Ads

Monday, March 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 084

<<== Kembali <<==

"Akan tetapi, dua orang muda itu, Pusporini dan Joko Pramono, memiliki kesaktian yang luar biasa!" kata Ki Patih Warutama sambil mengerutkan keningnya yang tebal.

Mereka sedang berunding. Ki Patih Warutama, Suminten yang duduk di kursi paling tinggi dengan sikap seperti seorang ratu, Pangeran Kukutan dan di situ menghadap, pula Cekel Wisangkoro dan dua orang tokoh sakti lainnya yang sudah kita kenal yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Biarpun tidak atau belum berani berkunjung ke Jenggala secara berterang, namun kini tokoh-tokoh anak buah Wasi Bagaspati dan Biku Janapati sudah seringkali secara diam-diam, berkunjung ke Jenggala, bahkan telah diterima, sebagai sekutu oleh Suminten, Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama yang merupakan tiga serangkai yang pada saat itu memegang kendali Kerajaan Jenggala.

"Ha-ha-ha, hanya dua orang bocah, mengapa begitu dikhawatirkan? Serahkan saja kepada Ki Kolohangkoro, akan kutangkap mereka berdua dengan sebelah tanganku!" kata Ki Kolohangkoro yang sudah biasa menyombongkan diri dan bersikap kasar kepada slapa pun juga.

"Boleh jadi Ki Kolohangkoro agak sombong, akan tetapi kurasa, kalau hanya dua orang pemuda itu saja, tentu dia dapat mengalahkannya. Andaikata masih terlalu berat baginya, di sini ada aku dan ada pula Kakang Cekel Wisangkoro. Selain itu di sini banyak terdapat pengawal-pengawal yang cukup kuat, mengapa khawatir?" kata Ni Dewi Nilamanik sambil mengerling tajam ke arah Ki Patih Warutama yang tampan dan gagah itu.

Ki patih yang gagah itu sekali ini tidak melayani lirikan wanita cantik yang mengandung tantangan bagi kejantanannya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata,

"Saya sama sekali tidak hendak merendahkan kesaktian andika bertiga yang sudah saya ketahui dengan baik. Akan tetapi, saya telah menyaksikan pula malam tadi ketika Pusporini dan Joko Pramono dikeroyok oleh barisan pengawal pilihan. Sepak terjang mereka hebat bukan main dan ......... dan agaknya ......... saya sendiri belum tentu dapat menandingi mereka. Memang kalau andika bertiga yang maju, saya tidak perlu khawatir lagi, hanya ......... ah, andaikata kami bisa mendapat kunjungan Paman Wasi Bagaspati sendiri atau Paman Biku Janapati, barulah hati saya akan menjadi lega karena yakin bahwa hanya beliau-beliau itulah yang akan dapat menundukkan mereka berdua tanpa ragu lagi."

Ni Dewi Nilamanik juga mengerutkan alisnya yang menjelirit hitam akan tetapi bukan sewajarnya melainkan buatan, kemudian ia berkata penuh penasaran,

"Mengapa Ki Patih demikian berkecil hati? Sesungguhnya, kalau saya tidak salah ingat, saya dan Ki Kolohangkoro pernah menghadapi dua orang muda yang bernama Joko Pramono dan Pusporini itu, dan kami pernah menawan mereka dengan amat mudah!"

Ki Patih Warutama mengangkat mukanya memandang dan tercengang.
"Benarkah itu?. Ah, kalau memang sudah terbukti andika dapat mengalahkannya, itulah baik sekali!"

Ki Kolohangkoro yang ingatannya tidak setajam ingatan Ni Dewi Nilamanik, dengan wajah bodoh bertanya,

"Bunda Dewi, yang manakah mereka itu?"

"Ihh, apakah andika tidak ingat lagi?" Ni Dewi Nilamanik mencela.

Biarpun usia Ki Kolohangkoro lebih tua dari Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi ia selalu menyebut wanita cantik genit itu "Ibunda Dewi", hal ini adalah karena pertama, Ni Dewi Nilamanik adalah kekasih Wasi Bagaspati dan kedua karena Ki Kolohangkoro menganggap diri sendiri sebagai penitisan Sang Bathara Kala sedangkan Ni Dewi Nilamanik dianggap sebagai penitisan Sang Bathari Durgo, maka ia menyebutnya Ibunda Dewi. Raksasa yang menyeramkan itu menggeleng kepalanya sehingga rambutnya yang panjang dan gimbal bergoyang-goyang.

"Sudah terlalu banyak orang muda kita tangkap, mana bisa saya Mengingat mereka satu-satu?"

"Hemm, ingatkah engkau akan pertemuan kita dengan paman guruku, Paman Resi Mahesapati di dalam hutan itu?"

Raksasa itu membelalakkan matanya yang sudah lebar, lalu menyambar cawan berisi minuman tuwak yang disediakan untuknya, menggelogok isinya sampai kosong, kemudian berkata,

"Ibunda maksudkan kakek jembel yang membawa batok kelapa dan sapu lidi itu? Ihhh, tentu saja aku masih ingat!" Raksasa itu menggerakkan pundaknya seperti orang kedinginan karena ia merasa serem kalau teringat akan kakek itu.

"Nah, waktu itulah kita menawan Joko Pramono dan Pusporini yang terpaksa kita tinggalkan karena pertemuan kita dengan paman guru itu."

"Oh-oh, ha-ha-ha! Mereka itu? Ah, mereka hanyalah bocah-bocah yang rupawan saja, biarlah kalau mereka datang, akan kutangkap mereka!"

Ki Patih Warutama memandang Ni Dewi Nilamanik dengan pandang mata penuh selidik.

"Jadi ketika itu mereka ditolong oleh paman guru andika yang bernama Resi Mahesapati? Apakah paman guru andika itu sakti mandraguna?"

"Paman guru Mahesapati? Ihh, mengerikan sekali! Kesaktiannya seperti dewa! Kiranya setingkat dengan kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri!" jawab wanita itu.

Ki Patih Warutama mengangguk-angguk. Dia sudah menyaksikan kehebatan sepak terjang dua orang muda itu dan dalam urusan ini dia tidak mau bersikap sembrono seperti Ki Kolohangkoro yang memandang rendah semua urusan.

"Kalau begitu, siapa tahu kalau mereka lalu menjadi murid kakek sakti itu,"

"Aihhh ......... Kalau begitu ......... memang mengkhawatirkan !” Ni Dewi Nilamanik berkata dan ketika mendengar kemungkinan dua orang muda itu menjadi murid Resi Mahesapati yang amat ditakutinya, Ki Kolohangkoro juga diam saja, tidak lagi berani membual.

Suminten yang tidak mengerti tentang kesaktian dan yang sejak tadi diam saja mendengarkan para pembantunya berunding, tiba-tiba membuka mulut berkata,

"Mengadu kesaktian saja memang meragukan, akan tetapi jika menggunakan siasat kurasa tidak akan sukar menjatuhkan mereka, betapapun sakti mereka itu."

Semua mata memandang dan dalam pandang mata Ni Dewi Nilamanik terbayang kekaguman. Wanita ini sudah cukup berpengalaman, sudah banyak bertemu dengan pria atau wanita yang bagaimana pun. Akan tetapi baru sekali ini ia kagum melihat seorang wanita muda yang lemah tiada kesaktian namun dapat mengangkat dirinya secara sedemikian hebatnya, dari seorang abdi sampai menjadi orang yang paling berkuasa di Kerajaan Jenggala! Kini, wanita muda ini sengaja mengumpulkan mereka untuk berunding menghadapi dua orang muda yang sakti degan sikap sedemikian dingin, penuh perhitungan, dan matang! Dibandingkan dengan kematangan wanita muda ini, akal dan pikiran seorang kakek seperti Ki Kolohangkoro tiada bedanya dengan seorang bocah saja!

Suminten sengaja memanggil para pembantunya, langsung setelah ia keluar dari kamar tahanan, setelah gagal ia merayu Pangeran Panji Sigit. Kini, mendengar betapa orang-orang sakti ini seperti kehilangan akal mendengar kemungkinan bahwa dua orang muda lawan mereka itu benar-benar amat sakti dan murid Resi Mahesapati, dia menjadi hilang sabar.

"Kalau mereka datang, dan hal ini aku yakin pasti akan terjadi, mereka itu tentu bermaksud untuk membebaskan Pangeran Panji Sigit. Karena itu, kita bahkan sebaiknya menggunakan pangeran itu sebagal umpan. Di dalam penjara istana terdapat banyak alat-alat rahasia. Kalau kita tempatkan pangeran itu di dalam kamar yang sudah dipasangi perangkap, dan mereka datang, tentu akan mudah kita menangkap mereka tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kerepotan lagi. Ada aku mendengar tentang kamar tahanan yang lantainya dapat menjebloskan penginjaknya ke dalam lubang di bawah tanah yang terbuat dari-pada baja, tanpa pintu dan jendela. Kalau kita menggunakan kamar itu......... “

"Sayang hal itu tak mungkin dapat dilakukan karena adinda ......... eh, si bedebah Panji Sigit itu pun tahu akan rahasia kamar tahanan itu sehingga kalau para temannya datang, dia tentu akan dapat memperingatkan mereka," Pangeran Kukutan mencela.

Suminten tersenyum mentertawakan pendapat Pangeran Kukutan ini. Ketika ia tersenyum dan giginya yang putih mengkilat terkena cahaya lampu, semua yang hadir di situ memandang kagum. Dalam senyum ini terkandung segala yang mengagumkan dari diri atau pribadi Suminten karena senyum ini membayangkan kecerdikan yang mengerikan di samping kekejaman, keberanian dan ketenangan yang tersembunyi di balik kecantikan dan kemanisan yang mempesonakan.

"Ah, Pangeran, mengapa kekurangan akal? Apa sukarnya membuat Pangeran Panji Sigit pingsan? Dalam keadaan pingsan dia dibaringkan dalam kamar itu bukankah itu merupakan umpan yang amat baik? Setelah mereka terjeblos ke dalam lubang jebakan, terkurung dalam ruangan di bawah tanah itu, tinggal terserah kepada kita tentang nasib
mereka."

"Akan kuhujani anak panah! Eh, tidak, akan kusuruh kumpulkan seratus ekor ular berbisa dan kumasukkan ular-ular itu ke dalam ruangan di bawah itu!" Pangeran Kukutan berkata dengan geram.

Suminten menarik napas panjang.
"Hemm, amat tidak baik menurutkan hati panas. Hati boleh saja panas membara, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar kita dapat menggunakan kepala untuk menciptakan buah pikiran yang tepat. Mereka itu adalah orang-orang muda yang amat berguna karena memiliki kesaktian, di samping itu, Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera terkasih sang prabu, Setyaningsih dan Pusporini adalah adik-adik Endang Patibroto yang menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono di Panjalu. Tidak baik kalau membunuh mereka begitu saja karena mereka itu adalah orang-orang yang berharga, orang-orang yang penting dan masih banyak kegunaannya bagi kita. Membunuh mereka begitu saja berarti menyia-nyiakan kegunaan mereka. Kita laksanakan lebih dulu pancingan sampai berhasil, setelah mereka berhasil terjebak baru dicari jalan yang tepat……..”

"Saya amat kagum dan setuju dengan siasat itu. Harap paduka jangan khawatir, kalau mereka telah terjebak, saya mempunyai asap beracun untuk membuat mereka tak berdaya sehingga mudah ditawan," kata Ni Dewi Nilamanik.

Demikianlah, dengan rencana yang dikemukakan Suminten sebagai dasar, mereka dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan siasat itu. Mudah saja bagi Ni Dewi Nilamanik untuk membikin pingsan Pangeran Panji Sigit yang selain kalah jauh kedigdayaannya, juga sudah tertawan dan dibelenggu sehingga tidak dapat melawan ketika asap beracun memabukkan disemprotkan ke mukanya. Pangeran ini roboh pingsan seperti orang tertidur dan sama sekali tidak tahu bahwa dia digotong ke dalam sebuah kamar tahanan, dibaringkan di atas sebuah pembaringan batu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, malam hari itu juga, setelah berunding dan mendapat petunjuk-petunjuk dari Ki Wiraman, tiga orang muda perkasa, Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono, menyelundup memasuki kota raja dengan niat menyerbu istana dan menolong Pangeran Panji Sigit yang masih tertinggal di istana.

Malam itu gelap karena udara tertutup mendung. Tiga bayangan berkelebat gesit sekali, berhasil meloncati pagar tembok istana dan bagaikan tiga ekor burung saja, Joko Pramono, Pusporini, dan Setyaningsih sudah melayang turun ke dalam taman istana yang paling ujung. Mereka itu sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedatagan mereka memang sudah diduga, bahkan telah direncanakan secara matang untuk menyambut mereka!

Joko Pramono selalu bergerak di sebelah depan sebagai pelopor. Setyaningsih di tengah karena kalau dibuat perbandingan, di antara mereka bertiga, Setyaningsih yang
paling lemah. Pusporini berada di belakang menjaga bahaya tiba-tiba. Mereka berindap-indap bergerak maju, menuju ke gedung tamu di mana Pangeran Panji Sigit selama ini tinggal bersama isterinya.

Joko Pramono yang dapat bergerak seperti angin saja tanpa mengeluarkan suara telah mengintai jendela pondok tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, lalu menoleh dan memberi isyarat kepada Setyaningsih dan Pusporini agar jangan berisik. Mereka bertiga lalu berindap mengintai sinar jendela.Ternyata pondok yang tadinya menjadi tempat tinggal Pangeran Panji Sigit dan isterinya itu kini ditempati oleh Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Cekel Wisangkoro!

Tiga orang sakti itu sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap dengan asyiknya. Agaknya mereka itu sudah setengah mabuk karena di atas meja tersedia banyak minuman keras dan percakapan mereka sudah tidak karuan, tidak sopan sehingga Setyaningsih dan Pusporini yang mendengarnya menjadi tersipu-sipu, merah
mukanya dan gemas.

"Ha-ha-ha, lbunda Dewi. Kalau ingin mencari kepuasan malam ini, marilah kulayani! Jarang sekali Ibunda mengajak aku, dan aku tanggung Ibunda Dewi akan puas sekali!" kata Ki Kolohangkoro.

"Heh-heh, jangan percaya dia, Ni Dewi! Biarpun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi hal ini bukan kesenangannya, mana bisa dia memberi kepuasan? Kesenangannya hanya makan bocah. Mari kulayani engkau, Ni Dewi. Aku peranakan Hindu aseli, dalam hal itu tidak kalah oleh guruku, Bapa Wasi sendiri, heh-heh!" kata Cekel Wisangkoro.

"Hushh, kalian jangan ribut-ribut. Bukan waktunya bersenang-senang. Bukankah kita ditugaskan menjaga datangnya musuh-musuh yang akan menolong Pangeran. Panji Sigit?"

Tiga orang muda di luar jendela yang tadinya merasa muak dan hendak pergi, kini mendengarkan dengan jantung berdebar.

"Aha! Panji Sigit sudah dikurung dalam kamar tahanan batu di ujung barat; selain terjaga kuat juga sudah kita pasangi alat-alat sehingga setiap usaha untuk menolongnya berarti malah membunuhnya. Perlu apa khawatir?" kata Ki Kolohangkoro dengan suara keras.

"Andaikata dapat membebaskannya, tak mungkin akan dapat lolos dari pengejaran kita. Hayolah, Ni Dewi, kaulayani aku ......... sudah tiga tahun aku tidak berdekatan dengan wanita ......... " kata pula Cekel Wisangkoro.

Tiga orang muda perkasa itu tidak mau mendengarkan lagi bahkan Joko Pramono sudah bergerak pergi meninggaikan pondok itu dibayangi oleh Setyaningsih dan Pusporini. Untung mereka mendengar percakapan itu sehingga mereka tidak perlu lagi mencari-cari. Pangeran Panji Sigit ditahan dalam kamar tahanan batu di ujung barat! Selama mereka berada di istana, mereka sudah melakukan penyelidikan, akan tetapi mereka hanya tahu akan letak perumahan yang disediakan untuk tahanan rahasia di lingkungan istana. Mereka tidak mungkin menyelidiki keadaan kamar-kamar tahanan itu satu demi satu, akan tetapi mereka tahu di mana letaknya kamar tahanan batu di ujung barat.

Malam sudah larut sekali, keadaan, sudah sunyi tanda bahwa semua penghuni istana sudah tidur. Hanya sekali dua terdengar suara penjaga malam yang meronda. Joko Pramono dan Pusporini, dibantu pula oleh Setyaningsih, bersedakep di luar bangunan tahanan di ujung barat, mengheningkan cipta dan mengerahkan aji penyirepan. Dalam waktu yang tidak lama, keadaan di situ menjadi makin sunyi karena belasan orang penjaga yang bertugas menjaga di luar bangunan itu telah jatuh pulas semua, terpengaruh oleh aji panyirepan yang amat kuat.

Tiga orang muda perkasa itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa aji panyirepan mereka tidak dapat mempengaruhi beberapa orang yang memang sudah bersiap-siap sebelumnya, tiga orang sakti yang bukan lain adalah mereka yang tadi bercakap-cakap di dalam pondok tempat tinggal Pangeran Panji Sigit! Mereka ini, Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro, telah lebih dulu memasang aji penolak sirep dan merekalah yang menjaga kamar tahanan siap untuk menggerakkan alat rahasia yang terpasang di lantai kamar!

SETELAH keadaan menjadi sunyi dan merasa yakin bahwa semua penjaga telah pulas, Joko Pramono berbisik kepada Pusporini dan Setyaningsih,

"Andika berdua menjaga di luar sini, biarkan saya sendiri menyelidiki ke dalam."

Pusporini mengangguk, Memang sebaiknya demikian. Merurut apa yang mereka dengarkan dalam percakapan antara tiga orang tokoh sakti tadi, tempat tahanan ini dipasangi alat-alat rahasia yang amat berbahaya. Jika mereka semua masuk, sekali terjebak, mereka semua akan celaka. Kalau hanya seorang; andaikata terjadi sesuatu, yang berada di luar dapat saja sewaktu-waktu menolong. Sebaliknya, jika ada bahaya yang datangnya dari luar, dia dapat menyambutnya untuk melindungi Joko Pramono yang bertugas di dalam. Akan tetapi Setyaningsih membantah,

"Saya akan ikut masuk mencari Kakangmas Pangeran ......... “

"Harap Ayunda suka menjaga saja di luar bersama Pusporini," kata Joko Pramono.

"Bergerak seorang diri di dalam akan lebih leluasa, pula kita belum tahu bahaya apa yang mengancam di dalam."

"Betul, Ayunda. Tugasnya sudah amat berat, dan dia harus dapat menemukan dan membebaskan Rakanda Pangeran. Kita sudah mendengar tadi akan percakapan mereka. Di dalam banyak terdapat alat-alat rahasia yang berbahaya. Pula, keadaan. di luar sini tidak kurang pentingnya. Kalau ada musuh-musuh sakti menyerbu, Ayunda dapat membantuku menghadapi mereka."

Setyaningsih terdesak dan terpaksa menyerah sungguhpun hatinya sudah ingin sekali bertemu dengan suaminya yang tercinta. Setyaningsih tidak membantah lagi, mulailah Joko Pramono memasuki bangunan besar yang dijadikan tempat tahanan itu.

Dengan tenaga saktinya, mudah saja Joko Pramono mendorong pintu gerbang terbuka dan ia merasa lega ketika melihat empat orang penjaga menggeletak di balik pintu gerbang dalam keadaan pulas. Untuk mencegah kalau-kalau ada musuh datang dari luar dan melihat pintu gerbang terbuka, ia menutupkan lagi daun pintu gerbang sehingga kini Setyaningsih dan Pusporini yang berada dl luar tidak dapat melihatnya, lagi. Joko Pramono melangkah maju terus dengan hati-hati sekali, matanya memandang ke depan dan kanan-kiri.

Untung baginya bahwa bangunan itu cukup terang mendapat cahaya lampu-lampu gantung yang cukup banyak di tempat itu, Pintu ke dua merupakan pintu dari baja, akan tetapi ketika ia mendorongnya, ternyata pintu itu tidak terpalang hanya ditutupkan saja, maka mudah terbuka. Ketika ia melihat para penjaga malang-melintang tidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepannya tadi. Banyak sekali penjaga di sebelah dalam ini, ada belasan orang.

Di antara mereka terdapat seorang kakek tinggi besar yang bersandar dinding, suara dengkurnya keras seperti macan menggereng. Joko Pramono maklum bahwa penjaga yang seorang ini bukanlah sembarang penjaga, tentu setidak-tidaknya kepala penjaga. Tubuh penjaga ini kuat sekali tampaknya, bahkan menyeramkan. Akan tetapi karena penjaga ini pun pulas, la tidak memperhatikannya lagi dan melangkah maju terus.

Di depan terdapat ruangan yang luas, lantainya dari papan tebal. Ia berlaku hati-hati, tidak segera meloncat maju, melainkan mencoba lantai papan itu dengan cara menekan-nekannya dengan sebelah kakinya. Ia khawatir kalau-kalau lantai itu dapat bergerak. Akan tetapi lantai itu kokoh kuat dan Joko Pramono melangkah terus, matanya mencari-cari bagian mana kiranya yang akan dimasukinya untuk mencari Pangeran Panji Sigit. la telah tiba di tengah-tengah ruangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa di sebelah belakangnya dan ketika secepat kilat ia membalikkan tubuh, kiranya penjaga yang tinggi besar seperti raksasa itu telah berdiri di depannya! Kini tampak jelas betapa penjaga yang tua ini tubuhnya benar-benar mengejutkan, seperti raksasa. Telinganya dihias anting-anting dan tangan kanannya memegang sebuah senjata nenggala, tombak kecil yang runcing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Melihat keadaan kakek ini, terkejutlah hati Joko Pramono karena ia segera mengenalnya. Inilah Ki Kolohangkoro! Pernah ia bersama Pusporini menghadapi kakek ini dan Ni Dewi Nilamanik, bahkan akhirnya dia ditawan Ni Dewi Nilamanik sedangkan Pusporini ditawan kakek ini. Untung dia dan Pusporini tertolong oleh guru mereka, Resi Mahesapati!

"Ah, kiranya andika menjadi seorang di antara tikus-tikus yang menggerogoti Kerajaan Jenggala, Ki Kolohangkoro!"

Joko Pramono berkata tenang dan ia bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan karena maklum bahwa lawan ini bukanlah seorang yang lemah.

"Ha-ha-ha-ha! Engkau Joko Pramono? Apakah yang engkau andalkan maka berani memasuki sarang harimau? Hendak membebaskan Pangeran Panji Sigit? Ha-ha-ha, jangan mimpi, orang muda. Lebih baik menyerah sebelum nenggalaku yang sudah lama tidak mencium darah ini menggelogok darahmu!"

“Manusia raksasa seperti engkau berhati iblis! Jangan mengira akan mudah mengalahkan Joko Pramono seperti lima tahun yang lalu. Sambutlah ini!" Joko Pramono cepat menerjang maju dengan pukulan kepalan kanannya. Dahsyat sekali gerakannya akan tetapi sambil tertawa Ki Kolohangkoro menggerakkan nenggalanya menyambut terjangan pemuda itu dengan terjangan balasan, yaitu ia menusukkan nenggalanya ke arah dada Joko Pramono.

"Plakk!" Dengan gerakan indah, Joko Pramono sudah membuka kepalannya tadi, merubah pukulan menjadi gerakan tangan terbuka melingkar dari kiri ke kanan, diputar sedemikian rupa sehingga ia berhasil menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang nenggala itu dari samping. Sedetik dua tenaga raksasa bertemu, saling betot, dan tiba-tiba Joko Pramono berseru keras dan menyendal tangan lawan itu dengan gentakan kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh raksasa itu kehilangan keseimbangan, kuda-kudanya tergempur dan tubuhnya terbanting ke kanan.

Hal ini amat mengejutkan hati Ki Kolohangkoro. Hampir ia tidak percaya bahwa pemuda yang lima tahun lalu masih amat lemah dan hanya memiliki kepandaian yang tidak ada artinya, kini dapat memiliki tenaga sakti yang sedemikian kuatnya sehingga hampir-hampir ia tidak kuat menahan nenggalanya. Untung ia masih dapat mempertahankan senjatanya itu sehingga tidak terampas biarpun tubuhnya hampir terbanting roboh.

"Babo-babo, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan yang lumayan. Makanlah senjataku!" Raksasa itu menerjang lagi, kini lebih hebat dengan memutar pergelangan tangannya sehingga nenggala itu berputar seperti kitiran, mendatangkan angin dan mengeluarkan suara berdesing. Hebat memang Ki Kolohangkoro yang memiliki tenaga gajah, sedangkan senjata nenggala di tangannya itu pun merupakan sebuah nenggala yang amat ampuh.

Akan tetapi Joko Pramono sekarang sama sekali berbeda dengan Joko Pramono lima tahun yang lalu. Setelah mendapatkan gemblengan dari Resi Mahesapati yang sakti mandraguna, kedigdayaannya menjadi berlipat ganda dan kini menghadapi tendangan Ki Kolohangkoro itu, ia dapat melihat dengan jelas gerakan lawan sehingga dapat dengan mudah pula mengelak ke kiri, secepat kilat kakinya menyambar dari samping ke arah lambung lawan. Andaikata tadi Ki Kolohangkoro belum merasakan betapa kuatnya pemuda ini tentu dengan memandang rendah ia berani menerima tendangannya itu karena ia dapat mengandalkan kekebalannya yang akan melindungi lambungnya. Akan tetapi ia tahu bahwa tendangan pemuda sekuat itu tenaga saktinya, apalagi yang ditujukan ke arah lambung, amatlah berbahaya. Maka ia lalu memutar pergelangan tangan, membuat nenggala yang luput sasaran tadi membalik ke kanan untuk memapaki kaki lawannya dengan senjatanya yang ampuh ini.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat perkembangan selanjutnya. Ternyata kaki itu tidak dilanjutkan menendang lambung, melainkan meluncur ke bawah dan menendang ke arah lututnya! Ki Kolohangkoro berusaha untuk meloncat agar terhindar dari tendangan yang dapat membuat sambungan lututnya terlepas itu, akan tetapi masih kurang cepat sehingga kakinya masih tercium tendangan lawan, mengenai betisnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia roboh terguling! Biarpun merasa amat kaget, namun Ki Kolohangkoro adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran, maka ia cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan sehingga Joko Pramono yang sudah datang menerjang dengan tendangan susulan itu tidak berhasil.

Cepat sekali Ki Kolohangkoro bergulingan lalu meloncat dan menghilang melalui sebuah pintu ruangan itu. Joko Pramono yang ingin mencari di mana adanya kamar tahanan Pangeran Panji Sigit, cepat meloncat pula mengejar. Dia berada di ruangan lain yang dindingnya berwarna hijau, akan tetapi tidak melihat bayangan Ki Kolohangkoro yang telah lenyap entah lari ke mana. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya maju ke ruangan hijau yang kosong itu, siap menjaga kalau-kalau ada serangan lawan atau kalau-kalau ada jebakan rahasia. Ruangan itu kosong dan sunyi. Hanya terdapat sebuah pintu kecil di sebelah kanan ruangan. Karena itu, tentu dari pintu itulah larinya Ki Kolohangkoro.

Joko Pramono menghampiri pintu, tidak sembrono melainkan dengan hati-hati sekali ia mendorong daun pintu sambil menyelinap untuk menjaga kalau-kalau ada senjata rahasia menyambutnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kini daun pintu terbuka lebar, selebar mata Joko Pramono yang memandang terbelalak ke dalam ruangan ke tiga ini. Ruangan di balik pintu itu berwarna merah muda dan di ujungnya terdapat sebuah pembaringan di mana tampak Pangeran Panji Sigit rebah terlentang tak bergerak, entah tidur ataukah pingsan.

Dan di pinggir pembaringan, membelakanginya, duduk bersimpuh seorang wanita yang mengelus-elus rambut kepala pangeran itu dengan jari-jari tangan mesra. Dari belakang tampak bahwa wanita itu adalah Suminten. Melihat ini, bangkit kemarahan Joko Pramono. Wanita iblis itulah yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang terjadi. Wanita itulah yang mengatur siasat mengadu domba sehingga hampir saja Pusporini membunuhnya. Kebetulan sekali ia mendapatkan wanita itu di situ. Ia dapat membebaskan Pangeran Panji Sigit dan sekalian menangkap wanita itu. Ia dapat menangkap Suminten. Kalau wanita ini ditangkap dan diseret ke Panjalu, tentu akan hancur persekutuan jahat yang mencengkeram Jenggala.

"Perempuan iblis!" bentaknya dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam ruangan itu, siap untuk menangkap Suminten. Ia maklum bahwa yang terpenting menawan wanita ini karena hal itu akan dapat dipergunakan untuk perisai dan untuk memaksa kaki tangan Suminten memberi kebebasan kepada Pangeran Panji Sigit.

"Wirrrr ......... tar-tar ......... hi-hihik!" Joko Pramono mengeluarkan suara tertahan dan cepat sekali membalikkan tubuh berjungkir balik menghindar diri dari sambaran pengebut lalat berwarna merah yang digerakkan oleh wanita itu yang kini telah membalikkan tubuh.

Ia terluput dari serangan maut dan kini berdiri di tengah ruangan, memandang wanita yang disangkanya Suminten itu, akan tetapi yang ternyata adalah Ni Dewi Nilamanik yang dahulu pernah menawannya! Yang disangkanya Suminten adalah wanita iblis itu yang agaknya sengaja menyamar sebagai Suminten dan karena wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini memang masih cantik dan bertubuh ramping, maka dari belakang tidak jauh bedanya dengan Suminten.

"Ah, kiranya andika juga berada di sini? Kalau begitu lengkaplah sudah. Jenggala, tepat di dalam istananya, dijadikan sarang sekumpulan iblis bertubuh manusia!" Joko Pramono berseru marah.

"Hi-hi-hik, bocah bagus, engkau terlalu sombong!"

"Ha-ha-ha, kematian sudah di depan mata!" Terdengar suara Ki Kolohangkoro dari belakangnya.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 085 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment