Ads

Friday, March 29, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 093

<<== Kembali <<==

Sang prabu di Panjalu menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Tejolaksono tentang keadaan di Jenggala, mendengar betapa parah keadaan kerajaan adiknya itu. Lebih terkejut dan marah lagi ketika mendengar akan kenyataan bahwa mereka yang berkuasa di Jenggala sekarang adalah sekutu-sekutu dari utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola, terutama sekali Kerajaan Cola.

Sang prabu yang arif bijaksana maklum akan gawatnya persoalan, maklum bahwa hal ini selain menyangkut jatuh-bangunnya Kerajaan Jenggala, juga menyangkut keamanan Kerajaan Panjalu sendiri. Juga sang prabu menyatakan kegirangannya akan berkumpulnya keluarga Ki Patih Tejolaksono, lebih-lebih melihat Bagus Seta sang prabu menjadi kagum dan seketika kepercayaannya tercurah kepada pemuda remaja ini.

"Kita harus turun tangan menyelamatkan Jenggala!" ujar sang prabu. "Akan tetapi karena kekuasaan jahat itu menggunakan jalan halus, amatlah tidak baik kalau kita menggunakan jalan kekasaran. Sebaiknya aku akan menulis sepucuk surat pribadi untuk yayi prabu di Jenggala, mengangkat Bagus Seta menjadi utusan pembawa surat. Karena surat ini bersifat pribadi, kita mendapat alasan untuk menyampaikan surat itu ke
tangan yayi prabu sendiri. Syukur kalau para pengacau itu memperbolehkan Bagus Seta menghadap yayi prabu sehingga selain menyerahkan surat, dapat pula membebaskan yayi prabu daripada hawa jahat yang mempengaruhinya agar sadar. Andaikata fihak pengacau menggunakan kekerasan mencegah, maka kita mendapat alasan pula untuk turun tangan menggunakan kekerasan. Untuk keperluan ini Patih Tejolaksono dan keluarganya yang sakti mandraguna kuperintahkan untuk mengawal Bagus seta, dan kepada Pangeran Darmokusumo dan Kakang Patih Suroyudo, kuperintahkan untuk mempersiapkan barisan pilihan untuk membayangi dari belakang sehingga apabila terjadi kekerasan, barisan kita akan dapat cepat menyerbu ke Jenggala. Kuperintahkan andika sekalian berusaha untuk membersihkan Jenggala dari semua oknum jahat, menagkapi atau membasmi para pengacau dan mengangkat kekuasaan yayi prabu di Jenggala. Puteraku Pangeran Panji Sigit, menjadi kewajiban utama bagimu untuk menyelamatkan kangjeng ramamu dari tangan Suminten yang jahat karena untuk mengingatkan penyelewengan seorang ayah menjadi kewajiban seorang anak."

Setelah persidangan di hadapan sang prabu di Panjalu bubar, para satria perkasa segera mempersiapkan tugas masing-masing sambil menanti surat sang prabu dan kelanjutan perintah untuk menentukan hari keberangkatan. Akan tetapi sebelum perintah penentuan ini tiba, datanglah penyelidik yang melaporkan hal yang amat mengejutkan hati sang prabu di Panjalu, yaitu bahwa sang prabu di Jenggala berada dalam keadaan sakit dan sebulan lagi di Jenggala akan diadakan upacara pengangkatan Pangeran Kukutan sebagai Raja Jenggala oleh sang prabu yang sedang sakit!

"Hemm, ini tentu siasat mereka. Sekali pengangkatan itu sudah dilakukan secara resmi, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi kecuali menyatakan perang. Namun sungguh akan menyedihkan hati sekali kalau menyatakan perang dengan kerajaan saudara sendiri! Kalau begitu, hari ini juga kalian harus berangkat dan suratnya kuubah berisi permintaan agar yayi prabu menunda pengangkatan raja baru sebelum bertemu dengan aku!"

Pesan sang prabu di Panjalu ini segera dilaksanakan oleh Bagus Seta yang menerima surat untuk raja di Jenggala, kemudian berangkatlah pemuda remaja yang sakti mandraguna ini bersama seluruh keluarganya, yaitu Tejolaksono, Ayu Candra, Endang Patibroto, Pangeran Panji Sigit, Setyaningsih, Joko Pramono, dan Pusporini.

Rombongan keluarga sakti itu sepenuhnya berangkat untuk berjuang membebaskan Jenggala daripada cengkeraman kekuasaan jahat yang dikemudikan oleh Sang Wasi Bagaspati sendiri. Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Suroyudo mengatur sebuah barisan yang pilihan dan cukup besar, sejumlah sepuluh ribu orang mengiringkan rombongan keluarga sakti ini dari jauh. Ancaman perang agaknya takkan dapat dielakkan lagi!

Barisan Panjalu yang menuju ke Jenggala itu telah didahului oleh berita yang dibawa orang dari mulut ke mulut dan cukup menggegerkan. Rakyat Jenggala yang sudah muak menyaksikan peristiwa-peristiwa pembunuhan dan kekacauan, kenaikan pajak dan penindasan-penindasan terhadap para penyembah Bathara Wishnu yang setia, diam-diam menjadi gembira dan penuh harapan, bahkan di antara para orang mudanya banyak sudah bersiap-siap untuk membantu fihak Panjalu apabila pecah perang. Terutama sekali para panglima dan perajurit Jenggala yang terpaksa menghambakan diri kepada kekuasaan baru di Jenggala dengan pengorbanan perasaan, diam-diam juga bersiap untuk memberontak dan membantu barisan Panjalu apabila saat dan kesempatannya tiba.

Rombongan keluarga sakti yang berangkat lebih dahulu dengan kuda-kuda pilihan, terpaksa berhenti di perbatasan kota raja karena ditahan oleh rombongan penjaga yang
ratusan orang perajurit banyaknya. Tejolaksono sebagai kepala rombongan segera maju menghampiri komandan pasukan, seorang perwira yang sudah setengah tua dan yang menyambut mereka dengan muka agak pucat karena perwira ini dengan kaget mengenal orang-orang sakti ini, terutama sekali ia gentar melihat bahwa Endang Patibroto berada di antara rombongan ini.

"Hai, perwira Jenggala. Mengapa andika menahan rombongan kami yang hendak lewat?"

Perwira itu memaksa diri membusungkan dada dan bersikap gagah karena akan amat memalukan kalau di hadapan seratus lebih anak buahnya ia memperlihatkan sikap lunak dan takut, maka jawabnya,

"Kami menjunjung perintah gusti patih untuk menjaga di sini dan tidak memperbolehkan orang luar memasuki tapal batas kota raja sebelum lewat hari penobatan gusti pangeran pati menjadi raja."

Seorang perwira rendahan yang masih muda, yang merupakan ponggawa baru dan termasuk kaki tangan Patih Warutama, melangkah maju menyeret tombaknya yang panjang dan berat. Perwira muda ini bertubuh tinggi besar, kelihatan kuat dan bersikap kasar ketika bertanya.

"Kalian ini rombongan dari mana? Apakah kalian kawula (rakyat) Jenggala?"

Pusporini tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat lagak perwira muda ini. Ia meloncat maju mendekati perwira muda itu dan menudingkan telunjuknya ke hidung orang itu sambil membentak,

"Apakah matamu buta? Tidakkah engkau melihat bahwa beliau ini adalah Gustimu Pangeran Panji Sigit, pangeran dari Jenggala?"

Perwira muda itu menodongkan tombaknya ke dada Pusporini dan menjawab kasar,
"Aku mengenal dia sebagai seorang pemberontak dan pelarian. Juga engkau adalah seorang pelarian yang harus kami tangkap!"

Pusporini mengeluarkan seruan marah dan kaki tangannya bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu ia telah merampas tombak itu, dua kali mengayun tombak terdengar suara "krek, krekl" dan robohlah perwira muda itu dengan tulang kaki patah-patah. Kemudian Pusporini mematah-matahkan tombak seperti orang mematahkan biting raja sambil membentak,

"Siapa lagi yang ingin dipatahkan kakinya?"

Semua perajurit Jenggala menjadi pucat wajahnya, akan tetapi mereka pun mulai bergerak hendak mengeroyok.

"Rini, jangan menggunakan kekerasan. Mundurlah!" Tejolaksono membentak adik iparnya.

Pusporini mundur sambil cemberut. Endang Patibroto di dalam hati menyetujui perbuatan Pusporini itu. Memang ada persamaan antara wataknya dan watak Pusporini atau lebih tepat lagi, wataknya sendiri lebih keras daripada watak Pusporini. Ia melangkah maju dan berkata kepada perwira komandan pasukan itu,

"Heh perwira lancang! Kalau kalian tidak mengakui Gustimu Pangeran Panji Sigit, apakah engkau begitu buta tidak mengenal suamiku Tejolaksono, Gusti Patih Panjalu?
Apakah kalian ini seratus orang lebih sudah bosan hidup dan minta kubunuh semua? Apakah engkau tidak mengenal siapa aku?"

Gentarlah hati perwira itu. Memang ia tadi sudah amat takut melihat Endang Patibroto yang pernah menggegerkan Jenggala, apalagi kini menyaksikan gadis muda Pusporini
dan mendengar ancaman Endang Patibroto.

"Saya ......... eh, hamba mengenal Gusti Patih Tejolaksono dan mengenal pula paduka Gusti Puteri Endang Patibroto, akan tetapi ......... hamba hanyalah seorang petugas yang menjunjung perintah atasan ......... yang tentu akan menerima hukuman apabila hamba melanggar perintah atasan ......... harap paduka memaklumi keadaan hamba dan para perajurit."

Tejolaksono melangkah maju dan berkata,
“Perwira Jenggala, kami maklum keadaan andika dan pembantumu itu menerima hukuman atas sikapnya yang kasar. Ketahuilah, kami pun tidak ingin menggunakan kekerasan asal saja andika tidak menentang. Kami bukanlah pelanggar-pelanggar yang hendak mengacau, melainkan utusan-utusan pribadi dari gusti sinuwun di Panjalu, kami
membawa surat gusti sinuwun untuk dipersembahkan kepada gusti sinuwun di Jenggala. Karena kedudukan kami adalah rombongan utusan, maka tidak ada lagi sebutan pelarian dan setiap rombongan utusan, apalagi utusan dari kerajaan yang masih berkeluarga dengan Jenggala, andika tidak boleh mengganggu kami dan bahkan harus mengantarkan kami sampai ke kota raja."

Ucapan Tejolaksono yang mempunyai dasar kuat itu tak dapat dibantah lagi oleh perwira itu, maka ia lalu mengeluarkan perintah agar pasukannya memberi jalan, bahkan kemudian dia sendiri bersama dua losin perajurit mengiringkan rombongan ini menuju ke kota raja.

Karena pengawalan pasukan ini maka rombongan keluarga sakti dapat sampai di luar pintu gerbang dinding Kota Raja Jenggala. Akan tetapi di pintu gerbang ini, mereka disambut oleh pasukan pengawal bersenjata lengkap terdiri dari lima puluh orang lebih dan melihat sikap mereka jelas dapat diduga bahwa mereka ini dari pengawal-pengawal pilihan yang muda-muda dan kuat-kuat yang dipimpin oleh Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik!

"Heh, perwira tolol! Apa yang kaulakukan ini? Mengapa kau mengawal rombongan musuh ini sampai ke sini?" bentak Ni Dewi Nilamanik dengan suara marah sambil memandang dengan mata terbelalak kepada perwira tadi. Perwira ini dengan tubuh menggigil lalu melangkah maju dan berkata dengan suara gemetar,

"Hamba ...... hamba terpaksa mengantar mereka karena mereka ini adalah utusan pribadi gusti sinuwun di Panjalu yang dipimpin oleh gusti patih muda dari Panjalu........ !”

"Keparat bodoh!" Ki Kolohangkoro membentak, tangannya menyambar dan pecahlah kepada perwira itu yang tewas seketika.

Rombongan keluarga sakti marah sekali, akan tetapi karena hal yang terjadi adalah urusan dalam dan tidak menyangkut diri mereka, terpaksa mereka menahan sabar dan tidak mau mencampuri.

"Tejolaksono, andika muncul di sini bersama para pelarian yang telah memberontak terhadap Kerajaan Jenggala dan menjadi buronan kami, apakah kehendakmu?" Ni Dewi Nilamanik bertanya dengan sikap angkuh.

Tejolaksono tersenyum menjawab,
"Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro! Hadirku di sini bukanlah hal mengherankan karena aku adalah Patih Muda Panjalu dan kini memimpin rombongan utusan pribadi gusti sinuwum di Panjalu. Akan tetapi melihat andika berdua memimpin pasukan pengawal di Jenggala benar-benar patut diherankanl Pada pertemuan antara kita yang terakhir sepuluh tahun yang lalu, kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengacau daerah Panjalu dan Jenggala. Bagaimana sekarang kalian dapat menjadi pimpinan pengawal di keraton Jenggala?"

Ni Dewi Nilamanik tertawa.
"Hi-hik, apakah anehnya hal itu? Pangeran Panji Sigit adalah Pangeran Jenggala yang
berdosa, kini tahu-tahu muncul sebagai anggauta rombongan utusan Kerajaan Panjalu. Memang keadaan setiap orang selalu berubah. Sekarang, sebagai kepala pengawal penjaga, aku berhak untuk melarangmu memasuki kota raja sebelum engkau menjelaskan apa kehendakmu."

Hati Tejolaksono mendongkol sekali, akan ia menahan perasaannya. Ia maklum bahwa kalau sikap Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seberani ini, tentu mereka ini mempunyai andalan. Ni Dewi Nilamanik bukanlah seorang bodoh dan tentu saja cukup maklum bahwa menghadapi rombongan keluarganya, apalagi dengan hadirnya Bagus Seta yang selalu bersikap tenang dan pendiam itu, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro takkan dapat mengatasinya. Pula, melihat kenyataan bahwa memang kedua orang itu kini menjadi kepala pengawal, terpaksa ia menjawab sebagaimana mestinya,

"Seperti telah dikatakan perwira yang dibunuh itu, kami adalah rombongan utusan gusti sinuwun Panjalu."

"Diutus apa?" Ni Dew! Nilamanik memotong.

"Kami diutus menghadap gusti sinuwun Jenggala .........!”

"Ada keperluan apa?"

Api kemarahan terpancar dari sepasang mata Tejolaksono, akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata sambil tersenyum menghina,

"Wahai, pengawal apakah andika ini begini kurang ajar? Sedikitpun tidak menghormati junjunganmu sendiri! Atau kelirukah aku mengatakan bahwa gusti sinuwun di Jenggala adalah junjunganmu?"

"Tejolaksono, tidak perlu banyak rewel. Pendeknya, kalau ingin diperkenankan masuk kota raja, harus member! Tahu dengan jelas apa keperluanmu hendak menghadap gusti sinuwun. Aku adalah kepala penjaga di sini dan berhak menjaga keamanan dan setiap orang yang lewat, tahu?"

"Kami diutus mempersembahkan sepucuk surat pribadi dari gusti sinuwun Panjalu untuk gusti sinuwun Jenggala."

"Serahkan saja surat itu kepada kami!" kata Ni Dewi Nilamanik.

"Hemm, ucapan apakah ini? Surat junjungan yang dipercayakan kepada kami sama harganya dengan nyawa kami, hanya gusti sinuwun Jenggala yang berhak menerima dari tangan kami!" jawab Tejolaksono.

"Tidak mungkin menghadap gusti sinuwun. Beliau sedang sakit, tidak dapat menerima siapapun juga!"

"Kami telah mendengar akan berita itu. Justeru karena beliau sakit maka gusti sinuwum Panjalu mengutus kami untuk menjenguk dan mempersembahkan surat."

Ni Dewi Nilamanik tersenyum mengejek.
"Andika semenjak dahulu keras kepala, Tejolaksono. Baiklah, kalian diperkenankan menghadap, akan tetapi harus kami kawal agar kalian jangan sampai mendatangkan kekacauan di sini!"

"Sesukamulah. Yang penting bagi kami melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh gusti sinuwun kepada kami sebagai utusan."

Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan seruan memerintah dan pasukan pengawal membuka jalan dan pintu gerbang pun dibuka lebar-lebar. Tejolaksono dapat merasakan sesuatu yang mengancam, akan tetapi ketika ia melirik puteranya, ia melihat wajah Bagus Seta tetap tenang saja, maka ia pun lalu mengangguk dan melangkah masuk diikuti oleh semua rombongannya dengan sikap penuh kewaspadaan.

Baru kurang lebih dua ratus langkah mereka berjalan, tiba-tiba dari luar pintu gerbang masuk barisan yang besar jumlahnya dan pintu gerbang ditutup, kemudian terdengar suara ketawa disusul suara nyaring,

"Huah-ha-ha-ha, pintu gerbang maut. Ada jalan masuk tidak ada jalan keluar! Tejolaksono, serahkan surat rajamu itu kepada kami dan menyerahlah, dengan demikian ada kemungkinan kalian terbebas dari kematian!"

Keluarga sakti itu berdiri tegak dalam keadaan siap waspada dan mereka melihat munculnya Wasi Bagaspati dan Warutama yang memimpin barisan pengawal yang segera bergabung dengan barisan yang baru masuk dari luar pintu gerbang sehingga tempat itu kini terkurung oleh barisan yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang!

"Wasi Bagaspati! Kami adalah utusan-utusan raja! Biarpun andika datang dari Kerajaan Cola, akan tetapi kurasa di sana pun terdapat peraturan bahwa utusan tidak boleh diganggu!"

"Utusan atau bukan, engkau harus tunduk akan peraturan di sini. Sang prabu sedang sakit, tak boleh diganggu maka surat itu harus diberikan kepada kami. Kalau menolak, berarti engkau akan mengacaukan menjelang penobatan raja baru di sini!"

Endang Patibroto yang melihat munculnya Warutama, tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya dan sepasang matanya menyinarkan api yang seolah-olah hendak membakar patih itu.

"Sindupati manusia keparat, jahanam berwatak iblis dan keji! Tibalah saatnya engkau mampus di tangan Endang Patibroto!" Sambil memaki Endang Patibroto sudah melompat seperti terbang saja, tubuhnya melayang dan menyambar ke arah Warutama dengan pukulan sakti Wisangnala selagi tubuhnya masih di udara.

Warutama tidak menjadi terkejut karena memang dia sudah bersiap-siap menghadapi pertemuan dengan musuh besarnya ini yang tentu saja takkan berani ia lakukan kalau saja ia tidak mengandalkan kesaktian Wasi Bagaspati, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro dan ribuan orang pengawal. Kini melihat wanita sakti yang ditakutinya itu menerjang maju dengan dahsyat, ia cepat menggulingkan tubuh ke atas tanah dan menggelinding pergi, lalu meloncat dan menyelinap lenyap ke dalam barisan pengawal.

"Tejolaksono, kalian hendak memberontak? Pengawal, tangkap mereka!” bentak Wasi Bagaspati sambil tertawa-tawa saking girangnya karena ia merasa yakin bahwa kalau keluarga sakti ini dapat dibasmi, tentu penghalang yang amat besar bagi cita-citanya akan lenyap. Yang paling kuat di antara rombongan itu adalah pemuda remaja aneh putera Tejolaksono, akan tetapi di situ ada dia yang akan dapat melawannya, dan dibantu oleh ribuan pengawal, tak mungkin fihaknya akan kalah.

Tejolaksono dan keluarganya diserbu oleh orang-orang tinggi besar, yaitu murid-murid Sang Wasi Bagaspati, juga Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sudah menerjang maju. Tejolaksono dan keluarganya cepat bergerak membela diri, sedangkan Endang Patibroto segera melepas panah api yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk memberi tanda kepada barisan Panjalu yang menanti-nanti di luar kota raja untuk melihat munculnya tanda ini.

Wasi Bagaspati yang ingin cepat-cepat membasmi keluarga sakti yang merupakan penghalang besar bagi pelaksanaan tugasnya, bahkan merupakan ancaman bagi kemajuan yang telah dicapai, mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua lengannya diangkat ke atas agak melengkung dan tiba-tiba dari sepuluh jari tangannya meluncur sinar merah seperti kilat membubung ke atas kemudian menukik turun menyerang kepala Tejolaksono sekeluarga yang delapan orang jumlahnya itu.

Karena Tejolaksono sekeluarga sedang dikeroyok banyak lawan, tentu saja serangan yang datangnya dari atas ini sukar untuk mereka hindarkan, akan tetapi pada saat itu, Bagus Seta yang masih belum turun tangan berseru,

"Wasi Bagaspati, tidak malukah andika bermain curang?" Pemuda remaja itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan dari telapak tangannya itu menyambar sinar putih yang melengkung panjang dan membentuk lingkaran besar sekali melindungi di atas kepala Tejolaksono sekeluarga.

Ketika sinar-sinar merah itu menukik turun dan bertemu dengan lingkaran putih, sinar-sinar merah itu terpental jauh kemudian lenyap disusul pekik Wasi Bagaspati yang menjadi marah sekali.

"Heh si keparat Bagus Seta! Sekali ini aku akan membasmi dan membunuh seluruh keluargamu, kemudian menghancurkan Panjalu!"

Bagus Seta tetap tenang ketika menjawab,
"Wasi Bagaspati, andika siapakah berani bicara tentang membunuh? Seolah-olah andika berkuasa akan mati hidupnya manusia?"

"Kematian kalian telah berada di telapak tanganku, dan engkau masih berani bicara sombong? Huah-ha-ha-ha! Dikepung ribuan orang perajurit, masih ada lagi laksaan perajurit sebagai cadangan, kalian hendak terbang ke mana? Andaikan bersayap sekalipun, kalian takkan dapat lobos dari kematian!"

"Wasi Bagaspati, mati hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi, bagaimana andika berani mengeluarkan ucapan seperti itu? Apabila Hyang Widhi tidak menghendaki seseorang mati, biar dia dikeroyok anak panah sejuta pun tidak akan mengenainya. Sebaliknya apabila kematian orang itu sudah dikehendaki Hyang Widhi, tidak ada kekuasaan di dunia ini dapat mencegahnya! Karena itu, kami menyandarkan dan menyerahkan diri ke dalam tangan Hyang Widhi dan jika kematian kami belum dikehendaki-Nya, segala usahamu untuk membunuh kami takkan berhasil, Wasi Bagaspati!"

"Babo-babo, si keparat! Sang Hyang- Shiwa berhak mencabut dan membinasakan setiap orang! Lihatlah ini!"

Wasi Bagaspati kembali mengangkat tangannya, kini hanya tangan kirinya yang mengeluarkan asap menghitam yang melayang ke arah kepala keluarga sakti itu. Asap tebal hitam dan seperti hidup gerakannya, bahkan mengeluarkan suara mendesis seperti ular mengamuk.

"Kanjeng Rama sekalian, harap menahan napas sejenak!" Bagus Seta berkata dengan suara lirih akan tetapi hebatnya, suara ini seolah-olah merupakan bisikan di dekat telinga tujuh orang ayah bunda dan paman bibinya yang sedang dikeroyok banyak musuh.

Untung mereka diberitahu oleh bisikan Bagus Seta karena asap hitam yang hanya menyerang mereka itu sebelum datang menyambar, dari jauh sudah lebih dulu menyerang dengan baunya yang mengandung hawa beracun.

Bagus Seta mengangkat pula tangan kirinya dan keluarlah asap putih yang bergerak cepat naik menyusul asap hitam. Terjadi pergumulan antara dua asap hitam putih di udara, akan tetapi jelas tampak betapa asap hitam itu digulung dan dihimpit dan akhirnya asap hitam seperti seekor anjing kalah bergumul, melayang kembali ke telapak tangan Wasi Bagaspati.

"Auuunggghhh ..... !" Wasi Bagaspati memekik-mekik dan mukanya menjadi merah sekali dan mencorong seolah-olah telah menjadi bara api, kedua matanya berkilat-kilat, giginya berkerot-kerot, menyeramkan sekali.

Menurutkan kemarahannya ingin ia mengeluarkan senjata Cakranya yang sebetulnya tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan saja, akan tetapi ia teringat akan bunga Cempaka Putih yang dimiliki pemuda itu, maka ia menahan kemarahannya ini dan cepat menubruk maju dan menyerang Bagus Seta mempergunakan kedua tangannya. Kini ia hendak membunuh pemuda ini menggunakan tenaga kasar, karena dalam hal pertandingan menggunakan batin ia tidak berhasil.

Bagus Seta cepat menggerakkan tubuhnya menyambut dan mulailah kedua orang yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia ini bertanding dengan seru, tubuh mereka berkelebatan dan lenyap dari pandangan mata orang biasa, yang tampak hanyalah dua gulungan sinar merah dan putih dari pakaian mereka.

Sementara itu, anggauta keluarga lain sedang mengalami pengeroyokan yang amat berat. Joko Pramono dan Pusporini yang ingin menebus kekalahan mereka dari Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik lima enam tahun yang lalu, sudah menerjang dua orang musuh ini dan mereka telah terlibat dalam pertandingan yang amat seru.

Joko Pramono menghadapi Ki Kolohangkoro dan Pusporini yang sudah marah sekali itu berhadapan dengan Ni Dewi Nilamanik. Untung bagi kedua orang muda ini yang menghadapi lawan berat karena gerakan mereka dalam pertandingan ini amat cepat sehingga fihak pengawal tidak ada yang berani ikut mengeroyok. Mereka tidak mampu mengikuti kecepatan empat orang yang bertanding ini sehingga kalau mengeroyok, besar bahayanya akan mengganggu pergerakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sendiri. Dan karena kini tingkat kepandaian dua orang murid Resi Mahesapati itu amat tinggi, maka mereka berdua dapat mendesak lawan yang makin lama merasa betapa kuat dan beratnya dua orang lawan muda itu.

Keadaan anggauta keluarga sakti lainnya lebih payah lagi. Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah lebih banyak pengalamannya dalam perang dan pertandingan-pertandingan keroyokan, mengamuk dengan hebat dan sepak terjang suami isteri ini amat menggiriskan. Pasukan pengawal yang kena diterjang mereka seperti mentimun-mentimum bertemu durian, mawut dan kocar-kacir, banyak yang tewas. Makin banyak datangnya pengeroyokan, makin gembira dan bersemangat dua orang perkasa ihi mengamuk.

Ayu Candra juga mengamuk, akan tetapi seperti halnya Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit, kepalanya menjadi pening melihat banyaknya pengeroyokan yang makin banyak itu. Ia menjadi jijik dan ngeri seperti orang dikeroyok ribuan semut dan kalau pengeroyokan itu dilanjutkan terus, agaknya tiga orang inilah yang takkan kuat bertahan. Siapa yang tidak menjadi jijik dan ngeri kalau melihat para pengawal itu seperti kemasukan setan, roboh satu maju dua, roboh dua maju empat dan selalu berlipat ganda sehingga mayat telah bertumpuk malang melintang?

Karena ngeri dan gentar, sebuah mata tombak berhasil melukai ujung pundak Ayu Candra. Biarpun hanya kulit dan sedikit daging saja yang terluka, namun Ayu Candra terhuyung-huyung bukan karena luka itu melainkan karena pening kepalanya menyaksikan para pengeroyok yang amat besar jumlahnya, seperti ombak samudera hendak menelan dirinya. Dalam keadaan terhuyung ini, lima tombak meluncur ke arah tubuhnya, sedangkan dalam detik itu Ayu Candra memejamkan mata untuk mengusir kepeningan kepalanya.

"Dinda ......... awas ......... Tejolaksono berseru dan suara suaminya ini menyadarkan Ayu Candra. Ketika memejamkan matanya tadi, ia merasa betapa nikmatnya kehilangan semua pengeroyok yang tak tampak lagi, betapa nikmatnya menjauhkan diri dari pengeroyokan yang menjijikkan itu sehingga ia terlena dan lengah. Cepat ia membuka matanya dan kaget melihat lima ujung tombak sudah meluncur dekat. Ia segera melempar diri ke belakang dan bergulingan.

Tejolaksono sudah memaksa diri meninggalkan para pengeroyoknya dengan sebuah loncatan tinggi, kemudian tubuhnya menukik ke bawah dan menggunakan kakinya menerjang lima orang yang menyerang Ayu Candra itu. Lima orang itu menjerit dan tubuh mereka terpelanting ke kanan kiri seperti disambar halilintar. Dua orang di antara mereka pecah kepalanya dan yang tiga orang patah tulang lengannya.

"Kenapa, isteriku ......... ?" Tejolaksono memeluk Ayu Candra.

Ayu Candra tersenyum.
"Tidak apa-apa, Kakangmas, hanya......... tadi agak pening melihat banyaknya setan-setan ini!"

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 094 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment