Ads

Sunday, March 31, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 108

<<== Kembali <<==

Dara ini, biarpun merupakan anak dan keponakan yang dekat, yang mereka sayang, harus dibinasakan karena telah menimbulkan bencana perang yang hebat. Kini mereka bertiga berjuang untuk mengalahkan seorang musuh yang jahat dan berbahaya, bukan lagi merasa berhadapan dengan seorang anak dan keponakan. Karena pihak Retna Wilis hanya mengelak dan kadang-kadang menangkis tanpa balas menyerang, maka pertandingan itu berlangsung lama dan aneh. Yang tiga orang terus menerjang dan mengirim serangan maut, yang dikeroyok hanya meloncat ke sana-sini dan menagkis, seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya.

Pertandingan antara Bagus Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, juga terjadi amat seru dan hebatnya, bahkan lebih hebat daripada perang campuh itu sendiri karena masing-masing selain mengeluarkan kedigdayaan, juga mengerahkan aji kesaktian yang mujijat.

Wasi Bagaspati mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dan asap hitam bergumpal-gumpal menyambar ke arah Bagus Seta. Namun pemuda ini dengan tenang juga mendorongkan telapak tangan kirinya dan asap hitam itu membuyar lenyap, bahkan menyambar kembali ke arah Wasi Bagaspati sendiri.

Wasi Bagaskolo memekik dan dari mulutnya menyambar uap panas, namun Bagus Seta menghalau uap panas dengan tiupan mulutnya. Ketika Wasi Bagaspati memekik dan mengeluarkan api menyala-nyala dari mulut dan kedua tangannya, lidah api menjilat-jilat ke arah Bagus Seta, panasnya melebihi kawah, Bagus Seto meloncat ke atas dan kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa dingin yang serentak memadamkan api itu.

Karena selalu dapat dipunahkan segala ilmu yang dikeluarkan, bahkan mereka itu beberapa kali terdorong mundur oleh hawa pukulan yang panas dan ampuh, yang menyambar keluar dari telapak kedua tangan Bagus Seta, berkali-kali, seperti halnya Ni Dewi Nilamanik, Wasi Bagaspati berteriak-teriak,

"Retna Wilis, lekas bantu kami .......!”

Namun teriak-teriakannya tidak didengar atau tidak diperdulikan oleh Retna Wilis yang masih selalu mengelak dan menangkis hujan serangan ayah bunda dan bibinya. Melihat ini. Wasi Bagaspati berseru marah,

"Retna Wilis, engkau berpihak kepada siapakah? Robohkan mereka dan bantu kami menewaskan bocah ini, baru cita-citamu berhasil!"

"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu. Beginikah sikap seorang perajurit?" Bagus Seta mencela.

"Babo-babo, Bagus Seta! Jangan sombong, lihat senjataku!" Tangan Wasi Bagaspati bergerak dan senjata cakra yang mencorong cahayanya telah dipegangnya. Juga Wasi Bagaskolo telah mencabut keluar sebuah senjata keris berwarna hitam yang bereluk tiga dan gagangnya diukir gambar kepala Bathara Kala. Keris hitam ini tidak mencorong cahayanya, akan tetapi begitu tercabut, tercium bau yang amis seperti darah dan busuk seperti bangkai.

"Sungguh sayang senjata yang ampuh disalahgunakan!" kata Bagus Seta dan ketika kedua tangannya bergerak, tangan kirinya telah memegang setangkai bunga cempaka
putih dan tangan kanannya telah melolos tali sutera pengikat rambutnya. Kini rambut yang tadinya digelung ke atas itu terlepas dan terurai di kanan kiri kepalanya, menutupi pundak, sebagian ke depan dan sebagian ke belakang. Wajah yang tampan itu kelihatan agung dan berwibawa, namun penuh ketenangan dan kehalusan.

Sang Wasi Bagaspati menerjang maju dengan senjata cakra di tangan, menghantam dada, sedangkan dari sebelah kanan, Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke lambung kanan pemuda itu. Bagus Seta tidak bergerak dari tempatnya, hanya mengembangkan kedua tangan, kembang cempaka putih menangkis cakra, sutera pengikat rambut melecut dan menangkis keris. Empat buah senjata aneh itu tidak sampai bersentuhan, akan tetapi seolah-olah ada hawa yang amat kuat keluar dari benda-benda keramat itu dan bertumbukan sehingga terdengar suara meledak-ledak.

Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terdorong mundur, memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak kuat menentang lama-lama sinar yang memancar dari sepasang mata Bagus Seta, mereka menggerakkan kaki mundur-mundur perlahan. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik,

"Retna Wilis ........ tolong ........ !!!”

Ni Dewi Nilamanik telah jatuh terjengkang disambar tendangan Joko Pramono, kebuatannya mencelat dan kini Joko Pramono sudah meloncat maju untuk mengirim pukulan maut yang terakhir ketika Ni Dewi Nilamanik menjerit minta tolong kepada Retna Wilis saking takutnya menyaksikan jangkauan tangan maut yang hendak mencabut nyawanya.

Jerit melengking itu seolah-olah menyadarkan Retna Wilis dari keadaannya yang seperti dalam mimpi. ia terkejut, sekaligus menangkis pukulan tiga orang pengeroyoknya sehingga Tejolaksono, Endang Patibroto dan Pusporini terlempar ke belakang, kemudian tubuh Retna Wilis melesat ke dekat Ni Dewi Nilamanik dan sekali tangannya mendorong ke depan, tidak saja pukulan maut Joko Pramono tertangkis, bahkan tubuh Patih Muda Jenggala ini pun terlempar dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan nanar dan matanya berkunang!

Endang Patibroto memekik marah, lalu bersama-sama Tejolaksono dan Pusporini, ia menerjang maju menghantam Retna Wilis dengan aji pukulannya yang paling ampuh, yaitu Wisangnolo, sedangkan Tejolaksono memukul dengan pukulan Bojrodahono, dan Pusporini menampar dengan aji pukulan Pethit Nogo. Kini dalam keadaan marah sekali, tiga orang gagah ini sekaligus menyerang dengan sepenuh tenaga.

"Buk, plak, plak!" Tiga pukulan itu diterima oleh Retna Wilis yang mengerahkan kesaktiannya, dan kedua tangannya mendorong. Tubuhnya terkena hantaman tiga pukulan sakti itu dan tergetar, akan tetapi tiga orang lawannya terlempar seperti daun kering tertiup angin dan terbanting roboh keras sekali dalam keadaan pingsan!

"Terlalu ......!” Bagus Seta berkelebat datang, namun terlambat karena tiga orang sakti itu telah terlempar. Melihat kedatangan Bagus Seta, Retna Wilis kembali mendorongkan kedua tangannya. Bagus Seta menerima dengan telapak tangan pula.

"Dessss!" Kini tubuh Retna Wilis yang terpental ke belakang dan roboh terguling. Pada saat itu terdengar pekik nyaring sekali yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh uap hitam seperti mendung tebal. Para perajurit Jenggala dan Panjalu menjadi panik, apalagi ketika dari gumpalan uap hitam itu menyambar-nyambar kilat yang merobohkan banyak orang, dan terdengar desis menyeramkan dari ratusan ekor ular yang merayap-rayap dan menyerang perajurit-perajurit itu!

Mereka menjadi ketakutan, menjerit-jerit dan ada pula yang lari. Bagus Seta cepat memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian bertepuk tangan tiga kali. Tepukan tangan ini menimbulkan bunyi seperti Guntur menggelepar dan seketika lenyaplah uap hitam yang ditimbulkan oleh ilmu hitam Wasi Bagaspati, dan ular-ular yang diciptakan Wasi Bagaskolo kini ternyata hanya segenggam daun kamboja kering!

Para perajurit tidak panic lagi dan dengan penuh semangat mereka menyerbu ke atas. Bagus Seta memandang dan ternyata Retna Wilis, Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik telah lenyap dari situ. Akan tetapi dia tidak ingin mengejar karena ia harus cepat menolong Tejolaksono, Endang Patibroto dan Pusporini yang masih pingsan. Joko Pramono juga cepat menghampiri isterinya. Setelah memeriksa sebentar, Bagus Seta menarik napas panjang.

"Hebat sekali tenaga saktinya, akan tetapi syukur kepada Dewata bahwa dia tidak sampai membunuh ayah bundanya sendiri. Paman, harap jangan khawatir. Mereka hanya pingsan oleh getaran hawa sakti, sebentar lagi tentu siuman kembali."

Benar saja, tak lama kemudian tiga orang sakti itu siuman dan tidak mengalami luka. Mereka lalu memimpin pasukan menyerbu terus ke puncak Wilis. Bala tentara Wilis yang kehilangan pimpinan, bahkan Patih Adiwijaya juga lenyap tanpa pamit, segera membuang senjata dan berlutut, menakluk.

Tejolaksono lalu memerintahkan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis untuk mengatur keadaan Wilis dan memulihkan keamanan, karena ketiga orang tokoh itu lebih mengenal keadaan. Kemudian ia membicarakan tentang lenyapnya Retna Wilis.

"Apakah yang terjadi, Puteraku?" tanyanya kepada Bagus Seta. "Bagaimana Retna Wilis dapat lenyap?"

Bagus Seta menceritakan keadaan tadi dan dia sendiri tidak tahu ke mana perginya Retna Wilis, kedua orang Wasi, dan Ni Dewi Nilamanik. Seorang di antara Para perajurit taklukan yang ditanya segera mengaku bahwa tadi ia melihat Retna Wilis dalam keadaan pingsan dipondong pergi oleh Wasi Bagaspati yang melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Patih Adiwijaya, memimpin pasukan siluman yang terdiri dari beberapa ratus orang, menuju ke selatan.

"Kita harus mengejarnya! Aku amat mengkhawatirkan keadaan Retna Wilis," kata Tejolaksono mengerutkan kening.

"Hemm, bocah durhaka macam itu perlu apa ditolong? Biarkan dia bersama sekutunya yang jahat!" dengus Endang Patibroto dengan hati sakit.

Tejolaksono memegang kedua pundak isterinya dan memaksa isterinya bertemu pandang dengan dia.

"Diajeng, betapa mungkin hati orang tua menegakan anaknya? Aku tahu bahwa engkau pun hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi di dasar hatimu, engkau amat mencinta puteri kita itu ........”

Endang Patibroto tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, menangis terisak-isak. Joko Pramono dan Pusporini memandang penuh keharuan. Bagus Seta menghela napas panjang.

"Memang tepat apa yang diucapkan Kanjeng Rama. Kita harus menolongnya, bukan semata-mata karena dia keluarga kita, melainkan terutama sekali untuk menghalangi perbuatan keji manusia sesat seperti Wasi Bagaspati dan kawan-kawannya. Marilah kita mengejar ke selatan sebelum terlambat."

Serentak keluarga yang sakti itu berangkat mengejar, menuju ke selatan, tidak ingat lagi akan tubuh mereka yang lelah sehabis mengalami pertandingan yang dahsyat itu.

**** 108 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 109 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment