Ads

Wednesday, April 3, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 112

<<== Kembali <<==

Retna Wilis duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan yang lebat. ia duduk bersila di atas batu bawah pohon tanjung yang besar dan lebat sekali, dengan muka tunduk dan kedua mata dipejamkan, dalam keadaan hening karena dara perkasa ini bersamadhi. Kalau tidak dipandang dengan penuh perhatian, orang akan mengira bahwa ia tidak bernyawa lagi, demikian halus pernapasannya sehingga hampir tidak tampak dadanya bergerak. Hanya bedanya dengan biasanya, kalau sedang bersamadhi itu biasanya Retna Wilis hening dan tenang, wajahnya menjadi seperti kosong tidak mengandung perasaan apa-apa. Akan tetapi pada saat itu, wajahnya diselimuti kesuraman seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bahkan ada bekas-bekas air mata yang sudah hampir mengering di atas sepasang pipinya, di bawah pelupuk mata. Juga sepasang alisnya yang kecil hitam itu agak berkerut, tanda bahwa dia biarpun sedang bersamadhi, namun tidak dapat mengheningkan cipta, dan tidak dapat membebaskan diri dari panca indrianya.

Tidak jauh dari tempat dara itu duduk bersamadhi di atas batu, tampak Adiwijaya duduk pula bersila di atas tanah, di depan gadis itu. Akan tetapi Adiwijaya tidak bersamadhi, semenjak tadi ia memandang wajah dara itu dengan penuh keprihatinan dan penuh perhatian. Entah sudah berapa puluh kali Adiwijaya menghela napas panjang dan pikirannya melayang-layang mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dan makin dipikir makin trenyuh hatinya, merasa amat kasihan dan terharu terhadap dara perkasa itu.

Adiwijaya maklum bahwa Retna Wilis menderita tekanan batin yang hebat, bahwa dara itu berduka sekali. Tadi dara itu bersila semenjak pagi sekali di atas batu dan kalau Retna Wilis bersamadhi seperti biasanya, kiranya Adiwijaya tidak akan gelisah dan tersiksa seperti itu batinnya. Akan tetapi gadis itu bersila memejamkan mata, biarpun tidak pernah bergerak dan pernapasannya seperti orang tertidur atau bersamadhi, namun Adiwijaya yang juga biasa bersamadhi itu maklum bahwa dara ini memaksa diri untuk menyembunyikan perasaannya yang tertekan dan tersiksa. Bahkan dara itu tidak sadar bahwa beberapa tetes air mata keluar melalui bulu matanya menitik turun ke atas pipi sampai mengering kembali, tidak sadar bahwa keningnya selalu berkerut dan wajahnya diselimuti kemuraman yang mengharukan.

"Aku berdosa ........ " pikirnya dengan trenyuh. "Aku berdosa kepada ibunya, kepadanya........ , kalau tidak karena aku, mungkin dia sudah dapat berkumpul kembali
dengan ayah bundanya, hidup berbahagia sebagai puteri Patih Panjalu, sebagai puteri suami isteri yang menjadi tokoh terkenal, sakti mandraguna dan gagah perkasa. Akan tetapi dia membelaku, rela pergi bersamaku!" Ingin Adiwijaya memukul kepalanya sendiri penuh penyesalan terhadap diri sendiri, terhadap semua perbuatannya dan kesesatannya yang lalu. Patutkah seorang manusia jahat, manusia terkutuk seperti dia, mendapatkan pembelaan dari seorang seperti Retna Wilis?

Menjelang tengah hari Retna Wilis bergerak perlahan dan membuka matanya. Mata yang suram, sayu dan membayangkan hati yang kosong dan perasaan yang tertindih penyesalan dan kedukaan. Melihat Adiwijaya duduk bersila di atas tanah, memandangnya dengan muka sedih, Retna Wilis bertanya,

"Paman, sudah lamakah aku bersamadhi?"

Suara itu! Begitu memelas, tergetar dan lirih. Begitu mengharukan dan menusuk perasaan Adiwijaya dan tak tertahankan lagi Adiwijaya menangis! Laki-laki yang dahulu
menghadapi perbuatan keji sekeji-kejinya sambil tertawa itu kini menangis seperti anak kecil!

"Aduh Gusti Ayu Puteri Retna Wilis ........ , mengapa Paduka membela hamba dan rela menentang rama ibu Paduka ........ ?" katanya di antara isaknya.

Retna Wilis memandang terbelalak sambil menurunkan kedua kakinya dari atas batu.
"Paman Adiwijaya! Andika........ menangis? Betapa anehnya........ ! Mengapa aku membelamu? Tentu saja! Tidak boleh orang membunuhmu, biar ayah bundaku sendiri pun tidak boleh. Engkau satu-satunya orang yang baik kepadaku, satu-satunya sahabatku, bahkan kuanggap sebagai pengganti orang tuaku!"

"Aduh Dewa ........ betapa kejinya Sindupati ........ ah, tidak layak aku hidup di dunia ini........ " Adiwijaya atau Sindupati makin tertusuk hatinya. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Retna Wilis, kata demi kata merupakan keris berkarat yang menikam jantungnya.

"Sindupati? Apa maksudmu, Paman Adiwijaya?"

"Aduhai, Gusti Puteri yang mulia. Paduka bunuhlah hamba ini, untuk melepaskan hamba daripada siksaan batin karena dosa-dosa hamba yang setinggi langit. Bunuhlah
hamba, Sang Puteri!"

Melihat pria setengah tua itu menangis mengguguk, Retna Wilis membuka matanya lebar-lebar.

"Paman, makin aneh saja kata-katamu. Biarpun orang sedunia mengatakan engkau jahat dan berdosa, bagiku engkau adalah orang yang paling baik."

"Tidak! Tidak! Paduka tidak tahu. Hamba sesungguhnya dahulu bernama Sindupati, dua puluh tahun lebih yang lalu hamba adalah seorang perwira Kerajaan Jenggala yang
dikasihi gusti sinuwun sepuh di Jenggala. Akan tetapi hamba berani mempersunting bunga dalam taman terlarang, melakukan hubungan asmara dengan puteri sinuwun, sehingga hamba menjadi seorang pelarian yang terkutuk."

"Hemm, kesalahanmu tidak berapa hebat, Paman."

"Itu hanya permulaan saja. Hamba lalu menjadi perwira Blambangan, dan hamba bersama pasukan Blambangan melakukan fitnah kepada ibunda Paduka, melakukan fitnah kepada Puteri Endang Patibroto yang dahulu menjadi puteri mantu gusti sinuwun, isteri dari Pangeran Panji Rawit. Hamba melakukan fitnah dengan maksud-maksud melemahkan Jenggala yang menjadi musuh Blambangan karena tokoh Jenggala yang ditakuti adalah ibu Paduka."

Sindupati lalu menceritakan semua peristiwa ketika Endang Patibroto terfitnah sehingga mengakibatkan tewasnya Pangeran Panji Rawit. Retna Wilis mendengarkan dengan penuh perhatian.

"DEMIKIANLAH, Gusti Puteri. Hambalah orangnya yang telah mencelakakan secara tidak langsung kehidupan rumah tangga ibunda. Bukankah hamba seorang manusia terkutuk yang patut mati? Harap Paduka lekas turun tangan membunuh hamba, karena kebaikan Paduka merupakan slksaan hebat yang tak tertahankan oleh batin hamba."

Retna Wilis menggeleng kepis.
"Dosamu masih belum hebat, Paman. Engkau hanya melakukan tugas sebagal perajurit Blambangan dan apa yang kaulakukan terhadap kanjeng ibu, selain dalam pelaksanaan tugas, juga malah berjasa."

"Berjasa ........ ??" Sindupati memandang heran.

Retna Wilis tersenyum pahit.
"Engkau berjasa karena kalau kanjeng ibu tidak kehilangan Pangeran Panji Rawit tentu tidak akan bertemu dengan kanjeng rama, dan........ aku ........ tentu tidak akan ada!"

"Ah itu masih belum semua, Gusti Puteri. Dengarlah baik-baik! lbunda paduka menjadi marah dan pasukan Jenggala dan Panjalu juga bersama kanjeng rama paduka menyerbu menghancurkan Blambangan. Hamba lalu lari lagi dan kemudian hamba bersekutu dengan utusan-utusan Cola dan Sriwijaya, terutama dengan Wasi Bagaspati dan dengan Suminten dan Pangeran Kukutan sehingga hamba berhasil menjadi patih Jenggala dengan nama Patih Warutama. Hamba telah mengorbankan nyawa banyak orang, tidak ada kejahatan dan kekejian yang tidak hamba lakukan, hamba peristeri kekasih hamba dan ........ dan hamba peristeri pula anaknya, puterinya yang terlahir karena dahulu berhubungan dengan hamba, beristeri puteri hamba sendiri. Nah, adakah dosa yang lebih besar daripada itu?"

Retna Wilis menggeleng kepala, takjub.
"Tak dapat terbayangkan olehku betapa engkau pernah melakukan kesesatan sehebat itu, Paman. Akan tetapi itu bukan urusanku, dan kalau sekarang Paman menyesali perbuatan itu, baik sekali."

Adiwijaya makin penasaran.
"Akan tetapi, hamba........ hamba malah membunuh mereka ibu dan anak hamba pada waktu melarikan diri karena sekutu hamba dihancurkan, telah membunuh Pangeran Kukutan dan mencelakakan Suminten. Hamba........ berganti nama menjadi Adiwijaya dan mengelabuhi paduka ........ dosa hamba tak terampunkan .......”

Retna Wilis tetap ntenggeleng kepala.
"Akan tetapi setelah menjadi pembantuku, engkau selalu baik kepadaku, Paman."

"Hamba akui bahwa semenjak bertemu dengan Paduka, hamba kehilangan semua watak kotor dan keji, hamba telah mendapatkan pegangan dan telah bersumpah untuk bersetia kepada Paduka. Hamba menganggap Paduka seperti sesembahan hamba, seperti ........ anak hamba yang hamba sayang ........ , akan tetapi hamba sungguh tidak patut, hamba seorang manusia terkutuk. Hamba mohon, bunuhlah hamba agar hamba terbebas claripada siksaan batin, Gusti."

"Tidak, Paman. Aku tidak akan membunuhmu. Engkau boleh jadi pernah menyeleweng dan jahat, akan tetapi aku pun bukan seorang baik-baik, dan segala kejahatan itu tidak dapat menandingi kedurhakaanku terhadap kanjeng rama dan kanjeng ibu. Tidak, Paman. Kita sama-sama jahat, karenanya kita dapat menyesali perbuatan kita berdua yang sesat, dapat sama-sama menderita siksaan batin dari penyesalan hati."

Tiba-tiba Adiwijaya atau Sindupati meloncat berdiri, peluhnya mengalir seperti air matanya.

"Retna Wilis, masih belum tergugah hatimu untuk membunuh aku? Sindupati seorang manusia berhati iblis! Dengarlah, Retna Wilis. Aku........ aku telah melakukan hal yang terkutuk........ Ketika engkau masih kecil di Wilis, aku pernah berkunjung kepada ibumu, Aku memancing ibumu sehingga engkau yang sedang berlatih di pohon ditinggalkan kemudian diculik oleh sekutuku, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Kemudian aku........ dengar baik-baik, ketika ibumu sedang tidur, aku memukulnya pingsan dan aku........ aku memperkosanya!"

Retna Wilis mengeluarkan jerit lirih dan ia pun meloncat bangun, berdiri berhadapan dengan Sindupati yang berwajah pucat sekali. Mereka bertemu pandang, sejenak tak berkata-kata dan tidak bergerak, kemudian Sindupati berkata perlahan,

"Nah, cukuplah sekarang. Kau bunuhlah aku, Retna Wilis."

Akan tetapi, tiba-tiba sekali Retna Wilis tersedu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis.

"Tidak...... , aku tidak akan membunuhmu, aku ........ aku tetap lebih jahat daripada engkau, Paman. Aku lebih menyakitkan hati kanjeng ibu daripada perbuatanmu terhadapnya……..”

"Retna Wilis . .. ... !!" Sindupati berseru setengah memekik, heran, menyesal, terharu dan berduka bercampur aduk menjadi satu dalam suaranya.

Retna Wilis menurunkan kedua tangannya dan memandang Sindupati,
"Paman, kita sama-sama jahat, dan sama-sama menyesal, sama-sama tidak mempunyai masa depan yang terang, tidak tahu harus bagaimana melanjutkan hidup ini. Karena itu ........ jangan ........ jangan kau tinggalkan aku, Paman. Engkaulah satu-satunya sahabatku yang dapat kupercaya, engkau pengganti orang tuaku ........”

"Aduh, Gusti Puteri ........ !" Sindupati menubruk kaki Retna Wilis, menyembah dan mencium ujung ibu jari kaki gadis itu, jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Retna Wilis berjongkok dan mengangkat bangun laki-laki setengah tua itu, memegang kedua pundak dan berkata,

"Jangan begitu, Paman. Mulai saat ini, Paman kuanggap sebagai paman kandung sendiri, mewakili kedua orang tuaku. Bimbinglah aku, Paman, berilah petunjuk bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini."

Dengan suara serak saking terharu hatinya Sindupati berkata,
"Baiklah, Retna Wilis. Engkau kuanggap sebagai keponakanku, bahkan sebagai anakku yang akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku. Jangan khawatir, Anakku. Aku akan menggunakan seluruh sisa hidupku demi membahagiakanmu dan akan menuntunmu untuk merubah jalan hidupmu meialui jalan kebenaran. Biarpun aku seorang bekas manusia sejahat-jahatnya aku masih belum lupa bagaimana caranya menjadi manusia baik. Bahkan semua pengalamanku dapat kujadikan contoh keburukan. Marilah, Anakku, masa depanmu tidak segelap yang kau khawatirkan. Pertama-tama lenyapkan rasa bencimu........ terhadap........ ayah........ bundamu. Sanggupkah?"

Retna Wilis mengangguk.
"Aku sebetulnya tidak membenci mereka, Paman. Hanya, aku ........ aku segan ditundukkan ………”

"Nah, kalau engkau benar menganggapku sebagai pamanmu, sebagai pengganti orang tuamu, engkau harus taat kepadaku. Tanamkan rasa sayang kepada ayah bundamu, dan buang jauh-jauh cita-citamu untuk menjadi ratu dunia!"

Retna Wilis mengangkat mukanya memandang, kemudian mengangguk pula.
"Akan tetapi, ayah bundaku, semua keluargaku, tentu akan mmemandang rendah kepadaku, seorang anak durhaka…….”

"Tidak, Anakku. Engkau akan menjadi seorang semulia-mulianya di dunia ini, akan menjadi tokoh penegak kebenaran dan orang tuamu, seluruh keluarga, kelak akan menjunjung tinggi padamu."

"Akan tetapi, bagaimana aku dapat melawan rangsangan hatiku sendiri, Paman? Ada sesuatu yang mendorongku, yang tertanam di lubuk hatiku semenjak aku menjadi murid
Nini Bumigarba."

"Harus kaulawan dengan kekuatan batinmu, dan ........ “

"Ha-ha-ha-ha, burung gagak berbulu hitam, bagaimana bisa mengubah bulu menjadi putih?"

Sindupati dan Retna Wilis terkejut dan membalikkan tubuh. Kiranya di situ telah berdiri Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!

"Ha-ha-ha-ha, Retna Wilis. Mengapa engkau begini bodoh mau mendengarkan ocehan seorang pengkhianat kotor seperti dia ini? Kedua tangannya, seluruh tubuhnya sendiri
sudah penuh kotoran, mana mungkin dia dapat membersihkan engkau? Lebih baik engkau bersekutu denganku, dan kalau kita bertiga membasmi tokoh-tokoh Jenggala dan Panjalu, engkau kelak akan dapat menjadi ratu terbesar di seluruh Jawa-dwipa!"

Melihat perubahan pada wajah Retna Wilis yang kembali bersikap dingin dan beringas, Sindupati maklum bahwa ucapan Wasi Bagaspati itu mendatangkan kesan di hati Retna Wilis. Ia khawatir sekali kalau-kalau gadis itu terpengaruh oleh wataknya yang lama kembali, maka kemarahannya timbul dan dengan nekat ia meloncat, menerkam dan menyerang Wasi Bagaspati! Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya, menyambut terjangan Sindupati dengan pukulan tangan miring.

"Krakkk!" Tubuh Sindupati terlempar ke dekat kaki Retna Wilis dan sebagian besar tulang-tulang iganya patah-patah!

Melihat Sindupati menggeletak megap-megap di dekat kakinya, seketika lenyaplah pengaruh liar di hati Ratna Wilis. Ia menubruk, berlutut di dekat tubuh yang sudah berkelojotan itu.

"Paman ........ Paman Sindupati……..”

Sindupati terengah-engah dan mengeluarkan bisikan yang lirih sekali,
"Anakku ........ sadarlah ........ lawanlah pengaruh buruk ........ selamat tinggal........ selamat berjuang ke jalan kebenaran ........ aku layak mati ........ penuh dosa ........ "

Tiba-tiba tubuhnya mengejang lalu lemas. Sindupati, alias Warutama, alias Adiwijaya menghembuskan napas terakhir. Retna Wilis bangkit perlahan-lahan, pandang matanya
membuat Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo mengkirik.

"Eh, Retna Wilis, perlu apa mendengarkan ocehan orang sekarat? Lebih baik bersama kami mengejar kemuliaan hidup. Hidup di dunia hanya satu kali dan berapa lamanya orang hidup? Kalau tidak mengejar kemuliaan sekarang, kelak terlambat dan menyesal pun tiada gunanya lagi," kata Wasi Bagaskolo.

"Manusia-manusia iblis!" Tiba-tiba Retna Wilis meloncat cepat sekali menerjang Wasi Bagaskolo yang berdiri paling dekat. Kakek ini terkejut dan cepat menangkis.

"Dukkkkl!"

Girang hati Wasi Bagaskolo ketika ia menangkis itu ia mendapat kenyataan bahwa tenaga Retna Wilis tidaklah sehebat pada pertandingan yang lalu. Dia hanya terhuyung. Hal ini menandakan bahwa kesaktian dara itu belum pulih kembali. Hal ini memanglah benar. Selain Retna Wilis masih menderita karena pertandingan yang lalu, juga dia menderita tekanan batin yang amat berat sehingga hal ini pun banyak mengurangi dan melemahkan tenaga sakti di tubuhnya.

Retna Wilis yang marah sekali melihat Sindupati tewas, juga maklum bahwa tenaganya masih belum pulih sebagai akibat ketika ia ditawan dan kemudian bertanding dengan kedua orang kakek itu, maka ia cepat mencabut pedang pusaka Sapudenta dari punggungnya.

Namun Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang sudah waspada dan maklum bahwa selain tenaga saktinya masih belum pulih, juga dara ini sedang menderita tekanan batin
sehingga tidaklah sekuat biasa, tidak menjadi gentar biar mereka telah kehilangan senjata pusaka mereka.

"Retna Wilis, lebih baik engkau menyerah secara baik-baik, menjadi pengganti Dewi Nilamanik, menjadi seorang dewi penitisan Sang Bathari, hidup mulia dan penuh kesenangan. Menyerahlah daripada aku menggunakan kekerasan."

Retna Wilis tidak menjawab, melainkan mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, tangannya memutar pedang pusaka Sapudenta dan berubah menjadi gulungan sinar panjang membabat ke arah tubuh kedua orang kakek itu. Namun Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo sudah mengelak dengan loncatan mundur, kemudian membalas dengan pukulan-pukulan sakti dari kanan Retna Wilis terus meloncat ke depan menghindarkan diri dan membalikkan tubuh, pedang di tangan, siap bertanding mati-matian. Namun, tertindih oleh derita batin bertubi-tubi, dara ini menjadi agak pening dan diamuk oleh kemarahan sehingga ketenangannya goyah. Hal ini menyebabkan serangan-serangannya seperti gerakan orang nekat tanpa perhitungan lagi, mengamuk dengan dorongan amarah yang bagaikan api menyala-nyala.

Betapapun juga, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang mempunyai niat menawan dara ini hidup-hidup dan menaklukkannya untuk dapat menggunakan tenaganya, tidaklah dapat melaksanakan niat ini dengan mudah karena biarpun Retna Wilis berkurang banyak kekuatannya, namun ia masih merupakan lawan yang dahsyat.

Setelah lewat ratusan jurus, tiba-tiba Wasi Bagaskolo mengeluarkan aji-aji ilmu hitamnya, berteriak keras dan cuaca menjadi gelap karena timbul awan hitam menutup
sinar matahari, bergumpal-gumpal di atas kepala mereka. Kemudian, atas isyaratnya, Wasi Bagaskolo berseru keras dan menerjang Retna Wilis menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan menyerang ke arah kedua kaki dara perkasa itu. Diserang secara buas ini, Retna Wilis agak terkejut dan cepat ia menggerakkan pedang ke bawah untuk melindungi kedua kakinya, bahkan lalu menusukkan pedangnya ke arah tubuh Bagaskolo yang menggelinding dekat ke arah tubuh Bagaskolo yang menggelinding dekat dekat kakinya dengan kedua tangan bergerak mencengkeram.

Saat itu, Wasi Bagaspati yang sudah siap sedia dan meloncat ke atas lenyap ke dalam uap atau awan hitam, meluncur ke bawah dan menerkam Retna Wilis. Dara itu sedang menusuk ke bawah ketika mendengar berkesiurnya angin dari atas, maklum bahwa Wasi Bagaspati menerjangnya secara hebat, maka ia lalu meloncat dan menarik kakinya untuk menghindarkan cengkeraman Wasi Bagaskolo dari bawah dan memutar pergelangan tangan sehingga pedangnya membalik dan membacok ke atas memapaki tubuh Wasi Bagaspati.

Wasi Bagaspati yang memang hanya mengacaukan lawan agar perhatiannya terpecah, sudah dapat menghindar dan meloncat ke belakang tubuh Retna Wilis dan tiba-tiba dara ini merasa betapa kedua kakinya sudah direnggut dan dipeluk oleh kedua lengan Wasi Bagaskolo yang kuat! Ia mengeluarkan seruan lirih dan hendak menggerakkan pedang menusuk punggung Wasi Bagaskolo, akan tetapi perhatiannya yang dicurahkan ke bawah itu, biarpun hanya beberapa detik, cukup bagi Wasi Bagaspati untuk bergerak, tangan kiri membabat pergelangan tangan Retna Wilis yang memegang pedang dan tangan kanan mencengkeram pedang pusaka Sapudenta!

"Eiihhhhh ........ !! Retna Wilis memekik, mengerahkan tenaga mempertahankan pedang dan dua tenaga sakti raksasa yang memperebutkan pedang itu membuat pedang terlepas dari pegangan Retna Wilis, bukan terampas lawan melainkan mencelat jauh dan lenyap ke dalam jurang!

Retna Wilis marah sekali, tiba-tiba tubuhnya meronta, bergoyang semua dengan getaran hebat sehingga Wasi Bagaspati terpaksa meloncat ke belakang, sedangkan Wasi Bagaskolo yang memeluk kedua kaki itu dapat dilontarkan pula sampai lima meter jauhnya di mana kakek ini jatuh dan bergulingan lalu meloncat bangun. Mereka berdua kini tertawa menyeringai, girang bahwa mereka berhasil melucuti dara itu dan dalam keadaan tak bersenjata tentu akan lebih mudah ditangkap. Perasan inilah yang mencelakakan Wasi Bagaskolo. Orang yang mabuk kesenangan akan berkurang kewaspadaannya, memandang rendah lawan dan karenanya menjadi lengah. Mereka tidak tahu bahwa dalam gebrakan terakhir tadi, Retna Wilis yang kehilangan senjata telah menyambar tanah pasir ke dalam genggaman tangan kanannya, diam-diam ia mengerahkan aji kesaktiannya sehingga tanah pasir yang digenggamnya itu menjadi senjata yang luar biasa ampuhnya, yaitu Pasir-sakti, pasir yang berubah seperti bubuk baja yang mengandung bisa!

Wasi Bagaskolo yang kini merasa bahwa dia sanggup menandingi dan mengalahkan dara yang sudah lemah itu, mengeluarkan seruan girang dan menerjang maju, menggunakan kedua tangan hendak mencengkeram, akan tetapi dia didahului oleh Wasi Bagaspati yang melihat gerakan adik seperguruannya dan hendak membantu. Wasi Bagaspati lebih hati-hati dan maklum bahwa kalau dara itu tidak ia desak lebih dulu, masih sukar untuk dapat ditangkap adik seperguruannya. Maka ia menerjang maju dengan cepat dari sebelah kiri Retna Wilis, mengirim pukulan tangan kiri dengan tenaga sakti, beberapa detik lebih dulu dari gerakan Wasi Bagaskolo yang hendak menerkam dari depan.

"Plakkk........ !!" Tangan kiri Retna Wilis menangkis pukulan ini tanpa menoleh karena perhatiannya tetap ditujukan kepada Wasi Bagaskolo di depannya.

Biarpun pukulan sakti Wasi Bagaspati yang ditangkisnya itu membuat tangan kirinya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh, hal ini tidak mengurangi perhatiannya ke depan. Pada saat itu Wasi Bagaskolo menubruk dan Retna Wilis menyambitkan pasir yang berada di dalam genggaman tangan kanannya. Sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Wasi Bagaskolo dari jarak dekat sekali.

"Augggghhhrrr" Pekik mengerikan keluar dari kerongkongan Wasi Bagaskolo yang tiba-tiba terjengkang ke belakang, roboh terbanting dan kedua tangannya yang tadi membentuk cakar hendak mencengkeram tubuh Retna Wilis, kini mencakari muka dan dadanya sendiri sampai kulit dan dagingnya robek-robek!

"Dessss ........ !!”

Tubuh Retna Wilis terbanting keras dan terguling-guling. Hebat sekali pukulan yang dilakukan Wasi Bagaspati yang marah menyaksikan tewasnya Wasi Bagaskolo sehingga dia mengirim pukulan yang mengenai punggung Retna Wilis.

Dara itu bergulingan dan darah mengucur dari bibirnya, akan tetapi ia masih dapat bangkit dengan tubuh lemah namun semangat menyala-nyala, pantang mundur pantang menyerah, siap untuk melawan sampai mati. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening, tubuhnya bergoyang-goyang, namun sedikit pun tidak ada keluhan
keluar dari mulutnya yang berlepotan darahnya sendiri.

"Engkau ........ engkau membunuh adikku ........ ?" Wasi Bagaspati kembali menerjang dengan pukulan sakti.

Retna Wilis mengangkat tangan menangkis dan kembali ia roboh terguling-guling, akan tetapi biarpun dengan susah payah, ia masih dapat bangkit kembali. Ketika Wasi Bagaspati yang sudah marah sekali itu lari menghampiri, tiba-tiba terdengar suara halus,

"Sahabatku, mengapa Andika melanggar janji?"

Dan di depannya telah berdiri dengan sabar dan kening dikerutkan sambil menggeleng-geleng kepala. Sejenak Wasi Bagaspati memandang penuh kemarahan, kemudian ia mendengus dan menghampiri mayat Wasi Bagaskolo, mengambilnya dan memanggulnya, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia hendak pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi dengan gerakan cepat sekali, amat mengherankan bagi tubuhnya yang gendut pendek, Biku Janapati telah menyusulnya ketika Wasi Bagaspati hendak menuruni sebuah jurang.

"Berhenti dulu, Wasi Bagaspati," kata Biku Janapati.

Wasi Bagaspati yang memanggul mayat Wasi Bagaskolo membalikkan tubuh dan sikapnya beringas,

"Andika mau apa, Biku Janapati?"

"Aku hendak menagih janji, dan aku hendak mempertanggung-jawabkan perbuatanku ketika menanggungmu, sahabatku Wasi Bagaspati. Andika seorang yang sudah banyak mempelajari ilmu, tentu saja tadinya kuanggap bahwa Andika benar-benar telah dapat insyaf dan sadar, karena itu aku berani menanggungmu. Siapa tahu, kiranya Andika telah menjadi hamba nafsu yang paling rendah sehingga Andika membutakan mata hati dan tidak melihat lagi antara baik dan buruk. Aku telah menanggungmu dengan segala akibatnya dan melihat betapa engkau masih saja menuruti nafsu angkara murka, terpaksa aku sendiri yang turun tangan membasmimu."

Wasi Bagaspati marah sekali dan melemparkan mayat Wasi Bagaskolo ke atas tanah. Karena dia berdiri di pinggir jurang, maka tanpa ia sengaja mayat itu terlempar ke tepi dan terus menggelundung memasuki jurang! Akan tetapi, saking marahnya kepada Biku Janapati, Wasi Bagaspati tidak memperdulikan hal itu dan ia menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek gundul itu.

"Keparat engkau Janapati! Engkau yang menjadi sahabatku semenjak dari tanah barat, kini hendak memusuhiku dan membela orang keturunan Mataram?"

"Andika yang telah lupa akan segala awal dan akhir, Wasi Bagaspati. Lupakah Andika bahwa sesungguhnya Andika hanya ikut dan membonceng kepada kami utusan Sriwijaya ketika memasuki Jawadwipa? Lupakah bahwa kalau tidak bersama utusan Sriwijaya yang masih ada hubungan keluarga dengan Mataram, Andika dan para pengikut Andika tidak mungkin dapat tiba di sini? Dahulu Andika berjanji untuk memperkembangkan Agama Shiwa, akan tetapi setelah tiba di sini Andika mengumbar angkara murka. Berkali-kali saya peringatkan, dan yang terakhir malah saya menebus nyawa Andika dari tangan Bagus Seta dengan tanggung jawab sepenuhnya. Sekarang, tiada lain jalan bagiku, terpaksa harus melenyapkan Andika yang selalu menjadi pengacau ketenteraman."

"Pendeta gundul yang sombong! Kaukira aku takut kepadamu?" Wasi Bagaspati berteriak dan menerjang Biku janapati.

"Sadhu-sadhusadhu ........ siapa mengira bahwa setua ini hamba terpaksa melakukan dosa lagi ........ " kata Biku Janapati yang cepat menangkis dan balas menyerang.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 113 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment