Ads

Monday, February 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 032

<<== Kembali <<==

"Hemm, memang aku masih hijau, akan tetapi setidaknya hijau tua seperti daun, sedangkan kau masih hijau pupus! Kau bilang aku mempunyai dua macam dosa? Wahai, ampunilah kiranya hambamu, Sang Hyang Dewi dari kahyangan! Kalau hamba berdosa sampai dua kali, dosa apakah gerangan?" Pemuda itu sengaja mengejek karena ia merasa penasaran sekali.

"Dasar laki-laki bajul yang lidahnya bercabang!"

Mendengar ini, otomatis Joko Pramono menjulurkan lidahnya keluar dari mulut dan matanya sampai menjadi juling, kedua manik mata mendekati hidung ketika ia berusaha sedapat mungkin melihat ujung lidahnya, untuk melihat apakah lidahnya benar-benar bercabang seperti lidah ular. Gerakan ini tidak dibuat-buat dan amatlah lucunya sehingga hampir saja Pusporini tertawa. Gadis inipun berwatak lincah periang, akan tetapi karena ia ingat bahwa pada saat itu ia sedang marah, maka tentu saja ia tidak sudi tertawa, bahkan segera menyambung kata-katanya,

"Manusia tak tahu diri! Pertama, engkau tadi secara kurang ajar dan tidak sopan telah melanggar susila, berani mampus engkau memangku aku setelah menjegal kakiku ketika aku lari. Dosa ini saja sudah cukup menjadi sebab mengapa aku memusuhimu, kemudian kau susul dengan dosa ke dua, yaitu kau berani sekali membantu aku merobohkan seorang di antara pengeroyokku! Ini namanya penghinaan dan kau memandang rendah kepadaku. Apa kaukira aku butuh akan bantuanmu? Apa kaukira engkau ini yang paling gagah, yang paling pandai; yang paling perkasa di dalam dunia maka kauanggap perlu sekali membantuku?"

Joko Pramono menjadi penasaran sekali. Ia membusungkan dadanya yang bidang, dagunya berkerut sehingga lekuk di tengahnya tampak nyata, giginya berkerot dan matanya yang tajam itu bersinar-sinar.

"Eh-eh-eh, nanti dulu. Enak saja engkau menjatuhkan fitnah. Memfitnah lebih keji daripada membunuh, kau tahu? Pertama-tama kau fitnah aku menjegal kakimu dan memangkumu. Padahal sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, aku sedang tidur dan kakiku kulonjorkan, siapa menjegal orang? Apakah engkau sendiri yang tidak dapat menggunakan mata dengan baik, tidak melihat kakiku, kautendang dan sandung saja sampai kau terjatuh ke atas kedua pahaku. Bukan aku menjegal dan memangku, malah engkau sendiri yang menyandung dan menjatuhi pangkuanku! Sekarang hal ke dua yang kaukatakan dosaku itu. Kau bilang aku membantumu? Sama sekali tidak! Malah engkau sendirilah yang mula-mula membantuku dan memukul iblis betina tadi sampai ia roboh. Karena dua orang laki-laki raksasa tadi adalah kawan-kawan si iblis betina, tentu saja aku lalu menyerang mereka dan berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Aku sama sekali tidak membantumu, justeru engkaulah yang pertama kali membantuku dengan merobohkan iblis betina itu!"

"Wah, memang kau pintar bicara seperti Patih Sangkuni, atau Pendeta Durna! Kalau aku tersandung kakimu dan terjatuh, itu tidak kusengaja, keparat! Dan kalau aku menyerang si perempuan rendah Sariwuni atau membunuhnya sekalipun, sama sekali bukan membantumu. Kau ini apaku maka aku membantu-bantu? Huh! Bukan membantumu, memang dia musuh besar keluarga kami, musuh besar rakanda Adipati Tejolaksono!" Dalam ucapan ini, selain menyangkal dan membantah, juga dara remaja ini setengah sengaja menyebut nama rakandanya yang ia tahu amat terkenal untuk menaikkan "gengsinya" di mata pemuda itu. Hati dara ini girang bukan main karena ternyata dugaannya tepat. Pemuda itu kelihatan terkejut sekali dan wajahnya berubah, tidak tersenyum-senyum seperti tadi, bahkan lalu berkata,

"Apa? Engkau keluarga Sang Adipati Tejolaksono di Selopenangkep?"

Pusporini mengangkat dadanya yang membusung, matanya bercahaya, wajahnya berseri penuh kebanggaan ketika ia berkata,

"Aku Raden Ajeng Pusporini, adik misan gustimu Adipati Tejolaksono!" Ia percaya bahwa pemuda ini sekarang tentu akan lenyap watak dan sikapnya yang sombong, tentu akan cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepadanya, menggigil ketakutan karena telah berani bersikap kurang ajar terhadap sang puteri bangsawan sehingga ia akan dapat dengan sepuas hati menegur dan menghukumnya.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu tertawa mengejek, lalu berkata,

"Ah, pantas saja engkau begini galak dan sombong! Kiranya engkau adalah anggota keluarga kadipaten yang terkenal sombong itu! Hemm .............. !”

Pusporini kaget dan marah sekali. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini sama sekali tidak menaruh hormat bahkan mengejek dan menyatakan bahwa keluarga Kadipaten Selopenangkep sombong. Ia membanting kaki dan menudingkan telunjuknya, mukanya merah dibakar kemarahan.

"Heh, si keparat bocah gunung nangnung yang kurang ajar! Berani kau menghina Kadipaten Selopenangkep? Sebelum aku turun tangan membunuhmu, mengakulah siapa gerangan engkau ini agar kelak aku dapat menerangkan kepada rakanda adipati. Kalau sudah terlanjur aku turun tangan, tentu mayatmu tidak akan dapat memberi keterangan lagi!"

Pemuda itu tertawa lagi, tertawa mengejek. Wajahnya yang tampan itu membuat Pusporini makin marah karena ketampanan dan senyum itu mengejeknya!

"Sombongnya bukan main! Eh, perawan bangsawan, kau dengarlah. Aku bernama Joko Pramono. Rumahku adalah jagat ini, asalku dari atas angin. Hidupku di alam bebas, beratap langit berlantai tanah bertilam rumput, berdinding batu dan pohon, siang hari berdian surya, malam hari berdian bulan dan bintang.......”

"Stop .............. Aku hanya ingin mengetahui namamu. Tidak perduli kau datang dari dasar neraka, hari ini adalah saat ajalmu.............. !”

"Wah, sumbarmu seperti kicau burung nuri! Boleh coba-coba kalau kau mampu membunuhku, kalau tidak mampu, aku akan menawanmu, bocah sombong.............. !”

"Setan mampuslah!" Pusporini berseru keras dan tubuhnya sudah menerjang maju, mengirim pukulan dengan Aji Pethit Nogo mengarah pelipis kiri lawan.

Joko Pramono bukanlah seorang pemuda yang sembrono. Biarpun wataknya periang dan jenaka, bahkan agak ugal-ugalan, akan tetapi ia cukup mengerti bahwa dara remaja yang galaknya kepati-pati (amat luar biasa) ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan bahwa pukulan yang dilancarkan ini adalah aji yang amat ampuh. Maka ia tidak berani menerimanya, apalagi pelipis merupakan bagian kepala yang ringkih (lemah). Tanpa merubah kedudukan tubuh karena ingin menguji keampuhan tangan lawan, Joko Pramono mengangkat tangan kiri ke atas, sengaja menerima dan menangkis telapak tangan dara itu dengan telapak tangannya yang dikipatkan.

"Plakkk .............. I I" Dua tangan bertemu dan akibatnya Joko Pramono terpelanting ke belakang dan hampir saja ia roboh kalau ia tidak cepat melompat ke atas dan berjungkir-balik. Matanya terbelalak memandang dara itu, penuh kekaguman dan kekagetan. la sudah menyangka bahwa Pusporini seorang dara sakti, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa pukulannya ampuhnya bukan buatan!

"Ihh, takutkah engkau? Laki-laki macam apa, baru sekali gebrakan saja mukanya sudah berubah hijau!" Pusporini mengejek dan menerjang maju lagi.

"Aehh, sombongnya. Siapa takut padamu!" Joko Pramono panas juga perutnya oleh ejekan ini, ketika Pusporini menghantamnya lagi dengan Aji Pethit Nogo, ia cepat miringkan tubuh mengelak dan secara tiba-tiba tubuhnya merendah, hampir berjongkok dan dari bawah ia mendorong dengan kedua tangannya ke arah tubuh lawan.

Pusporini terkejut ketika merasa betapa dari kedua tangan pemuda itu menyambar keluar hawa pukulan yang amat kuat dan panas. Cepat ia mengerahkan tenaga dan menangkis dengan tangan kanannya.

"Wesss .............. !" Sebelum tangannya yang menangkis itu bertemu dengan kedua tangan lawan, tubuhnya sudah terdorong ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi, kakinya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir ia roboh.

Untungnya tangan kirinya dapat menyambar ranting sebatang pohon sehingga ia dapat meloncat dan mengatur keseimbangan tubuhnya. Kini ia memandang dengan penuh kemarahan. Kedua pipinya merah dan matanya menyinarkan cahaya berapi.

"Heh-heh-heh, kau kenapa? Jerih sekarang, ya? Belum lecet belum benjol sudah jerih. Wanita gagah macam apa ini?" Joko Pramono balas mengejek.

"Ooohhh, kau .............. kau .............. rasakan pembalasanku, bocah dusun!" Dengan kemarahan yang meluap-luap kini Pusporini menerjang maju, mengerahkan kegesitan dengan Aji Bayu Sakti sambil menggerak-gerakkan kedua lengan mengirim pukulan-pukulan ampuh. Saking jengkel dan marahnya menghadapi pemuda yang pandal mengejek dan tidak kalah sombongnya ini, ia menyerang seperti seekor banteng terluka, menyeruduk saja tanpa perhitungan lagi, penuh nafsu dan keinginannya hanya satu, yakni merobohkan pemuda sombong kurang ajar ini!

Justeru kemarahan meluap-luap inilah kesalahan Pusporini. Dara remaja ini sesungguhnya telah memiliki ilmu kesaktian yang hebat dan jarang ada tandingnya, dan sungguhpun pemuda itupun ternyata sakti mandraguna, namun tingkat kepandaiannya tidaklah jauh lebih unggul daripada Pusporini. Tingkat mereka seimbang dan biarpun Pusporini agaknya kalah sedikit dalam hal tenaga, namun dara ini menang sedikit dalam kecepatan sehingga kalau mereka bertanding dalam keadaan sama tenangnya, tentu tidak akan ada yang dapat dikalahkan dalam waktu singkat. Akan tetapi, Pusporini seperti terbakar saking gemas dan marahnya, sebaliknya pemuda itu tenang-tenang saja bahkan kadang-kadang tertawa mengejek dan tersenyum-senyum. Di sinilah letak kekalahan Pusporini yang makin lama menjadi makin marah karena terdorong oleh hati yang penasaran. Sampai sejam lebih ia menerjang dan mengeluarkan pelbagai aji pukulan yang ampuh-ampuh, namun selalu dapat dihindarkan pemuda itu dengan mengelak atau menangkis. Belum pernah satu kali juga ia berhasil mengenai tubuh pemuda itu maka ia menjadi makin ganas dan nekat.

"Sudahlah, sampai habis seluruh kepandaianmu, sampai putus napasmu, tidak mungkin kau dapat mengalahkan aku, heh-heh!" Joko Pramono mengejek.

"Ssssetan I" Pusporini mendesis marah dan menghantam dengan aji pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggiriskan itu. Biarpun belum sepenuhnya ia menguasai aji pukulan ini, namun kalau mengenai kepala lawan, kepala itu akan hancur berikut isi kepalanya, kalau mengenai dada tentu akan ambrol dengan tulang iga patah-patah.

"Heeeiiiittt!" Dengan gerakan indah dan lagak mengejek memanaskan hati Joko Pramono merendahkan tubuhnya sehingga dua pukulan tangan dara itu lewat di atas kepalanya. Dari bawah, dengan cepat sekali kini Joko Pramono mengirim pukulan dorongan seperti tadi, pukulan dorongan yang berhawa panas dan kuat sekali, ke arah lambung Pusporini. Dara itu cepat mencelat ke atas sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan tubuhnya terguling. Kiranya pemuda itu tadi memukul hanya sebagai gertakan atau pancingan saja karena begitu dara itu mengelak, kakinya menjegal dan tepat mengenai kedua kaki Pusporini, mengait betis sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Pusporini terguling. Sebelum dara itu sempat memperbaiki posisinya, Joko Pramono sudah menubruk, menangkap kedua lengan Pusporini, memutar dan menelikungnya ke belakang.

"Kau curang .............. ! Lepaskan aku ..... ! Lepaskan .............. !" Pusporini meronta-ronta dan berteriak-terlak marah. Ia marah sekali sampai hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya terengah-engah.

"Enak saja dilepaskan. Susah-susah aku merobohkanmu ………..”

"Kau curang……….! Kau menjegal! Mana ada aturannya bertanding pakai jegal-jegalan?" Pusporini memprotes. Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikannya, bahkan kini dara itu merasa betapa kedua pergelangan tangannya dibelenggu dengan ikat kepala pemuda itu!

"Keparat! Bedebah! Setan kurang ajar kau! Lepaskan aku kalau tidak ..............!!”

"Kalau tidak .............. mau apa .............. ?” Enak saja Joko Pramono bertanya, suaranya penuh ejekan.

"Kubunuh kau .............. Kucekik kau .............. Ku .............. !”

"Cobalah kalau mampu!"

Pusporini marah sampai hampir menangis. Ia membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya tak dapat digerakkan, akan tetapi kakinya masih bebas dan tiba-tiba ia mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya. Kedua kaki itu bagaikan kitiran angin saja bergerak menendang bergantian mengarah lutut, pusar sampai ke dada.

"Heh-heh, kau benar-benar seperti seekor kuda betina! Hanya kuda yang menendang-nendang kalau marah!"

Makin jengkel Pusporini dan tendangannya yang terakhir terlalu keras sampai tubuhnya terbawa dan karena kedua tangannya dibelenggu ke belakang, maka ia kehilangan keseimbangan dan .............. "bukkk!" pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai terasa pegal dan linu. Sebelum ia sempat bangun, Joko Pramono sudah menyambar tubuhnya dan memondongnya. Lengan kiri pemuda itu merangkul kedua kaki, perut Pusporini menumpang di pundak dan dara itu meronta-ronta makin keras.

"Setan kurang ajar kau! Berani kausentuh aku! Berani kau memanggulku! Hayo lepaskan....... lepaskan....."

Dengan kedua tangan yang terbelenggu, Pusporini memukul-mukul pundak dan punggung Joko Pramono, akan tetapi pemuda itu hanya terkekeh dan lari cepat membawa pergi tubuh dara itu menuju ke utara.

PUNGGUNG dan pundak itu kuat sekali, dan tak mungkin Pusporini dapat menggunakan ajinya dalam keadaan terbelenggu seperti itu. Karena tahu bahwa sia-sia saja ia meronta-ronta, akhirnya dara itu diam dan hatinya mulai diliputi kekhawatiran dan ketakutan. Ke mana ia hendak dibawa? Siapakah sesungguhnya, pemuda ini dan mengapa agaknya tidak suka kepada keluarga kadipaten?

"Kau.............. mau bawa aku ke mana.............. ?" Akhirnya Pusporini tak kuat menahan kegelisahan hatinya, bertanya tanpa meronta lagi di atas pundak pemuda itu.

"Hemm .............. , ke mana lagi kalau tidak ke dasar neraka? Kau tadi sendiri bilang aku dari dasar neraka. Wanita galak macam engkau ini patutnya dijadikan umpan setan neraka!"

Jawaban ini tidak menimbulkan takut, malah menambah kemarahan hati Pusporini. Ia meronta-ronta lagi kemudian kakinya menendang-nendang, namun hal ini malah membuat lengan pemuda itu memeluk kedua kakinya lebih erat sehingga perutnya tertekan pada pundak dan mebuatnya sukar bernapas. Terpaksa ia diam lagi tidak meronta dan Joko Pramono melanjutkan larinya yang cepat sekali.

"Awas kau kalau terjatuh ke tanganku kelak .............. ” mengancam, suaranya penuh kegemasan dan sakit hati.

"Sekarang juga akupun sudah awas!" jawab pemuda itu menggoda terus.

Karena tubuhnya "disampirkan" di pundak pemuda itu sehingga kepalanya tergantung ke bawah, lama-kelamaan Pusporini menjadi lelah dan pening. Sedikit demi sedikit ia melorot turun dan agaknya pemuda itupun maklum akan keadaannya maka membiarkan saja, bahkan melonggarkan pelukan lengannya sehingga kini bukan kaki yang dirangkulnya, melainkan paha dan pinggul sehingga kepala Pusporini sekarang mendekati pundak dan leher. Karena keadaannya tidak begitu melelahkan lagi, agak lega hati Pusporini. Ia memandang leher yang dekat sekali itu, melihat betapa otot-otot yang kuat tampak merentang di bawah kulit yang bersih halus, betapa anak rambut yang hitam gemuk tumbuh melingkar di tengkuk yang kuat itu. Heran sekali dia mengapa pemandangan yang selama hidupnya tak pernah ia perhatikan ini, tengkuk seorang laki-laki, sekarang tampak begini indah! Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kemarahan dan kebenciannya kepada laki-laki yang menggemaskan hatinya ini.

"Engkau kenapa membenci keluarga rakanda adipati?" ia bertanya, perlahan karena toh mulutnya sudah dekat telinga. Biarpun lirih suaranya, namun Joko Pramono masih dapat menangkap nada penuh kemarahan dalam suara itu.

"Huh, keluarga sombong! Busuk hati! Karena keluarga Selopenangkep itulah pamanku Adibroto sampai mengorbankan nyawa secara sia-sia! Padahal mendiang Paman Adiproto, menurut mendiang ibuku, adalah seorang yang paling baik di dunia ini."

"Hemm, kaumaksudkan Ki Adibroto warok Ponorogo aliran putih?" Pusporini yang sudah pernah mendengar cerita dari ibunya bertanya, diam-diam ia kaget dan menduga-duga.

"Betul dia. Ah, engkau mengenaI pula namanya. Apa yang kau tahu tentang mendiang pamanku?"

"Aku hanya mendengar bahwa Ki Adibroto adalah ayah kandung ayunda Ayu Candra, isteri rakanda Adipati Tejolaksono! Jadi engkau ini masih adik misan ayunda Ayu Candra! Mengapa memusuhi Kadipaten Selopenangkep?"

Mendengar ini, pemuda itu berhenti dan dengan sikap kasar ia menurunkan tubuh Pusporini ke atas tanah. Gadis ini tergelimpang lalu bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangan terbelenggu ke belakang. Ia masih marah sekali dan diam-diam ia terheran-heran mengapa tadi ia dapat bercakap-cakap dengan penawannya seperti dua orang sahabat lama saja. Ia kini cemberut dan membuang muka, tidak mau memandang muka orang yang duduk di depannya menghapus peluh dari dada dan leher. Mereka berhenti di dalam hutan, dan enak sekali berteduh di bawah pohon besar itu. Joko Pramono memandang wajah dara yang membuang muka itu, lalu sambil mengebut-ngebut lehernya dengan kain, ia bercerita tentang dirinya.

Di dalam cerita "Badai Laut Selatan" diceritakan betapa ibu Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang bernama Listyakumolo, setelah berpisah dengan suaminya, Raden Wisangjiwo, telah menikah lagi dengan seorang warok gagah perkasa bernama Ki Adibroto yang juga telah mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ayu Candra. Dengan demikian, Adipati Tejolaksono dengan isterinya itu adalah dua orang saudara tiri yang sama sekali tidak ada hubungan darah. Adapun ibu kandung Ayu Candra yang lebih dulu telah meninggal dunia bernama Ni Rasmi. Ni Rasmi mempunyai seorang adik perempuan bernama Ni Wirani. Semenjak Ni Rasmi meninggal dunia dan Ki Adibroto membawa Ayu Candra pergi merantau dalam kesedihan, putuslah hubungan antara Ni Wirani dengan kakak iparnya itu. Ni Wirani menikah dengan seorang petani dan mempunyai putera yang diberi nama Joko Pramono. Akan tetapi malapetaka menimpa Ni Wirani dan suaminya ketika Joko Pramono baru berusia sepuluh tahun, yaitu ketika suami isteri dan anak mereka ini menyeberang sungai yang banjir, perahu mereka terguling dan mereka hanyut. Suami isteri itu tewas, dan Joko Pramono yang baru berusia sepuluh tahun tertolong oleh seorang sakti, yaitu Resi Adiluhung pendeta perantau .yang kemudian mengambilnya sebagai murid dan membawanya ke pertapaan di puncak Gunung Sindoro.

Seperti telah diceritakan dalam cerita Badai Laut Selatan, Ki Adibroto tewas bersama Listyakumolo di tangan Endang Patibroto karena permusuhan yang balas-membalas dengan Pujo, ayah Endang Patibroto, suami Kartikosari dan Roro Luhito, atau juga ayah Pusporini dan Setyaningsih.

"Di waktu masih kecil, ibuku telah menceritakan tentang paman. Adibroto," demikian antara lain dengan muka keruh Joko Pramono bercerita di depan Pusporini yang mendengarkan dengan jantung berdebar karena ia sudah tahu semua akan peristiwa yang terjadi sebelum ia terlahir itu, mendengar dari penuturan ibunya. "Paman Adibroto yang berbudi mulia dan bijaksana itu mati karena ikatan perjodohannya dengan puteri mantu Selopenangkep. Mati di tangan anak perempuan dari Pujo yang bernama Endang Patibroto, mati penasaran! Kalau pamanku itu tidak berhubungan dengan orang-orang Selopenangkep, tentu tidak akan terbunuh sia-sia."

Pusporini memandang wajah pemuda itu, matanya bersinar dan mukanya merah. Ia marah dan penasaran.
"Akan tetapi, hal itu adalah urusan orang-orang tua dahulu. Bahkan ayunda Ayu Candra kini menjadi isteri Adipati Selopenangkep. Bukankah ayunda Ayu Canda itu puteri kandung Ki Adibroto dan sama sekali tidak menaruh dendam apa-apa? Kenapa engkau ini yang hanya keponakan Ki Adibroto, kini menaruh dendam dan marah-marah seperti orang sinting?"

"Memang ayunda Ayu Candra sudah menjadi orang Selopenangkep. Hal ini membuktikan kelemahan hatinya. Kasihan sekali paman Adibroto, mempunyai seorang keturunan saja mengkhianatinya. Akan tetapi aku tidak! Akulah yang akan membalaskan sakit hatinya. Aku yang akan kelak mencari Endang Patibroto dan menghadapi semua keluarga Selopenangkep yang sombong, termasuk engkau!"

"Cih! Kepalamu besar sekali, sebesar kelenting (tempat air), sebentar lagi tentu pecah berantakan! Orang macam engkau ini mana mungkin melawan kakakku Endang Patibroto? Idih, sombongnya. Belajarlah kau seratus tahun lagi, masih juga belum dapat mengalahkan tangan kiri kakakku Endang Patibroto!"

Joko Pramono meloncat bangun, wajahnya merah matanya terbelalak marah.
"Dia kakakmu? Jadi engkau inl puteri Pujo pula? Anak Kartikosari atau anak Roro Luhlto?"
Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu, tentu Pusporini sudah menerjang dan menyerang dengan nekad saking marahnya mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kedua orang ibunya begitu saja. Alangkah kurang ajarnya.

"Benar sekali! Pujo adalah mendiang ramandaku! Rara Luhito adalah ibu kandungku. Kau mau apa? Mau bunuh aku? Bunuhlah, kaukira aku takut mati? Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya membuka mulut besar terhadap lawan yang terbelenggu. Lepaskan aku, dan kepalamu tentu akan lumat!"

Sejenak kedua tangan pemuda itu tergetar, seakan-akan ia hendak memukul hancur tubuh dara yang menjadi tawanannya. Akan tetapi pandang matanya bersinar aneh ketika bertemu pandang dengan Pusporini yang melotot dan sedikitpun tidak takut itu. Kemudian Joko Pramono tertawa lebar.

"Ha-ha-ha-ha, enak benar! Kau sudah tertawan, itu buktinya kau kalah olehku. Dan jangan kira begitu enak saja kau mati. Tidak! Aku akan menyeretmu ke dasar neraka! Ha-ha, engkau akan kujadikan tawanan dan pancingan agar orang-orang Selopenangkep datang. Akan kubalas sakit hati pamanku Adibroto. Kalau Endang Patibroto mau datang dan berhasil kubunuh, barulah kau akan kubebaskan. Aku tidak bermusuhan dengan engkau, sungguhpun engkaupun seorang anggauta keluarga Selopenangkep yang sombong, berkepala batu dan galak!"

"Engkau yang sombong! Engkau yang besar kepala! Lepaskan aku!"

Akan tetapi pemuda itu hanya tertawa, lalu menyeret tubuh Pusporini ke dekat pohon, menggunakan ujung ikat kepala yang membelenggu kedua tangan dara itu, diikatkan pada batang pohon. Setelah itu, sambil tersenyum ia lalu meloncat pergi dari tempat itu.

Pusporini berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Ikatan itu kuat sekali dan tubuhnya mulai lemah. Lemah, karena lelah dan lapar dan marah. Ia ditinggalkan di dalam hutan, dalam keadaan terbelenggu. Kalau datang seekor harimau, tentu ia akan diterkam dan tak dapat melawan. Atau ular. Ular?? Ia bergidik dan hampir menjerit ngeri. Teringat akan binatang ini, Pusporini yang biasanya tabah dan tidak takut mati itu menjadi ngeri ketakutan. Ingin ia menjerit minta tolong, siapa tahu terdengar orang di dekat tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan pemuda tadi yang mungkin sekali bersembunyi dan mentertawakan ketakutannya, maka tiba-tiba saja kemarahan mengusir rasa takutnya. Ia diam saja, bahkan tidak merasa ngeri lagi. Jangan harap aku akan minta tolong dan minta-minta kepadamu, kau monyet kurang ajar, pikirnya gemas.

Tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan Joko Pramono telah berada di depan Pusporini, tangan kiri membawa sesisir pisang ambon yang sudah matang dan tangan kanan membawa sebutir buah semangka yang besar. Anehnya, pada saat itu, wajah pemuda ini sama sekall tidak mengejek, juga tidak marah, malah senyumnya wajar dan ramah. Ketika bicara, sinar matanya berseri gembira.

"Tidak ada dusun dekat. Untung sekali aku bisa mendapatkan pisang dan semangka Lumayan untuk mengusir lapar. Kau makanlah!"

"Tidak sudi!"

Agaknya Joko Pramono baru terIngat bahwa mereka bukanlah dua orang sahabat yang sedang pesiar! Dan wajahnya yang tampan itu kini berubah seperti tadi lagi, keruh, marah, dan mengejek.

"Heh-heh, kau tidak mau makan, tidak mau minum biar mati kelaparan, ya? Kok enak benar. Apa kaukira aku tidak bisa mendublak (menjejalkan makanan ke mulut) secara paksa? Mau tidak mau, perutmu harus dimasuki pisang ini, sedikitnya dua buah, dan air semangka ini!"

Joko Pramono mengambil sebuah pisang, mengupas kulitnya perlahan-lahan sehingga tampak daging pisang yang putih kuning, baunya harum sedap menimbulkan selera. Pusporini tadinya membuang muka, akan tetapi karena merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya dan menjejalkan makanan ke mulutnya dengan paksa, ia kini memandang dengan mata lebar, lalu berkata,

"Lepaskan dulu tanganku, dengan tangan terbelenggu, bagaimana aku bisa makan?"

"Melepaskan kau dan membiarkan kau memukul pecah kepalaku dengan jari-jari tanganmu yang ampuh itu? Enaknya! Nih, kau makanlah, jangan membikin aku jengkel dan memaksamu." Pemuda itu mendapatkan ujung pisang kupasan ke mulut Pusporini.

Dara ini marah sekali, merasa dihina, akan tetapi iapun takut kalau-kalau ia akan dijejal dengan paksa. Ia tahu bahwa pemuda kurang ajar ini agaknya sampai hati melakukan ancamannya, maka dengan muka merah dan mata berapi-api, ia membuka mulutnya, menerima pisang itu memasuki mulut lalu menggigit sepotong.

"Nah, begitu baru anak baik!" kata Joko Pramono, wajahnya berseri lagi memandang Pusporini yang mengunyah pisang dengan terpaksa dan marah, kemudian pemuda itu juga menggigit sepotong pisang dari bekas gigitan Pusporini itu. Dara ini makin merah kedua pipinya melihat betapa musuh yang dibencinya ini makan pisang bekas gigitannya. Kembali Joko Pramono menyodorkan sisa pisang itu ke depan mulutnya yang sudah kosong.

"Tidak sudi! Bekas gigitanmu!" bentak Pusporini.

Joko Pramono membelalakkan mata mengangkat alis, lalu berkata dengan nada kesal,
"Wah, dasar sombong! Tadipun aku tidak menolak bekas gigitanmu. Kalau bekas gigitanku kenapa sih? Gigiku tidak beracun seperti gigi ular."

"Lebih baik makan bekas gigitan ular daripada bekas gigitanmu. Pendeknya, kalau bekasmu itu, aku tidak sudi, biar kau mau jejal, terserah!"

Joko Pramono menarik napas panjang, seperti orang yang menyabarkan dirinya, lalu mengupas pisang lain dan menyuapkan pisang itu ke mulut Pusporini. Kini mereka makan pisang dan semangka tanpa bicara sampai kenyang. Biarpun ia makan dengan hati marah dan secara terpaksa, akan tetapi setelah perutnya terisi dua buah pisang ambon yang besar-besar dan setengah butir semangka jingga yang manis dan banyak airnya, Pusporini merasa tubuhnya segar kembali dan pulih kekuatannya.

Melihat betapa sekitar mulut dan dagu dara itu basah oleh air semangka, Joko Pramono menggunakan ujung bajunya dan menghapus dengan gerakan cepat dan kasar. Pusporini berusaha mengelak dengan menggeleng-gelengkan kepala ke kanan kiri sambil berseru marah.

"Lepaskan! Tak sudi aku.............. !!”

Akan tetapi Joko Pramono memaksanya sampai bersih air semangka dari sekeliling mulut dan dagu.
"Huh, kau jangan mengira aku melakukan ini karena memanjakanmu, ya? Aku hanya tidak ingin nanti pundakku kotor dan basah jika aku memondongmu. Hayo, kita berangkat!" Ia melepaskan ikatan pada batang pohon lalu memondong tubuh Pusporini lagi di atas pundaknya seperti tadi, kemudian berlari cepat meninggalkan hutan itu, terus ke arah utara.

Pusporini yang kini menjadi marah bercampur dengan rasa gelisah, hanya dapat memandang ke arah belakang pundak Joko Pramono dengan mata terbelalak. Ia harus dapat membebaskan diri dan membalas semua penghinaan yang telah dialaminya ini, pikirnya. Tak mungkin ia begini tak berdaya dan diam saja dilarikan seorang yang begini kurang ajar. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tangannya terbelenggu. Akan tetapi mulutnya tidak! Kalau tangannya terbelenggu dan kedua kakinya dipeluk kuat sehingga tak dapat meronta, ia dapat mempergunakan giginya! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, Pusporini lalu menundukkan mukanya dan.............. menggigit daging pundak pemuda itu sekuatnya.

"Aduhh-duh-duh-duh .............. aduhhhh!”

Joko Pramono berteriak-teriak kesakitan, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar pinggul di depannya itu beberapa kali.

"Plak-plak-plakplak..............!"

Pusporini terbelalak kaget, malu, dan kesakitan. Pinggulnya menjadi panas dan ngilu, akan tetapi ia sudah nekat dan tidak mau melepaskan gigitannya, bahkan memperkuatnya.

"Lepaskan .............. .............. aduhhh-duh-duh .............. lepaskan .............. kau kucing, monyet .............!”
Joko Pramono tak dapat menahan rasa nyeri di pundaknya dan terpaksa ia lalu melemparkan tubuh tawanannya. Tubuh Pusporini terlempar, gigitannya terlepas dan kini kembali pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai ia mengeluarkan suara "hekkk!" dan sekarang tak dapat ditahannya lagi Pusporini menangis! Menghadapi serangan dan maki-makian Pusporini, Joko Pramono sama sekali tidak gentar, akan tetapi sekarang menghadapi dara remaja yang menangis itu, yang mempergunakan "senjata terampuh" seorang wanita, pemuda itu melongo! Ia meraba-raba pundaknya yang menjadi matang biru bekas gigitan Pusporini, akan tetapi matanya menatap wajah yang kini basah air mata itu dengan perasaan kasihan.

"Kenapa kau menangis?" Ia mengomel untuk menutupi perasaan iba hatinya. "Aku tidak akan mengganggumu, hanya menawanmu agar keluargamu mencari dan menyusulmu. Aku ingin membalas dendam pamanku kepada Endang Patibroto dan keluarga Selopenangkep yang sombong."

Pusporini terisak-isak kemudian berkata di antara tangisnya,
"Kau manusia kejam, laki-laki kurang ajar .............. Kenapa tidak kaubunuh saja aku?"

"Habis engkau menggigit, sih! Apa kaukira tidak sakit digigit pundaknya? Lihat, bajuku sampai robek dan kalau tidak kuat kulitku tentu robek pula. Lihat, sampai matang biru!" Pemuda ini membuka bajunya memperlihatkan kulit pundak yang membiru. Melihat ini, tiba-tiba ada perasaan geli di dalam hati Pusporini, geli dan puas. Sedikitnya ia telah dapat membalas, biarpun hanya merupakan gigitan di pundak sampai kulit pundak itu matang biru.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 033 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment