Ads

Tuesday, January 29, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 014

<<== Kembali <<==

DARI Adipati Menak Linggo sampai semua hulubalang, terutama sekali Raden Sindupati, semua amat menghormat dan ramah tamah kepadanya sehingga Endang Patibroto sama sekali tidak menyangka bahwa di belakang punggungnya, sang adipati seringkali berkasak-kusuk membuat rencana-rencana jahat dengan para pembantunya dan terutama sekali Raden Sindupati yang diserahi tugas untuk "membereskan" Endang Patibroto.

"Menurut pendapat hamba, kita harus dapat menarik keuntungan sebanyaknya dari wanita iblis itu," demikian antara lain Sindupati mengemukakan siasatnya kepada sang adipati, "pertama-tama kita harus membiarkan dia menggembleng dan melatih pasukan Blambangan, kemudian setelah waktunya tiba, barulah diusahakan pembunuhan atas diri iblis betina itu untuk membalas dendam paduka. Hamba sanggup melakukan hal itu, malah................ malah menurut pendapat hamba, ada cara untuk membalas dendam yang lebih memuaskan hati, yang lebih hebat daripada membunuhnya begitu saja."

"Heh-heh, cara bagaimana itu, senopatiku yang baik?"

Wajah tampan Sindupati tersenyum, matanya mengerling penuh arti.
"Paduka tentu dapat mengira sendiri apa yang lebih hebat bagi seorang wanita!"

Sejenak adipati itu merenung, mengangkat alis, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Huah-ha-ha-ha-ha, dasar kau tak boleh melewatkan batuk kelimis (wanita cantik) begitu saja. Aku mengerti......... ha-ha-ha-ha, aku mengerti......... , memang dia hebat, denok ayu seperti puteri Bali. Ha-ha-ha!"

Beberapa pekan kemudian, Blambangan kedatangan seorang yang wajahnya tampan namun membayangkan kebodohan seorang dusun. Laki-laki ini usianya tiga puluhan tahun, pakaiannya sederhana sekali, pakaian petani yang miskin. Wajahnya biarpun tampan tampak bodoh, terutama sinar matanya yang seperti orang bingung. Laki-laki ini memasuki kota raja dan menawarkan tenaga kepada siapa saja yang suka memberinya makan.

Akhirnya, pada suatu hari ia diterima menjadi tukang pemelihara kuda karena ia rajin dan pandai mencari rumput-rumput gemuk. Seorang perwira menerimanya dan menempatkannya di kandang kuda di mana dipelihara empat puluh ekor kuda tunggangan para perwira Kerajaan Blambangan. Laki-laki ini pandai sekali memelihara kuda dan semua kuda yang bagaimana binal sekalipun selalu menurut kalau dituntun dan dibersihkan tubuhnya oleh Sutejo, laki-laki ini.

Dari pagi sampai petang Sutejo bekerja giat dan rajin, mencari rumput, memberi makan kuda, membersihkan mereka, dan membersihkan pula kandang. Para perwira suka kepada pelayan baru ini yang mengaku berasal dari dusun Cempa di kaki Gunung Tengger.

Akan tetapi kalau malam tiba, lewat tengah malam pada saat semua orang sudah tidur, tampak bayangan hitam berkelebat ke atas atap kandang dan kemudian lenyap ditelan kegelapan malam untuk kemudian berkelebatan pula di atas atap istana! Dialah Sutejo si tukang kuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro atau lebih tepatnya sekarang bernama Tejolaksono, adipati di Selopenangkep!

Seperti telah kita ketahui, Tejolaksono melakukan perjalanan ke Blambangan dan di tengah jalan la bertemu dengan Ki Brejeng yang membuka rahasia segala peristiwa yang terjadi di Jenggala dan Panjalu. Ia melakukan perjalanan untuk mengejar dan mencari Endang Patibroto yang menurut Ki Brejeng, telah ikut bersama rombongan pasukan Blambangan menuju ke Blambangan di mana tersedia perangkap untuk mencelakakan Endang Patibroto. Setibanya di daerah Blambangan, Tejolaksono lalu menitipkan kudanya pada seorang penduduk gunung, kemudian ia berjalan kaki memasuki kerajaan atau Kadipaten Blambangan dengan menyamar sebagai seorang petani bodoh yang mencari pekerjaan ke kota raja.

Dapat dibayangkan alangkah heran dan cemas hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa Endang Patibroto kini telah menjadi seorang senopati besar dari Blambangan! Ah, Endang......... Endang …….. pikirnya di hati, mengapa sampai sekarang engkau masih seperti dulu juga? Mengapa sudi menjadi Senopati Blambangan dan metnbiarkan dirimu tertipu? Ia makin cemas karena tidak mendengar akan diri Pangeran Panjirawit! Menurut penyelidikannya, Endang Patibroto datang ke Blambangan.bersama dengan pasukan dan tanpa Pangeran Panjirawit suaminya yang telah dibebaskannya dari penjara lenggala. Apa artinya ini? Ia mendengar pula penuturan beberapa orang perwira tentang sepak terjang senopati wanita itu yang telah mengalahkan para senopati gemblengan dari Blambangan dan kini diperbolehkan tinggal di dalam istana Sang Adipati Menak Linggo sendiri!
Sudah beberapa malam ia melakukan penyelidikan ke istana, namum belum juga ia mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Endang Patibroto. Dalam penyamarannya sebagai tukang kuda seperti sekarang ini, tentu saja tidak mungkin baginya untuk berjumpa secara berterang dengan Endang Patibroto, bahkan di waktu senopati wanita itu melatih pasukan di alun-alun, iapun hanya dapat menonton dari jauh saja. Hatinya terharu kalau melihat wanita itu dari jauh. Tidak banyak perubahan dalam bentuk tubuh wanita itu, pikirnya. Masih langsing dan cantik jelita, tangkas seperti dahulu! Makin, trenyuh hatinya kalau mengenangkan nasib wanita itu dan makin besar keinginan hatinya untuk segera dapat berbicara dengan Endang Patibroto. Akan tetapi jangan sampai diketahui orang lain di Blambangan karena hal itu akan menjadi berbahaya sekali.

Malam itu ia sudah mengambil keputusan bulat untuk memasuki kamar Endang Patibroto. Sebagaimana lajimnya tempat tinggal seorang senopati, rumah di samping istana itu terjaga oleh para pengawal. Ia harus menemui Endang dan kalau perlu, ia akan menggunakan aji penyirepan atau kalau terpaksa akan merobohkan para. pengawal.

Dengan aji keringanan tubuh Aji Bayu Sakti, bagaikan seekor burung garuda saja Tejolaksono berlontatan di atas atap istana yang amat tinggi. Andaikata secara kebetulan ada penjaga yang melihatnya, tentu penjaga itu akan mengira bahwa yang dilihatnya adalah bayangan burung malarn atau kalong, demikian cepatnya bayangan itu berkelebat. Tak lama kemudian Tejolaksono sudah berada di atas sebuah bangunan mungil yang menjadi tempat tinggal Endang Patibroto. Ia mengintai dari atas dan melihat dua orang pengawal peronda. Tanpa melalui dua orang pengawal ini; tak mungkin ia dapat turun mencari kamar Endang Patibroto, pikirnya. Maka cepat ia menyambar dari atas, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengawal itu roboh pingsan tanpa mereka tahu mengapa mereka begitu! Cepat sekali pukulan Tejolaksono tadi menampar di belakang telinga dua orang pengawal.

Kemudian Tejolaksono berindap-indap menyelinap ke pinggir bangunan dan tiba-tiba ia mendengar isak tertahan. Cepat ia menyelinap dekat dan mengintai dari celah-celah daun jendela. Dilihatnya Endang Patibroto menelungkup di atas pembaringan sambil menangis! Yang tampak hanyalah belakang tubuh wanita itu, pinggulnya yang menyendul dan pundaknya yang bergerak-gerak ketika terisak-isak memeluk bantal. Tejolaksono terpaku seperti berubah menjadi arca. Endang Patibroto menangis! Selama hidupnya belum pernah ia melihat Endang Patibroto menangis. Gadis yang dahulu menantang maut dengan keberanian yang tiada taranya, gadis yang keras hati keras kepala, yang berhati baja, kini menangis terisak-isak memeluk bantal seperti kebiasaan wanita-wanita cengeng. Apa artinya ini?

Namun, biarpun agaknya Endang Patibroto telah kehilangan kekerasan hatinya, jelas bahwa kewaspadaannya tidak berkurang. Hal ini diketahui terlambat oleh Tejolaksono ketika tiba-tiba dari dalam kamar itu, dari arah pembaringan Endang Patibroto, menyambar sinar terang menuju ke arah jendela, menerobos celah jendela dan tentu akan tepat mengenai muka Tejolaksono yang mengintai tadi kalau saja dia tidak cepat miringkan muka dan mengulur tangan menyambar benda bersinar itu yang ternyata adalah sebatang anak panah. Panah tangan beracun senjata rahasia Endang Patibroto yang dahulu amat ditakuti lawan! Senjata rahasia ini pulalah yang dahulu pernah melukai Ayu Candra, isterinya (baca Badai Laut Selatan)! Tejolaksono terkejut dan hendak melompat ke dalam memperkenalkan diri, akan tetapi dari dalam kamar itu sudah terdengar bentakan suara Endang Patibroto,

"Pengawal! Tangkap penjahat!!"

Adipati Tejolaksono hendak melompat ke atas atap, akan tetapi tiba-tiba menyerbulah tiga orang pengawal. Dia cepat melompat ke tempat gelap dan seketika tiga orang pengawal itu menyerbu dengan senjata di tangan, ia mendorong dengan kedua tangan ke depan, melakukan pukulan jarak jauh. Tiga orang itu terpelanting roboh. Tejolaksono cepat menghampiri seorang di antara mereka dan dengan .cepat ia menampar dada orang itu dengan......... Pethit Nogo, dengan tenaga sedemikian rupa sehingga pukulan ini tidak mematikan orang, melainkan hanya meninggalkan bekas tapak lima buah jari tangan yang menghanguskan baju dan menembus kulit sehingga pada dada orang itu kini terdapat tanda tapak tangannya! Dia sengaja melakukan hal ini untuk memperkenalkan diri kepada Endang Patibroto. Ramailah suara para pengawal, akan tetapi ketika mereka menyerbu ke situ, Adipati Tejolaksono telah tiada. Tak seorangpun sampai melihat wajahnya, bahkan Endang Patibroto sendiripun tidak sampai melihatnya. Untung Endang Patibroto yang tidak ingin terlihat orang lain bahwa ia habis menangis itu, terlambat keluar karena harus mencuci muka lebih dulu.

Endang Patibroto tadinya terheran-heran mendapat kenyataan bahwa ada seorang maling yang dapat menghindarkan diri daripada anak panah tangan, senjata rahasianya yang ampuh itu. Bukan hanya dapat mengelak, bahkan dapat menangkap dan merampas anak panah tangan itu karena buktinya anak panahnya lenyap tak berbekas. Akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat tapak lima jari tangan di atas dada seorang pengawalnya. Aji Pethit Nogo! Dan sekaligus ia dapat menduga siapa orangnya yang mengintai kamarnya tadi, Joko Wandiro! Siapa lagi kalau bukan pria yang sakti mandraguna, musuh besarnya semenjak ia kecil itu?

Apa maunya Joko Wandiro datang ke Blambangan dan mencarinya? Di dalam kamarnya, Endang Patibroto termenung. Ia tahu bahwa Joko Wandiro kini telah diangkat menjadi Adipati Tejolaksono, adipati di Selopenangkep yang termasuk wilayah Panjalu. Hemmm, tak salah lagi, tentulah ini kehendak sang prabu di Panjalu, atau mungkin si keparat Pangeran Darmokusumo yang memerintahkan Adipati Tejolaksono untuk mengejar dan mencarinya.

"Setan kau Joko Wandiro," gumamnya gemas di dalam hatinya. "Kau datang hendak menangkap aku? ,Hemm, kaukira aku takut kepadamu, keparat!"

Ia teringat bahwa Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono itu hidup bahagia, demikian berita yang pernah ia dengar dari suaminya, hidup di samping isterinya yang tercinta, Ayu Candra! Masih teringat ia akan Ayu Candra, masih ada rasa tidak suka mernbara di hatinya kalau ia teringat akan Ayu Candra.

Tidak suka yang timbul karena sebab yang ia sendiri. tidak tahu mengapa. Mungkin karena iri hati? Pernah ia dahulu mengira, atau mengharapkan? Mengira bahwa Joko Wandiro mencinta dirinya. Joko Wandiro yang oleh mendiang ayahnya telah dijodohkan dengannya. Kemudian Joko Wandiro malah mencinta Ayu Candra dan menjadi suami Ayu Candra. Hal ini sebetulnya sama sekali terlupa olehnya ketika ia masih berdampingan dengan suaminya.Tidak perduli itu semua selama suaminya masih berada di sampingnya. Akan tetapi, sekarang suaminya telah tiada! Dan JokoWandiro masih berdua dengan Ayu Candra! Endang Patibroto tidak dapat menahan air matanya yang panas membasahi pipinya. Keparat Ayu Candra! Keparat Joko Wandiro! Sekarang datang hendak menangkapnya? Boleh coba!

"Keparat, jangan lari kau!!" Tiba-tiba Endang Patibroto yang marah sekali tak dapat lagi menahan kemarahannya. Tubuhnya melesat keluar dari jendela dan tak lama kemudian tampaklah bayangannya, berkelebat di atas atap-atap rumah di sekitar Kerajaan Blambangan. Dia mencari-cari sampai hampir pagi tanpa hasil sehingga ia menjadi makin mendongkol dan gemas.

Tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dari bawah dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang tampan. Endang Patibroto sudah siap irienerjangnya, akan tetapi ia menjadi lemas lagi ketika melihat bahwa yang datang bukanlah Adipati Tejolaksono melainkan Sindupati yang sudah membawa sebatang keris telanjang di tangannya.

"Aku......... aku mendengar tentang penyerbuan orang jahat di tempatmu...... , aku khawatir kalau-kalau andika akan rnengalami celaka maka cepat-cepat mencari ketika tak dapat mendapatkan andika di istana. Adinda Dewi......... , tidak apa-apakah andika......... ?"

Raden Sindupati cepat melangkah maju dan menangkap tubuh Endang Patibroto yang terhuyung-huyung dan memegang dahi dengan tangan kirinya. Wanita ini menjadi pening karena terlalu berduka bercampur marah dan kecewa menjadi satu, ditambah lagi tidak tidur sernalam suntuk dan lelah. Kedukaan hampir membuat Endang Patibroto hampir pingsan dan pada saat seperti itu, setiap kata-kata halus yang menghiburnya membua hatinya trenyuh. Sejenak ia rnembiarka dirinya dirangkul pundaknya dan ia menyandarkan kepalanya di atas pundak Raden Sindupati. la membutuhkan hiburan dan kawan pada saat seperti itu dan karena selama ini sikap Sindupati amat baik terhadap dirinya, halus dan ramah penuh kesopanan, ia menganggap orang ini sebagai seorang sahabat. Ia terisak perlahan dan baru ia sadar ketika merasa betapa tangan Sindupati dengan halus dan mesra membelai rambut kepalanya. Begitu sadar.. ia merenggut lepas dari pelukan, akan tetapi tidak terlalu kasar karena ia tidak ingin menyinggung orang yang sudah begitu baik terhadap dirinya. Ia cukup maklum melihat sikap Sindupati selama ini bahwa senopati ini diam-diam mencinta dirinya.

"Ahhh......... , maafkan......... aku......... aku sejenak kehllangan akal......... " katanya menahan isak.

"Kasihan engkau, diajeng. Engkau telah banyak menderita. Kalau saja aku bisa mendapat kehormatan untuk menghibur......... ah, aku bersedia mengorbankan nyawaku untuk mengusir kedukaanmu. Diajeng Endang Patibroto, apakah yang telah terjadi? Aku tadi mendengar dari para pengawal bahwa ada orang jahat menyerbu tempat tinggalmu dan kemudian melarikan diri. Melihat engkau tidak berada di sana, aku tahu bahwa engkau mengejar penjahat itu lalu menyusul dan mencari. Apakah diajeng tidak dapat menangkapnya?"

Merah kedua pipi Endang Patibroto mendengar senopati ini menyebutnya diajeng. Akan tetapi ia tidak marah dan hanya menghela napas panjang. Diam-diam ia merasa kasihan kepada orang ini yang mencintanya dengan sia-sia. Sia-sia belaka karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia membalas perasaan itu.

"Aku tidak dapat menangkapnya, akan tetapi aku tahu atau dapat menduga siapa orangnya."

"Ah......... begitukah? Siapakah dia gerangan?" la tertarik sekali karena merasa terheran-heran. Di seluruh Kerajaan Blambangan, kiranya hanya sang adipati saja yang menganggap wanita sakti dan jelita ini sebagai musuh besar yang harus dibunuh. Dan yang tahu akan hal ini hanyalah dia, Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo dan kedua kakak beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Siapa lagi yang mempunyai niat buruk bahkan berani menyerbu tempat kediaman ini?

"Hanya dugaanku saja, akan tetapi aku sendiri masih ragu-ragu.........”

"Engkau agaknya kurang sehat. Tidak baik berdiam di sini. Marilah kita kernbali dan bicara yang enak di gedungmu, diajeng. Percayalah, siapapun adanya si keparat itu, aku Sindupati akan menyediakan segenap jiwa ragaku untuk membelamu dan menangkap orang itu sampai dapat."

Diam-diam Endang Patibroto tertawa di dalam hatinya. Kalau betul dugaannya bahwa orang itu adalah Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono, jangankan baru Sindupati seorang, biarpun dikerahkan semua senopati di Blambangan, tak mungkin akan dapat menangkapnya! Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu dan menurut saja diajak pulang. Mereka melompat turun dari atas atap lalu berjalan berdampingan menuju ke istana.

Ketika tiba kembali di gedung tempat tinggal Endang Patibroto, para pengawal yang dirobohkan pingsan tanpa mereka tahu apa yang terjadi bersama tigat orang pengawal yang bertanding melawan "penjahat" itu dipanggil menghadap. Setelah mendengar cerita mereka yang aneh, yaitu bahwa penjahat itu amat sakti, sehingga mereka keburu roboh tanpa diberi kesempatan melihat wajahnya. Endang Patibroto lalu menyuruh pengawalnya yang terpukul itu membuka baju sehingga dadanya yang terdapat tanda tapak lima jari tangan itu tampak nyata seperti dibakar besi panas! KemudIan Endang Patibroto menyuruh para pengawal itu mundur dan dia berkata kepada Raden Sindupati.

"Kau melihat sendiri, raden. Tanda tapak lima jari tangan di dada pengawal tadi adalah tanda bekas pukulan Pethit Nogo. Seperti ini!" Endang Patibroto mengayun telapak tangan kirinya menghantam lantai, perlahan sekali dan tampaklah jelas tapak jari tangannya di lantai batu itu!

"Aihhh......... ! Kalau begitu sama dengan aji pukulan yang dimiliki diajeng...........!"

Endang Patibroto mengangguk.
"Benar begitu, dan karena itulah maka aku dapat menduga siapa adanya orang itu."

"Siapa, diajeng Endang Patibroto?"

"Di dalam dunia ini, yang mempunyai ilmu pukulan itu hanya dua orang, aku sendiri dan adipati di Selopenangkep, Adipati Tejolaksono."

Biarpun belum pernah bertemu dengan Adipati Tejolaksono, namun Raden Sindupati sudah mendengar tentang Adipati Selopenangkep yang sakti mandraguna itu, maka berubahlah air mukanya ketika berseru,

"Yang dahulu bernama Joko Wandiro.........”

"Betul, dialah orangnya, dan aku merasa yakin akan hal ini."

"Tapi.......... tapi......... mengapa.......?" Sindupati terheran, "Apakah dia musuhmu, diajeng?"

"Dahulu memang musuh besarku, akan tetapi selama sepuluh tahun di antara kami tidak ada permusuhan, tidak ada hubungan apa-apa lagi." Ia diam sebentar, termenung. Memang tidak ada permusuhan di antara mereka. Bagaimana bisa bermusuh? Ibunya sendiri, ibu kandungnya, tinggal bersarna Adipati Tejolaksono! "Agaknya......... aku tahu bahwa dia tentulah menjadi utusan Kerajaan Panjalu untuk mencariku, menangkapku atau membunuhku......... “

Raden Sindupati meloncat bangun dari kursinya, wajahnya yang tampan menjadi merah padam, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

"Babo-babo ' Si keparat Tejolaksono! Berani dia datang Seorang diri di Blambangan dengan niat yang begitu keji? Mernbunuhmu? Huh, harus dapat menyempal bahuku kanan harus melangkahi mayat Sindupati dahulu baru dapat menyentuh ujung rambut Endang Patibroto!"

Endang Patibroto tersenyum pahit. Ia terharu menyaksikan tingkah pria ini, tingkah seorang yang menjadi korban asmara, akan tetapi alangkah lucunya kalau pria ini hendak menantang kesaktian Joko Wandiro! Dia sendiri sudah beberapa kali harus mengakui keunggulan Adipati Selopenangkep itu.

"Raden Sindupati, dia itu amat sakti mandraguna, tidak mudah dikalahkan."

"Aku tidak takut! Diajeng Endang Patibroto, lihatlah sinar mataku, lihatlah wajahku. Masih tidak percayakah adinda bahwa aku akan membelamu dengan mernpertaruhkan seluruh jiwa ragaku? Akan kukerahkan seluruh pasukan Blambangan! Biar Tejolaksono bersekutu dengan dewa sekalipun, tak mungkin dia dapat menandingi pasukan Blambangan seorang diri saja!"

Endang Patibroto menghela napas panjang. Sukar berdebat dengan orang yang sudah mabuk cinta. Ia tidak tega untuk membuyarkan harapan, merusak hati laki-laki ini. Masih banyak waktu untuk membuka mata Sindupati kelak bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya. Tidak mungkin ! Wajah suaminya tak pernah meninggalkan hatinya, biar sedetik sekalipun. Di siang hari terbayang di depan pelupuk mata, di malam hari menjadi kembang mimpi.

"Cobalah kau usahakan, raden. Kurasa Adipati Tejolaksono bersembunyi di sekitar kota raja. Aku cukup mengenalnya dan tahu bahwa orang seperti dia tidak akan mundur sebelum tercapai cita-citanya, sebelum terpenuhi tugasnya. Kadipaten Selopenangkep termasuk wllayah Panjalu. Tentu dia menjadi jago sang prabu di Panjalu untuk menangkap saya. Amat lelah tubuhku, aku ingin tidur."

"Aduh kasihan diajeng yang bernasib malang. Kau beristirahatlah dan jangan khawatir, akan kukerahkan pasukan sekarang juga untuk mencari di seluruh kota raja. Dan tentang keselamatanmu, aku yang menjamin dan aku sendiri yang akan memimpin para pengawal menjaga tempat tinggalmu ini!"

Setelah berkata demikian, dengan sikap mengasih dan gagah Raden Sindupati memberi hormat lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang duduk termenung. Laki,laki yang baik, pikirnya. Sayang aku terpaksa akan :menghancurkan hatinya dengan penolakan cinta kasihnya. Dan Adipati Tejolaksono! Joko Wandiro! Ah, mengapa ia terbayang akan semua pengalamannya di masa dahulu, sepuluh tahun yang lalu? Teringat akan masa dahulu, terbayang pula pangalarnan yang tak dapat dilupakan, pengalaman yang amat pahit, yang amat menusuk perasaannya, yang membuatnya membenci Joko Wandiro dan mernbenci pula Ayu Candra! Terbayang ia betapa .pada waktu dipeluk dari belakang oleh Joko Wandiro, dibelai dan dicium tengkuknya, penuh kasih sayang, penuh kemesraan. Pada waktu itu, ia belum ada hati sedikitpun juga terhadap Pangeran Panjirawit dan ketika itu dengan sepenuh jiwa raganya ia menyerahkan diri, hangat hatinya menyambut cinta kasih Joko Wandiro, orang yang oleh ayahnya telah dijodohkan kepadanya!. Akan tetapi, bagaikan halilintar menyambar kepalanya, mulut Joko Wandiro membisikkan nama Ayu Candra. Kiranya Joko Wandiro bukan memeluk dan membelainya, melainkan mengira bahwa dia adalah Ayu Candra.

Bukan dia yang dicinta Joko Wandiro, melainkan Ayu Candra (baca Badai Laut Selatan)! Maka timbullah bencinya yang hebat terhadap dua orang itu, benci yang tanpa ia sadari sendiri didasari oleh cinta kasih yang dikecewakan, oleh cemburu dan iri hati! Sampai akhirnya datang obat penawar yang sangat manjur, yaitu limpahan cinta kasih Pangeran Panjirawit yang akhirnya dapat menyembuhkan sakit hatinya..........

Kini......... suami tercinta telah meninggal dunia. Dan......... tanpa disangka-sangkanya, muncul pula Joko Wandiro dalam hidupnya, muncul sebagai Adipati Tejolaksono, sebagai utusan musuh besarnya, Pangeran Darmokusumo yang datang dengan niat jahat, menangkap atau membunuhnya! Ia mengerutkan kening, jantungnya seperti ditusuk oleh duka, kecewa dan dendam, lalu terhuyung memasuki kamarnya di mana ia membanting diri di atas kasur, menangis sampai ia tertidur pulas dengan bantal basah air mata.

Biarpun sepekan lamanya Raden Sindupati mengerahkan semua pasukan untuk mencari Adipati Tejdaksono, namun hasilnya sia-sia belaka. Orang yang dicari-carinya itu masih enak-enak bekerja sebagai tukang kuda yang rajin dan menyenangkan para perwira.

Namun Endang Patibroto tidak memperdulikan hal itu. Ia tidak perduli apakah penyerbu itu tertangkap atau tidak, tidak perduli siapa penyerbu itu, benar Joko Wandiro seperti yang disangkanya ataukah bukan. Ia sudah dapat mengatasi kedukaan hatinya yang amat hebat di malam munculnya penyerbu itu, dan kini ia melakukan tugasnya kembali seperti biasa, melatih pasukan karena cita-citanya hanyalah untuk dapat menyerbu Jenggala, membalas dendam kematian suaminya.

Raden Sindupati setiap hari sedikitnya satu kali tentu datang menjenguknya untuk memberi laporan tentang usaha mencari penjahat itu, dan dalam kesempatan ini selalu senopati muda itu memperlihatkan sikap manis, ramah tamah, menghiburnya dan tak lupa membawa apa saja untuk menyenangkan hatinya. Buah-buahan yang sukar didapat di Blambangan, sutera-sutera tenun yang indah, perhiasan emas permata. Pendeknya, makin jelas tampak sikap Raden Sindupati yang rnencintanya, sungguhpun belum pernah menyatakan perasaan hatinya melalui mulut.

Endang Patibroto tak dapat mengelak, tak dapat menolak semua pemberian tanda cinta itu, karena ia tidak mau menyakitkan hati satu-satunya orang yang pada saat itu dianggapnya sebagai seorang sahabat baik. tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk dengan halus menolak apabila Sindupati menyatakan cinta kasihnya dengan kata-kata. Dan agaknya, saatnya tentu akan tiba sewaktu-waktu, melihat sikap yang makin mendesak itu.

Pada pagi hari itu, seperti biasa setelah bangun pagi-pagi, Endang Patibroto mandi lalu berganti pakaian, merias diri secara sederhana dan sudah siap untuk melakukan tugasnya setiap hari. Pada hari itu ia akan mulai dengan melatih barisan anak panah kepada pasukan istimewa yang digemblengnya. Dan sebelum berangkat ke alun-alun, lebih dulu ia duduk menghadapi meja di ruangan depan untuk sekedar mengisi perut dengan sarapan pagi yang disediakan oleh seorang pelayan. Endang Patibroto yang tidak mencurigai sesuatu, tidak tahu bahwa sejak sebelum ia bangun dari tidur tadi, sepasang mata telah mengawasi setiap gerak-geriknya. Sepasang mata Raden Sindupati. Kini, pada saat ia menghadapl meja untuk minum kopi dan makan ketan kelapa yang disediakan. Raden Sindupati juga sudah menyelinap ke depan dan bersembunyi. Endang Patibroto hendak mulai sarapan pagi dengan menghirup kopi panas. Akan tetapi baru saja cangkirnya menempel bibir, tiba-tiba terdengar suara nyaring,

"Diajeng, jangan diminum itu......... Endang Patibroto menoleh dan melihat Sindupati sudah ada di belakangnya. Wajah yang tampan dan biasanya tersenyum-senyum kepadanya itu kini tampak gelisah dan bersungguh-sungguh, bahkan wajahnya agak pucat. Endang Patibroto meletakkan kembali cangkir kopinya yang belum ia minum isinya, ke atas meja.

"Ada apakah, kakang SIndupati?" Sudah beberapa hari ini, atas permintaan Sindupati yang berkali-kali, ia menyebut kakang kepada senopati ini.

"Engkau belum makan ketan itu dan belum minum kopi itu, bukan?"

Endang Patibroto menggeleng kepala.
"Belum. Mengapakah?"

"Coba diajeng panggil pelayan yang menyediakan makan minum ini dan diajeng akan menyakslkan sendiri," jawab Raden Sindupati, mukanya masih pucat.

Endang Patibroto bertepuk tangan. Seorang pelayan muncul dan pelayan ini disuruh memanggil pelayan yang menyediakan sarapan pagi. Tak lama kemudian muncullah seorang pelayan, wanita yang setengah tua.

"Kaukah yang menyediakan sarapan pagi untuk diajeng Endang Patibroto?" Sindupati bertanya, suaranya keren.

"Betul seperti apa yang paduka katakan, raden. Memang tugas hamba untuk menyediakan semua makanan dan minuman gusti puteri.........”

"Bibi, kalau begitu, coba kau makan ketan itu dan minum kopinya!" kata pula Sindupati sambil menudingkan telunjuknya ke atas meja di mana terdapat sepiring kecil ketan kelapa dan secangkir kopi hitam.

"Tapi......... tapi......... " Wanita pelayan itu terbelalak memandang. Tentu saja la terheran dan tidak berani melakukan hal ini. Sarapan itu adalah persediaan untuk sang puteri, bagaimana ia berani minum dan memakannya? Juga beberapa orang pelayan yang tertarik oleh ribut-ribut dan berada di situ, terbelalak memandang heran.

"Tidak ada tapi! Hayo lekas makan dan minum ketan dan kopi itu atau......... kujejalkan nanti ke mulutmu!" bentak Raden Sindupati sehingga Endang Patibroto sendiri memandang heran. Tidak biasanya senopati muda ini bersikap demikian galak dan kasar. Akan tetapi karena ia menyangka tentu ada terjadi sesuatu, ia lalu berkata kepada pelayannya,

"Bibi, kalau memang engkau tidak mempunyai kesalahan dalam menghidangkan makanan dan minuman ini, mengapa kau tidak mau makan dan minum? Kau cobalah dan jangan takut, aku tidak akan marah."

Karena sang puteri yang dilayaninya sudah memberi ijin, terpaksa, dengan muka pucat, pelayan wanita itu tidak membantah lagi. Jari-jari tangannya gemeter ketika ia mengambil piring ketan dan memakan isinya sampai setengahnya. Kemudian iapun minum kopi itu sampai setengah cangkir. Tidak terjadi apa-apa!

"Kakang Sindupati......... " Endang Patibroto hendak menegur senopati itu akan tetapi menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, si wanita pelayan menjerit dan roboh terguling mencengkeram perutnya sendiri, merintih-rintih kemudian berkelojotan dan tewasl

Endang Patibroto cepat menyambar piring ketan, mengambil ketan sedikit dan memasukkan ke mulut. Begitu lidahnya merasai ketan Itu, cepat dibuang dan diludahkannya kembali. Dermikian pula ia mencicipi kopi yang cepat ia ludahkan keluar. Sikapnya tenang-tenang saja dan ia tidak tahu betapa Sindupati memandangnya dengan kagum dan khawatir. Kemudian ia membalikkan tubuhnya memandang senopati itu,

"Kakang Sindupati, ketan dan kopi mengandung racun. Bagaimana kau bias tahu?"

Di dalam hatinya, Sindupati tersenyum girang. Untung ia berlaku cerdik, pikirnya. Tadinya, Sang Adipati Menak Linggo yang mengusulkan rencana untuk membunuh Endang Patibroto dengan jalan meracunnya, mencampurkan racun dalam makanan dan minumannya.

"Wanita itu terlalu sakti, terlalu berbahaya," demikian antara lain sang adipati berkata, "biarpun sekarang kelihatan bersekutu dengan kita, akan tetapi sekali rahasia kita terbongkar, ia merupakan ancaman bahaya yang tak boleh dipandang ringan. Aku menghendaki agar dia mati, biar dengan cara apapun juga. Dan kaulah orangnya yang kuserahi tugas untuk membunuhnya, SindupatiI"

Untung bahwa Sindupati memiliki kecerdikan yang luar biasa dan ia membeberkan rencananya kepada sang adipati.

"Hamba yakin bahwa seorang sakti seperti Endang Patibroto, tidaklah mudah diracun begitu saja, gusti adipati. Mencampurkan racun ke dalam makanan dan minumannya adalah amat berbahaya karena selain belum tentu ia akan dapat diracuni karena memiliki daya tahan dan daya penolak untuk itu, kalau ketahuan bukankah akan menggagalkan semua rencana? Hamba mempunyai siasat yang lebih halus lagi."

la lalu menuturkan siasatnya dan sang adipati menyetujuinya. Dan apa yang terjadi pada pagi hari ini adalah hasil daripada siasatnya yang amat licik. Ia diam-diam, tanpa setahu si pelayan, menaruh racun ke dalam ketan dan kopi, kemudian dia pula yang datang memberi peringatan kepada Endang Patibroto, bahkan secara kejam sekali ia memaksa si pelayan yang sebetulnya tidak tahu apa-apa itu untuk makan dan minum sarapan pagi yang sudah ia campuri racun sampai tewas!

Ketika melihat Endang Patibroto dapat mengenal racun hanya dengan mencicipi sedikit ketan dan kopi itu, terbuktilah kebenaran dugaannya. Andaikata tidak ia peringatkan sekalipun, Endang Patibroto akan tahu tentang racun dan tidak akan menjadi korban, bahkan akan menjadi curiga! Kini, dengan mengorbankan nyawa si pelayan, ia dapat menangkan kepercayaan Endang Patibroto bahkan tampaklah ia sebagai seorang yang baik dan setia kawan, membuat ia makin menonjol dalam pandangan wanita sakti ini!

Ketika ditanya oleh Endang Patibroto bagaimana ia bisa tahu bahwa sarapan itu ada racunnya, ia sudah menyediakan jawabannya seperti yang ia rencanakan.

“Ah ….. syukur bahwa para dewata masih melindungimu, diajeng," demikian jawabnya setelah ia memerintahkan para pengawal untuk membawa pergi mayat si pelayan dan di situ tidak terdapat orang lain lagi. "Alangkah ngerinya! Kalau sampai diajeng menjadi korban racun......... aaahhh........ betapa mungkin aku dapat hidup lebih lama lagi....... !" Wajahnya pucat, suaranya menggetar dan ia melangkah maju, seperti hendak meraih dan memeluk karena hatinya terharu dan tegang. Akan tetapi Endang Patibroto melangkah mundur dan berkata,

"Bahaya telah lewat, kakang Sindupati. Sungguh untung bahwa kakang telah tahu dan dapat memperingatkan aku, sungguhpun belum tentu aku akan dapat diracun begitu saja. Duduklah dan ceritakan, bagaimana engkau bias mengetahui akan perbuatan keji itu!"

Melihat wanita itu tidak melayani hasratnya, Sindupati tidak memaksa dan segera mengambil tempat duduk. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan kedua tangannya yang ditaruh di atas meja masih gemetar. Sesungguhnya bukan gemetar karena kekhawatirannya terhadap Endang Patibroto, melainkan gemetar karena girang melihat berhasilnya siasatnya dan karena nafsu berahi yang menggelora!

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 015 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment