Ads

Monday, March 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 082

<<== Kembali <<==

Dengan tubuh lemas dan semangat terbang, Pangeran Panji Sigit di malam hari itu melihat betapa Setyaningsih yang dipondong Pusporini dapat lolos, demikian pula Joko Pramono dan melihat betapa Pusporini, Joko Pramono bersama isterinya itu dapat keluar dari istana, dikejar-kejar oleh para pasukan pengawal yang dipimpin oleh Pangeran Kukutan sendiri. Ia terlalu marah untuk dapat mengeluarkan suara, terlalu heran dan kaget menyaksikan adegan antara isterinya dan Joko Pramono sehingga ia seolah-olah sejak melihatnya telah berubah menjadi sebuah arca, tak dapat bergerak sama sekali, tubuhnya lemas kakinya menggigil. Sampai keadaan di dalam taman sunyi kembali karena suara pengawal yang melakukan pengejaran sudah terlalu jauh untuk dapat didengar dari situ, Pangeran Panji Sigit masih saja berdiri termenung dengan hati dan tubuh lemas.

Tiba-tiba sebuah tangan yang halus dan lemas, menyentuh pundaknya dengan mesra, dan bisikan suara Suminten menyusup ke dalam telinga kirinya.

"Pangeran, jangan khawatir, orang-orang jahat yang menyakiti hatimu itu pasti akan dapat tertangkap dan diseret di depan kakimu, Pangeran .........”

Suara bisikan yang lembut basah ini memasuki telinganya, mula-mula seperti air sewindu yang amat dingin, kemudian seperti ujung pisau runcing menusuk jantungnya,
membuat Pangeran Panji Sigit tersentak kaget dari lamunannya dan ia cepat menoleh lalu membentak,

"Tidak ......... ! Aku tidak percaya ......... Ini semua tentu siasatmu ........! tentu perbuatanmu ........! Aku tidak percaya isteriku akan berbuat keji dan hina ........!”

Bibir merah semringah itu tersenyum di belakang punggung Pangeran Panji Sigit yang sudah membuang muka membelakangi wanita itu. Karena senyum itu tidak sewajarnya timbul dari kegembiraan hati, maka bukan tersenyum lagi, melainkan menyeringai dan andaikata pangeran itu dapat melihatnya tentu akan makin curiga hatinya. Akan tetapi hanya sebentar, karena Suminten sudah berkata lagi, kini tidak berbisik karena dia ingin
memaksa kata-katanya agar dapat sejelas mungkin menusuk kedua telinga pangeran yang tampan dan yang setiap kali ia temui membuat api dalam tubuhnya menggelora dan nafsunya menyengat-nyengat.

"Pangeran, mengapa andika tidak mau melihat kenyataan? Wanita adalah makluk lemah yang mudah tergoda. Lihatlah aku! Aku mencinta sang prabu, akan tetapi begitu melihat andika yang lebih gagah, aku tergila-gila dan bertekuk lutut terhadap gelora nafsu cintaku! Apalagi Setyaningsih yang masih muda belia! Dan Joko Pramono adalah seorang jantan muda yang memiliki daya tarik luar biasa sekali. Mungkin dalam hal ketampanan, dia tidak dapat mengatasimu, Pangeran. Akan tetapi, dia lebih gagah, tubuhnya lebih kuat seperti seekor banteng muda! Dan Setyaningsih adalah seorang wanita muda yang sejak kecil hidup bersama Endang Patribroto! Andika mangenal siapa Endang Patibroto! Isteri rakandamu Pangeran Panji Rawit dan belum lama ditinggal mati suaminya sudah menjadi kekasih Tejolaksono! Mana mungkin kesetiaannya dapat dipercaya? Andika baru melihat dia membelai Joko Pramono dan merangkul mesra, sayang keburu datang para pengawal dan Pusporini perempuan setan itu. Kalau tidak, tentu andika akan dapat menyaksikan adegan yang lebih mesra
lagi antara Setyaningsih dan Joko Pramono ......... ahhh, kalau saja andika dapat melihat apa yang kusaksikan sendiri ......... mereka berkasih-kasihan di luar taman, di atas rumput seperti dua ekor menjangan muda, bergelut mesra bercumbu-cumbuan.........”

"Diam ......... !! Diammmmm......... !! Diammmm ......... !!!"

Pangeran Panji Sigit berteriak-teriak seperti orang gila, menubruk ke depan dan menggunakan kepalan tangan kanannya menghantam batang pohon tanjung yang tumbuh di taman sari itu sehingga pohon itu berguncang dan daun-daun kuning rontok. Akan tetapi karena ia memukul batang pohon karena kemarahan dan sakit hati, tanpa mengerahkan aji kesaktiannya, maka kulit tangannya pecah-pecah berdarah dan tangannya membengkak. Kemudian pangeran ini terisak-isak dan menyandarkan dahinya pada batang pohon, mulutnya berteriak-teriak lemah seperti berbisik-bisik,

"Tidak ......... , tidak ......... tidak ........!!!”

Akhirnya pangeran itu terkulai lamas dan roboh pingsan. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya. Betapa pun ia menggunakan kekuatan batinnya untuk menolak dan tidak percaya bahwa isterinya akan berbuat serong, berjina dengan Joko Pramono, namun kedua matanya menyaksikan sendiri isterinya membelai-belai Joko Pramono, dan andaikata ada keraguan, maka keraguan ini disapu hilang oleh teriakan Pusporini yang memaki Joko Pramono ceriwis, cabul, dan mata keranjang !

Pangeran Panji Sigit tidak tahu betapa dalam keadaan pingsan itu, bibir dan seluruh mukanya diciumi oleh bibir Suminten yang sudah tak dapat menahan nafsunya, kemudian wanita ini dengan muka mangar-mangar kemerahan bertepuk tangan. Muncullah empat orang pelayan wanita kepercayaannya dan ia lalu memerintahkan mereka menggotong tubuh pria yang membuatnya tergila-gila ini ke dalam kamarnya.

Malam telah lama lewat dan hari telah menjelang siang ketika Pangeran Panji Sigit siuman dari pingsannya dan ia mendapatkan dirinya telah rebah di atas sebuah pembaringan yang lunak harum di dalam kamar yang indah dan ......... sebuah lengan yang lunak. halus melintang di atas dadanya, pernapasan yang halus terdengar di sebelah kanannya. Ketika ia menoleh ke arah si pemilik lengan dan si pembuat napas, kiranya Suminten yang memeluknya dalam keadaan pulas! Suminten dengan wajahnya yang manis, rambut terurai lepas merupakan satu-satunya alat penutup tubuh, sama dengan keadaan dirinya sendiri yang hanya berselimut kain merah.

Raden Panji Sigit mengerutkan kening, teringat akan semua peristiwa semalam, tahu bahwa dia telah di bawa ke dalam kamar Suminten, dan tidur sepembaringan dengan ibu tirinya itu, pembaringam yang biasanya ditiduri ramandanya! Ia menjadi muak dan cepat menurunkan lengan yang melintang di atas dadanya, kemudian melompat turun,
menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaian tergesa-gesa.

Suminten menggeliat, mengeluarkan suara seperti seekor anak kucing manja dan mau tidak mau Pangeran Panji Sigit harus memandang tubuh yang amat indah dan memiliki daya tarik menggairahkan dan merangsang nafsu berahi itu. Namun ia menekan semua gelora batinnya yang mulai bangkit ini dengan kesadaran betapa jahat, keji, dan berbahayanya selir ramandanya ini.

Suminten membuka mata, dimulai dengan berkejapnya bulu mata yang lentik itu, kemudian matanya terbuka dan seperti seorang kaget wanita ini bangkit duduk, membiarkan rambutnya yang panjang menjadi tirai jarang di depan dadanya yang telanjang sehingga mencipta penglihatan yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.

"Ouhhhh ......... Pangeran, andika sudah siuman? Syukurlah ......... aduhh, andika amat mencemaskan hatiku......... semalam suntuk kujaga di sini belum juga siuman, sampai akhirnya aku tertidur di sampingmu. Marilah ke sini, Pangeran …….”

Pangeran Panji Sigit mengerutkan keningnya dan menggeleng.
"Terima kasih, saya akan pergi .........”

"Ehhh, jangan pergi, Pangeran. Andika masih perlu istirahat. Ke sinilah, mari rebah di sini, lupakan segala kesedihan. Suminten akan menghiburmu, Pangeran, Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya, dengan seluruh hatinya, setiap helai bulu di tubuhnya mencintamu, Pangeran .........”

Pangeran Panji Sigit bergidik. Bukan main wanita ini. Siapa yang terjerat oleh wanita seperti ini, yang memiliki wajah cantik manis, memiliki tubuh yang menggairahkan, memiliki suara yang merangsang nafsu, kiranya takkan mudah dapat melepaskan diri lagi.

Suminten sudah turun dari pembaringan sehingga kini tidak ada bagian tubuhnya yang tertutup selimut. Ia lari menghampiri dan memeluk pinggang pangeran itu dengan kemanjaan yang memikat hati.

"Pangeran, tak tahukah engkau betapa siang malam Suminten selalu merindukanmu? Marilah ......... bersikapIah manis kepadaku, Pangeran, dan Suminten akan mencipta surge untukmu." Ia meraih ke atas, berdiri jinjit untuk mencapai bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya.

Pangeran itu membuang muka dan mendorong pundak Suminten sehingga wanita ini terjengkang dan jatuh terlentang di atas pembaringan.

"Tak perlu andika merayuku! - Aku sudah tahu siapa dan orang macam apa andika ini! Aku akan pergi dari istana terkutuk ini, sekarang juga!" Sambil berkata demikian, tanpa menoleh lagi Pangeran Panji Sigit sudah melangkah menuju pintu untuk keluar.

"Engkau kasar sekali, Pangeran! Tak tahu dicinta orang! Hi-hik, apa kaukira aku tidak tahu akan segala tugas rahasiamu? Engkau mata-mata Panjalu, mengkhianati kerajaan
ramamu sendiri! Hihi-hik, kaukira akan mudah saja keluar dari sini? Ratusan orang pengawal sudah mengurung dan siap menanti tanda dariku untuk menyambutmu dengan seratus batang anak panah, seratus buah golok dan seratus batang tombak!"

Pangeran Panji Sigit telah tiba di pintu dan dibukanya daun pintu kamar itu. Ia melihat betapa tak jauh dari situ, di luar gedung telah berdiri barisan pengawal yang mengurung gedung itu dengan senjata lengkap di tangan! Wanita ini tidak membohong. Tak mungkin dia dapat lolos dari tempat ini dan agaknya untuk menerobos penjagaan demikian ketat merupakan hal yang berbahaya sekali. Ia menoleh dan melihat betapa Suminten sudah mengenakan pakaiannya, kini sedang memasang hiasan daun telinga
sambil miringkan muka yang manis itu, yang memandangnya dengan kerling tajam dan senyum mengejek. Betapa ayu dan luwesnya wanita ini! Kalau bukan selir ramandanya dan bukan seorang wanita yang berwatak iblis!

Tiba-tiba Pangeran Panji Sigit tersenyum dan sinar matanya berkilat. Sekali melompat dia telah berada di dekat wanita itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. Agaknya Suminten dapat melihat sinar mata itu dan terkejut.

"Engkau ......... mau apa ……..?” tanyanya dengan mata terbelalak.

"Tidak apa-apa, hanya akan keluar dengan aman dari istana ini, bahkan dari Kerajaan Jenggala, dan engkau yang akan menjadi pengawalku sampai aku terbebas dari ancaman orang-orangmu!"

"Apa ......... ?" Akan tetapi seruan Suminten terpaksa berhenti karena Pangeran Panji Sigit telah menjabak rambutnya, rambut yang halus hitam dan panjang, yang amat lemas mengkilap karena setiap hari dikeramasi air bunga dan diminyaki yang harum dan selalu dikagumi setiap orang pria yang pernah merasai kenikmatan menemani wanita ini di kamarnya. Kini rambut itu dijambak dengan kasar dan hampir Suminten tak dapat percaya akan kenyataan ini. Seluruh tubuhnya telah ia sediakan, dengan rela hendak ia serahkan kepada pemuda tampan ini, tubuhnya yang dapat meruntuhkan kerajaan yang ia yakin akan diperebutkan oleh laksaan orang pria. Akan tetapi sekali ini sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap pangeran yang mengingatkannya akan Pangeran Panji Rawit ini, yang sekaligus merampas hatinya, merampas cinta kasihnya yang selamanya belum pernah ia jatuhkan kepada seorang pria kecuali kepada mendiang Pangeran Panji Rawit. Baru sekali ini, semenjak Pangeran Panji Rawit, ada pria yang menolak tubuhnya, namun yang sekaligus malah membangkitkan gairahnya karena penolakan itu.

"Tidak perlu ribut-ribut. Mungkin kalau engkau berteriak, para anjing pengawalmu itu akan mengeroyokku sampai tewas, akan tetapi sebelum mereka sempat melakukan hal itu, lebih dulu aku akan memukul pecah kepalamu! Engkau menurut saja, kawal aku sampai lolos dari kerajaan dan aku tidak akan membunuhmu, biarpun engkau sudah sepatutnya dibunuh!” Sambil berkata demikian, Pangeran Panji Sigit lalu menggandeng tangan Suminten keluar dari kamar itu.

Suminten yang maklum bahwa kalau ia melawan, tentu pangeran ini tidak akan segan-segan untuk membunuhnya, menjadi pucat mukanya, menggigit bibirnya dan mendesis,

"Engkau kejam, engkau tak tahu dicinta orang. Ada jalan ke surga, mengapa memilih neraka?"

"Tak usah banyak rewel. Surgamu merupakan jalan menuju neraka bagiku!" jawab Pangeran Panji Sigit sambil menarik tangan ibu tirinya itu keluar dari gedung.

"Pangeran Panji Sigit, engkau dikhianati isterimu dan sahabatmu, mau apa engkau pergi dari sini? Apakah engkau hanya ingin dijadikan bahan tertawaan dan ejekan orang? Tinggal saja di sini sebagai seorang pangeran terhormat dan kalau engkau ingin menjadi pangeran pati …….”

"Cukup, tak usah banyak cakap lagi dan jangan mencoba untuk melawan. Aku tidak main-main dan engkaulah orangnya yang akan tewas lebih dahulu, kalau ada yang menghalangi aku."

Suminten mengeluarkan isak tertahan dan tidak bersuara lagi. Para pengawal yang melihat Suminten keluar bergandeng tangan dengan Pangeran Panji Sigit, tidak menjadi heran karena memang selir muda ini sudah biasa menggandeng para pangeran muda yang tampan. Akan tetapi keadaan dua orang muda itu yang mengherankan para pengawal. Pakaian mereka kusut, rambut juga belum disisir, bahkan agaknya baru bangun tidur. Wajah dua orang itu sama sekali tidak membayangkan kemesraan, bahkan kelihatan kaku dan keruh. Namun para pimpinan pengawal tidak berani bertanya, hanya memimpin anak buahnya untuk memberi hormat kepada selir muda yang sesungguhnya menjadi junjungan pertama mereka itu.

"Jaga di sini baik-baik, aku hendak pergi berjalan-jalan sebentar dengan puteranda pangeran," kata Suminten, suaranya tenang dan biasa sungguh pun mukanya keruh.

Pangeran Panji Sigit menarik napas lega. Ia tadi sudah siap untuk memukul pecah kepala wanita ini lebih dulu sebelum menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, ucapan Suminten itu membuka jalan ke arah kebebasan baginya dan ia terus menggandeng tangan wanita itu yang mulai terasa dingin, keluar dari lingkungan istana.

Akan tetapi Pangeran Panji Sigit terlalu memandang rendah Suminten dan anak buahnya. Biarpun tadi Suminten mengeluarkan kata-kata yang membuka jalan kebebasan baginya, namun tanpa ia ketahui, Suminten telah membuat gerakan dengan jari tangannya yang dilihat oleh pimpinan pengawal. Gerakan jari tangan yang merupakan isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak beres sehingga begitu Suminten dan pangeran muda itu lewat, pemimpin pengawal segera lari menemui Pangeran Kukutan dan melaporkan hal itu.

"Hamba khawatir sekali, gusti. Kepergian beliau agaknya bukan sewajarnya, melihat dari wajah beliau yang keruh," demikian pengawal itu menutup pelaporannya.

Pangeran Kukutan mengerutkan keningnya. Hatinya sebetulnya sudah merasa tidak senang sekali melihat betapa Suminten mengeram Pangeran Panji Sigit dalam kamarnya. Dia bukan seorang pecemburu. Tidak, terhadap Suminten dia tidak bisa merasa cemburu lagi. Mereka sudah saling mengenal dan saling bersepakat untuk mendapat kebebasan sepenuhnya dalam memilih kekasih. Setiap malam wanita itu boleh saja berganti pria yang menemaninya. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit ini lain lagi. Bukankah pangeran muda itu satu-satunya pangeran yang amat disayang ramandanya? Bukankah sebelum ia diangkat menjadi pangeran pati, sebetulnya ramandanya lebih condong untuk memilih Pangeran Panji Sigit menjadi pangeran pati atau, pangeran mahkota? Kini Suminten merayu pangeran yang menjadi musuh utama atau menjadi saingan terberat baginya itu.

Setelah berhasil memecah-belah empat orang itu, mengapa tidak turun tangan menangkap Pangeran Panji Sigit? Saatnya tepat, kesempatan terbuka untuk menjatuhkan tuduhan bahwa pangeran itu mempunyai niat memberontak dan berkhianat kepada kerajaan, dengan bukti terbunuhnya banyak pengawal di tangan Pusporini dan Joko Pramono! Juga banyak saksi-saksi, di antaranya yang terpenting adalah pembantunya yang menyamar sebagai Ki Mitra, yang telah mendengar akan siasat mereka sebagai pembantupembantu Darmokusumo dan Tejolaksono dari Panjalu, menjadi mata-mata menyelidiki keadaan kerajaan ramandanya sendiri!

"Biar kukejar dan tangkap keparat itu" Pangeran Kukutan berkata lalu cepat pergi, tentu saja bukan untuk menangkap dengan kedua tangan sendiri karena dia merasa jerih terhadap Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi seorang pria yang amat sakti itu. Dia pergi menemul Cekel Wisangkoro yang kebetulan sekali malam tadi datang berkunjung secara diam-diam dan kini berada di dalam kamar yang disediakan untuk tamu-tamu rahasia yang dihormati.

Dengan mudah Pangeran Panji Sigit dapat lolos keluar dari istana, akan tetapi baru saja ia menggandeng Suminten keluar dari pintu gerbang lapis ke tiga, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan kuning dan dari atas pintu gerbang itu menerjangnya dengan sebatang tongkat yang berbentuk ular hitam. Serangan ini cepat sekali datangnya, tongkat berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung
sebagai tanda betapa cepat dan kuatnya tongkat digerakkan menghantam ke arah kepala Pangeran Panji Sigit!

"Pengecut!" Pangeran muda itu mengelak dan menjatuhkan diri ke belakang terus berjungkir balik dan meloncat agak jauh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu.

Ketika ia berdiri tegak memandang, ia melihat Pangeran Kukutan sudah menggandeng tangan Suminten, dan di depannya menghadangi seorang kakek tinggi kurus bermuka halus kemerahan, akan tetapi hidungnya seperti paruh kakaktua, rambutnya yang penuh uban terurai panjang sampai di pinggangi jubahnya kuning baru dan bersih akan tetapi kakinya telanjang dan tongkat hitam yang berbentuk ular itu memang sesungguhnya seekor ular besar yang sudah dikeringkan! Di sebelah kanan kakek mi berdiri Ki Patih Warutama yang tersenyum mengejek sehingga Pangeran Panji Sigit menjadi marah sekali.

"Ah, kiranya persekutuannya telah lengkap sekarang!" kata Pangeran Panji Sigit. "Aku ingin sekali mendengar apa yang akan dikatakan ramanda sinuwun kalau dapat menyaksikan selirnya, patihnya, dan puteranya untuk menjatuhkan aku, dibantu oleh seorang pendeta palsu!"

"Pangeran Panji Sigit, memang akan menarik sekali kalau andika mendengar perintah sang prabu yang baru saja dijatuhkan kepada saya, yaitu bahwa saya diberi wewenang
untuk membasmi dan membunuh andika dan tiga orang sekutu andika yang telah berkhianat dan menjadi mata-mata yang menyelidiki Kerajaan Jenggala!"

"Omongan keji dan bohong! Andaikata kanjeng rama mengeluarkan perintah seperti itu pun hanya karena fitnah yang kalian jatuhkan! Kalian adalah persekutuan busuk yang hendak merampas Kerajaan Jenggala dengan cara keji dan halus, membunuhi para ponggawa setia, menjauhkan kanjeng rama dari hamba-hamba setia agar dapat kalian
kuasai! Aku tahu! Ya, aku tahu akan semua kepalsuan kalian!"

"Keparat bermulut lancang kau!" Pangeran Kukutan memaki. "Paman patih dan Paman Cekel, harap lekas turun tangan membunuh pengkhianat ini!"

Cekel Wisangkoro, kakek itu, terkekeh dan kembali ia menerjang maju dengan tongkat ularnya. Pangeran Panji Sigit yang sudah menjadi marah dan nekad sekali melakukan perlawanan, mengelak ke kiri sambil balas memukul dengan sebuah tamparan ke arah kepala kakek itu. Namun, Cekel Wisangkoro adalah murid yang sakti dari Wasi Bagaspati, sambil terkekeh ia menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya sehingga kedua lengan itu beradu, membuat sang pangeran terjengkang ke belakang sambil terhuyung, sedangkan kakek itu hanya mundur dua langkah.

"Heh-heh, Pangeran Muda, lebih baik menyerah dan siap menerima hukuman!" kata kakek itu dengan nada memandang rendah.

"Paman Cekel, bunuh saja!" bentak Ki Patih Warutama yang telah berunding dengan Pangeran Kukutan dan mendapatkan kata sepakat untuk membunuh Pangeran muda yang berbahaya ini. Dia sendiri sudah menerjang maju, gerakannya seperti kilat menyambar, bahkan ki patih ini sekali maju telah mencabut kerisnya yang mengeluarkan sinar kehijauan, yaitu keris pusaka Naga-kikik yang berluk tujuh.

Melihat sambaran sinar hljau ini, Pangeran Panji Sigit terkejut dan kembali ia terpaksa membuang diri ke belakang dan melakukan loncatan berjungkir-balik. Namun baru saja
ia berdiri tegak, sinar hitam tongkat Cekel Wisangkoro sudah menyambar dari arah samping. Biarpun pangeran ini cepat mengelak, namun ujung tongkat itu masih menciumnya, membuatnya jatuh terguling. Betapa pun juga, pangeran muda ini bukan seorang lemah dan memiliki keberanian yang didorong kenekadan luar biasa. Ia mengerti bahwa lawan-lawannya akan mengirim serangan maut, maka begitu tubuhnya terjatuh, ia menggunakan kedua tangan menekan tanah dan sambil mengeluarkan teriakan keras, ia mencelat ke atas mengirim tendangan ke arah lawan terdekat, yaitu Ki Patih Warutama! Serangan ini tidak terduga-duga datangnya sehingga biarpun ki patih yang sakti itu cepat miringkan tubuh, pahanya masih saja kena didupak sehingga ia pun terpelanting jatuh berbareng dengan terpelantingnya tubuh Pangeran Panji Sigit yang kembali kena dihantam pundaknya dengan tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro! Dengan gemas Pangeran Kukutan meloncat maju dengan pedang di tangan, siap ditabaskan ke batang leher adik tirinya, akan tetapi tiba-tiba terdengar jerit Suminten,

"Jangan bunuh! Tangkap saja dia!"

Suara selir raja ini amat berpengaruh sehingga pada saat itu, tiga orang yang sudah siap dengan senjata di tangan itu, menarik kembali senjata mereka dan Ki Warutama menubruk ke depan, menelikung kedua lengan Pangeran Panji Sigit yang masih merasa lumpuh tangannya karena pukulan tongkat pada pundaknya. Ia dibelenggu dan digiring kembali di dalam istana, kemudian atas perintah Suminten, pemuda bangsawan itu dijebloskan ke dalam kamar tahanan bawah tanah yang tersedia di dalam lingkungan istana.

Atas perintah yang sangat dari Suminten, pangeran muda itu biarpun menjadi seorang tawanan namun ia ditempatkan di dalam sebuah kamar di bawah tanah yang cukup indah dan menyenangkan, sama sekali bukan sebagai kamar tahanan, melainkan sebuah kamar tidur yang lengkap dengan pembaringan indah dan sutera-sutera berkembang menghias kamar. Akan tetapi, untuk mencegah pangeran muda yang berani dan nekat ini memberontak dan melarikan diri, kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu baja, bahkan lehernya juga dibelenggu sehingga biarpun Pangeran Panji Sigit dapat bergerak bebas dalam kamar, namun sukarlah baginya kalau hendak mencoba melarikan diri.

Pangeran Panji Sigit termenung di dalam kamar tahanan itu. Hidangan dan minuman lezat yang disuguhkannya tidak disentuhnya. Ia duduk termenung di atas pembaringannya dengan wajah pucat dan Pandang mata yang suram, kening berkerut. Ia tidak merasa susah karena menjadi tawanan, bahkan menghadapi kematian pun ia tidak akan gentar. Ia merasa bahwa lebih baik mati daripada hidup menanggung siksa batin yang hebat. Isterinya, Setyaningsih yang amat dicintanya, telah berjina dengan Joko Pramono! Ia terlalu mencinta isterinya dan setelah kini ia renungkan, ia rela mengalah, ia rela tersiksa asal isterinya berbahagia. Kalau isterinya menemukan kebahagiaan dengan Joko Pramono, biarlah ia yang mundur dan jalan terbaik untuk mundur mengalah adalah mati! Kalau ia mati, berarti tidak akan ada kesukaran dan halangan lagi bagi Setyaningsih untuk melanjutkan hasrat hatinya berlangen-asmoro (bermain cinta) dengan Joko Pramono dan dia pun tidak akan menderita batin lagi karena kematian akan membebaskannya dari segala derita. Akan tetapi, sebagai seorang satria, tentu saja la tidak boleh mati begitu saja. Masih banyak sekali tugas menanti, terutama sekali menyelamatkan ramandanya dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman oknum-oknum jahat.

"Duhai Adinda Setyaningsih, betapa tega hatimu ......... " Ia mengeluh panjang dan pada saat itu masuklah sesosok bayangan melalui pintu yang dikunci dari luar.

Di dalam kamar itu mulai gelap karena Pangeran Panji Sigit tidak menyalakan lampu, sedangkan senja telah mendatang. Maka ia menjadi kaget ketika kamar itu tiba-tiba menjadi terang oleh lampu yang dibawa masuk orang. Ia cepat menengok dan kembali ia membuang muka ketika melihat bahwa yang datang adalah Suminten!

Malam itu Suminten berusaha benar-benar untuk mengambil hati Pangeran Panji Sigit. Ia bersolek dengan teliti dan pada saat itu ia tampak amat cantik. Kulitnya yang halus hitam manis itu kelihatan seperti keemasan, halus lembut dan seolah-olah kehangatan terpancar keluar dari balik kulit itu. Ketika ia melangkah masuk, kamar itu serta merta penuh dengan keharuman yang amat sedap dan seolah-olah segala macam bunga yang harum dikumpulkan dan sarinya berada di tubuh wanita ini. Rambutnya yang hitam panjang dan halus mengkilap itu disisir rapi, sebagian disanggul dan dihias pengikat rambut dari emas bertabur batu permata, ujung rambut masih terurai panjang sampai ke pinggulnya. Sepasang telinganya hinggap di belakang rambut pelipis bagaikan sepasang kupu-kupu menghisap madu bunga, menjadi lebih manis lagi karena dihias anting-anting panjang terbuat dari mutiara yang diuntai seperti embun berantai tergantung di ujung daun. Alisnya amat hitam, menjerit bukan dibuat, memang sudah sewajarnya rambut alis itu tumbuh amat rapi melindungi sepasang matanya yang seolah-olah selalu mengeluarkan api gairah asmara yang membakar. Sepasang mata dengan bulu mata lentik panjang, yang selalu agak meredup, apalagi di saat itu, di waktu hatinya bergelora oleh asmara, mata itu kelihatan seperti mata yang mengantuk dan justeru keredupan matanya inilah yang menambah daya tariknya yang luar biasa. Hidung kecil mancung itu amat bagus bentuknya, akan tetapi bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mulut di bawahnya. Memang keistimewaan Suminten, di samping seluruh bagian tubuhnya yang menarik, terutama sekali terletak pada mata dan mulutnya. Mata dan mulutnya itu merupakan sumber-sumber yang penuh api membara, api yang dapat membakar nafsu berahi setiap orang pria. Mata dan mulut yang indah bentuknya dan membayangkan ketelanjangan yang menantang!

Suminten menghampiri Pangeran Panji Sigit yang membuang muka. Ketika melangkah maju, pinggulnya yang ramping seperti patah-patah dan pinggulnya yang menonjol keras mengimbangi dadanya itu bergerak-gerak.

"Duh Pangeran ........” Suminten merapatkan tubuhnya, sengaja menekankan dadanya yang membusung itu ke pangkal lengan Pangeran Panji Sigit suaranya menggetar ketika memanggil napasnya agak terengah karena begitu menyentuh pangeran itu, darahnya telah mendidih, nafasnya menggelora menuntut pelepasan. Tangan kirinya merangkul pundak, tangan kanannya menggerayang dada pangeran muda itu.

"Duh Pangeran, mengapa begini jadinya ......... ??"

Suminten mengeluh lagi dan sekali ini dia tidak berpura-pura, bukannya merayu sembarang merayu, melainkan secara sungguh-sungguh karena dia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda ini. Dua titik air mata yang mengalir di atas pipinya bukanlah air mata palsu, melainkan timbul dari hatinya yang merasa nelangsa mengapa pemuda ini tidak mau menyambut cinta kasihnya, bahkan rela menjadi tawanan dan rela pula menghadapi maut. Tanpa menoleh, Pangeran Panji Sigit berkata kasar,

"Mau apa engkau, wanita iblis? Pergilah, aku sudah tertawan, mau bunuh atau mau siksa, terserah. Aku tidak takut mati!"

"Pangeran Panji Sigit, butakah engkau, wahai pria pujaan hamba? tidak tahukah atau memang pura-pura tidak tahu betapa Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya? Aduh Pangeran, sungguh, aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu! Tunjukkanlah bahwa engkau seorang pria yang suka kepadaku, akan membalas cinta kasihku, dan percayalah, aku dapat membuat engkau menjadi Putera Mahkota Kerajaan Jenggala! Kelak, kalau engkau sudah menjadi Raja Jenggala, aku Suminten akan cukup puas kalau engkau tidak melepaskanku, akan selalu mendampingiku, menguburku dengan timbunan cinta kasihmu, sayang ……..”

Pangeran Panji Sigit adalah seorang manusia biasa, seorang pria yang masih muda. Menghadapi cumbu rayu seorang wanita muda cantik jelita seperti Suminten ini benar-benar terasa amat berat baginya untuk mempertahankan hatinya. Ia merasa betapa daging lembut mendekap di bahunya, merasa betapa jantung di balik dada itu berdenyar-denyar penuh hembusan nafsu berahi, mendengar getaran penuh kemesraan dalam suara yang berbisik-bisik itu, merasa hembusan napas yang hangat dari mulut yang merah menantang, merasa betapa jari-jari tangan yang membelai dada dan lehernya mengeluarkan getaran-getaran yang membuat dia merinding.

Dapatkah kita menyalahkan Pangeran Panji Sigit kalau jantungnya sendiri mulai berdebar? Apalagi mendengar bujukan yang amat muluk itu. Dia akan dijadikan putera mahkota, calon pengganti ramandanya! Akan tetapi, ia mengingat akan kekejian wanita ini dan tanpa menoleh ia membentak,

"Tak perlu membujukku, pergilah kau wanita berhati palsu!"

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 083 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment