada busur, pisau belati digigitnya agar sewaktu-waktu mudah ia pergunakan. Kini ia menghadapi harimau dengan busur terpentang dan anak panah siap diluncurkan.

Harimau itu setelah memandang sejenak tanpa berkejap mata, kini melangkah maju, langkah seenaknya dan sama sekali tidak bersikap untuk menerkam. la melangkah menghampiri Bagus Seta yang tentu saja segera menarik busur sampai melengkung dan begitu jarak antara dia dan macan putih itu tinggal tiga meter lagi, ia melepas anak panahnya! Busur dan anak panah itu memang kecil, akan tetapl Bagus Seta sudah terlatih baik busur itupun buatan seorang ahli dan anak panahnya yang runcing dibungkus timah ujungnya.

"Singggg.......... !!" Dengan cepat sekali anak panah menyambar ke arah muka harimau, antara kedua matanya. Kalau tepat mengenai sasarannya, tentu akan celaka harimau itu! Akan tetapi ternyata harimau itu hebat sekali. Ia menggereng lagi dan kaki depan kiri diangkat, bergerak cepat menyampok ke depan dan……. anak panah itu dapat ditangkap dalam cengkeramannya!

Bagus Seta tertegun! Dl antara para pengawal ayahnya yang gagah perkasa sekalipun tidak ada yang mampu melakukan ini. Hanya ayahnya dan eyang putri Kartikosari saja yang mampu menangkap anak panah terbang. Tapi harimau ini dapat! Bukan main!
Harimau itu melemparkan anak panah kemudian melangkah maju terus, menghampiri Bagus Seta. Anak ini melempar busurnya, memegang pisau belatinya dan membentak,
"Pergi.......... ! Pergilah kau, macan!!"

Ketika harimau itu menghampiri terus, Bagus Seta bertekad melakukan perlawanan sedapat mungkin. Ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya menerjang harimau itu, tangan yang memegang pisau bergerak menusuk ke arah leher harimau itu . Akan tetapi sekali lagi harimau putih itu mengangkat kaki depan yang kiri, menangkis dan.......... pisau itu terlempar,..........Bagus Seta terpelanting. Ia meloncat berdiri akan tetapi sebuah tamparan kaki harimau mengenai lehernya, membuat anak Itu roboh dan pingsan. Baiknya si harimau putih tidak mengulur kukunya ketika menampar, maka leher anak itu tidak terluka. la hanya pingsan oleh kerasnya tamparan.

Harimau itu mengendus-endus, mencium-cium dengan hidungnya pada muka Bagus Seta, kemudian membuka rahangnya, mendekati kepala anak itu dan.......... menggigit punggung baju Bagus Seta, diangkatnya kemudian dibawanya lari dari situ. Kalau Bagus Seta tidak pingsan dan dapat menyaksikan hal ini, tentu ia akan teringat akan anak harimau yang tadi dibawa induknya dengan cara seperti ini pula, digigit punggungnya!
Harimau putih yang menggondol tubuh Bagus Seta ini kini berlari cepat sekali keluar dari hutan dan terus mendaki gunung. Pada saat itu, Adipati Tejolaksono berada di atas sebuah pohon yang tinggi, meneliti keadaan sekelilingnya dengan pandang matanya, mukanya penuh kekhawatiran. Tadi ia mendengar gerengan-gerengan harimau yang bergema menggetar di seluruh hutan, dan ketika ia mengejar lebih jauh, ia melihat busur, anak panak, dan pisau belati puteranya menggeletak di atas tanah.
"Bagus Seta.......... !!" Ia mengerahkan suaranya memanggil, namun tiada jawaban.
Hatinya gelisah dan akhirnya ia meloncat ke atas pohon, memanjat ke pucuk dan dari tempat tinggi mencari-cari. Akhirnya tampak olehnya bayangan putih itu berlari mendaki bukit, menggondol tubuh puteranya.

"Duh Jagad Dewa Bathara.......... !" Ia berseru terkejut, melayang turun dari atas pohon dan mengerahkan seluruh aji kesaktiannya untuk lari mengejar ke arah Iarinya harimau yang dilihat dari atas tadi. Dengan jantung berdebar ia berdoa semoga Hyang Widhi melindungi puteranya. Teringat akan hasil panahnya tadi yang mengenai harimau kecil yang digondol induknya, ia cepat membuang busur dan anak panahnya. Ia tidak akan memanah harimau itu, khawatir kalau-kalau mengenai tubuh puteranya sendiri. Di tangannya terpegang sebatang tombak dan ia berlari makin kencang.

Ketika ia mengejar sampai di lereng gunung, hari telah mulai senja. Dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatirnya ketika di luar sebuah hutan kecil ia melihat harimau putih yang besar sekali itu mendekam, tubuh Bagus Seta tak bergerak-gerak rebah menelungkup di depan binatang itu. Saking gelisah, sang adipati tidak melihat adanya bayangan putih yang berdiri tak jauh di sebelah depan harimau itu, teraling pohon. Cepat ia memasang kuda-kuda, mengambil sasaran lalu tombaknya dilontarkan dengan pengerahan tenaga mengarah leher harlmau yang sedang mendekam.
Tombak meluncur melebihi kecepatan anak panah, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar, menuju leher harimau dengan ketepatan yang tak diragukan lagi. Betapapun pandai dan sigapnya sang harimau, tak mungkin dapat mengelak dari sambaran tombak seperti ini. Dan agaknya tombak itu pasti akan mengena sasaran kalau saja tidak terjadi hal yang mujijat. Akan tetapi terjadilah hal yang mujijat itu. Kurang beberapa centimeter lagi ujung tombak mengenai sasaran leher harimau, tiba-tiba sinar putlh yang kecil hamper tak tampak menyentuh tombak dan.......... tombak itu menyeleweng dan menancap ke dalam tanah, ambles sampai setengahnya lebih!

Adipatl Tejolaksono terkejut. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan harimau yang berbulu putih, apalagi harimau yang pandai ilmu slhlr sehingga tanpa bergerak mampu menangkis serangan tombaknya. Ia menjadi makin marah saking gelisahnya melihat keadaan Bagus Seta yang ia tIdak tahu maslh hidup ataukah sudah mati, kegellsahan wajar seorang ayah melihat puteranya dalam bahaya. Cepat bagaikan elang menyambar, tubuhnya sudah melesat dan mencelat ke arah harimau putih, pukulan Pethit Nogo sekuatnya berada dalam pukulan itu menyambar kepala harimau, dan mulutnya berseru,

"Macan keparat, berani kau mengganggu puteraku?"

"Desss.......... !!!" Hebat bukan main pukulan Pethit Nogo itu dan tepat bertemu dengan benda putih, akan tetapi yang terang bukan kepala macan karena ketika Sang Adipati Tejolaksono memandang, macan itu tetap mendekam seakan-akan tidak merasakan sama sekali hantamannya yang begitu hebat.
Ia mengangkat muka dan melihat seorang kakek tua renta berambut panjang putih berdirl di depannya, maka mengertilah ia bahwa kakek ini yang telah rnenangkis tombak dan pukulannya. Kakek ini mengenakan kain putih bersih yang dikelit-kelitkan di tubuhnya, memegang sebatang tongkat bamboo kuning gading, kakinya telanjang, kepalanya juga telanjang, alis, dan jenggot kumis semua putih, akan tetapi kulit mukanya segar kemerahan seperti muka seorang pemuda remaja dan sepasang matanya begitu bening dan terang seperti sepasang mata anak kecil.

"Orang muda yang perkasa! Kalau boleh aku bertanya, mengapa andika hendak membunuh harimau ini?"

Sebelum menjawab, sang adipati mengerling ke arah puteranya yang masih rebah menelungkup. Dia seorang ahli maka sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa puteranya tidak terluka, juga sama sekali tidak mati, mungkin hanya pingsan saja. Keadaannya seperti orang tidur. Hatinya lega dan kembali ia memperhatikan kakek itu. Ia maklum sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan orang sakti mandraguna, yang entah bagaimana tadi sudah sanggup menangkis pukulannya Pethit Nogo. Akan tetapi karena kakek ini membela harimau, maka ia anggap sebagai musuhnya.

"Kakek tua," jawabnya, suaranya juga halus akan tetapi mengandung penasaran, "tentu saja aku hendak membunuh harimau keparat ini karena dia telah menggondol pergi dan hendak membunuh anakku."

Kakek itu mengulum senyum, wajahnya ramah sekali akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh wibawa.

"Orang muda, mengapa andika hendak membunuhnya? Tidak bolehkah ia menggondol puteramu, bahkan hendak memangsanya?"

"Tentu saja tidak boleh! Sebagai seorang ayah aku harus melindungi puteraku, dan harimau yang jahat ini harus dibunuh!"
Kakek itu tertawa, ketawanya halus dan nyaring, wajar tidak dibuat-buat.

"Ahhh, apakah artinya jahat, orang muda? Lebih tepat disebut bodoh, akan tetapi siapakah yang lebih bodoh antara harimau ini dengan andika? Kalau andika bicara tentang kejahatan, andlkalah orangnya yang jauh lebih jahat daripada harimau ini.”
Adipati Tejolaksono menjadi marah dan penasaran sekali. Ia menatap tajam wajah orang tua itu, dan berkata,

"Agaknya karena andika berbaik dengan harimau keparat ini, andika hendak membelanya! Apa maksud andika mengatakan aku lebih jahat daripada binatang ini?" Sikap sang adipati menantang, siap untuk bertarung melawan kakek sakti ini.

Akan tetapi kakek itu tidak marah, hanya pandang matanya tajam menusuk.
"Orang muda; kemanakah perginya rasa keadilanmu? Baru saja andika telah membunuh anak harimau ini dan andika sama sekali tidak merasa bersalah, kini, harimau ini baru menggondol pergi puteramu, andika sudah marah-marah hendak membunuhnyal"
Adlpatl Tejolaksono terkejut sekali.Ia memandang harimau itu yang masih mendekam dan mengertilah ia. Harimau itu tentulah harimau jantan yang menjadi bapak dari harimau kecil yang dipanahnya tadi. Sejenak ia termangu, akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 010 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment