Ads

Monday, February 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 038

<<== Kembali <<==

"Hah, Biku Janapati! Perlu apa banyak berbantah dengan dia? Sekarang akupun teringat siapa dia itu!" Sang Wasi Bagaspati kini berkata, suaranya penuh ejekan dan kemarahan. "Hei, engkau pertapa sombong yang berada di depan! Bukankah engkau ini yang dahulu disebut Bhagawan Sirnasarira yang pernah menyelamatkan Airlangga di Wonogiri dari tanganku? Engkau memang selalu membela keturunan Mataram akan tetapi lidahmu yang tak bertulang pandai mengelak dan menyangkal, itu bukan perbuatan orang gagah dan kalau kau memang berkepandaian, mari kita mengadu kesaktian! Sang Hyang Bathara Shiwa yang maha kuasa melebur seisi jagad akan menghancurkan pula orang berlagak dewa seperti engkau!"

Ucapan yang kasar penuh tantangan dari Wasi Bagaspati ini dikeluarkan dengan suara yang nyaring sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi gentar dan tegang hatinya. Makin terasalah kesunyian di puncak itu setelah Sang Bagaspati menghentikan kata-katanya. Sejenak kakek aneh itu tidak menjawab, sesaat kemudian barulah terdengar lagi suara halus dari balik kabut itu,

"Hemmmm, Wasi Bagaspati, seperti tadi Biku Janapati menyebut aku Jaendrya, engkaupun boleh menyebutku sesuka hatimu, Sirnasarira atau apa saja terserah, tiada bedanya. Kalau dahulu aku menyelamatkan Airlangga, bukan sekali-kali aku menyelamatkan keturunan Mataram atau seorang yang bernama Airlangga, melainkan menyelamatkan seorang manusia yang sedang dilanda kesengsaraan dan mencegah manusia lain yang hendak menggunakan kekuatan dan kelebihan untuk bersikap sewenang-wenang seperti yang kaulakukan, Wasi Bagaspati!"

"Heh, Bhagawan Sirnasasira yang sombong! Engkau memiliki wawasan sendiri, apa kaukira aku tidak mempunyai pendapat sendiri pula? Engkau tahu aku pemuja Sang Hyang Bathara Shiwa, dan aku berhak mengabdi kepadaNya. Memanglah menjadi kekuasaanNya untuk menghancurkan isi jagat. Apakah kau hendak menentang dan berani melawan kekuasaanNya?"

"Wahai, Wasi Bagaspati, sungguh menyeleweng wawasanmu! Memang kita sama tahu bahwasanya ada tiga sifat Yang Maha Kuasa, yaitu mencipta, memelihara, dan menghancurkan. Ketiga sifat yang saling menyusul, saling bersambung dan saling menghidupkan sehingga terbentuk lingkaran sempurna. Memang betul bahwa Sang Hyang Bathara Shiwa yang menguasai sifat terakhir tadi, berhak dan berkuasa menghancurkan. Akan tetapi betapapun juga, tidak akan melanggar, mendahului atau tertinggal oleh Dharma! Segala macam kehancuran yang dilaksanakan oleh Sang Hyang Shiwa demi pelaksanaan tugas adalah selaras dengan Dharma (kebenaran), tak lebih tak kurang. Adapun Dharma daripada para Dewata merupakan rahasia bagi manusia, Wasi Bagaspati, karena itulah maka seringkali timbul persangkaan daripada manusia betapa tidak adilnya kehancuran yang menimpa dirinya. Padahal, semua itu sudah adil, sudah tepat, sudah semestinya karena berlandaskan Dharma. Adapun untuk kita manusia, yang tahu akan baik buruk, akan benar salah menurut pertimbangan dan pendapat serta pengetahuan kita adalah tentu saja menurut pertimbangan ini, yang baik, yang benar, menjunjung kebajikan. Lupakah engkau akan nasehat dalam ajaran agamamu yang berbunyi begini :.............. •

"Prihen temen dharma dhumaranang sarat.

Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya shakti sang sayana dharma raksaka."
(Carilah) sungguh-sungguh kebenaran
untuk mengatur masyarakat.
Bagi orang jujur Itulah yang diturut,
Bukan harta bukan kasth bukan pula jiasa
Kuat sang budiman karena berpegang kepada Dharma.)

"Huah-ha-ha-ha-ha! Kau pertapa tua bangka yang sombongi Lagakmu seperti hendak memberi wejangan para dewata di Suralaya! Semenjak muda, puluhan tahun aku memuja Sang Hyang Bathara Shiwa, apa kaukira aku belum dapat mengenal isi daripada pelajarannya?"

"Wasi Bagaspati! Mengenal tanpa pengertian tiada gunanya. Mengerti tanpa pelaksanaan juga kosong melompong. Yang dipuja isinya, bukan kulitnya. Engkau tidak memuja keadilan Sang Hyang Shiwa, melainkan memuja kekuatannya. Kekuatan yang dipergunakan bukan dengan landasan kebenaran, sesungguhnya hanyalah kelemahan yang amat lemah. Mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kelebihan untuk berlaku sewenang-wenang, hanya menimbun racun yang akhirnya akan meracuni dan merusak diri pribadi. Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti! Lupakah engkau akan hal itu, Sang Wasi Bagaspati?"
"Aaaauuuurrggghhhh .............. !!!" Pekik yang keluar dari dalam dada Wasi Bagaspati melalui kerongkongannya ini hebatnya bukan main. Para perajurit sampai jatuh bertekuk lutut karena tidak dapat bertahan, mereka berlutut dan menggigil. "Bhagawan Sirnasarira! Mari kita mengadu kesaktian! Lihat kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa, keparat!"

Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya dan tiba-tiba di tangan kanannya sudah memegang sebuah senjata yang mengeluarkan cahaya gemilang menyilaukan mata. Senjata ini bentuknya seperti sebuah senjata cakra, bergagang tombak akan tetapi ujungnya berbentuk lingkaran yang mempunyai banyak mata tombak. Tiba-tiba angin besar datang bertiup ketika pendeta ini mengangkat senjata itu ke atas kepalanya. Ia kelihatan menyeramkan sekali! Mukanya yang selalu merah itu kini seolah-olah berubah menjadi bara api yang mengeluarkan asap yang menyelubungi mukanya, namun masih ditembusi sinar matanya yang seperti kilat menyambar. Ketika angin bertiup, rambutnya yang panjang putih itu melambai berkibar-kibar seperti bendera. Angin makin besar dan tiba-tiba langit tertutup mendung, disusul geledek menyambar-nyambar diiringi kilat.

Para perajurit makin ketakutan dan kini semua orang, termasuk para perwira, bertekuk lutut dan menyembunyikan muka di balik kedua tangan, penuh ketakutan dan kengerian. Dunia seolah-olah hendak kiamat, bumi bergetar dan pohon-pohon besar seperti akan tumbang.

Kembali Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik dahsyat. Kilat dan geledek makin hebat mengamuk dan turunlah air hujan seperti dituang dari langit, air hujan yang besar-besar dan berjatuhan menimpa kulit menimbulkan rasa nyeri. Makin ributlah para perajurit kedua fihak.

"Sadhu-sadhu-sadhu.............. , kembali kau tak dapat menguasai nafsu kemarahanmu, saudaraku Wasi Bagaspati .............. !" terdengar suara Biku Janapati yang halus akan tetapi mengatasi suara ribut dan ledakan-ledakan petir.

Anehnya, tidak ada air hujan yang menimpa tubuh pendeta Buddha ini. Tubuhnya seakan-akan terlindung sebuah kurungan yang tak tampak sehingga air hujan yang menimpa dari atas menyeleweng semua ke sekeliling tubuhnya! Hal ini membuktikan pendapat Ki Tunggaljiwa dahulu kepada Tejolaksono bahwa tingkat ilmu kesaktian Sang Biku Janapati masih lebih tinggi daripada Sang Wasi Bagaspati.

Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa puncak di mana kakek aneh bersama Bagus Seta dan Tejolaksono berada, sama sekali tidak terganggu oleh keadaan yang menyeramkan ini. Jangankan hujan dan kilat, bahkan anginpun yang lewat hanyalah angin gunung sumilir sejuk! Awan hitam yang tampaknya hendak menyerang daerah ini, membalik lagi, demikian pun angin dan geledek!

"Wasi Bagaspati!" terdengar suara kakek di Batik kabut itu dengan suaranya yang halus namun menembus semua kegaduhan dan terdengar oleh semua orang yang berada di situ. "Kekuasaan dan kesaktian yang didasari oleh sifat tidak benar, tidak adil, dan sewenang-wenang, hanya akan meracuni diri pribadi!" Tangan kiri kakek itu terangkat ke atas dan .............. semua keadaan yang menakutkan itupun lenyaplah. Keadaan menjadi terang kembali, tidak ada angin, tidak ada awan, tidak ada hujan maupun kilat. Akan tetapi bekas-bekas amukannya masih tampak, pakaian para perajurit basah semua, pohon-pohon tumbang.

"Pertapa keparat! Berani engkau menghina murid terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa............. ?" Wasi Bagaspati berteriak-teriak marah dan dilontarkannyalah senjata cakra di tangannya itu ke udara.

Senjata itu mengaung dan meluncur cepat bagaikan bernyawa, menuju ke puncak depan. Tampak oleh semua perajurit betapa senjata yang kini merupakan cahaya merah itu melayang-layang dan turun hendak menerjang tubuh si kakek aneh di seberang puncak. Akan tetapi, senjata itu hanya melayang-layang dan mengitari tubuh sang pertapa, seakan-akan tidak kuasa menembus cahaya berembun, kemudian terbang kembali menuju Wasi Bagaspati yang menerima pusakanya sambil membanting-banting kaki.

"Sadhu-sadhu-sadhu .............. , dia amat sakti mandraguna, senjata dewatapun tidak akan mempan. Saudaraku, tiada gunanya melawan. Seorang bijaksana dapat menyadari keadaan sebelum terlambat. Lebih baik kita mundur sebelum hancur. Sang Sakti Jitendrya bukanlah lawan kita."

Setelah berkata demikian, Biku Janapati lalu melangkah turun dari puncak itu tanpa menoleh lagi, pergi secara terburu-buru. Melihat betapa temannya yang dapat ia andalkan telah pergi, hati Wasi Bagaspati mulai menjadi gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya, disalurkan ke dalam sinar matanya dan dengan kekuatan gaib ini ia memandang ke puncak depan dan berhasil menembus kabut yang menyelimuti wajah lawan. Begitu ia dapat memandang wajah kakek di depan itu, mukanya menjadi pucat dan ia segera membuang muka, lalu melambaikan tangannya memberi isyarat kepada semua anak buahnya dan hanya satu kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun cukup jelas dan lantang,

"Mundur..............”

Bagaikan rombongan semut ditiup, bergeraklah semua perajurit anak buahnya, dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan kawan-kawannya yang juga pucat wajahnya, tanpa mengeluarkan suara mereka semua pergi dari situ, seolah-olah takut bahwa sedikit suara akan mendatangkan malapetaka bagi mereka. Tidak sampai terlalu lama, Gunung Merak telah ditinggalkan Wasi Bagaspati dan seluruh pasukan pengikutnya, tinggal para perajurlt Panjalu yang masih berlutut sambil memandang ke arah puncak di mana kakek aneh itu masih berdiri tegak. Di sampingnya berdiri Bagus Seta dan di depannya berlutut Tejolaksono. Setelah semua lawan pergi, Bagus Seta kini pun menjatuhkan diri berlutut, menghadapi ayahnya dan terdengar suaranya memanggil,

"Kanjeng rama.............. !!”

"Anakku Bagus Seta .............. “

Mereka saling pandang dan dari pandang mata ini saja tercurah kasih sayang yang amat besar. Adipati Tejolaksono maklum bahwa puteranya telah menjadi seorang gagah dan sakti, yang tentu saja tidak mau tunduk terhadap perasaan dan nafsu sehingga rasa rindu yang membuatnya ingin sekali memeluk ayahnya telah ditekannya dengan kuat. Tejolaksono sendiri seorang yang sakti mandraguna, ia tidak mau memperlihatkan kelemahan dan keharuan, maka ia hanya memandang wajah puteranya dengan sepasang mata terasa panas karena menahan keluarnya air mata. Tiba-tiba dari balik kabut yang menyelimuti wajah kakek itu terdengar suara halus,

"Sang adipati, dharma bakti menuntut pengorbanan. Relakan puteramu untuk lima tahun lagi agar kelak berguna bagi tegaknya kebenaran dan keadilan."

Tejolaksono memandang dan ia melihat seperti apa yang disaksikan Wasi Bagaspati tadi, melihat wajah yang cemerlang, sukar ditentukan bentuknya, hanya tampak sebuah wajah seperti bayangan, wajah yang terlalu lembut, terlalu halus, terlalu cemerlang seperti keadaan langit bermandi cahaya matahari pagi, indah dipandang namun tak kuat mata lama-lama memandang, sehingga ia menundukkan muka dan tidak berani mengeluarkan suara. Di sudut hatinya, ia mengakui kebenaran kata-kata yang ditujukan kepadanya itu. Memang tiada dharma bakti dapat terlaksana dengan baik tanpa pengorbanan, tiada kebajikan dapat dilaksanakan tanpa pengorbanan. Namun pengorbanan lahir belaka!

Betapapun juga, ia tetap seorang manusia biasa yang ada kelemahannya, seorang ayah yang rindu kepada putera tunggalnya. Biarpun dengan kebijaksanaan ia yakin akan kebenaran pendapat kakek itu, namun perasaan hatinya menjadi trenyuh dan terharu. Haruskah ia berpisah selama lima tahun lagi dengan puteranya yang baru sekarang ia jumpai setelah berpisah lima tahun? Tergetar seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia memandang puteranya. Akan ia serahkan keputusannya kepada puteranya sendiri. Seorang ayah berkewajiban membimbing puteranya kalau putera itu masih kecil. Akan tetapi Bagus Seta bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan kalau si anak sudah dewasa, si ayah harus menyerahkan kekuasaan kepada si anak sendiri. Dia kini hanya menjadi pengawas, penasehat, dan pelindung agar langkah-langkah anaknya tidak menyeleweng daripada kebenaran.

Kakek itu menggerakkan kedua kakinya, membalikkan tubuh dan melangkah pergi perlahan-lahan, tanpa sepatah kata-pun kepada Tejolaksono dan puteranya. Agaknya kakek ini pun tidak menggunakan paksaan kepada ayah dan anak.

Ayah dan anak ini saling pandang dengan sinar mata seolah-olah hendak menembus dada masing-masing, menjenguk hati masing-masing. Lalu Bagus Seta tersenyum, menggerakkan tangan mengambil bunga cempaka putih yang tadi terselip di atas telinganya.

"Kanjeng rama, hamba mohon maaf bahwa sampai sekarang hamba belum juga dapat berdharma bakti kepada rama ibu. Hamba harus memperdalam ilmu selama lima tahun lagi, dan mohon paduka sudi menyerahkan bunga ini kepada kanjeng ibu sebagai pengganti jasmani hamba."

Dengan jari-jari tangan tergetar Tejolaksono menerima kembang cempaka putih dari tangan puteranya, hatinya penuh kekaguman dan kecintaan. Ia dapat meraba dengan perasaan dan kewaspadaannya bahwa puteranya kelak akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan kini sentuhan ujung jari tangan mereka saja sudah mendatangkan getaran hawa yang mendatangkan rasa nyaman, pandang mata yang halus itu begitu penuh wibawa dan pengaruh murni.

"Baik, puteraku.............. aku.............. aku mengerti.............. " Hanya demikian Tejolaksono dapat mengeluarkan kata-kata sambil menekan keharuan hatinya.

Bagus Seta meninggalkan senyum yang membuat hati ayahnya makin terharu karena pada senyum itu selain Tejolaksono dapat melihat pengertian yang mendalam, juga senyum itu sama benar dengan senyum Ayu Candra! Bagus Seta sudah melangkah pergi mengikuti bayangan gurunya dan biarpun guru dan murid itu melangkah perlahan, namun dalam sekejap mata saja mereka telah turun dari puncak!

Setelah bayangan kedua orang. itu lenyap, Tejolaksono menggoyang-goyang kepalanya seperti orang baru bangun dari mimpi. Ia menoleh dan melihat betapa para perajuritnya yang kehilangan musuh itu masih berlutut semua seperti orang-orang yang kehilangan semangat, bengong dan tak tahu harus berbuat apa. Semua yang mereka saksikan tadi adalah terlalu besar, terlalu aneh dan terlalu menyeramkan bagi mereka sehingga mereka hampir tidak dapat mempercayai kedua mata sendiri.

Tejolaksono bangkit, memandang cempaka putih dan mencium bunga yang harum ini. Keharuman bunga itu meresap terus sampai di hati dan aneh sekali rasanya, keharuman bunga ini seolah-olah menyiram hatinya dan membuat hatinya kuat, mengusir keharuan dan kekecewaan. Bukan main kagum hati Tejolaksono, kagum dan bangga. Puteranya begini hebat, pikirnya. Dengan penuh rasa sayang ia menyimpan bunga itu ke dalam saku dalam, kemudian ia menuruni puncak. Barulah pasukannya mendapatkan kembali semangat mereka ketika melihat pimpinan mereka berada di antara mereka. Segera mereka memenuhi perintah Tejolaksono, mengurus yang gugur dan merawat yang luka. Kemudian Tejolaksono membawa pasukannya kembali ke Selopenangkep.

Dalam perjalan pulang ini saja sudah tampak perubahan besar sekali. Tidak pernah merekabertemu lawan dan di sepanjang jalan Tejolaksono mendengar dari para penduduk bahwa pengacau-pengacau yang tadinya mengganggu dusun-dusun di sekitar perbatasan daerah Panjalu kini telah pergi semua! Makin ke timur, makin baiklah keadaannya, tidak terjadi gangguan-gangguan lagi.

Penduduk yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi di puncak Gunung Merak, menganggap bahwa larinya semua musuh ini adalah akibat "pembersihan" yang dilakukan oleh Tejolaksono, maka dimana-mana rakyat menyambut pasukan Tejolaksono dengan penuh syukur dan kegembiraan. Namun, para perajurit dan Tejolakscno sendiri khususnya, mengerti bahwa semua ini adalah jasa kakek sakti luar biasa yang disebut Bhagawan Jitendrya oleh Biku Janapati dan disebut Bhagawan Sirnasarira oleh Wasi Bagaspati. Pengaruh pertapa luar biasa inilah yang membuat dua orang pucuk pimpinan musuh itu menjadi gentar dan memerintahkan penarikan mundur semua anak buah mereka.

Tejolaksono menanti sampai sebulan di Selopenangkep. Setelah mendapat kenyataan bahwa semua daerah benar-benar sudah aman, berangkatlah ia membawa sisa pasukannya ke Panjalu, menghadap sang prabu dan membuat laporan selengkapnya, juga ia melaporkan tentang munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati sebagai utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya dan Cola dan betapa kedua orang ini telah dapat ditundukkan dan ditaklukkan oleh seorang kakek sakti yang oleh kedua orang itu disebut Bhagawan Jitendrya dan juga Bhagawan Sirnasarira.

"JAGAT Dewa Bathara ............ !" Sang Prabu Panjalu berseru kaget dan juga tercengang keheranan. "Tidak bisa keliru lagi, Adipati Tejolaksono! Kakek pertapa sakti itu bukan lain tentulah eyang Bhagawan Ekadenta! Biarpun aku sendiri belum pernah berjumpa dengan beliau, namun pernah dahulu aku mendengar penuturan mendiang Rama Prabu Airlangga yang pernah ditolong oleh eyang Bhagawan Ekadenta ketika rama prabu mengungsi ke Wonogiri dan terancam keselamatannya oleh musuh, yaitu pasukan-pasukan Sriwijaya yang juga dibantu oleh tokoh-tokoh dari Cola. Sungguh luar biasa. Semenjak setengah abad yang lalu, beliau sudah menjadi seorang kakek sakti, dan selama ini tidak pernah terdengar namanya, bahkan ada berita bahwa Eyang Bhagawan Ekadenta telah meninggalkan dunia Ini tanpa jejak; murca berikut raganya. Itulah sebabnya maka dijuluki Sirnasarira (lenyap tubuhnya)."

Juga para senopati kagum mendengar ini dan menyatakan suka cita bahwa Panjalu dibantu oleh seorang yang sakti itu, menjadi pertanda bahwa Kerajaan Panjalu masih dilindungi para dewata.

"Betapapun juga, para senopati dan ponggawaku yang setia. Kita tidak boleh mabuk oleh kemenangan, karena betapa-pun sukarnya merebut kemenangan, menjaganya adalah lebih sukar lagi. Justeru kemenangan yang ajaib ini malah harus menjadi cambuk bagi kita untuk mempertebal kewaspadaan. Oleh karena itu, Tejolaksono, engkau tidak usah kembali ke Selopenangkep, biarlah aku akan mengangkat orang lain untuk mengurus Selopenangkep. Adapun engkau dan isterimu tinggallah di sini, karena engkau kuangkat menjadi patih muda, membantu Kakang Patih Suroyudo dan kuserahi tugas bagian pertahanan. Engkaulah sebagai wakilku sendiri mengatur semua senopati dan seluruh barisan Panjalu!"

Tejolaksono terkejut, girang dan juga bersyukur sekali karena anugerah ini amatlah besar baginya. Semenjak saat itu ia disebut Patih Tejolaksono dan mendapat sebuah istana di kepatihan Panjalu. Setelah menghaturkan terima kasih dan mendapat perkenan sang prabu, bergegas Tejolaksono pulang ke pesanggrahan menemui isterinya.

Ayu Candra menyambut suaminya dengan tangis dan tawa saking gembira dan bahagianya. Tidak saja suaminya berhasil mengusir musuh negara dan membalas dendam atas kehancuran Selopenangkep dan kematian kedua orang bibi mereka, akan tetapi terutama sekali karena suaminya dapat pulang dalam keadaan selamat, mengingat akan beratnya tugas yang diplkulnya dan saktinya lawan-lawan yang dihadapinya.

"Nimas, sungguh terjadi hal yang sama sekali tak pernah kuduga ............ , di puncak Gunung Merak aku bertemu dengan Bagus seta!"

Terbelalak mata Ayu Candra Memandang suaminya, berseri-seri penuh kebahaglaan dan dua titik air mata bahagia meloncat keluar ke atas pipinya.

"A............ anak............ kita............ ? Bagaimana dia? Kenapa tidak ikut pulang......... ?Il

Pertanyaan itu penuh harap dan dengan tenang Tejolaksono lalu menceritakan pengalamannya di puncak Pegunungan Merak, di mana hampir saja ia tewas kalau saja tidak ditolong oleh kakek sakti yang bernama Bhagawan Jitendrya, juga Bhagawan Sirnasarisa atau oleh sang prabu disebut Bhagawan Ekadenta. Ia ceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang sehat dan betapa putera mereka Itu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.

"Aahhh ............ , mengapa dia tidak diajak pulang? Bagaimana dia harus dipisahkan dari aku sampai lima tahun lagi?" Ibu yang sudah amat rindu kepada puteranya itu mengeluh dan mulailah Ayu Candra menangis.

Tejolaksono mengeluarkan bunga cempaka putih darI saku dalam bajunya. Ia makin kagum menyaksIkan betapa bunga itu tIdak layu. Tahulah ia bahwa puteranya telah memiliki kesaktian yang mujijat, maka cepat-cepat ia menyerahkan bunga itu kepada isterinya sambil berkata,

"Nimas, kaulihat ini. Puteramu itu menitipkan bunga ini kepadaku dengan pesan agar diberikan kepada ibunya ...... "

"Aduh, anakku ............ !" Ayu Candra terbelalak memandang dan menerkam, lalu merampas bunga itu dari tangan suaminya dengan penuh gairah, lalu sambil tersedu-sedu ia menciumi bunga Itu, mendekapnya di dada. "Aduh, Bagus Seta............ angger............ anakku tercinta ............ kau masih ingat kepada ibumu............ “

Tejolaksono menahan perasaannya agar tidak sampai menitikkan air mata karena terharu.
"Nimas, dia sama sekali tidak pernah melupakan ayah bundanya. Akan tetapi Bagus Seta berjiwa ksatria utama, mengesampingkan kesenangan pribadi untuk menggembleng diri agar kelak dapat berdharma bhakti kepada sesama manusIa."

Ayu Candra hanya sebentar diamuk gelombang perasaan rindu dan terharu, .kini ia sudah tenang, memegangi bunga cempaka putih dengan bengong seperti orang melamun, kemudian ia mengangguk-angguk perlahan.

"Benar sekali, Kakanda, memang putera kita harus berjiwa ksatria. Biarlah kurelakan dia lima tahun lagi, biarlah kita sebagai orang tuanya berprihatin agar dia menjadi seorang manusia utama, seperti ramandanya."
Tejolaksono makin terharu, memeluk dan mengecup ubun-ubun isterinya yang terkasih.

"Engkau seorang ibu yang bijaksana, seorang isteri yang hebat ............ ! Dan Bagus Seta ............ putera kita yang mengagumkan ............!” Memang ia kagum sekali karena bunga cempaka putih itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa sekali, yang dalam waktu sebentar telah dapat mengobati kerinduan hati Ayu Candra.

Mulailah Tejolaksono melaksanakan tugasnya yang baru, sebagai patih muda di Kerajaan Panjalu. Dengan amat tekunnya menggembleng barisan Panjalu melalui para senopati dan semenjak dia menjadi patih muda yang berkuasa di bagian pertahanan negara, maka keadaan menjadi aman tenteram, pengaruh Kerajaan Panjalu makin besar, tidak ada lagi raja-raja muda yang berani menentang dan melakukan penyerangan.

Akan tetapi benar-benarkah SriwIjaya dan Cola menghentikan usaha mereka untuk menanam pengaruh di Panjalu? Benar-benarkah mereka itu mundur teratur dan tidak berani lagi melakukan kekacauan? Sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Tepat seperti yang dikatakan oleh sang prabu di Panjalu agar mereka semua mempertebal kewaspadaan, karena sesungguhnya, Kerajaan Panjalu, dan terutama sekali Jenggala yang tidak lagi diganggu kerusuhan-kerusuhan, belum terbebas daripada bahaya yang mengancam. Secara halus Kerajaan Sriwijaya masih mencoba untuk memperlebar pengaruhnya sampai di kedua kerajaan ini melalui Agama Buddha yang disebarluaskan, dipimpin oleh Biku Janapati yang bijaksana. Karena sang biku menggunakan cara yang halus, tidak memakai kekerasan, maka usahanya ini lebih berhasih. Namun yang menjadi ancaman bahaya besar adalah usaha yang dijalankan oleh Wasi Bagaspati. Sang wasi yang merasa penasaran akan gagalnya usahanya, kini menyebar kaki tangannya, terutama sekali di Jenggala dengan secara cerdik dan halus ia menyuruh mereka menyelundup ke dalam kerajaan, menggunakan pengaruh harta benda dan ilmu hitam sehingga banyak di antara anak buahnya yang berhasil menduduki tempat-tempat terpenting dalam pemerintahan. Bahkan kuku-kuku cengkeraman yang tidak tampak oleh mata ini menyelundup sampai ke dalam istana Kerajaan Jenggala!

Memang hebat sekali usaha Sang Wasi Bagaspati yang mengadakan penyelundupan-penyelundupan rahasia, terutama sekali di istana Kerajaan Jenggala. Banyak di antara anak buahnya yang sakti, laki-laki dan terutama wanita-wanita cantik, dijadikan senjata untuk usaha ini.

Pada waktu itu memang harus diakui bahwa Kerajaan Jenggala amat lemah kedudukannya. Kerajaan Jenggala masih dapat berdiri tegak dan tidak ada musuh berani mengganggu hanya karena mereka itu sungkan dan takut kepada Kerajaan Panjalu. Mereka maklum bahwa memusuhi Jenggala berarti akan berhadapan dengan Panjalu pula, karena sebagai saudara, Panjalu tentu akan membela Jenggala.

Sebetulnya, sebagai putera mendiang Sang Prabu Airlangga yang arif bijaksana, raja di Jenggala bukanlah seorang yang jahat atau lalim. Sang prabu di Jenggala cukup baik dalam arti kata sebagai raja, cukup mencinta rakyatnya dan bukan seorang raja yang menindas rakyat. Akan tetapi, sang prabu mempunyai sebuah kelemahan sebagai seorang pria, yaitu bahwa sang prabu mudah tergoda oleh wanita cantik. Kalau para wanita yang banyak jumlahnya itu menggoda sang prabu hanya dengan pamrih agar menjadi selir dan mendapat kedudukan mulia, hal itu tidak mengapa. Akan tetapi, akhir-akhir ini sang prabu di Jenggala amat berubah sikapnya setelah dia mendapatkan seorang selir baru. Celakanya, berbeda dengan selir-selir lainnya yang puluhan orang banyaknya, selir baru ini tidak hanya terbatas pada kemuliaan pamrihnya, melainkan lebih tinggi lagi.

Selir baru ini ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi sesudah raja, dan untuk mencapai
hal ini, ia mempergunakan segala kecantikan wajahnya, segala kesegaran tubuh mudanya, segala bujuk rayu yang menggairahkan sehingga hati sang prabu di Jenggala yang masih muda biarpun tubuhnya sudah tua itu menjadi jatuh dan tunduk.

Siapakah selir baru yang muda belia, segar menggairahkan ini? Dia seorang wanita masih muda belia, tujuh belas atau delapan belas tahun usianya, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bagaikan buah mangga sedang ranum matang hati, manis segar dan renyahl Wajahnya manis sekali, terutama kerling matanya yang tajam melebihi mata pedang, kerling yang menyambar-nyambar membetot hati membuat sukma pria melayang-layang karena dalam kerling ini terkandung tantangan dan ajakan kepada pria untuk bertamasya ke dalam surga kenikmatan. Selain sepasang mata indah yang memiliki kerling "maut" ini, juga mulutnya membuat setiap mata laki-laki memandang bagaikan tergantung dan lekat pada sepasang bibir itu! Bibir itu merah segar, berkulit tipis seperti kulit kentang, seperti buah tomat masak, menggemaskan hati, membuat orang ingin sekali menggigitnya, menantang dan selain dapat mencipta senyum memikat dan memabukkan, juga bibir yang basah dapat bergerak-gerak menggairahkan sehingga selalu tampak memberahikan ketika dicemberutkan, atau dijebikan, atau bergerak-gerak seperti menggigil.

Deretan gigi putih seperti pagar mutiara melindungi rongga mulut yang merah penuh tantangan. Wajah yang manis sekali, yang bagaikan besi semberani menarik pandang mata setiap orang pria yang berjumpa dengannya. Rambutnya hitam panjang dan agak berombak, membentuk sinom halus di dahi dan anak rambut melengkung di depan telinga, kalau dibiarkan terurai, panjangnya sampai ke bawah pinggul. Tubuhnya tinggi ramping, padat penuh dengan lekuk-lengkung sempurna dalam pandangan setiap orang pria, dan ia dapat menggerak-gerakkan setiap bagian tubuhnya dengan gerakan yang luwes dan memikat. Kulitnya yang agak hitam tidak menjadi cacat, bahkan menambah kemanisannya.

Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Namanya Suminten! Di bagian depan cerita ini telah dituturkan bahwa Suminten adalah abdi dalem (pelayan) mendiang Pangeran Panjirawit dan Endang Patibroto. Suminten ketika menjadi abdi dalem di istana pangeran itu, seringkali mengintai dan menyaksikan adegan mesra antara Pangeran Panjirawit dan isterinya. Suami isteri itu selalu berkasih-kasihan dan akhirnya terbangunlah berahi dalam tubuh Suminten dan pelayan inl jatuh cinta kepada sang pangeran! Cinta berahi yang ditahan-tahan .dan akhirnya tercetus menjadi cemburu, iri hati, dan kebencian terhadap Endang Patibrotol Ia mengharapkan untuk menjadi selir Pangeran Panjirawit yang tampan, akan tetapi semua pengharapan .dan usahanya sia-sia belaka karena sang pangeran terlalu mencinta isterinya, tidak mau mempunyai selir.

Telah diceritakan betapa kebencian ini membuat Suminten diam-diam larI kepada Ki Patih Brotomenggala, menceritakan perbuatan Endang Patibroto yang melukal ayam dengan ilmu hitam sehingga makin besarlah kecurigaan dan dugaan ki patih bahwa Endang Patibroto agaknya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para ponggawa dengan ilmu hitam. Suminten dihadapkan kepada sang prabu di Jenggala, kemudian oleh sang prabu dijadikan abdi dalem istana.

Semenjak saat itulah tampak Suminten yang sesungguhnya, yaitu seorang dara muda belia yang mempunyai pamrih besar sekali, tidak akan puas kalau belum mencapaI kedudukan setinggi-tingginya. Terhadap Pangeran Panjirawit ia memang menaruh kasih sayang yang sesungguhnya, yang murni dan andaikata terlaksana keinginan hatinya menjadi selir Pangeran Panjirawit, agaknya ia akan merasa puas dan bahagia, tidak akan mencita-citakan hal lain lagi. Akan tetapi, la mendengar akan keadaan Pangeran Panjirawit, akan kesengsaraan dan akhirnya akan kematiannya. Hatinya hancur dan ia bertekad untuk menyalurkan semua cinta bercampur duka ini menjadi cita-cita untuk menjadi manusia paling berkuasa di Jenggala agar ia dapat membalas dendam atas kematian Pangeran Panjirawit, pria yang pernah cinta sepenuh hatinya.

Gadis ini selain cantik manis, juga amat cerdik. Setelah menjadi abdi dalem di Istana Kerajaan Jenggala, cepat sekali ia dapat mempelajari keadaan dan dapat pula mengambil hati para selir, bahkan sampai permaisuri sendiri menaruh kepercayaan kepadanya dan memberinya tugas melayani sang prabu.

Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Suminten. Dengan daya tariknya yang luar biasa, ditambah kelemahan sang prabu terhadap wanita muda, dalam waktu beberapa hari saja ia berhasil menjatuhkan hati sang prabu yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun Itu! Akhirnya, dengan resmi Suminten diangkat menjadi selir termuda Sang Prabu Jenggalal

Semenjak ia diangkat menjadi selir, mulailah Suminten menggunakan kecerdikannya memasang jerat, merayu dan mengambil hati para selir lain untuk mencapai cita-cita hatinya. Makin pandai ia merayu sang prabu, menggoda dan melakukan segala macam akal wanita sehingga sang prabu menjadi makin mabuk dan cinta kepadanya. Sang prabu menganggap bahwa di antara semua selirnya, Suminten inilah yang paling mencinta dirinya yang sudah tua. Hanya Suminten inilah yang mempunyai rasa cinta kasih yang "murni" terhadap dirinya.

Selain mempermainkan sang prabu seperti pandainya ia mempermainkan rambutnya, Suminten juga mengambil hati dan bermuka-muka kepada permaisuri sehingga sang ratu ini merasa lebih sayang kepadanya daripada kepada para selir lainnya. Di depan sang ratu, Suminten bersikap amat merendah diri, amat tekun merawat dan melayani segala keperluan sang ratu, pandai menghibur dengan kata-kata manis, memuji-muji dan menjilat-jilat. Sebentar saja naiklah derajat Suminten, karena ia dikasihi sang prabu dan disayang sang ratu, maka kedudukan atau derajatnya boleh dibilang meningkat tinggi di atas derajat semua selir sri baginya.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 039 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment