Ads

Friday, February 22, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 065

<<== Kembali <<==

"Kalian berhati-hatilah. Ular itu bukan sembarang ular, melainkan ular yang sudah bertapa ratusan tahun lamanya. Sudah ribuan kali berganti kulit dan sudah banyak menerima cahaya sakti bulan dan matahari. Batu mustika itu berada di dalam kepalanya, di atas lidah, tepat di antara kedua matanya. Mustika itu tidak ada gunanya bagi seekor ular, hanya menambah kebuasannya membahayakan mereka yang lewat di hutan itu, namun sebaliknya amatlah berguna kelak bagi kalian berdua. Aku sudah memberi ijin kepada kalian, pergi cari ular itu, bunu dia sebagai hukuman karena dia telah menelan tiga orang anak penggembala dan ambil mutiaranya. Akan tetapi hati-hatilah!" Demikian pesan Sang Resi Mahesapati kepada dua orang muridnya, Joko Pramono dan Pusporini.

Telah tiga tahun lebih mereka berdua digembleng oleh guru mereka yang sakti mandraguna itu di puncak Gunung Kawi dan biarpun guru mereka ini tidak menurunkan ilmu baru, namun gemblengannya hebat luar biasa sehingga aji-aji yang telah mereka berdua miliki kini memperoleh kemajuan pesat sekali dan kekuatan sakti mereka menjadi berlipat ganda.

"Eyang Resi, untuk membunuh ular dan mengambil mustika di dalam kepalanya saja mengapa Eyang menyuruh dia ini ikut? Dia hanya akan menghalang-alangi pekerjaanku saja. Biar kulakukan sendiri, Eyang. Hamba berjanji akan membawa mustika ular itu kepada Eyang tanpa bantuan dial" kata Pusporini sambil melirik-lirik ke arah Joko Pramono. Hatinya sedang kesal karena tadi pagi dalam latihan mempergunakan tenaga sakti memukul air, ternyata air telaga muncrat lebih tinggi ketika dipukul Joko Pramono dan pemuda itu sengaja mengejeknya.

"Wah-wah, coba Eyang Resi perhatikan, bukankah murid Eyang yang satu ini makin lama makin sombong? Makin besar kepala!" Joko Pramono juga menyerang marah.

"Apa? Kepalaku besar? Tidak sebesar kepalamu! Engkaulah yang sombong! Pagi tadi dia menyombongkan tenaganya dan mengatakan bahwa aku kalah kuat olehnya, Eyang Resi. Coba, bukankah dia yang sombong?"

"Aku kan bicara apa adanya?" bantah Joko Pramono.

"Aku pun bicara apa adanya. Memangnya aku membutuhkan bantuanmu untuk membunuh ular itu?"

"Wah aksinya. Melihat ular nanti ku rasa kau akan menjerit-jerit kegelian dan ketakutan!"

"Coba saja! Memangnya aku ini anak kecil? Sepuluh ekor ular ditambah engkau aku tidak takut!"

Sang Resi Mahesapati tertawa bergelak.
"Sudah, sudah .......... ha-ha-hal……. Kalian ini seperti bocah-bocah nakal saja, Mendengarkan kalian bertengkar setiap hari, benar-benar membuat aku awet muda! Pertengkaran kalian itu membayangkan jiwa muda yang masih panas membara, semangat yang menyala-nyala dan.......... dan .......... ha-ha-ha, benar-benar lucu. Sekarang begini saja. Kalian berdua kuijinkan berlomba mencari dan membunuh ular Puspo Wilis itu. Siapa yang nanti membawa mustika dan menyerahkannya kepadaku, kuanggap lebih pandai!"

"Baik, hamba pamit mundur, Eyang!" Pusporini menyembah lalu berkelebat, sekejap mata saja lenyap dari hadapan gurunya yang duduk di depan pondok bambu.

"Hamba pun minta diri, Eyang!" Joko Pramono juga berkelebat cepat mengejar Pusporini, khawatir kalau kalah dulu.

Kembali kakek tua renta itu tertawa bergelak dan menengadah ke angkasa, mulutnya berkemak-kemik,

"Lucu .......... lucu .......... alangkah indahnya hidup bagi orang-orang muda .......... ha-ha-ha..........!”

Seperti burung terbang setidaknya seperti seekor kijang Pusporini lari sambil mengerahkan seluruh aji kesaktian Bayu Sakti yang pernah ia pelajari dari Adipati Tejolaksono dahulu. Namun kini Aji Bayu Sakti yang ia pergunakan jauh mendapat kemajuan yang hebat sehingga larinya amat cepat, tubuhnya ringan sekali dan kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah melainkan terbang di atas ujung rumput-rumput hijau! Dalam hal tenaga sakti mungkin dia kalah kuat setingkat kalau dibandingkan dengan Joko Pramono, akan tetapi dalam aji keringanan tubuh dan kecepatan berlari, pemuda itu masih sukar untuk dapat mengalahkannya. Apalagi sekarang Pusporini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia memang sedang berlomba dengan pemuda itu!

Jauh di belakang, makin lama makin jauh tertinggal, Joko pramono juga berlari secepatnya melakukan pengejaran. Di dalam hatinya, pemuda ini sebetulnya sama sekali tidak berniat untuk mendahului Pusporini, sungguhpun harus ia akui bahwa kalau berlomba lari ia takkan menang. Namun, ia melakukan pengejaran karena di dalam hatinya timbul rasa khawatir akan keselamatan gadis yang menjadi teman belajar, menjadi teman berlatih akan tetapi juga menjadi lawan bertengkar itu. Seringkali ia merasa heran mengapa dia selalu bertengkar dengan Pusporini, mengapa agaknya ada terasa kenikmatan dan kegembiraan di hatinya kalau mereka sedang bertengkar itu. Bagi dia, Pusporini tampak paling manis kalau sedang marah-marah seperti itu! Dan pemuda ini merasa di dalam hatinya bahwa mereka berdua selalu bertengkar karena tidak mau kalah, karena masing-masing ingin dihargai, ingin dikagumi. Namun, sehari saja tidak bertengkar, apalagi tidak berjumpa, merupakan siksaan batin yang tiada taranyal

Demikianlah, dua orang muda itu berlari-lari seperti terbang menuju ke sebuah hutan di lereng Gunung Kawi sebelah timur, yaitu hutan yang oleh guru mereka disebut hutan Kaloka, di mana terdapat ular besar Puspo Wilis yang bertapa dan yang harus mereka bunuh dan ambil mustikanya. Beberapa pekan yang lalu ular itu telah menelan tiga orang anak penggembala kerbau yang sedang menggembala kerbau di pinggir hutan.

Sementara itu dari kaki Gunung Kawl sebelah timur, tampak dua orang berjalan kaki, mendaki lereng. Mereka adalah seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah, berusia empat puluhan tahun, mengiringkan seorang gadis yang usianya takkan lebih dari dua puluh tahun, seorang gadis tinggi semampai yang manis sekali, berwajah cerah bermata jeli. Gadis itu tidak tahu betapa pria yang mengiringkannya memandang kepadanya dari belakang dengan pandang mata mesra, dan betapa pria itu berkali-kali menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka itu bukan lain adalah Wiraman dan Widawati, pengawal perkasa yang setia kepada Ki Patih Brotomenggala dan cucu mendiang ki patih itu, satu-satunya orang dari keluarga kepatihan yang lolos dari cengkeraman maut. Sebagai orang-orang yang diburu oleh kaki tangan Pangeran Kukutan, keduanya harus selalu berpindah-pindah dan bersembunyi-sembunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Tujuan perjalanan Wiraman adalah ke Panjalu, namun karena ia harus melakukan perjalanan sambil bersembunyi, maka mereka terpaksa mengambil jalan memutar yang amat jauh dan sukar.

Bagi Wiraman sendiri, seorang pengawal gemblengan yang bertubuh kebal dan kuat, perjalanan sukar dan jauh itu tidaklah amat berat. Akan tetapi patut dikasihani Widawati, biarpun dia pernah ia mempelajari ilmu olah keperajuritan, namun karena sebagai cucu patih dia lebih sering melakukan pekerjaan-pekerjaaan halus dan tubuhnya tidak begitu terlatih, perjalanan itu amatlah menyiksa dan melelahkan. Apalagi semua kesukaran ini diderita dengan hati hancur apabila teringat akan nasib buruk yang menimpa keluarganya. Untung baginya, di sampingnya terdapat Wiraman yang pandai menghiburnya, yang slap membela dan melindunginya, dan yang menjamin akan segala keperluannya di sepanjang perjalanan.

Ketika mereka sampai di sebuah tanjakan terjal, di luar sebuah hutan yang nampaknya angker dan liar, kaki Widawati tersandung dan ia terhuyung ke depan. Untung pada saat itu Wiraman cepat melompat dan menyambar lengannya sehingga dia tidak sampai jatuh tersungkur, akan tetapi renggutan tangan Wiraman itu membuat tubuh Widawati tersentak ke belakang dan berada di dalam pelukan pria itu, rapat bersandar di atas dada yang bidang.

"Hati-hatilah .......... !" Hanya demikian Wiraman dapat berkata karena pria segera memejamkan mata, dadanya bergelombang ketika perasaan yang aneh meresap di dalam tubuhnya. Tangan kanannya masih memegang lengan Widawati, tangan kirinya memegang pundak gadis itu. Merasa betapa punggung dan kepala gadis itu bersandar ke dadanya, mencium keharuman khas dari rambut dan peluh gadis itu, berdebar jantungnya dan kakinya.

Widawati amat lelah. Juga tadi la terkejut karena tersandung dan akan tersungkur ke depan, di mana terdapat jurang yang dalam. Kini merasa betapa ia selamat dan mendapat sandaran yang kokoh kuat, ia merasa aman dan tenteram. Tiada henti-hentinya Wiraman melimpahkan budi kebaikan kepadanya. la tidak tahu,, apa yang akan dia lakukan kalau di sampingnya tidak ada Wiraman. Tanpa disadari lagi, ketika kali ini kembali Wiraman yang menolongnya pada saat yang tepat, menjadi bukti bahwa Wiraman selalu memperhatikannya, selalu menjaganya, ia bersandar pada dada yang bidang dan kuat itu dan sampai beberapa lamanya mereka hanya berdiri dalam keadaan seperti itu, keduanya memejamkan mata. Widawati dapat mendengar dengan telinganya betapa dada yang bidang itu berdetak-detak keras. Hal ini menyadarkannya dan ia segera memisahkan diri.

"Terima kasih, Kakang Wiraman, engkau telah menyelamatkan aku .......... “

"Ah, tidak perlu berterima kasih, Diajeng. Memang sudah menjadi kewajibankulah untuk menjaga dan melindungimu. Engkau tentu lelah sekali dan di depan adalah hutan yang amat lebat, mari kita mengaso dulu."

"Baik, Kakang .......... “

Maka duduklah mereka berdua di bawah sebatang pohon, berteduh dari panas terik matahari yang membakar kulit. Widawati menyusuti peluhnya dengan ujung baju, menjilat-jilat bibirnya yang merah dengan ujung lidah. Sebentar Wiraman terpesona memandang mulut itu, ketika pandang mata mereka bertemu, Wiraman cepat-cepat menunduk dan berkata,

"Engkau tentu haus, Diajeng. tunggu sebentar kucarikan air .......... " Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah pergi mencari air gunung yang jernih.

Ditampungnya air itu dengan daun talas dan dibawanya air itu kepada Widawati yang menerima dan meminumnya dengan lahap karena memang ia haus sekali. Sampai lama mereka beristirahat di situ. Angin sumilir membuat Widawati mengantuk. Ia bersandar pada batang pohon dan memejamkan matanya. Wiraman tidak mengganggunya, melainkan duduk pula tidak jauh dari situ, memandang ke arah hutan lebat dengan pandang mata melamun. Berkall-kali, sama halnya ketika dalam perjalanan tadi, Ia memandang ke arah Widawati, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala, menghela napas lagi.

"Kakang Wiraman.”

Wiraman terkejut, seperti disentakkan dari alam mimpi. Tadinya ia tengah melamun, memandang ke hutan dan mengglgit-gigit rumput yang tanpa disadarinya telah ia cabut dari dekat kakinya. Ia menoleh dan pandang mata mereka bertemu, bertaut, dan dari pandang mata Wiraman masih memancar sinar cinta kasih yang jelas dan mesra. Mereka tidak berkata-kata lagi, hanya pandang mata mereka yang melekat dan seolah-olah mewakili mulut dan hati. Akhirnya Widawati yang berkata lirih,

"Kakang .......... , engkau kenapakah? Sejak tadi kulihat engkau menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Ada sesuatu yang mengganggu hatimu, Kakang. Katakanlah, apakah gerangan yang kau susahkan? Kalau tidak kau ceritakan kepadaku, aku tentu akan menganggap bahwa akulah yang menyusahkan hatimu, Kakang."

"Ah, tidak .......... tidak sama sekali, Diajeng .......... aku hanya ..........” Wiraman terdiam, amat sukar agaknya untuk mengeluarkan isi hatinya.

Mereka berpandangan kembali dan slnar mata penuh ketulusan hati dari gadis itu seolah-olah memberi semangat dan keberanlan kepadanya.

"Biarlah kubukakan semua rahasia hatiku, Diajeng. Aku seorang laki-laki yang suka berterus terang, dan aku berani pula mempertanggung-jawabkan semua perbuatan atau ucapanku. Semenjak aku bertemu denganmu, Diajeng, ketika kau dibawa oleh Kakang Mitra .......... semenjak itulah terjadi sesuatu yang tidak wajar di hatiku. Bagiku, ada sesuatu pada dirimu yang mengikat, mempesona, dan mengguncang hatiku. Ada suatu daya tarik luar biasa yang tidak wajar. Bukan kecantikanmu, bukan pula kemudaanmu, entah apamu aku sendiri tidak dapat mengatakan, melainkan yang sudah pasti, ada sesuatu yang membuat aku amat tertarik. Inikah yang disebut ikatan Karma? Aku harus jujur, Diajeng, dan dengan segala kejujuran kunyatakan sekarang juga demi menjaga segala kepura-puraan bahwa aku .......... cinta kepadamu, Diajeng."

"Ahhh .......... I" Suara Widawati seperti rintihan perlahan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. Sepasang mata yang lebar jernih Itu mulai basah.

"Aku bukan..seorang yang tidak tahu diri, Diajeng. Aku sadar bahwa aku telah beristeri, telah mempunyai anak-anak dan bahwa usiaku pun sudah setengah tua! Aku bukan seorang penghamba nafsu, aku mencinta isteri dan anak-anakku, sampai kini aku belum pernah mengambil selir. Akan tetapi terhadap engkau, Diajeng, entah mengapa aku sendiri tidak mengerti. Ada sesuatu yang menarik hatiku sehingga hatiku menjerit bahwa aku mencintamu, bukan cinta nafsu, akan tetapi .......... ah, seolah-olah aku tidak akan sanggup untuk berpisah lagi dari sampingmu

"Kakang Wiraman.......... " Widawati mulai terisak.

"Mungkin aku telah menjadi gila, Diajeng," suara Wiraman terdengar gemetar, "akan tetapi .......... demi semua Dewata, aku tidak berpura-pura, tidak pula dimabuk nafsu. Sudah banyak kujumpai puteri-puteri cantik jellta, lebih cantik dari padamul sudah pula kuhadapl godaan wanita-wanita cantik, namun aku selalu menghindari karena hatiku tidak suka menerima semua itu. Akan tetapi terhadap engkau, aku benar-benar jatuh! Duhai Dewata, salahkah Wiraman ini? Salahkah Wiraman yang setengah tua ini menjatuhkan hatlnya kepada seseorang, dalam hal ini seorang gadis seperti, Widawati? Berdosakah kalau hati ini jatuh cinta?"

Ucapan-ucapan terakhir itu tidak lagi ditujukan kepada Widawati, melainkan kepada diri sendiri atau kepada para dewata. Sampai lama keadaan sunyi, hanya terdengar Widawati menangis sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya di balik telapak tangannya. Kemudian terdengar gadis itu berkata lirih,

"Kakang, bagaimana aku akan menjawab? Engkau merupakan satu-satunya orang yang paling baik bagiku, seorang yang telah melimpahkan budi kepadaku........... cintamu itu, sungguhpun amat mengejutkan hatiku, namun aku percaya akan kemurniannya. Engkau adalah seorang pria yang patut dihormati, patut disuwitani, patut dicinta. Sesungguhnya, alangkah akan mudahnya bagi hatiku untuk membalas cinta kasih-mu, Kakang, akan tetapi .......... “

“Akan tetapi aku sudah terlalu tua bagimu? Pantas menjadi ayahmu, menjadi pamanmu? Katakanlah terus terang, Diajeng. Aku Wiraman bukan seorang lemah dan aku dapat menghadapi semua kenyataan dengan mata terbuka dan pikiran sadar."

"Bukan, bukan begitu, Kakang Wiraman. Aku pun maklum bahwa cinta tidaklah melihat usia, tidak pula melihat kedudukan dan keadaan seseorang. Akan tetapi.......... engkau telah mempunyai anak isteri, Sedangkan aku.......... aku semenjak dahulu bercita-cita untuk cinta mencinta dengan satu orang saja, tidak suka aku dimadu.......... tidak suka aku melihat seorang pria mempunyai selir. Banyak sudah terbukti kekacauan timbul karena selir, contohnya sang prabu sendiri..........“

"Akan tetapi, tidak semua selir sejahat dia, Diajeng. Bukan sekali-kali aku menyatakan ini untuk memaksamu menjadI selirku. Tidak. Sudah kukatakan tadi bahwa aku mencintamu bukan oleh dorongan nafsu. Aku hanya tidak ingin berpisah darimu dan..... dan..... ah, sudahlah, Diajeng, aku hanya membuatmu berduka saja. Sudah cukup bagiku kalau engkau mendengar akan perasaan hatiku, sudah cukup kalau engkau mengetahui bahwa aku mencintamu. Lebih daripada itu, tidak kuharapkan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, itu pun dapat kuterima dengan penuh kesadaran. Aku tidak menyalahkanmu, hanya aku sendiri-lah yang gila. Aku tidak ingin menyeretmu ke lembah kedukaan dan kesengsaraan, dan semoga Sang Hyang Wisesa akan dapat mengangkatku daripada keadaan yang gila ini. Kau tinggallah di sini, Diajeng, aku akan memburu kijang untuk kIta makan. dagingnya. Di dalam hutan di depan itu pasti banyak binatang buruan."

Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah lari meninggalkan Widawati memasuki hutan yang liar itu untuk mencari binatang buruan, terutama kijang yang lembut dan lezat rasa dagingnya. HATINYA terasa ringan, dadanya lapang setelah ia membuka rahasia hatinya. Ia tidak mengharapkan balasan cinta karena maklum bahwa tak mungkin seorang gadis seperti Widawati dapat mencinta seorang setengah tua seperti dia. Dia tidak berduka akan kenyataan yang sudah diketahuinya ini dan dia hanya ingin melihat Widawati hidup bahagia.

Wiraman menjadi terheran-heran ketika ia memasuki hutan itu karena hutan ltu amat sunyi, tidak tampak seekor pun binatang buruan. Hanya burung-burung beterbangan dl atas pohon dan agaknya hurung-burung itu pun dalam keadaan gelisah. Karena belum juga melihat adanya binatang buruan, Wiraman menyusup makin dalam ke dalam hutan dengan hati penasaran. Ia harus mendapatkan makanan untuk Widawati, kalau tidak mungkin menangkap atau membunuh seekor binatang yang dapat dimakan dagingnya sedikltnya ia harus bisa mendapatkan buah-buahan untuk gadis itu. Wiraman mengusap peluhnya.

Di sekitarnya pohon-pohon raksasa menjulang tinggi dan membuat hutan itu kelihatan gelap dan menyeramkan. Pakaiannya, pakaian pengawal sudah 1usuh dan basah oleh kerlngat. la merasa makin heran karena kini la telah berada di tengah hutan, namun masih juga belum ditemuinya seekor pun binatang buruan. Mulailah ia putus asa untuk mendapatkan daging binatang dan ia kIni mencari-cari ke atas kalau-kalau ada buah yang dapat dimakan. Sudah lebih satu jam ia berkeliaran di hutan tanpa hasil. WIdawati tentu menunggunya dengan hati gelisah dan perut lapar. Teringat akan gadis itu, teringat pula ia akan pengakuannya terhadap Widawati, cinta kasihnya, Wajah orang gagah ini menjadi merah. Berhakkah ia menyatakan cinta kasihnya secara terus terang seperti tadi? Benarkah ia seorang pria yang mata keranjang, yang mudah tergiur hatinya melihat perawan cantik? Tidak! Biasanya dia tidak pernah tertarik kepada wanita lain, betapapun cantiknya dan muda belianya. Dia mencinta isterinya dan teringat akan penderitaan isterinya ketika melahirkan anak-anaknya, teringat pula betapa isterinya terlunta-lunta karena dia menjadi seorang buruan, cintanya diperdalam dengan rasa kasihan. Tidak! Dia bukan seorang yang kurang setia, bukan seorang suami yang bosan kepada isterinya karena cintanya terhadap isterinya bukanlah cinta nafsu belaka, melainkan cinta yang mendalam dan murni. Isterinya tentu akan memaafkannya, dan akan menyetujuinya kalau dia menjatuhkan hati kepada seorang wanita seperti Widawati. Selamanya dia tidak pernah mempunyai selir seperti orang lain. Dan terhadap Widawati, ada sesuatu yang amat aneh pada diri gadis itu yang menarik hatinya. Bukan nafsu semata! Widawati tidaklah terlalu cantik kalau dibandingkan dengan wanita-wanita cantik yang pernah dijumpainya.

Tiba-tiba Wiraman yang mengaso duduk di bawah pohon itu tersentak kaget dan meloncat bangun. mendengar jerit mengerikan. Jerit seorang wanita yang ketakutan! Widawati! Jerit itu datangnya dari arah di mana tadi meninggalkan gadis itu. Bagaikan seekor kijang ketakutan, dengan sigap Wiraman lari ke arah suara jerit yang kini makin santer dan berulang-ulang didengarnya itu. Keris pusaka telah berada di tangannya dan sambil mengerahkan tenaga berlari cepat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.

"Aiiihhhh .......... ! Kakang Wiraman .......... tolongggg .......... !"

Pucat wajah Wiraman. Kalau tadi ia masih setengah berharap bahwa jerit wanita itu bukan keluar dari mulut Widawati, kini harapan itu musnah dan kekhawatirannya makin memuncak. Widawati dalam bahaya! Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan berloncatan ke arah jerit yang terakhir didengarnya itu. Tibalah ia di sebuah tempat terbuka di mana pohon-pohon raksasa agak berjauhan tumbuhnya. Dan apa yang ia lihat membuat bulu romanya bangun, kedua kakinya menggigil dan mukanya panas karena marah dan khawatir. Widawati berada di situ, menggigil dan bingung, matanya terbelalak memandang ke depan, Mulutnya bergerak-gerak terbuka tanpa ada suara yang keluar. Agaknya saking takutnya, gadis itu kehilangan suaranya! Bajunya compang-camping, robek sebagian besar sehingga tampaklah sebagian dari dadanya. Kulit tubuhnya banyak yang terkait dan tergores duri-duri sehingga pecah mengeluarkan darah. Apakah yang membuat dara itu ketakutan setengah mati seperti itu? Wiraman sejak tadi sudah melihatnya dan ia sudah siap dengan seluruh urat syaraf menegang, gagang keris dipegang erat di tangan.

Ular itu tidaklah amat besar. Kurang lebih sepaha manusia besarnya, akan tetapi amat panjang dan kulit tubuhnya yang membelit pohon itu amat indahnya, berwarna dasar hijau dengan kembang-kembang kuning bergaris merah. Karena warna yang kehijauan, dari jauh tidak tampak di antara daun-daun pohon. Akan tetapi sepasang matanya yang merah menyala amat mengerikan, seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan api. Lidahnya yang bercabang dan amat merah itu menjilat-jilat keluar masuk cepat sekali. Kepalanya tergantung ke bawah dan mendekati tubuh Widawati yang berdiri seperti arca, dengan mata terbelalak kehilangan akal. Ular itu siap agaknya untuk melakukan serangan terakhir, untuk meluncurkan kepala dan menggigit daging lunak pada dada dan leher dara itu.

Pada detik yang tepat tubuh Wiraman sudah meloncat ke depan, menerjang ular itu yang juga sudah meluncurkan kepalanya dengan mulut terbuka lebar ke arah dada Widawati yang membusung!

"Ular jahanam!!" Wiraman mengeluarkan pekik dahsyat dan untunglah bahwa kemarahannya membuat ia mengeluarkan bentakan itu karena andaikata tidak, tentu dia akan kalah cepat oleh ular itu dan tentu Widawati sudah terkena gigitan mulut yang mengerikan itu. Karena pekik yang nyaring ini, ular itu terkejut dan menahan kepalanya yang sudah siap menggigit, lalu memutar kepala memandang ke kanan dari mana tubuh Wiraman sudah menerjang maju. Cepat sekali gerakan Wiraman, tangan kanannya yang memegang keris sudah menyerang, keris pusakanya ditusukkan tepat ke arah ular dari arah kanan.

"Tessss.......... Wiraman mengeluarkan seruan dan cepat-cepat ia membuang diri ke kiri sehingga terhindar daripada serangan ular yang kini membalik dan menyerangnya. Ternyata bahwa tusukan kerisnya itu sama sekali tidak dapat menembus leher ular, bahkan sedikit pun tidak dapat melukai kulit ular yang indah itu. Kerisnya meleset dan ular itu seolah-olah tidak merasakan tusukannya lalu membalik dan menyerangnya.

Namun Wiraman tidak menjadi gentar. Demi keselamatan Widawati ia harus melakukan perlawanan. Ia melihat betapa gadis itu masih berdiri terpaku di tempat yang tadi, terbelalak seperti telah berubah menjadi arca. Mukanya merah sekali dan hal ini amat mengherankan hati Wiraman.

"Diajeng, larilah .......... ! Pergilah menjauh .......... !" teriaknya namun Widawati tIdak menjawab, juga tidak bergerak. Terpaksa Wiraman menghentikan teriakannya karena kini ular itu meluncur ke arahnya dalam sebuah serangan yang amat cepat dan dahsyat.

Wiraman adalah seorang perajurit perkasa yang sudah banyak mengalami pertandingan. Gerakannya sigap, terampil dan matanya awas. Serangan ini dapat Ia hindarkan dengan mengelak ke kiri, kemudian pada saat kepala ular meluncur lewat, ia sudah menghunjamkan kerisnya, kini mengarah mata kanan ular itu. Dia maklum bahwa kulit ular itu kebal, maka kini ia menyerang matanya karena tidak mungkin matanya kebal, pikirnya. Akan tetapi, ternyata ular hijau Itu tangkas dan tidak dapat diakali begitu saja. Kepalanya bergerak sedikit dan tusukan keris Wiraman meleset karena tidak mengenai mata melainkan mengenai kulit kepala.

Bukan hanya meleset, bahkan hampir terlepas dari tangan Wiraman karena "tangkisan" dengan kepala itu mengandung tenaga yang amat kuat, membuat tangan Wiraman seperti lumpuh sesaat. Dan sebelum Wiraman dapat menguasai dirinya, tiba-tiba ular itu mengeluarkan suara mendesis keras dan uap yang kehijauan menyambar ke arah muka bekas pengawal ini. Wiraman cepat miringkan mukanya, namun masih tercium bau yang amat harum mengandung bau amis yang memuakkan. Kepalanya menjadi pening, pandang matanya gelap sedetik, kemudian berubah menjadi ganjil sekali karena ia melihat beraneka warna-warna cemerlang terbentang di depan matanya.

Pohon-pohon tidak berwarna hijau lagi melainkan berwarna indah barmacam-macam seperti seribu pelangi mewarnai segala sesuatu yang berada di depan matanya. Ia terpesona dan tak dapat bergerak seperti berubah menjadi arca dan pada saat itu tubuhnya telah dibelit ekor ular. Kepala ular Itu sejenak bergoyang-goyang seperti menari di depan mukanya, kemudian mulut yang bergigi runcing itu dibuka lebar, siap untuk menggigit. Wiraman maklum akan bahaya yang mengancam dirinya namun ia masih terpesona oleh warna-warna aneh yang mengelilinginya. Muka ular yang dekat dengan mukanya itu pun kini tidak berwarna hijau seperti tadi, melainkan menjadi bermacam-macam warnanya, cemerlang dan amatlah indahnya.

Sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman hidupnya, Wiraman segera dapat menekan perasaannya dan mengerjakan otaknya. Kini terlintas di otaknya dalam keadaan bahaya mengancam seperti itu bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat. Dan kini teringatlah ia akan keadaan Widawati yang juga berdiri seperti orang terpesona. Tidak salah lagi. Gadis itu yang agaknya tidak lagi melihat bahaya, yang berdiri memandang dengan mata kagum, tentu telah terkena racun pula seperti dia. Teringat akan ini, Wiraman mengerahkan tenaganya, hendak meronta dari libatan tubuh ular, hendak melawan mati-matian dan menyelamatkan Widawati. Namun, sia-sia belaka. Ular itu bukan main kuatnya dan kini moncong yang terbuka lebar itu telah mendekatinya, mengeluarkan bau amis harum dan tampak olehnya rongga mulut ular yang merah seperti darah.

Karena usahanya untuk melepaskan diri dari belitan ular sia-sia belaka, mendadak Wiraman mendapat pikiran untuk mengorbankan dirinya saja. Kalau ular ini sudah menelan tubuhku, tentu ia menjadi kenyang dan tidak akan mengganggu Widawati lagi. Pikiran ini membuat Wiraman menjadi tenang dan dia memandang ular itu dengan penuh keberanian, bahkan ada rasa girang terselip di hatinya bahwa pada detik terakhir ini dia dapat melakukan sesuatu untuk Widawati.

"Desss ..........

Wiraman hanya melihat berkelebatnya sesosok bayangan manusia yang menghantam ke arah kepala ular yang sudah siap mencaplok kepalanya. Wiraman mengerahkan tenaganya ketika merasa betapa Iibatan ular pada tubuhnya menegang dan mengencang, kemudian tiba-tiba ekor itu bergerak dan melontarkannya ke udara.

Wiraman terkejut sekali dan hanya dapat mencegah tubuhnya terbanting keras dengan cara meringankan tubuhnya menyembunyikan kepala dalam pelukan kedua tangannya. Ketika ia berguling lalu meloncat bangun dalam keadaan pening, ternyata ia telah terlempar tidak jauh dari tempat Widawati berdiri.

Gadis itu masih berdiri seperti arca dengan mata terbelalak. Ketika ia menoleh, kagum dan kaget sekali melihat seorang gadis cantik sedang bertanding melawan ular sakti itu. Tak lama kemudian berkelebat bayangan orang lain dan muncul seorang pemuda yang tangkas dan tanpa banyak cakap gadis dan pemuda itu lalu mengeroyok ular yang mengamuk hebat sambil berdesis-desis mengerikan.

Melihat gerakan mereka, Wiratama dapat mengenal orang-orang sakti. Maka dia lalu menghampiri Widawati, merangkul pundaknya dan membawa gadis yang masih terpesona itu pergi dari situ. Widawati terisak lalu terhuyung, tubuhnya lemas. Wiraman cepat memondongnya lari menjauhi tempat berbahaya itu. Setelah jauh berada di dalam hutan, Wiraman menurunkan tubuh Widawati ke atas rumput hijau yang tebal. Dia sendiri masih merasa pening dan pandang matanya masih aneh seperti tadi, masih tampak warna-warna yang cemerlang indah. Namun dia berusaha melawan perasaan aneh dan pandangan luar biasa itu dengan kekuatan batinnya, karena ia harus cepat-cepat menolong Widawati yang agaknya berada dalam keadaan tidak wajar. Gadis ini setelah ia turunkan dan baringkan di atas rumput, menggeliat-geliat dan mengeluarkan rintihan-rintihan lirih. Karena khawatir, Wiraman cepat memeriksanya, dan melihat guratan-guratan merah di leher dan dada, ia menjadi bingung. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan guratan-guratan yang mengeluarkan sedikit darah seperti tertusuk dan terbarut duri. Hanya terkena duri ataukah luka karena ular?
"Diajeng .......... apanya yang nyeri. Di mana yang luka .......... ?”
Akan tetapi Widawati hanya merintih dan menggeliat-geliat sambil memejamkan matanya. Wiraman terpaksa menekan perasaannya karena melihat tubuh yang muda dan sebagian besar tidak tertutup rapat karena bajunya robek-robek, ia diserang rangsangan aneh yang membuat napasnya menjadi sesak. Setan! Dia mengutuk diri sendiri, lalu berusaha mencurahkan perhatiannya untuk memeriksa dan menolong gadis ini dari bahaya. Karena dia tidak tahu apakah luka-luka guratan di leher dan dada beracun ataukah tidak, ia cepat berkata lirih dan merasa heran mengapa suaranya menjadi menggetar seperti itu dan mukanya terasa panas, bahkan seluruh tubuhnya menjadi panas.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 066 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment