Ads

Friday, March 29, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 097

<<== Kembali <<==

Retna Wilis berseru girang sekali ketika ia melihat bintang yang setiap malam dipandangnya itu melayang jatuh menjadi sinar yang panjang. Itulah tanda bagi dia untuk diperbolehkan meninggalkan pantai yang sunyi ini seperti yang dipesankan gurunya, Nini Bumigarba yang telah lenyap bersama Bhagawan Ekadenta di Laut Selatan.

Setelah merasa yakin bahwa bintang yang dimaksudkan gurunya itu betul-betul telah runtuh dan tidak tampak lagi di angkasa, Retna Wilis lalu melangkah perlahan menuju
tepi laut. Sampai lama ia memandang ke arah laut, seolah-olah ia hendak minta doa restu gurunya. Ia termenung seperti telah berubah menjadi arca dewi menjaga pantai dan baru sadar ketika ada benda berat menindih kakinya. Ia menunduk dan melihat seekor kura-kura besar di depan kakinya. Kiranya kura-kura yang pernah membantunya
mengambil pedang pusaka Sapudenta itulah yang tadi mendekam di kakinya.

"Eh, Kukura yang baik, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Bawalah aku berjalan di sepanjang pantai, Kukura." Retna Wilis lalu duduk di atas punggung kura-kura raksasa itu dan dengan mendorong-dorong leher binatang itu, ia dapat mengendarai binatang Itu berjalan-jalan bersama Kukura menikmati angin laut dan pemandangan indah ombak-ombak laut ditimpa sinar bulan yang keemasan.

Ketika matahari muncul kemerahan di permukaan laut sebelah timur, barulah Retna Wilis menyuruh kukura pergi yang kembali ke laut, kemudian ia pun mandi sampai puas dan berganti pakaiannya yang serba hijau. Rambutnya yang hitam panjang ia gelung sebagian di atas kepala dan membiarkan sisa rambut itu terurai ke belakang. Pakaiannya ringkas dan ketat, pedangnya ia ikat di belakang punggung, wajahnya berseri dan segar ketika akhirnya gadis remaja ini meninggalkan pantai dan berjalan ke utara. Ia hanya ingat bahwa letak Gunung Wilis adalah di barat dan bahwa untuk menuju ke Gunung Wilis ia harus meninggalkan pantai itu menuju ke utara, kemudian ia akan membelok ke barat.

Apakah ibunya masih berada di puncak Wilis? Apakah Padepokan Wilis masih berdiri dan ibunya masih menjadi pemimpin Padepokan Wilis? Dia teringat akan nasehat gurunya,

"Kelak engkau harus menjadi puteri yang menguasai seluruh jagad. Dengan demikian, tidak percuma engkau berpayah-payah belajar di sini dan tidak percuma menjadi murid Nini Bumigarba. Engkau pergilah ke Wilis, himpun kekuatan barisanmu dari Wilis dan kemudian taklukkan semua kerajaan sampai bertekuk di depan kakimu. Ajaklah ibumu, akan tetapi kalau Endang Patibroto menghalangi cita-citamu, tantanglah dia! Biar ibu sendiri kalau menghalangi cita-citamu, tak perlu ditaati, karena engkau adalah seorang puteri yang paling sakti di dunia ini, bukan seorang kanak-kanak yang harus menurut apa saja yang dikatakan ibumu!"

Di dalam sudut hatinya, Retna Wilis tidak setuju kalau dia harus menentang ibunya, namun sanjungan-sanjungan gurunya menghidupkan sebuah tekad di hatinya, yaitu bahwa dia harus menguasai jagad sebagai seorang ratu yang tiada bandingnya! Kalau ibunya menentang, hemm .......... bagaimana nanti sajalah.

la sudah mendengar dari ibunya betapa ayahnya adalah Adipati Tejolaksono dan betapa ibunya terpaksa meninggalkan ayahnya itu karena ibunya hanyalah seorang selir! Ibunya hidup merana, mengasingkan diri di Wilis. Karena itu, ia akan mengangkat derajat ibunya, akan membuka mata ayahnya yang bernama Adipati Tejolaksono itu bahwa ibunya bukan seorang wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang menjadi ibu Ratu Dunia! Ayahnya dan isteri ayahnya itu kelak akan ia taklukkan dan ia paksa untuk bertekuk lutut di depan ibunya, untuk minta ampun!

Dengan semangat menyala-nyala dan wajah berseri penuh keyakinan bahwa semua cita-citanya pasti akan berhasil, Retna Wilis melakukan perjalanan cepat ke utara. Akan tetapi sebagai seorang yang bertahun-tahun hidup di pantai, kini di sepanjang memasuki hutan-hutan dan melihat buah-buahan, Retna Wilis yang sesungguhnya hanyalah seorang gadis remaja itu seringkali berhenti memetik buah-buah dan kembang-kembang!

Ketika Retna Wilis sedang duduk di bawah pohon dan dengan nikmatnya makan buah semangka yang dipetiknya di jalan tadi, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan menghentikan sebentar gerakannya makan semangka. Akan tetapi ia segera melanjutkan menggerogoti semangka yang merah dan manis itu, tidak peduli akan bayangan banyak orang yang sedang memasuki hutan itu dan menuju ke tempat ia duduk. Rombongan orang itu terdiri dari tiga puluh orang lebih laki-laki yang kasar dan memegang bermacam senjata tajam. Mereka berjalan sambil berkelakar dengan suara kasar dan yang mereka bicarakan adalah pengalaman-pengalaman mereka di sepanjang perjalanan melarikan diri dari Jenggala, pengalaman membakar rumah penduduk, merampok dan terutama sekali tentang wanita-wanita yang mereka perkosa.

"Ha-ha-ha, lebih senang begini, kawan-kawan!" Terdengar suara yang parau dan paling kasar di antara yang lainnya.

"Dahulu yang manis-manis dihabiskan oleh para pangeran sendiri dan para perwira. Kini kita bebas dan setiap menginginkan wanita tinggal ambil saja, ha-ha-ha!"

"Benar! Selama menjadi perajurit di Jenggala aku tidak pernah mendapat kesempatan menikmati wanita seperti malam tadi, ha-ha-ha!"

Mendengar ini, bangkit perhatian Retna Wilis. Hemm, jadi mereka ini perajurit-perajurit Jenggala yang melarikan diri! Dia membutuhkan anak buah dan mereka ini baik sekali dijadikan anak buah ibunya di Wilis. Akan tetapi ia melanjutkan menghabiskan semangka di tangannya.

"Wahhhh .......... peri kahyangan.......... !!"

Seketika suara ribut-ribut tadi berhenti dan tiga puluh orang laki-laki itu mengurung Retna Wilis dengan mata terbelalak kagum dan mulut mengilar seperti macan-macan kelaparan melihat seekor domba gemuk. Retna Wilis hanya melirik sebentar, terus menghabiskan semangkanya. Kemudian sambil memegang kulit semangka ia berdiri dan kembali terdengar seruan "wah-wah-wah!" saking kagum mereka. Setelah gadis itu berdiri, bukan hanya wajah cantik itu yang mereka kagumi, melainkan juga bentuk tubuh yang ramping padat dan denok.

"Kalian ini perajurit-perajurit pelarian dari Jenggala? Apakah mereka yang berkuasa di Jenggala benar sudah hancur dan kalian kehilangan pekerjaan? Kalau kalian mau, mulai saat ini boleh kalian menghambakan diri kepadaku dan kelak kalian akan dapat menjadi perajurit-perajurit dari kerajaan terbesar di seluruh dunia!"

Sejenak tiga puluh orang laki-laki kasar itu tercengang, kemudian saling pandang dan meledaklah suara ketawa mereka. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan juga dan dia terkenal paling jagoan di antara teman temannya, juga paling ganas menghadapi wanita di sepanjang jalan pelarian mereka yang mereka ganggu, melangkah maju dan memandang Retna Wilis penuh perhatian, dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu dan mulut menyeringai.

"Eh-eh, engkau ini perawan dari mana bicara begini besar?"

Retna Wilis tidak marah, bahkan tersenyum.
"Aku adalah Perawan Lembah Wilis, atau calon ratu yang akan menundukkan seluruh kerajaan di Nusa Jawa, termasuk Jenggala dan Panjalu!"

Kembali mereka tertegun dan kembali meledaklah suara ketawa mereka. Jagoan yang bertanya tadi lalu berkata,

"Waduh, denok. Apakah otakmu miring? Sayang kalau miring, engkau begini cantik manis dan denok. Mari kuobati penyakitmu, ditanggung engkau akan sembuh dari penyakit gilamu. Marilah manis!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengulur tangan kirinya ke arah dada Retna Wilis sedangkan tangan kanannya hendak merangkul leher. Akan tetapi Retna Wilis melangkah mundur, memandang dengan muka merah dan alisnya mulai berkerut.

"Hemm, apakah kalian ini sudah bosan hidup? Lekas berlutut minta ampun dan menyatakan takluk, atau .......... hemm, kubunuh kalian semua!"

"Aduh-aduh, hebat sekali kesombonganmu, cah manis! Biarlah, aku memilih mati, mati dalam pelukanmu, ha-haha!" Jagoan itu mengejek lagi dan semua kawannya tertawa-tawa.

"Kardi, lekas bereskan dia, setelah engkau baru aku! Ah, sudah gemas aku ingin menggigit bibirnya yang kenes itu!" Teriak seorang laki-laki yang berkumis tebal, sekepal sebelah sambil mengelus kumisnya dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti orang yang kehausan melihat semangka.

Jagoan yang bernama Kardi itu tertawa, kini meloncat ke depan menubruk Retna Wilis. Gadis ini marah sekali, marah yang timbul dari kekecewaan mengapa orang-orang ini tidak mau mentaati perintahnya. Tangan kirinya yang memegang kulit semangka itu menyambar ke depan.

"Pratttt!!!"

Kardi menjerit dan roboh bergulingan, mengaduh-aduh berusaha melepas kulit semangka yang melekat di pipinya. Akan tetapi begitu ditarik, darahnya menyemprot keluar dan ia menjerit-jerit kesakitan. Ternyata kulit semangka itu telah menghancurkan kulit dan menempel pada tulang rahangnya menggantikan kulitnya sehingga kalau dibeset sama halnya dengan mengupas kulit mukanya. Saking nyerinya, Kardi roboh dan mengerang kesakitan.

Sejenak kawannya laki-laki kasar itu terkejut dan tercengang. Akan tetapi kemarahan mereka bangkit dan dua orang, satu di antaranya adalah si jenggot tebal tadi, sudah menubruk maju dengan kedua tangan terpentang untuk menangkap perawan yang mereka anggap selain cantik manis denok juga sombong dan galak itu. Ingin mereka merobek-robek pakaian garis itu dan beramai-ramai melahapnya seperti sekumpulan serigala kelaparan melahap dan merobek-robek daging seekor domba muda.

"Plak-plak !!"

Kembali tangan kiri Retna Wilis bergerak tanpa ia menggerakkan kedua kakinya yang masih terpentang dengan tubuh tegak. Karena sekali ini yang menyambut dada dan kepala kedua orang itu bukan kulit semangka melainkan jari tangannya, si kumis tebal roboh dengan tulang dada patah-patah sedangkan kawannya roboh dengan kepala pecah dan otaknya muncrat bersama darah. Keduanya tewas seketika dengan mata mendelik dan dalam keadaan yang mengerikan sekali.

"Hayoh, siapa lagi yang bosan hidup?" Retna Wilis membentak, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya bertolak pinggang dan ia berdiri tegak, sikapnya gagah dan garang sekali.

Akan tetapi sekumpulan perajurit Jenggala itu adalah orang-orang kasar yang tidak dapat mengenal orang sakti. Melihat tiga orang kawan mereka roboh, mereka menjadi marah sekali. Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang anggauta gerombolan yang berdiri terdekat di belakang Retna Wilis untuk menggerakkan golok mereka menyerbu dari belakang, membacokkan senjata mereka ke arah tubuh belakang dan kepala Retna Wilis.

"Syuuuutttt ..... plak-plak-plak-plakk!!"

Tubuh Retna Wilis diputar membalik, kedua tangannya dengan jari terbuka menyambar empat kali. Empat batang golok lawan terbang disusul robohnya tubuh mereka yang tak mungkin dapat bangun kembali karena sekali tampar saja cukup bagi Retna Wilis untuk membuat kepala mereka retak dan dada mereka pecah!

Robohnya empat orang ini seolah-olah merupakan tanda bagi semua laki-laki di situ untuk menerjang maju. Retna Wilis mengeluarkan seruan marah dan kecewa, akan tetapi ia tidak pernah menggeser kedua kakinya, hanya tubuh atasnya saja berputar ke
sana ke mari dan kedua tangannya membagi-bagi tamparan maut. Tidak ada yang harus dipukul dua kali karena sekali tampar saja nyawa mereka dipaksa meninggalkan raga. Bagaikan sekumpulan laron menerjang api, Para bekas perajurit Jenggala itu menyerbu untuk mati.

Setelah lebih dari setengah jumlah mereka roboh binasa, barulah sisanya seperti terbuka mata mereka, dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut, melempar golok dan menyembah minta ampun. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan mayat yang berserakan, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum puas, kedua tangan di pinggang Ia mengugguk-angguk.

"Bagus, baru kalian mengenal kesaktian Perawan Lembah Wilis, ya? Mulai sekarang, kalian menjadi anak buahku, calon anak buah Kerajaan Wilis dan kalian harus menyebut aku Gusti Puteri Retna Wilis. Sekarang kalian ikuti aku ke Gunung Wilis, tidak melakukan sesuatu tanpa ijinku. Siapa membantah?"

Tidak ada yang berani membantah, hanya ada seorang di antara mereka yang agak tua memandang mayat-mayat itu dan bertanya dengan suara gemetar.

“Maaf, Gusti Puteri. Bagaimana dengan mayat-mayat ini .......... ?”

"Bagaimana lagi? Tinggalkan saja. Mereka menjadi bagian binatang-binatang hutan. Hayo berangkat!"

Lima belas orang bekas perajurit Jenggala itu bangkit berdiri dan memanang junjungan baru itu dengan penuh kagum dan rasa takut. Tahulah mereka, bahwa wanita muda, gadis remaja ini adalah seorang yang selain sakti mandrauna, juga memiliki kekerasan hati yang menggiriskan.

Retna Wilis dahulu seringkali mendapat nasehat-nasehat gurunya tentang memimpin anak buah. Maka kini pun, biar dia sendiri dapat menahan tidak makan minum sampai berhari-hari, dia memperhatikan keperluan anak buahnya dan membolehkan mereka itu mengambil hasil-hasil sawah di luar dusun-dusun untuk dimakan.

AKAN tetapi ia sama sekali melarang mereka mengganggu pedusunan.
"Semua rakyat adalah calon rakyatku, mulai sekarang mereka harus diberi pengertian bahwa di Wilis terdapat Kerajaan Wilis yang jaya dan yang membutuhkan bantuan-bantuan rakyat sebagai pasukan-pasukan Wilis."

Dua hari kemudian, setelah mereka tiba di kaki Gunung Wilis, rombongan lima belas orang yang dipimpin Retna Wilis ini bertemu dengan perajurit pelarian lain dari Jenggala yang berjumlah lima puluhan orang, dikepalai oleh seorang bekas perwira yang ikut melarikan diri. Perwira ini bertubuh tinggi besar, dan sepasang matanya amat menakutkan, lebar dan agaknya tak pernah berkedip, melotot terus seperti mata orang yang selalu marah.

"Heh, kalian juga berkeliaran sampai di sini?" Laki-laki bermata lebar itu menegur bekas anak buahnya. "Dan kalian mendapatkan seorang dara begini hebat? Berikan kepadaku
dan kalian lebih baik menggabung dengan pasukanku, kami hendak menyerbu Wilis dan menduduki puncak itu untuk menjadi markas kita." Mata yang melotot itu memandang Retna Wilis penuh gairah.

"Eh ........ ahh ........ Kakang Barun ........ jangan bicara begitu ...... beliau ini adalah junjungan dan pemimpin kami........ Gusti Puteri Retna Wilis. Lebih baik Andika semua menyerah dan menjadi anak buah Wilis, menyembah pemimpin kami yang sakti mandraguna ini .......”

"Huah-ha-ha-ha! Apakah kalian sudah gila semua? Aku menyembah dara ini? Heh-heh, minggirlah biar kutangkap dia dan menjadi kekasihku!" Barun sudah melangkah maju akan tetapi Retna Wilis membentak,

"Berhenti!!"

Bentakan dara ini mengandung wibawa mujijat sehingga Barun tersentak kaget, tidak dapat melangkah maju lagi. Akan tetapi dasar dia seorang yang telah menganggap diri sendiri amat digdaya, hanya sebentar ia terkejut dan tertawa lagi.

"Ha-ha, engkau sungguh denok akan tetapi galak. Aku senang akan dara yang penuh semangat sepertimu, manis. Namamu Retna Wilis? Aduh, terhadap aku jangan galak, bocah ayu."

"Barun dan semua anak buahmu, lekas kalian berlutut menyembah aku. Akulah calon ratu di Wilis dan calon ratu kerajaan besar yang menaklukkan seluruh kerajaan! Menyembahlah sebelum terlambat, karena sekali aku bergerak, engkau dan teman-temanmu yang melawanku akan mampus!" Sambil berkata demikian, ibu jari kaki Retna
Wilis mencokel tanah dan segumpal tanah campur pasir melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan.

Akan tetapi Barun menoleh ke belakang, memandang kawan-kawannya dan tertawalah laki-laki ini bergelak-gelak. Teman-temannya juga karena selama hidup mereka baru sekali ini melihat dan mendengar seorang gadis remaja mengeluarkan ancaman seperti itu.

"Huah-ha-ha-heh-heh, engkau sungguh lucu sekali! Hayo, kawan-kawan, kita maju dan melihat apa yang akan dilakukan dara jelita ini!" Sesungguhnya, biarpun hatinya tidak percaya dan tidak takut akan ancaman Retna Wilis, namun bertemu pandang dengan dara itu mendatangkan sesuatu yang menyeramkan hatinya, maka Barun mengajak teman-temannya maju bersama.

Ada tujuh orang yang dengan penuh gairah meloncat maju mendampingi Barun, siap untuk menangkap dara yang cantik itu. Delapan orang itu lalu menghampiri Retna Wilis dengan muka menyeringai.

"Heh-heh-heh, hayo engkau akan dapat berbuat apa, bocah kewek?" Barun mengejek, hatinya besar karena ada tujuh orang yang pembantunya mendampinginya.

Jarak antara delapan orang itu dengan Retna Wilis masih ada empat meter, dan Retna Wilis yang ingin mendapatkan anak buah sebanyaknya itu membentak lagi,

"Berlututlah sebelum terlambat!"

Namun, tentu saja delapan orang laki-laki tinggi besar itu tidak suka mentaati perintah ini dan mereka tetap melangkah maju.

"Mampuslah kalau begitu!" Retna Wilis mengayun tangannya dan sinar hitam ke arah delapan orang itu. Itulah tanah pasir yang dicongkel ibu jari kakinya tadi dan biarpun hanya pasir dan tanah biasa, namun berada di tangan Retna Wilis berubahlah menjadi senjata yang amat dahsyat mengerikan karena dia mempergunakan Aji Pasir Sakti!

Begitu sinar-sinar hitam itu menyambar, delapan orang itu menjerit-jerit dan roboh bergulingan, berkelojotan seperti cacing-cacing terkena abu papas karena muka mereka telah ditembusi pasir-pasir halus itu sampai masuk ke dalam otak!

Sisa anak buah Barun terbelalak dan pucat sekali. Barulah mereka kini percaya bahwa gadis remaja ini amatlah sakti. Seketika kecut dan takutlah hati mereka dan cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah minta ampun. Retna Wilis tersenyum senyum dingin yang menyeramkan, kemudian berkata,

"Akulah Gusti Puteri Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis yang tidak suka dibantah. Siapa lagi yang sudah bosan hidup?"

Kini semua orang, termasuk lima belas orang pengikutnya tadi, berlutut semua dan tidak berani berkutik. Baru sekali ini selama hidup mereka, orang-orang kasar ini benar-benar kagum, tunduk dan takut, juga merasa bangga bahwa mereka dapat menghambakan diri kepada seorang yang sesakti ini. Dengan seorang pemimpin seperti dara ini, mereka percaya akan dapat menaklukkan seluruh kerajaan. Beramai-ramai mereka menyembah,

"Hamba sekalian taat akan segala perintah Gusti Puteri!" Demikian mereka berkata.

Dari tempat yang agak jauh, ada seorang laki-laki yang bersembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua peristiwa ia memandang dengan mata terbelalak, dan melihat sepak terjang Retna Wilis ketika membunuh delapan orang itu, ia bergidik dan menggumam,

"Hebat ........ hebat ........ , selama hidupku baru sekali ini menyaksikan seorang dara remaja sehebat itu ........ Ah, kiranya Endang Patibroto sendiri tidaklah sehebat itu kepandaiannya. Barun memiliki kesaktian lumayan, akan tetapi dengan tujuh orang kawannya terbunuh hanya oleh sambitan tanah pasir!" Laki-laki ini diam-diam menjadi kagum sekali dan juga jerih, padahal dia bukanlah seorang laki-laki biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang yang memiliki kedigdayaan, bahkan dapat disebut seorang yang sakti mandraguna karena dia ini bukan lain adalah bekas patih Jenggala, Ki Patih Warutama yang dahulu bernama Raden Sindupati!

"Ah, tidak salah. Tentu dia ini yang dahulu diambil murid Nini Bumigarba! Dan dia adalah puteri Endang Patibroto!"

Sindupati, sebaiknya kini kita menyebutnya Sindupati karena nama Warutama dahulu pun hanya nama samarannya saja, menarik napas panjang. Dia tidak berani memperlihatkan diri karena biarpun gadis itu murid Nini Bumigarba, akan tetapi karena puteri Endang Ptibroto, dia tidak tahu bagaimana sikap gadis itu kalau melihatnya. Akan tetapi, apakah gadis itu tahu kalau dia musuh Endang Patibroto? Ia memperkosa Endang Patibroto dan ia tidak percaya bahwa Endang Patibroto mau menceritakan aib yang dideritanya itu kepada orang lain, kepada puterinya sekalipun! Betapapun juga, dia harus berhati-hati dan tidak berani memperlihatkan diri. Setelah Retna Wilis mengajak anak buahnya pergi mendaki Gunung Wilis, Sindupati hanya mengikuti mereka dari jarak yang jauh dan cukup aman.

Pria yang cerdik ini segera mencari akal dan karena Retna Wilis yang membawa pasukan itu melakukan perjalanan lambat, ia mengerahkan kesaktiannya dan lari mendahului rombongan itu untuk mendaki puncak Wilis. Mudah saja bagi Sindupati untuk mencari keterangan dan betapa girang hatinya bahwa Endang Patibroto kini tidak berada lagi di Wilis. Tadinya ketika ia melihat munculnya Endang Patibroto di Kota Raja Jenggala, ia mengira wanita itu masih memimpin Pondok Wilis. Akan tetapi setelah menyelidiki di puncak Wilis, ia mendapatkan berita yang amat menggirangkan hatinya, yaitu bahwa Wilis telah lama ditinggalkan wanita yang ditakutinya itu dan kini bahkan telah dipimpin oleh seorang "raja" baru, yang telah menaklukkan ketiga orang tokoh Wilis yang dulu menjadi pembatu-pembantu utama Endang Patibroto, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis.

Kepala atau "raja" baru ini adalah seorang manusia bertubuh raksasa yang bernama Ki Walangkoro, yang kabarnya amat digdaya dan ditakuti semua anak buah Wilis. Kalau dulu di bawah pimpinan Endang Patibroto di situ berdiri Padepokan Wilis dan para anak buahnya disebut satria-satria Wilis, kini keadaan mereka berubah sama sekali dan kembali mereka menjadi Gerombolan Wilis yang ditakuti penduduk di sekitar Gunung Wilis. Mendengar berita ini, Sindupati cepat membuat persiapan-persiapan.

Demikianlah, ketika Retna Wilis dan lima puluh orang lebih anak buahnya mendaki sampai di lereng Wilis, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh seorang pria yang tampan dan gagah dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun masih tampan ganteng dan menarik. Baik bentuk rambutnya, tarikan mukanya, dan pakaiannya, semua tidak ada bekas-bekasnya bahwa pria ini adalah bekas patih di Jenggala! Kini Sindupati telah berubah menjadi seorang yang sikapnya seperti seorang pertapa, halus gerak-geriknya, tenang pandang matanya. Bahkan lima puluhan orang pengikut Retna Wilis itu tidak ada yang mengenalnya, ketika pria itu berdiri menghadang dengan sikap tenang.

Melihat keadaan dan sikap pria ini, Retna Wilis yang dapat mengenal orang pandai, melarang anak buahnya turun tangan dan dia sendiri yang melangkah, maju paling depan, memandang pria itu penuh perhatian lalu berkata,

"Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika menghadang perjalanan kami?"

Sindupati mengambil sikap seperti orang tercengang dan keheranan, lalu berkata, suaranya halus,

"Duhai puteri remaja yang mempunyai wibawa dan sinar kesaktian, adakah andika yang memimpin rombongan orang-orang gagah ini?"

Senang hati Retno Wilis mendengar ucapan yang halus dan penuh hormat ini. ia memandang dengan penuh perhatian, kemudian menjawab,

"Sungguh tepat ucapan Paman yang awas paningal. Saya Puteri Retna Wilis yang memimpin pasukan ini, hendak menghadap Ibunda Endang Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis. Siapakah andika, Paman?"

Mendengar ini Sindupati cepat membungkuk dan menyembah dengan hormat.
"Duh Sang Puteri, kiranya paduka adalah puteri ketua Padepokan Wilis! Pantas saja menyinarkan cahaya cemerlang, cahaya kesaktian yang menakjubkan. Saya bernama Adiwijaya, seorang pertapa biasa yang bertapa di Pagunungan Seribu. Telah beberapa
pekan saya datang ke Wilis dengan maksud mengunjungi Padepokan Wilis yang amat terkenal, untuk menghaturkan sembah hormat kepada ketua Wilis yang sakti mandraguna dan bijaksana, serta menawarkan bantuan tenaga saya yang tidak seberapa ini untuk perikemanusiaan. Siapa kira, sampai di sini saya merasa kecewa sekali karena tidak dapat berjumpa dengan ibunda yang mulia, bahkan menyaksikan kenyataan yang amat tidak menyenangkan hati."

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 098 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment