Ads

Monday, February 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 033

<<== Kembali <<==

"Kalau kau tidak menggigit, aku tentu tidak akan menampar dan membantingmu," kata pula Joko Pramono. "Kalau kau diam saja menurut kubawa sebagai tawanan dan umpan keluargamu agar menyusulmu, aku bersumpah tidak akan mengganggu seujung rambutmu. Aku bukan seorang laki-laki yang suka mengganggu seorang gadis cilik macam engkau." Setelah berkata demikian, Joko Pramono kembali memondong tubuh Pusporini dan berlari cepat sekali.

Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Ucapan pemuda itu yang menyebutnya seorang gadis cilik, membuat ia mendongkol dan tidak senang. Dia dianggap seperti anak kecil! Awas kau, demikian bisik hatinya dan tiba-tiba ia menjadi girang sekali. Ikatan pada kedua pergelangan tangannya mengendur!

Mungkin karena banyak pergerakan, atau mungkin karena tadi ia diikat pada batang pohon, kemudian terbanting tadi, ikatan itu mengendur di luar tahu Joko Pramono yang tak pernah memeriksanya. Mulailah dara ini menggerak-gerakkan kedua tangan di belakang, berusaha membebaskan belenggu yang mulai mengendur itu. Jantungnya berdebar-debar karena tegang dan khawatir. Ia harus dapat membebaskan kedua tangannya sebelum pemuda ini tahu bahwa ikatan telah mengendur.

"Heh-heh-heh, hi-hik!"

Pusporini terkejut. Celaka, pikirnya, pemuda ini tentu mentertawakan usahanya untuk membebaskan ikatan! Berarti pemuda ini sudah tahu akan keadaan belenggunya yang hampir terlepas. Akan tetapi karena Joko Pramono berlari terus, ia memberanikan diri bertanya,

"Kenapa kau cekikikan seperti orang gila?"

"Heh-heh, detik jantungmu begitu keras, sampai keri (geli) rasanya di pundakku!" jawab Joko Pramono yang berlari terus.

Seketika wajah Pusporini menjadi merah. Sungguhpun maksudnya lain sekali, namun pemuda ini mengingatkannya betapa dadanya terhimpit di atas pundak pemuda itu dalam usahanya meloloskan diri dari ikatan.

Akhirnya terlepaslah belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Pusporini! Dengan hati-hati sekali dara remaja ini menggerak-gerakkan jari tangannya, membuka dan menutup untuk melancarkan jalan darahnya yang agak kaku. Kemudian, dengan gerakan hati-hati sekali ia mengangkat tangan kanan, meluruskan jari-jarinya, mengerahkan tenaga dan bagaikan ular mematuk, tangannya bergerak turun menyambar ke arah tengkuk Joko Pramono, di belakang telinga.

"Kukkkk!!" Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo dengan cepat menghantam bagian kepala itu. Mulut Joko Pramono mengeluh lirih, tubuhnya seketika menjadi lemas, kedua kakinya tertekuk dan robohlah pemuda itu tanpa dapat bersambat lagi, roboh terguling miring dalam keadaan pingsan!

"Uuugghhh .............. " Joko Pramono menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri. Seluruh tubuhnya juga bergerak-gerak, otot-otot di tubuh itu menegang, akan tetapi ia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Ia membuka mata, memandang ke kanan kiri dan meIihat Pusporini berdiri sambil bertolak pinggang, teringatlah ia dan mulutnya menyumpah, "Bodoh aku! Mudah saja dicurangi seorang bocah! Sudah sepatutnya celaka." Dengan gerakan sukar ia bangun duduk, kembali menggoyang kepalanya yang terasa pening oleh pukulan tiba-tiba tadi. Setelah bumi di sekelilingnya tidak berputaran lagi, ia menentang pandang dara itu, tersenyum mengejek, senyum yang amat dibenci Pusporini lalu berkata,

"Perempuan gagah macam apa kau ini? Kalau memang kau gagah perkasa, hayo lepaskan ikatan kaki tanganku dan kita bertanding sampai tujuh hari tujuh malam!"

Kini Pusporini yang tersenyum, senyum yang membuat wajahnya yang amat manis itu menjadi makin manis melebihi madu. Akan tetapi senyum yang luar biasa manisnya ini menusuk hati Joko Pramono karena senyum itu mengandung ejekan dan penghinaan kepadanya.

"Hi-hik, alangkah enaknya kau minta dibebaskan! Uhh, tak tahu malu benar,muka tebal! Engkau kini sudah tertawan olehku, ini merupakan bukti kuat bahwa engkau sudah kalah olehku. Hi-hik, mau apa lagi?" Sambil tersenyum-senyum mengejek, Pusporini berdiri di depan pemuda itu sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang panjang hitam dan terlepas sanggulnya itu sebagian terurai ke depan menutupi matanya. Pusporini menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya tersingkap ke belakang, sebuah gerakan wanita yang amat indah menarik. Joko Pramono menghela napas panjang, hatinya terserang bermacam-macam perasaan yang teraduk-aduk menjadi satu. Ia marah kepada diri sendiri yang bodoh sehingga kurang waspada dan lengah, ia gemas kepada dara remaja ini yang benar-benar memanaskan hatinya, akan tetapi iapun kagum. Makin lama, makin tertarik hatinya oleh segala polah-tingkah dan gerak-gerik dara. Biarpun sedang marah, mengejek, ketakutan, atau menangis, semua gerak-geriknya memikat hati dan amat manis! Ada sesuatu terpancar keluar dari kepribadian dara ini yang mencengkeram perasaan hatinya, yang membuatnya merasa suka dan gemas, bukan gemas untuk memukul atau membunuh, melainkan gemas untuk mencubitnya dan mendekapnya kuat-kuat, seperti perasaan gemas-gemas sayang seseorang terhadap seorang bayi yang montok menyenangkan. Bahkan saat itupun, di waktu nyawanya terancam bahaya maut di tangan Pusporini, ia tidak dapat membenci dara ini.

"Pusporini, tak usah banyak lagak. Memang aku telah kau curangi, telah kau akali sehingga aku tertawan. Nah, kau mau apakan aku sekarang?"

"Mau diapakan? Kau sudah menyerah? Minta diapakan kau, manusia kurang ajar?"

Joko Pramono tetap tersenyum. Ia sudah menyadari sepenuhnya bahwa ia kini berada di tangan Pusporini yang tentu akan membalas dendam.

"Mau kau apakan terserahlah. Mau bunuh juga, silahkan. Kau kira akupun takut mati? Huh!"

"Bunuh? Nanti dulu! Kau tidak akan mati begitu enaknya, sebelum engkau menerima balasan penghinaan-penghinaan yang telah kau lakukan kepadaku tadi! Kau sekarang menjadi tawananku, hendak kuseret ke depan rakanda adipati agar beliau dapat memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu. Hayoh.............!” Pusporini membungkuk, menyambak rambut pemuda itu yang hitam lalu menyeretnya.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang pemuda sakti mandraguna, kalau baru dijambat dan diseret seperti ini saja tentu Joko Pramono tidak terlalu menderita. Ia malah tertawa dan berkata mengejek,

"Pusporini, kau bilang hendak membalas semua penghinaanku tadi? Tadi kau menjadi tawananku, sekarang aku menjadi tawananmu, ini sudah adil. Tadi aku membawamu pergi dan memondongmu, sekarang .............. hayo kau lekas pondong aku dan bawa lari, baru adil namanya!"

Pusporini bersungut-sungut. Ia kini yang menang, akan tetapi tetap saja pemuda itu yang mengejek-ejeknya.
"Tidak sudi!" bentaknya dan menyeret terus, seperti seorang pemburu menyeret seekor bangkai kijang yang menjadi hasil buruannya. Tubuh Joko Pramono terlentang dan pemuda ini merem melek, kelihatan enak benar diseret seperti itu.

"Wah, angler.............. ! Cepatan lagi, Pusporini, enak benar ini.............. ha-ha..............!" Dan untuk membuktikan omongannya, tak lama kemudian Joko Pramono yang diseret-seret itu tidur mendengkur.

Pusporini makin marah dan mendongkol. Tangannya sudah lelah menyeret. Karena yang dijambaknya rambut, benda lemas ini lama-lama menyakiti jari-jari tangannya. Rambut itu terlalu lemas dan tubuh pemuda itu terlalu berat. Apalagi melalui jalan tanjakan, benar-benar membuat lengannya kesemutan dan lelah sekali. Kini dia yang kecapaian dan pemuda itu keenakan tidur. Ia menyumpah-nyumpah, hatinya panas. Sambil mengerahkan tenaga, ia menjambak lebih keras, lalu lari dan sengaja mengambil jalan berbatu-batu. Tangannya makin lelah dan sakit, akan tetapi Joko Pramono tidak mungkin tidur keenakan lagi karena tubuhnya terbentur-bentur pada batu, berguncang dan terbanting-banting. Benar saja, pemuda itu mengeluh.

"Wah-wah-wah, kau gilakah? Kalau mau bunuh, bunuhlah, mengapa mesti menyiksa seperti ini?"

"Rasakan!"

Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa Pusporini bukan ingin menyiksanya, melainkan ingin membalas kemarahannya, ingin memancingnya dengan siksaan atau apapun juga agar dia ketakutan atau sakit hati, maka ia lalu diam saja dan diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membuat tubuhnya kebal dan tidak terlalu tersiksa oleh bantingan-bantingan di jalan itu.

Benar saja dugaannya, setelah ia diam saja tidak mengeluh, Pusporini merasa kecewa dan marah-marah. Pemuda ini tetap tidak merasa sakit, tidak merasa lelah, sedangkan ia telah mandi peluh, tangannya pedas lengannya kesemutan. Keparat! Kini mereka tiba di dalam hutan, di mana tadi ketika Joko Pramono menawan Pusporini, mereka berhenti dan makan pisang.

"Pusporini .............. mukamu buruk seperti setan kalau begini. Rambutmu awut-awutan, mukamu kotor karena peluh dan debu, lihat kakimu juga kotor berlumpur. Ihhhh, puteri kadipaten kok begini .............. “ Joko Pramono mengejek untuk menambah kemarahan dara itu.

"Brukkk!" Dengan gerakan kasar Pusporini melepaskan jambakannya sehingga kepala Joko Pramono terbanting ke atas tanah. Sejenak dara itu memandang marah, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum kepadanya. Tiba-tiba Pusporini membalikkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu. Akan tetapi tidak lama ia pergi. Sebentar lagi ia sudah kembali ke tempat itu dan .............. kaki tangan dan muka serta lehernya telah bersih sekali, bekas dibersihkan dengan air sungai bening yang mengalir di dalam hutan itu. Juga rambutnya, biarpun tidak disisir rapi, namun tidaklah awut-awutan lagi seperti tadi.

Dalam pandangan Joko Pramono, dia sama sekali tidak tampak lebih cantik karena memang sejak tacil dara itu sudah cantik jelita dan manis dalam pandangannya! Melihat betapa dara itu mencuci muka dan kaki tangan, diam diam Joko Pramono menjadi geli hatinya.

"Nah, begini barulah kau tampak cantik jelita seperti seorang puteri aseli, Pusporini!" Ia amat senang melihat betapa kedua pipi dara itu menjadi merah maka ia terus menggodanya. "Dan mana bawaanmu, Pusporini?"
Dara itu tak dapat mempertahankan kemarahannya, tak dapat terus memuramkan mukanya menghadapi pujian ini. Pertanyaan itu menerjangnya tiba-tiba sehingga tanpa ia sadari, ia menjawab,

"Bawaan apa? Apa maksudmu?"

"Ha-ha-ha-ha! Masa engkau pelupa benar, Pusporini? Bukankah kau bilang bahwa kau akan membalas semua penghinaanku? Lupakah kau bahwa di tempat ini benar aku telah mendulangmu (menyuapimu) dengan pisang dan semangka? Lihat tuh kulit pisang dan kulit semangka masih d situ. Sekarang tentu akan kaubalas penghinaanku tadi. Lekas kaucari buah-buahan yang segar dan lezat, dan kausuapi aku, perutku sudah lapar sekali!"

"Kau .............. lancang mulut! Kau kurang ajar!!" Pusporini marah lagi dan membentak gemas.

Akan tetapi Joko Pramono malah tertawa memanaskan hati.
"Elhooo! Bukankah aku bicara sebenarnya? Untuk membalas seadilnya, sekarang kau harus menyuapkan makanan ke mulutku, kemudian kau pondong aku lagi dan.............. dan .............. kauberikan pundakmu untuk kugigit ..............!”

"Cihh! Laki-laki ceriwis! Kuhancurkan mulutmu!"

Dengan kemarahan meluap, Pusporini melangkah maju, tangannya diangkat untuk menghantam muka pemuda itu. Joko Pramono tetap tersenyum dan memandang dengan sepasang mata yang sama sekali tidak kelihatan takut, wajahnya berseri. Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Tangan yang sudah diangkatnya itu mendadak menjadi lemas, tidak kuasa ia menurunkan tangannya menghantam muka yang tersenyum seperti itu, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar tajam seperti sepasang bintang.

"Kau .............. memang kurang ajar!" Hanya demikian ia berkata.

"Pukullah, mengapa tidak jadi? Pukullah agar sempurna ketidak adilanmu terhadap aku. Aku merobohkanmu dengan pertandingan, sebaliknya kau merobohkan aku dengan akal curang. Aku menawanmu dan rrembawa pergi dengan memondongmu, sebaliknya engkau menawan dan membawaku pergi dengan menyeret-nyeretku. Aku memberimu makan buah agar kau tidak kelaparan, sebaliknya engkau memberi makan aku dengan maki-makian! Engkau menggigit pundakku sampai matang biru dan aku .............. “

"Cukup! Cerewet amat engkau ini!" Pusporini kembali menyambar rambut Joko Pramono dan menyeretnya pergi melanjutkan perjalanan. Ingin ia lekas-lekas sampai di Selopenangkep menyerahkan orang yang memusuhi Kadipaten Selopenangkep ini kepada rakandanya, agar la bebas dari orang yang selalu menimbulkan gemas di hatinya ini.

Akan tetapi belum jauh ia pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu, seperti setan saja agaknya, di depan Pusporini telah berdiri dua orang. Dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro! Wanita cantik jelita yang berwajah angker dan bersinar mata kejam itu berdiri tegak memandang Pusporini, kemudian melirik ke arah Joko Pramono yang rebah telentang dalam keadaan terbelenggu pula.

Wanita ini kelihatan marah, alisnya yang tipis dan ditebalkan dengan penghitam, berkerut, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pengebut yang terbuat daripada ekor kuda berwarna kemerahan. Adapun Ki Kolohangkoro yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, berdiri seperti sebuah tugu, kokoh kuat menyeramkan. Matanya yang lebar memandang Pusporini, mulutnya menyeringai dan sikapnya memandang rendah. Kepada Joko Pramono, ia menengokpun tidak.

Joko Pramono yang tadlnya terseret meramkan matanya, kini la membuka mata dan ia memandang dua orang itu penuh perhatlan. Sebagal murld seorang sakti, ia dapat menduga bahwa dua orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu memlliki kesaktlan tinggl. Akan tetapi karena tidak mengenal Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, sesuai dengan wataknya, ia tidak gentar dan bahkan memandang rendah. Maka iapun tersenyum, dan mengejek ketika melihat betapa Pusporini tampak khawatir,

"Eh, Pusporini, sekarang kau baru tahu rasa, bertemu dengan dua orang siluman penjaga hutan!"

Pusporini tidak memperdulikan pemuda itu, hanya siap dengan waspada, ingin melakukan perlawanan mati-matian sungguhpun ia tahu bahwa Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu menjadi pemimpin para penyembah Durga di puncak Gunung Mentasari tentulah memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, bahkan jauh lebih sakti daripada Sariwuni!

Ni Dewl Nilamanik membuka mulut, terdengar suaranya yang lemah lembut, akan tetapi mengandung getaran penuh nafsu dan kekejaman,

"Pusporini, hayo lekas kau maju berlutut dan minta ampun, baru aku dapat mengampunlmu dan membawamu menghadap sang wasl yang menantlmu di puncak."

Pusporini teringat akan pengalamannya di puncak Mentasari, la bergidik dan timbul kenekatannya. Lebih baik mat! dalam perlawanan daripada menyerah dan mengalami penghinaan yang hebat di tempat neraka itu. Ia mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya mencelat maju menerjang, mengirim pukulan Bojro Dahono yang belum sempurna itu ke arah dada Ni Dewi Nilamanik. Sungguh seperti seekor capung menyerang gapura batu! Jangankan Aji Bojro Dahono itu belum terlatih sempurna, andaikata sudah sempurna latihannya sekalipun, belum tentu Pusporini dapat merobohkan Nilamanik dengan sekali pukul.

Wanita penyembah Durga itu mengikik tertawa, tubuhnya lama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya kebutan di tangannya bergerak dan tahu-tahu ujung bulu kebutan itu menerima pukulan Pusporini, membelit pergelangan tangannya dan sekali sendal, tubuh Pusporini terlempar ke belakang dan jatuh tunggang-langgang!

"Huah-ha-ha-ha! Bocah ini seperti seekor singa betina!" Ki Kolohangkoro tertawa bergelak ketika melihat betapa Pusporini yang terbanting jatuh itu telah meloncat bangun dengan sigapnya dan sama sekali tidak tampak ketakutan membayang di wajah yang manis itu, bahkan wajah itu membayangkan kebencian dan kemarahan besar ketika dara ini melangkah maju dan siap menerjang lagi.

"Kolohangkoro, engkau jangan tertawa-tawa saja. Hayo kauwakili aku tangkap bocah ini!" Ni Dewi Nilamanik berkata kepada temannya itu dengan suara memerintah.

"Baiklah, Ibunda Dewi! Eh, bocah perawan galak! Kenapa kau tidak lekas-lekas tunduk akan perintah Ibunda Dewi? Hayo berlutut kau!" Sambil berseru demikian, Ki Kolohangkoro menubruk kedepan, ke arah Pusporini.

Dara yang sudah siap siaga ini dengan kemarahan memuncak menyambut tubrukan Ki Kolohangkoro dengan pukulannya, kini ia menggunakan kedua tangannya, mengerahkan Aji Pethit Nogo, tangan kiri menampar ke arah leher dan tangan kanan menghantam ke arah dada.

"Plak-plak ..............”

Dua pukulan Pethit Nogo itu tepat mengenai leher dan dada Ki Kolohangkoro. Akan tetapi raksasa itu hanya terkekeh tertawa dan dua pukulan itu membalik, bahkan Pusporini merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi sakit-sakit dan panas, seakan-akan memukul baja yang amat kuatnya. Sebelum ia sempat mengelak, kedua pundaknya sudah dipegang oleh tangan-tangan yang besar itu dan ia dipaksa berlutut dengan tekanan seperti gunung beratnya. Tak dapat lagi Pusporini menahan tubuhnya dan kedua lututnya sudah tertekuk, ia berlutut di atas tanah.

"Keparat, lepaskan dia"

Tiba-tiba tubuh Koko Pramono menerjang maju. Pemuda ini sebetulnya tadi hanya berpura-pura saja ketika ditawan Pusporini. Kalau ia mau, dengan tenaga saktinya ia mampu membebaskan diri daripada ikatan kaki tangannya. Kini, melihat betapa dua orang yang dipandang rendah itu ternyata sakti bukan main, ia terkejut dan cepat-cepat ia meronta dan membebaskan diri. Melihat betapa Pusporini tidak berdaya menghadapi Ni Dewi Nilamanik dan kini bahkan ditekan dan dipaksa berlutut oleh Ki Kolohangkoro, ia sudah menerjang maju dan mengirim serangan pukulan ke arah punggung Ki Kolohangkoro.

Kakek raksasa yang sakti mandraguna inipun memandang rendah. Ia tahu bahwa ada orang memukulnya dari belakang, akan tetapi karena ia tadi sudah melihat bahwa orang yang terbelenggu dan kini terlepas dan menyerangnya itu hanyalah seorang pemuda, maka ia sengaja diam saja, mengerahkan tenaga ke arah punggung untuk menyambut pukulan.

"Desss ..............

Joko Pramono berseru kaget dan memegangi tangan kanannya yang serasa remuk tulang-tulangnya, akan tetapi Ki Kolohangkoro juga berseru kaget karena tubuhnya terhuyung ke depan dan pegangannya pada pundak Pusporini terlepas. Tak disangkanya bahwa pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya! Melihat ini, Ni Dewi Nilamanik menjadi kagum dan tertarik.

"Aihhh, boleh juga bocah ini!" Kedua kakinya tidak tampak bergerak, akan tetapi tubuhnya sudah melayang ke arah Joko Pramono.

Pemuda ini maklum bahwa wanita ini amat sakti, bahkan agaknya lebih sakti daripada si raksasa tua, maka iapun cepat menahan rasa nyeri pada tangannya dan menyambut datangnya Ni Dewi Nilamanik dengan sebuah pukulan tangan kiri. Tubuhnya agak merendah, hampir berjongkok dan tangan kirinya dengan tenaga penuh menonjok ke arah perut lawan.

"Ceppp.............. !!”

Pukulan Joko Pramono itu bukanlah pukulan sembarangan. Itulah aji pukulan yang amat tua dan ampuh, yang sudah jarang dikenal orang. Aji ini disebut aji pukulan Cantuka Sekti yang hebat sekali. Akan tetapi begitu mengenai perut Ni Dewi Nilamanik, tangan kirinya itu amblas ke dalam perut, masuk ke perut sampai ke pergelangan tangan dan tak dapat ditarik kembali! Joko Pramono terkejut, cepat ia memukul dengan tangan kanannya yang masih sakit, akan tetapi tiba-tiba kebutan ekor kuda di tangan Ni Dewi Nilamanik berkelebat, ujung kebutan mengenai pundak laIu berkelebat lagi mencium punggung dan .............. seketika lemaslah tubuh Joko Pramono! Tidak hanya kedua lengannya yang tumpuh, juga kedua kakinya kehilangan tenaga dan ia tentu sudah roboh terguling kalau saja tangan kirinya tidak terjepit di perut wanita itu!

Kini sambil tersenyum dan mengeluarkan suara memuji kagum, Ni Dewi Nilamanik mempergunakan tangan kirinya, meraba-raba seluruh tubuh Joko Pramono, dari kepala terus turun, ke lehernya, dadanya, pundaknya, lambungnya, pusarnya, terus turun sampai ke kakinya.

"Bagus .............. , bagus .............. , sukar mendapatkan bocah sebaik ini............!” katanya memuji. Joko Pramono bergidik seluruh tubuhnya, menggigil dan ngeri sekali.

"Kaulepaskan dia, perempuan tak tahu malu!" Kini Pusporini yang menerjang maju menyerang Ni Dewi Nilamanik.

Memang aneh watak dara ini. Tadi ia membenci Joko Pramono, gemas dan ingin menyiksanya, ingin menyakitkan hatinya. Akan tetapi, begitu melihat pemuda itu tadi membelanya dan kini terjatuh ke dalam tangan wanita iblis yang Sakti itu ia melupakan kelemahan sendiri dan menyerang dengan nekat. Akan tetapi, gerakannya terhenti ketika tiba-tiba pinggangnya disambar orang dari belakang dan ia hanya dapat meronta-ronta dalam kempitan dengan tangan Ki Kolohangkoro yang amat kuat.

"Ha-ha-ha, Ibunda Dewi. Engkau mendapatkan si bagus itu dan ramanda wasi mendapatkan si manis ini, benar-benar pasangan yang cocok, memenuhi selera kalian. Heh, adapun aku .............. ha-ha, aku akan puas kalau Ibunda dapat memberi seperti kemarin itu satu lagi saja."

Ni Dewi Nilamanik menggerakkan tangan klrinya dan tubuh Joko Pramono juga sudah dikempitnya, lalu menoleh kepada Ki Kolohangkoro.

"Engkau rakus sekali, Kolohangkoro! Marilah, jangan kita membuat rakanda wasi terlalu lama menanti. Kalau kau menghaturkan bocah itu kepadanya, tentu dia akan senang hati dan mungkin suka menurunkan ilmu yang kau idam-idamkan itu."

"Aji Werjit Kencana? Aha, aku akan rela menukar ilmu itu dengan lengan kiriku, Ibunda Dewi. Akan tetapi tidak mungkin ramanda wasi sudi menurunkan aji itu kepadaku, kecuali kalau Ibunda suka membantuku membujuknya."

"Bagaimana nanti sajalah, Kolohangkoro. Hayo kita pergi!"

Dua orang yang sakti mandraguna, keduanya adalah pemimpin dari agama pecahan yang terdiri dari orang-orang penyembah Bhatari Durga dan Bathara Kala, dengan gerakan luar biasa cepatnya telah berkelebat meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh dua orang muda yang setengah pingsan dan sama sekali tidak mampu berkutik lagi.

Waktu itu, hari telah mulai ditelan senja, keadaan menjadi remang-remang. Bayangan dua orang sakti itu seperti bayangan iblis sendiri, berkelebat keluar dari dalam hutan. Tiba-tiba terdengar suara yang halus, suara orang membaca mantera, suara yang mengandung getaran halus yang bergelombang dan seketika tubuh dua orang sakti itu menggigil dan otomatis kaki mereka berhenti melangkah.

Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seperti terpaku pada tanah, mata mereka memandang seorang kakek yang duduk bersila di depan mereka, di pinggir jalan yang mereka lalui, seorang kakek yang pakaiannya seperti pakaian seorang pertapa akan tetapi robek-robek dan butut seperti pakaian seorang jembel. Kakek ini duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, matanya meram, rambutnya riap-riapan, tangan kiri memegang sebuah batok kelapa dan tangan kanan memegang sebuah sapu, yaitu seikat sapu lidi. Kakek ini seperti tidak tahu akan kehadiran mereka dan terus membaca mantera dengan suaranya yang halus mengandung getaran mujijat,

"Om, Ksantawya kayika dosah, Ksantawya wacika mama, Ksantawya manasa dosah, Tat pranadam ksama swamam. Shanti.............. shanti .............. shanti”

(Ya Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari tingkah laku, ampunilah kesalahan kami dari kata-kata, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari fikiran. Damai.............. damai .............. .).

Ki Kolohangkoro mendengus dan membuat gerakan hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi Ni Dewi Nilamanik mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan, memberi isyarat kepada raksasa itu untuk berhenti dulu. Kemudian, Ki Kolohangkoro memandang dengan mata terbelalak heran ketika ia melihat Ni Dewi Nilamanik melempar tubuh Joko Pramono ke atas tanah, kemudian wanita sakti ini menghampiri kakek yang duduk bersila, menekuk lutut di depan kakek itu dan menyembah! Selagi ia terheran-heran dan bingung, ia mendengar Ni Dewi Nilamanik berkata,

"Paman resi, mohon maaf sebesarnya bahwa hamba berlaku kurang hormat karena tidak mengira akan bertemu dengan Paman di sini. Hamba mohon diperkenankan lewat."

Ki Kolohangkoro membelalakkan kedua matanya. Inilah suatu keanehan yang tak pernah ia saksikan atau dengar selama hidupnya, Ni Dewi Nilamanik bersikap begini merendah! Menyembah-nyembah dan mohon diperkenankan lewat! Apa-apaan ini? Siapakah jembel tua ini?

Kakek itu membuka kedua pelupuk matanya dan Ki Kolohangkoro makin terkejut. Mata itu tidak ada maniknya, hanya putih saja. Kakek jembel tua renta yang buta! Akan tetapi, suara kakek ini penuh getaran yang berwibawa ketika ia berkata,

"Wahai, Nilamanik. Makin tebal saja uap kotor menyelimuti dirimu. Ahhhh.............. betapa sedih hatiku karena ini, Nilamanik. Sesal kemudian tiada guna, mengapa tidak juga mau bertaubat sebelum terlambat?"

Ni Dewi Nilamanik tidak menjawab, hanya mengangkat muka memandang penuh rasa takut. Hal ini membuat Ki Kolohangkoro marah sekali. Kakek tua bangka jembel buta begini saja mengapa ditakuti? Sekali tiup juga akan roboh! Mengapa mendadak saja Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu amat sakti mandraguna, tidak kalah olehnya itu kini menjadi begini penakut? Karena kemarahannya, Ki Kolohangkoro juga melempar tubuh Pusporini ke atas tanah, lalu menggeleng-geleng kepalanya sehingga anting-anting telinganya bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara berdering.

"Ibunda Dewi! Apa-apaan ini? Mengapa ibunda merendahkan diri sedemikian rupa terhadap seorang tua bangka jembel buta yang hina-dina? Seorang jembel lebih hina daripada seorang sudera, biar dia berpakaian resi akan tetapi keadaannya melebihi jembel yang paling miskin! Harap ibunda suka mundur, biar kuhancurkan dia sekali pukul, kurobohkan dia sekali tiup dan kulemparkan . dia sekali tendang! Mundurlah, Ibunda Dewi!"

"Kolohangkoro .............. Jangan sembrono kau !" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi Ni Dewi Nilamanik sudah bangkit berdiri dan mengundurkan diri, memandang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Kakek ini mengangkat muka, dihadapkan ke arah Ki Kolohangkoro, lalu tersenyum dan keluarlah suara ketawa halus dari kerongkongannya.

"Bahkan Sang Hyang Bathara Kala sendiri, hanya dapat bergerak untuk memenuhi tugas, tidak akan mampu mengganggu selembar rambut manusia apabila tidak dikehendaki Sang Hyang Widhi Wasesa! Andika ini siapakah, begini berani hendak mendahului dan memperkosa kehendak Sang Hyang Trimurti?"

"Ha-ha-ha-ha! Kakek jembel tua bangka, sikap dan kata-katamu sombong bukan main, seolah-olah hanya engkau seorang di dunia ini yang paling tahu! Agar engkau tidak mati penasaran sehingga nyawamu akan menjadi setan gentayangan, dengarlah bahwa calon pembunuhmu ini adalah Ki Kolohangkoro!"

Kakek itu mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga........... sudah kuduga.......... waaah, Nilamanik, engkau benar-benar jauh tersesat........... “

Ki Kolohangkoro tak dapat menahan kemarahannya lagi. Mukanya menjadi merah, hidungnya mendengus seperti mengeluarkan hawa panas berapi, otot-otot di tubuhnya menggembung. Diapun bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia dapat menduga bahwa sedikit banyak, kakek jembel itu tentu memiliki kepandaian, sungguhpun ia tidak memandang sebelah mata. Maka ia lalu mengerahkan aji kesaktiannya, seluruh tubuhnya mengeluarkan bunyi berkerotokan seolah-olah semua tulangnya saling beradu. Kemudian ia membentak,

"Terimalah kematianmu!" dan tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju, menubruk kakek yang masih duduk bersila itu dan kedua tangannya dengan kepalan sebesar buah kelapa menyambar dari kanan kiri ke arah kepala si kakek jembel.

Kakek tua renta itu tidak mengelak, hanya menggerakkan tangan kanan yang memegang sapu lidi lambat-lambat dan perlahan ke atas.

"Heeeitttt .............. auuggggghhh………”

Tubuh raksasa Ki Kolohangkoro tergetar dan terdorong ke belakang, kedua kakinya menggigil-gigil dan dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencegah tubuhnya terdorong roboh. Ia membelalakkan matanya memandang kakek yang masih duduk bersila itu. Tadi ia hanya merasa betapa kedua pukulannya terbentur oleh hawa yang menyambar keluar dari sapu lidi dan tanpa menyentuh sapu lidi itu, apalagi tubuh si kakek, ia telah terdorong oleh hawa sakti yang mujijat sehingga hampir roboh! Tentu saja ia menjadi marah dan penasaran sekali.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 034 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment