Ads

Friday, March 29, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 096

<<== Kembali <<==

Tiba-tiba daun pintu terbuka dan Warutama atau Sindupati muncul di depan ibu dan anak yang menjadi pucat wajahnya itu. Tak lama kemudian terdengar jerit-jerit mengerikan di dalam kamar itu dan ketika Sindupati keluar dari istana kepatihan membawa benda-benda emas dan intan yang berharga, ia melirik untuk terakhir kalinya kepada dua batang tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi di dalam kamar itu dan ia menyeringai ke arah mayat Wulandari dan Dyah Handini! Kalau saja ia tidak mendengar percakapan mereka, tidak perlu ia membunuh mereka, demikian ia menghibur diri sendiri ketika ia bergegas pergi ke taman sari milik pribadi Suminten untuk berkumpul dengan dua orang rekannya di sana kemudian bersama-sama melarikan diri.

Suminten dan Pangeran Kukutan muncul dengan tergesa-gesa pula. Pangeran Kukutan membawa sebuah buntalan besar dan berat, agaknya penuh dengan benda-benda berharga dan melihat kedua orang itu, Sindupati tertawa. Dia tidaklah seperti Suminten dan Pangeran Kukutan yang kelihatan ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kehilangan kemuliaan dan kemewahan sebagai patih, Sindupati masih mampu tertawa, mentertawakan Suminten dan Pangeran Kukutan yang berpakaian seperti petani-petani
biasa!

"Lebih aman memakai pakaian rakyat biasa dalam pelarian," kata Pangeran Kukutan menangkis tertawaan Sindupati ketika mereka mulai berjalan memasuki lorong rahasia yang menembus keluar kota raja tanpa melalui pintu gerbang, melainkan keluar melalui terowongan yang dibuat menembus di bawah pintu gerbang itu.

"Memang kalian amat pantas berpakaian seperti itu," kata Sindupati.

Suminten melerok marah, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia diam saja hanya mengerutkan alisnya penuh keprihatinan. Diam-diam ia mengutuk Wasi Bagaspati dan kaki tangannya yang ternyata tidak mampu mempertahankan Jenggala, dan diam-diam ia mengutuk Pangeran Kukutan yang begitu tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi raja sehingga mereka harus memaksa sang prabu untuk menobatkan Pangeran Kukutan menjadi raja. Kalau saja tidak terlalu tergesa-gesa dan membiarkan keadaan berjalan seperti biasa, tentu tidak akan memancing datangnya serbuan dari Panjalu. Kalau saja.......... kalau.......... kalau .......... ah, tidak perlu segala penyesalan itu. Yang penting sekarang melarikan diri agar jangan sampai tertangkap. ia ngeri memikirkan kalau sampai dia ditawan oleh Kerajaan Jenggala. Masa depannya tidak terlalu gelap. Pangeran Kukutan adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan dan mencintanya. Dan mereka membawa bekal yang cukup banyak untuk kebutuhan mereka.

Kini mereka telah tiba di luar kota raja. Sunyi di sini karena pertempuran beralih ke dalam kota raja yang masih terdengar dari situ. Hanya mayat-mayat bergelimpangan dan rintihan mereka yang terluka saja yang terdapat di luar dinding kota raja. Suminten bergidik dan mereka melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah agak jauh dari kota raja, dan tiba di pinggir persawahan yang juga sunyi karena para penduduknya pergi mengungsi begitu terjadi perang, hati Suminten agak lapang. Tiba-tiba Sindupati berkata,

"Berikan buntalan itu kepadaku!"

Ucapan ini terdengar oleh Suminten dan Pangeran Kukutan seperti suara halilintar di tengah hari! Mereka memandang kepada Sindupati atau Warutama dengan wajah pucat dan mata terbelalak. Pangeran Kukutan bertanya kasar dan marah,

"Apakah maksudmu dengan ucapan itu?"

"Apa maksudku? Maksudku jelas! Tidak patut seorang petani miskin seperti Andika ini membawa-bawa sebuntal barang-barang berharga milik istana pula. Ke sinikan, berikan kepadaku!"

"Jangan main-main, Paman patih ..... "

"Aku bukan patih lagi dan Andika bukan pula pangeran, melainkan orang-orang pelarian, ha-ha-ha! Ayo berikan, ataukah harus kupaksa?"

"Tidak! Tidak boleh! Milikku sekarang hanya tinggal ini.......... tidak boleh!"

Suminten tak dapat berkata apa-apa, hanya memandang kepada Sindupati penuh kebencian.

"Berani engkau membantah Sindupati? Ha-ha-ha!" Sindupati meraih untuk merampas buntalan, akan tetapi Pangeran Kukutan mengelak, bahkan lalu memukul ke arah lambung Sindupati dengan nekat.

Sindupati cepat menangkis dan balas memukul. Maka berkelahilah kedua orang bekas sekutu itu memperebutkan sebuntal barang-barang berharga! Akan tetapi, Pangeran Kukutan tentu saja bukanlah lawan seimbang dari Sindupati yang telah memiliki kesaktian, maka dalam beberapa belas gebrakan saja, buntalan dapat dirampas dan tubuh Pangeran Kukutan menggeletak di galengan sawah dengan kepala pecah. Pangeran yang tadinya sudah menjadi putera mahkota, yang nyaris menjadi raja di Jenggala dalam waktu beberapa pekan lagi, kini menggeletak mati sebagai seorang petani di pinggir sawah!

Suminten menghampiri Sindupati dan merangkul pinggang pria itu, menggeser-geserkan tubuh depannya dan berbisik,

"Tepat sekali apa yang kau lakukan ini, Warutama.......... eh, ataukah Kakang Sindupati? Kakang Sindupati lebih gagah terdengarnya. Tadi memang aku sudah ada pikiran untuk minta kepada Andika melenyapkan saja pangeran menyebalkan ini. Mari kita lekas pergi dari sini, kekasih pujaan hatiku .......... !!”

Sindupati menunduk dan memandang rambut yang halus dan harum itu dengan mata terbelalak. Ia bergidik dan muak. Alangkah berbahayanya perempuan ini, melebihi seekor ular welang! Akan tetapi ia tertawa bergelak.

"Ha-haha-ha, engkau boleh ikut bersamaku, Suminten. Engkau masih banyak gunanya bagiku, bukankah begitu, manis?" Ia menunduk dan mencium pipi wanita itu, akan tetapi Suminten merangkulnya dan membalas dengan mencium bibirnya amat mesra.......... dan penuh nafsu berahi.

"Tentu saja, Kakang Sindupati, kita dapat saling bekerja sama dengan mesra dan cocok untuk waktu yang lama sekali."

Kedua orang itu melangkah lagi ke barat tanpa menengok satu kali pun kepada mayat Pangeran Kukutan yang mengelatak di pinggir sawah dengan hidung, mulut dan telinga mengalirkan darah itu. Dan tak jauh dari situ, di sebelah barat, kini mulailah mereka bertemu dengan rombongan-rombongan tentara yang melarikan diri! Tentara Jenggala yang lari kacau-balau karena kehilangan pimpinan.

Kalau pasukan sudah tidak ada yang memimpin, tidak ada yang ditakuti lagi, tidak ada disiplin dan hukum, tentu saja terjadi perbuatan-perbuatan pelanggaran yang akibatnya mendatangkan derita bagi rakyat. Demikian pula sisa-sisa pasukan Jenggalla yang melarikan diri ini, di sepanjang jalan tentu saja mengganggu dusun-dusun, mengambil
makanan dengan paksa, mengangkut benda-benda berharga, menculik dan memperkosa gadis-gadis remaja. Pendeknya, tidak ada perbuatan kekerasan yang menjadi pantangan bagi mereka.

"Eh .......... Gusti Patih, nih! Hendak pergi ke manakah, Gusti Patih?" Seorang di antara mereka yang agaknya mabuk tuak yang dirampasnya dari penduduk dusun, bertanya secara kurang ajar kepada Sindupati yang segera dikurung oleh dua puluh orang perajurit yang menyeringai dan memandang dengan penuh nafsu dan kekaguman kepada Suminten.

"Wah, Gusti Patih pandai sekali mendapatkan seorang yang begini denok!" seorang lain berkata.

"Dan bekalnya banyak benar, sebuntal besar. Bagi-bagi dong, Gusti Patih!"

Sindupati tertawa. Ia mengenal baik orang-orang kasar seperti ini sehingga tidak perlu ia tersinggung. Ia malah tertawa dan berkata,

"Kita sudah kalah, tidak perlu main patih-patihan lagi. Ha-ha-ha!"

"Ha-ha-ha-ha!" Mereka semua tertawa bergelak, mulut mereka terbuka lebar-lebar sehingga Suminten dapat melihat rongga mulut yang lebar-lebar dan merah di balik gigi yang kuning-kuning.

"Buntalan ini tak dapat kubagi, kalian boleh mencari sendiri di jalan. Adapun ini .......... kalau kalian suka, boleh kalian miliki. Aku sudah bosan dengan dia!" Sindupati mendorong tubuh Suminten sehingga terhuyung-huyung dan belasan pasang lengan menerimanya dengan penuh gairah.

"Tidak.......... tidak .......... jangan .......... Sindupati ..........ah, jangan ..........”

Sindupati menengok dan tertawa, lalu pergi tanpa menoleh lagi biarpun ia mendengar jerit Suminten, malah berlari makin cepat sehingga akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, baru ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan biasa, memutar otak ke mana ia akan menujukan kakinya mencari petualangan baru tanpa menyesali kegagalannya di Jenggala setelah ia hampir tiba di puncak tertinggi. Ia tidak perlu menyesal, tidak perlu kecewa, hanya sebuah hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, yaitu dendam Endang Patibroto terhadap dirinya. Hal inilah yang membuat ia selalu gelisah dan tidak dapat memkmati hidup. Ia merasa menyesal sekali dan menyumpahi kekeliruannya ketika ia tidak dapat menahan nafsu dan berani memperkosa wanita sakti yang baru mengingatnya saja sudah membuat bulu tengkuknya meremang itu.

"Jangan .......... Mundur semua kalian, manusia-manusia biadab! Tidak tahukah kalian siapa aku? Butakah mata kalian tidak mengenal junjungan kalian? Bedebah kamu semua, kurang ajar, lepaskan tanganku!" Suminten menjerit dan memaki.

Dua puluh orang laki-laki kasar itu terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menganggap lucu sikap wanita dusun yang amat cantik jelita ini. Biarpun kulitnya tetap agak hitam seperti kulit wanita petani, namun halus bukan main.

"Duhai puteri jelita, mohon beribu ampun kalau hamba sekalian tidak mengenal siapa gerangan paduka puteri ini. Sudilah kiranya paduka puteri berkenan memperkenalkan diri agar hamba sekalian dapat memberi hormat sebagaimana layaknya," demikian berkata seorang di antar mereka dengan suara dan sikap dibuat-buat sehingga semua temannya tertawa geli dan juga berpura-pura dengan sembah hormat sambil cekikikan seperti sekumpulan anak-anak nakal.

"Oohhh, kalian ini bukankah para perajurit Jenggala? Apakah benar kalian tidak mengenal aku ataukah sudah buta matamu? Aku adalah junjunganmu, selir kinasih (tersayang) sang prabu, Suminten."

Kembali dua puluh orang itu tertawa bergelak. Suminten? Baru pakaiannya saja pakaian sederhana, pakaian. wanita dusun, wanita petani, mengaku sebagai Suminten?

"Wah, jadi paduka ini Gusti Puteri Suminten? Kalau begitu kebetulan sekali, karena Gusti Puteri terkenal paling doyan pria-pria muda dan kuat. Kebetulan kami dua puluh orang adalah pria-pria yang kuat, ha-ha-ha!"

Kembali mereka berebut maju, berlomba dulu untuk memeluk dan menggerayang tubuh yang padat itu. Suminten menjerit-jerit, kemaki-maki, meronta-ronta, akan tetapi apakah dayanya menghadapi dua puluh orang laki-laki yang kasar? Akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis, namun apapun yang dilakukan malah seakan-akan menambah gairah dua puluh orang pria yang memperkosanya berganti-ganti itu. Sampai malam tiba barulah mereka melepaskan Suminten yang menggeletak pingsan di pinggir hutan, meninggalkan perempuan ini sambil tertawa-tawa puas dan memuji-muji. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk mengacau kampung-kampung, mencari rampasan-rampasan baru, mencari calon korban mereka, wanita-wanita baru.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suminten merangkak sambil merintih-rintih, pakaiannya robek-robek, pakaian yang direnggutkan secara kasar oleh banyak tangan, yang terpaksa dipakainya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat, untuk menahan serangan hawa dingin pagi itu. Kemudian, setelah merangkak seperti seekor anjing sakit untuk beberapa lamanya, kadang-kadang jatuh dan menangis, akhirnya ia dapat bangkit berdiri, berjalan terhuyung-huyung. Tiba-tiba ia berhenti, menengadah dan tertawa kecicikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi. Menjelang tengah hari ia bertemu dengan dua orang pemburu di dalam hutan, dua orang pemburu yang lebih pantas disebut orang hutan daripada manusia, liar dan kasar karena lebih sering berada di hutan memburu binatang dari pada hidup di masyarakat ramai.

"Hi-hik, ke sinilah, wong bagus! Ke sinilah kalian berdua! Lihat, apakah tubuhku tidak denok dan montok? Apakah rambutku tidak hitam panjang dan halus? Wajahku cantik dan tubuhnya hangat! Ke sinilah kalian.......... !”

Sejenak dua orang pria itu saling pandang, akan tetapi kemudian mereka terbelalak memandang ketika Suminten menanggalkan pakaiannya yang compang-camping, memperlihatkan tubuh yang benar-benar mempesonakan dua orang pemburu itu. Sungguh, selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan bentuk tubuh seindah ini! Dan wajah itu, biarpun agak kotor dan rambutnya kusut, namun harus mereka akui cantik manis dan rambutnya benar-benar hitam panjang dan berombak. Setankah wanita itu? Siluman yang menggoda mereka? Peri? Andaikata mereka tidak berdua, tentu seorang diri saja mereka akan lari saking ngeri. Akan tetapi karena mereka berdua, mereka kini malah menghampiri dan begitu tangan mereka menyentuh lengan Suminten dan mendapat kenyataan bahwa si cantik itu benar-benar seorang manusia, keduanya lalu berebut untuk mendapatkan wanita menggairahkan ini lebih dulu!

Suminten menyambut mereka dengan pelukan mesra dan tertawa terkekeh-kekeh. Beberapa hari kemudian, setiap orang pria yang berjumpa dengan Suminten tentu lari dan dikejar-kejarnya sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata merayu, menawarkan tubuhnya. Akan tetapi setiap orang laki-laki yang melihatnya menjadi amat jijik dan melarikan diri. Siapa orangnya sudi berdekatan dengan seorang wanita yang kurus kotor, bermuka pucat dan jelas miring otaknya?

Akhirnya, tidak sampai sebulan kemudian, orang mendapatkan tubuh Suminten yang telanjang bulat dan kurus kering menggeletak mati di dekat sungai, agaknya kelaparan atau kedinginan. Suminten, bekas selir terkasih, bahkan bekas orang yang paling berkuasa di Jenggala, mati sebagai seorang pengemis gila yang tak dikenal orang, dan
dikuburkan orang hanya karena orang lain tidak mau terganggu mayat membusuk, tidak ada yang berkabung untuknya, tidak ada yang menangisi kematiannya, bahkan tidak ada yang mengenal siapakah wanita terlantar yang mati itu. Sungguh akhir hidup yang menyedihkan.

Menyedihkankah? Tentu saja menyedihkan diukur pendapat manusia umumnya. Benarkah pendapat ini? Belum tentu benar, akan tetapi juga belum tentu benar pendapat umum bahwa ketika menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, Suminten menikmati kehidupan yang bahagia!

Suka atau duka, menyenangkan atau menyedihkan, hanyalah merupakan hasil pendapat dari pandangan orang lain!

Bulan ini menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, bulan berikutnya mati seperti seekor anjing kelaparan di pinggir sungai. Inilah keadaan Suminten. Demikian pula dengan keadaan hidup manusia ini. Hari ini tertawa, esok menangis atau sebaliknya. Hari ini berhasil dan menang, esok bisa saja gagal dan kalah. Memang isi daripada hidup hanya satu di antara dua yang selalu berselingan, yang sudah semestinya begitu, seperti kemestian bahwa yang hidup menghadapi mati. Tak dapat diubah lagi. Karena itu, manusia yang sadar selalu ingat akan dua kata-kata yang berbunyi, "Ojo dumeh" yang artinya manusia tidak boleh tekebur, tidak boleh sombong, tidak boleh mengandalkan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan karena semua itu hanyalah sekedar "barang pinjaman" belaka. Kesemuanya itu, kalau Tuhan menghendaki, dapat lenyap meninggalkan manusia atau ditinggalkan manusia. Orang yang sadar akan menganggap kesemuanya itu hanya sebagai suatu anugerah yang patut dinikmati namun yang sama sekali bukan merupakan tujuan hidupnya, dan sekali-kali tidak boleh menguasai dan memperhamba batinnya. Orang yang mabuk akan kemenangan, akan menjadi amat sengsara hatinya kalau sekali waktu dikalahkan. Orang yang terlalu menyayang akan keduniawian yang didapatnya, akan sengsara hatinya kalau kehilangan semua itu. Sebaliknya, orang yang mendendam kekalahan akan menjadi mata gelap dan tersiksa oleh dendamnya sendiri. Berbahagialah dia yang dapat tersenyum di kala kehilangan, dan bersahaja di kala mendapatkan hasil baik, tidak iri hati kepada yang di atas selagi dia berada di bawah, juga tidak menghina kepada yang di bawah selagi dia berada di atas.

Suminten adalah orang yang selalu mengejar kesenangan, oleh karena itu, mengherankankah kalau dia bertemu dengan kesusahan? Kesenangan dan kesusahan tak terpisahkan, ada senang tentu ada susah, mencari senang berarti mencari susah. Orang yang diperhamba oleh nafsu akan kesenangan takkan dapat menikmati kesenangan, karena dia selalu haus dan takkan dapat terpuaskan sehingga akhirnya ia akan tersiksa oleh kehausan akan kesenangan, dan menjadi mata gelap, tidak segan-segan melakukan perbuatan kejam terhadap manusia lain yang bagaimanapun demi untuk mengejar dan mendapatkan cita-cita yang dianggapnya menjadi sumber kesenangan hidupnya. Sama sekali tidak tahu atau sadar bahwa yang dikejar-kejar itu kosong melompong, bagaikan mengejar bayangan sendiri, makin dikejar makin menjauh, dikata jauh tak pernah terpisah dari tubuh sendiri! Betapa patut dikasihani manusia seperti Suminten ini!

**** 096 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 097 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment