Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 001

**** BACK ****

Suara ombak mendesis, mendidih dan menggelegar di sepanjang Pantai Laut Kidul. Tiada henti-hentinya, siang malam, Bagaikan tetabuhan yang mengiringi kiprah alam seisinya. Ombak menepis di pantai pasir mendesis-desis, tampak ombak memanjang berkepala putih berlenggang-lenggok seperti seekor naga disusul naga lain, kemudian memecah di pantai yang berpasir mendesis-desis. Di sana sini terdengar ombak menggelegar menghantam batu karang, mengguncangkan batu karang itu dan air muncrat menjadi atom, kalau tersinar matahari menciptakan pelangi. Alangkah perkasanya alam, alangkah indah, juga alangkah buasnya ulah ombak di pantai, menggulung pasir yang dimuntahkan di pantai.

Pemuda ini memiliki tubuh yang sedang namun tegap, berdirinya tegak dan lenggangnya seperti langkah harimau lapar. Wajahnya amat tampan dan manis, dengan dahi lebar dan sepasang matanya mencorong namun mengandung kelembutan, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang menarik dan menyejukkan hati yang memandang. Dagunya yang sedikit berlekuk menunjukkan kejantanan dan kegagahan. Kulitnya kuning bersih, seorang pemuda yang ganteng seperti Arjuna.

Wanita yang berjalan di sampingnya juga tidak kalah menariknya, ia seorang dara yang usianya paling banyak dua puluh tahun. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, namun digelung di belakang kepala dengan rapi. Pakaiannya juga dari kain putih bersih. Dara ini memiliki tubuh yang ramping padat dengan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Dahinya tertutup sinom melingkar-lingkar, alisnya kecil melengkung dan hitam seperti dilukis, matanya seperti sepasang bintang kejora dengan kerling tajam menghunjam, hidungnya mancung dan mulutnya amat manis dengan bibir yang merah membasah, dihias lesung pipit di pipi kiri, dagunya runcing dan lehernya agak panjang berkulit putih mulus.

Orang yang bersua dengan mereka di tempat hening itu tentu akan mengira bahwa mereka penjelmaan Bathara Komajaya dan Bathari Komaratih, yaitu Dewa dan Dewi Asmara. Akan tetapi kalau orang memperhatikan sinar mencorong dari mata mereka, apalagi melihat adanya sebatang pedang di punggung dara itu, maka pandangan orang itu akan menjadi kagum dan juga jerih.

Siapakah gerangan jaka bagus dan perawan ayu ini? Mereka adalah kakak beradik tiri, satu ayah berlainan ibu. Ksatria gagah dan tampan itu bernama Bagus Seto, putera dari Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra. Sejak kecil Bagus Seto telah digembleng oleh orang-orang yang maha sakti. Mula-mula dijadikan murid oleh Ki Tunggaljiwo selama sepuluh tahun, kemudian dijadikan murid seorang pertapa yang maha sakti dengan julukan Bhagawan Ekadenta, juga disebut Ki Jitendryo dan Bhagawan Sirnasariro.

Setelah menerima gemblengan Bhagawan Ekadenta, Bagus Seto menjadi seorang pemuda yang maha sakti, memiliki kekuatan lahir batin yang dahsyat. Takkan ada seorangpun dapat mengira bahwa dalam diri seorang pemuda tampan halus seperti Bagus Seto itu terdapat kekuatan yang amat dahsyat.

Dara jelita yang kelihatan gagah itu bernama Retno Wilis. Ia juga puteri Adipati Tejolaksono akan tetapi ibunya adalah Endang Patibroto. Walaupun kedua ayah ibunya merupakan orang-orang sakti, akan tetapi sejak kecil ia digembleng oleh seorang nenek maha sakti yang berjuluk Nini Bumigarbo. Sejak kecil ia berpakaian serba hijau, sesuai dengan namanya Retno Wilis (Dara Hijau), akan tetapi setelah ia merantau dengan kakaknya, Bagus Seto menganjurkan agar adiknya memakai pakaian serba putih seperti yang dipakainya. Dari Nenek sakti Nini Bumigarbo, Retno Wilis menerima gemblengan banyak ilmu, di antaranya yang hebat adalah Aji
Wisolangking, semacam ilmu pukulan mangandung hawa beracun panas, Aji Argoselo yang membuat ia dapat membikin tubuhnya menjadi berat sekali, lalu Aji Pancaroba ilmu silat yang mengandalkan kecepatan gerak. Iapun menerima dua macam senjata yang ampuh, pertama Pedang Sapudento yang ampuh sekali dan senjata rahasia Pasir Sekti, semacam pasir yang juga mengandung racun yang mematikan.

Demikianlah, kedua kakak beradik yang tampak demikian tampan dan cantik, demikian lemah lembut, sesungguhnya merupakan sepasang orang muda yang sakti, dan kedatangan mereka dari barat menuju ke timur itu dapat diumpamakan Sepasang Garuda Putih yang melayang-layang datang sebagai sepasang pendekar yang tujuan perjalanan hidupnya hanya untuk berdharma-bakti kepada rakyat jelata, menegakkan kebenaran dan keadilan membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat menindas, memihakyang baik dan menentang yang jahat. Selama melakukan perantauan dengan kakaknya, Retno Wilis banyak mendapat petunjuk kakaknya itu tentang keadaan hidup dan cara-cara menegakkan Kebenaran dan keadilan.

"Kakang Bagus," ia pernah bertanya, "engkau selalu mengatakan bahwa aku harus memihak yang baik dan benar menentang yang salah dan jahat. Akan tetapi, kakang, bukankah baik dan jahat itu hanya merupakan pendapat dari pada si penilai belaka? Dan engkau pernah mengatakan bahwa penilaian adalah palsu karena penilaian itu berdasarkan rasa suka tidak suka yang timbul dari diri merasa diuntungkan atau dirugikan. Bagaimana kalau penilaianku keliru? Kalau yang kuanggap benar itu sebetulnya salah?"

"Bagus, pertanyaanmu ini bagus dan menunjukkan bahwa engkau sudah mulai dewasa dalam menelaah tentang kehidupan, adikku yang ayu,” jawab Bagus Seto sambil tersenyum. "Memang tidak salah, penilaian itu palsu sepanjang penilaian itu diberlakukan untuk diri sendiri. Setiap orang akan selalu menilai orang lain yang menguntungkannya dan menyenangkannya sebagai orang baik, dan akan selalu menilai orang lain yang merugikan atau menyusahkan sebagai orang jahat. Akan tetapi kita menilai bukan demi kepentingan diri pribadi, melainkan demi kepentingan mereka yang tertindas. Dengan demikian, menilai seseorang itu tidaklah sukar. Kalau dia adigang-adigung-adiguna, mengandalkan kekuatan dan kekuasaannya untuk menyengsarakan orang lain, menyusahkan orang lain, menindas orang lain dengan keangkara murkaannya, nah orang demikian itulah yang kita anggap jahat dan perlu kita menentangnya. Namun orang-orang lemah tak berdaya, tanpa kesalahan mengalami penekanan dari orang-orang jahat itu, merekalah yang harus kita lindungi dan bela. Adapun orang baik adalah mereka yang bijaksana dan yang selalu berusaha untuk menolong orang lain, menyenangkan orang lain, akan tetapi yang tidak menyadari bahwa dia berbuat kebaikan, yang tidak menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan."

"Wah, di sini aku agak bingung, kakang. Orang berbuat kebaikan tanpa menyadari bahwa dia berbuat kebaikan dan tidak menganggap bahwa perbuatannya itu suatu kebaikan. Bagaimana ini?"

"Kebaikan adalah perbuatan yang wajar, tidak dibuat-buat dan timbul dari sanubari yang penuh welas asih. Kalau aku sengaja melakukan kebaikan, dengan sadar bahwa aku telah berbuat baik, maka kesengajaan itu pasti berpamrih, Retno. Itu bukan kebaikan lagi namanya, karena dia mengharapkan imbalan, setidaknya imbalan senang hati atau puas diri karena telah berbuat baik."

"Lalu bagaimana orang harus melakukan kebaikan tanpa menyadari bahwa yang dilakukan itu kebaikan?"

"Dengan mawas diri, adikku. Dengan menganggap bahwa segala yang kita lakukan adalah suatu kewajiban dalam kehidupan. Menolong sesama hidup adalah suatu kewajiban, bukan kebaikan. Menentang kejahatan adalah suatu kewajiban, bukan kebencian. Mengertikah engkau adikku?"

Retno Wilis mengangguk-angguk.
"Mengerti, akan tetapi aku tidak yakin apakah aku dapat melaksanakan itu. Bagaimana mungkin aku dapat terhindar dari perasaan khawatir, susah, marah, senang dan benci?"

"Ikuti saja apabila engkau sedang dikuasai perasaan-perasaan itu, Retno, dan engkau akhirnya akan mengenal mereka dan yakin bahwa mereka itu BUKAN ENGKAU, melainkan nafsu daya-daya rendah yang berlomba untuk menguasai jiwamu."

Kalau kakaknya sudah bicara setinggi itu, Retno Wilis hanya mengangguk saja dan diam seribu bahasa.

"Aku tahu bahwa engkau masih bimbang dan belum mengerti benar, adikku. Memang engkau benar, seorang manusia tidak akan dapat berpisah dari nafsu daya rendah yang menjadi pesertanya dalam kehidupan ini. Tanpa adanya nafsu-nafsu itu kita tidak akan dapat hidup seperti sekarang ini, adikku. Berkat dorongan nafsu-nafsu itulah maka kita manusia dapat membuat segala macam barang untuk keenakan hidup kita. Akan tetapi, yang harus dijaga adalah agar daya-daya rendah itu tetap menjadi peserta dan membantu kita, jangan sampai mereka itu menjadi najikan yang memperhamba kita, karena kalau demikian halnya kita akan menjadi permainan nafsu kita sendiri dan akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebijakan."

"Kalau begitu, kita berada dalam keadaan yang serba sulit, kakang. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kita dapat celaka oleh nafsu itu sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Mengedalikan nafsu kita sendiri agar tidak menjadi majikan yang memperhamba diri kita?”

“Mengedalikan nafsu merupakan pekerjaan yang hanya mudah diucapkan, namun amat sukar dilakukan. Nafsu itu seperti api. Kalau terkendali, amatlah berguna bagi kehidupan kita manusia, akan tetapi kalau dibiarkan bebas, ia akan mengamuk dan membakar segala apapun sampai ludes. Akan tetapi hampir tidak munkin bagi kita untuk mengendalikan peserta kita yang satu ini, karena nafsu telah menguasai diri kita sampai ke tulang sumsum. Satu-satunya jalan adalah iman dan penyerahan diri kepada kekuasaan Hyang Widi, karena hanya kekuasaan Hyang Widi yang akan mampu menundukkan nafsu dan mengendalikan nafsu dalam kedudukan yang sebenarnya, yaitu menjadi peserta dan pembantu bagi manusia. Menyerah dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada Hyang Widi dan Hyang Widi akan mengulurkan tanganNya untuk membimbing kita sehingga kita akan mampu menguasai nafsu kita sendiri.”

Retno Wilis mengangguk-angguk, sudah sering kakangnya itu menasehatkan kepadanya agar ia selalu ingat kepada Hyang Widi, selalu menyerah pasrah kepadaNya, dan iapun maklum betapa sukarnya pekerjaan pasrah yang kelihatannya hanya sepele itu. Nafsu selalu mengamuk dan berbisik agar ia tidak mudah pasrah begitu saja, nafsu selalu berusaha agar ia menjauhkan diri dari Hyang Widi.

Mereka kini tiba di sebuah pantai yang indah, penuh dengan hutan dan tebing karang yang merupakan dinding yang membendung air laut yang setiap saat bergelora. Ada pula bagian yang mengandung pasir putih yang bersih dan lembut.

"Matahari mulai terik, di sana ada pohon-pohon dan kulihat terdapat pula pohon kelapa. Mari kita mengaso di tempat yang teduh sambil mencari dawegan (kelapa muda), Retno."

Mereka lalu duduk di bawah sebatang pohon yang besar yang lebat daunnya, kemudian Retno Wilis menggunakan dua potong batu sebesar kepalan tangannya, menyambit ke arah buah-buah kelapa muda yang bergantungan di pohon. Sambitannya tepat mengenai gagang buah dan runtuhlah dua butir buah kelapa muda.

Retno Wilis lalu menggunakan jari-jari tangannya yang mungil dan halus itu, dengan mudahnya ia mengupas kulitnya seperti orang mengupas kulit pisang saja, kemudian dengan telunjuknya ia melubang buah-buah itu dan memberikan sebutir kepada kakaknya. Bagus Seta tersenyum melihat ulah adiknya dan keduanya lalu minum buah kelapa muda itu dengan nikmat sekali.

Mereka berdua tidak tahu bahwa di seberang hutan itu terdapat sebuah dusun nelayan dan di dusun itu terjadi peristiwa yang menggegerkan penduduk. Pagi itu, entah dari mana datangnya, muncul lima orang laki-laki yang berwajah bengis, bertubuh kokoh kekar di dusun itu. Mereka lalu menghampiri rumah Ki Wirodemung, sesepuh dusun itu yang oleh penduduk sudah dianggap pemimpin mereka. Lima orang itu dengan sikap kasar memasuki rumah dan menanyakan di mana adanya tuan rumah. Beberapa orang pemuda yang kebetulan berada di situ menegur para tamu yang tidak sopan itu, akan tetapi seorang di antara mereka sudah meloncat ke depan dan menghajar empat orang pemuda itu dengan kaki tangannya. Empat orang pemuda itu mencoba melawan, namun sia-sia karena orang itu ternyata kuat dan tangkas sekali.

Pada waktu itu, dusun sedang sepi karena kaum prianya sebagian besar sudah berangkat bekerja di ladang, sebagian lagi pergi mencari ikan di laut. Ki Wirodemung yang sudah berusia limapuluh tahun itu tergopoh-gopoh keluar mendengar keributan di depan rumahnya. Dia melihat empat orang pemuda babak belur dihajar seorang bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Dia menghampiri lima orang itu dan bertanya,

"Eh, Kisanak, andika sekalian siapa dan dari manakah? Perlu apa mencari saya dan mengapa pula memukuli orang-orang ini?"

Seorang di antara mereka, yang berkumis melintang, melangkah maju dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.

"Ha -ha-ha, andika yang bernama Ki Wirodemung? Kami mendengar bahwa andika orang yang terkaya di dusun ini, dan lebih dari itu, andika mempunyai seorang anak perawan ayu. Nah, untuk itulah kami datang. Serahkan harta dan anak perawanmu kepada kami dengan baik-baik agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" Empat orang kawannya tersenyum menyeringai dengan sikap menakutkan.

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap mereka, Ki Wirodemung mengerutkan alisnya dan cepat dia berlari ke sudut ruangan depan lalu dengan gencar memukul kentongan bambu yang tergantung di s itu. Lima orang itu saling pandang sambil tertawa-tawa. Sebentar saja banyak orang datang berlarian dan kurang lebih duapuluh orang laki-laki penduduk dusun itu yang kebetulan belum pergi meninggalkan rumah, sudah datang berkumpul. Melihat penduduk sudah berdatangan, Ki Wirodemung menuding ke arah lima orang itu dan membentak,

"Orang-orang kurang ajar, lekas kalian minggat dari sini kalau tidak ingin kami hajar!"

Melihat duapuluh orang penduduk itu berkumpul dan kini mengepung mereka, si kumis melintang tertawa lagi bergelak.

"Ha-ha-ha, kalian penduduk dusun bodoh hendak melawan kami, Lima Macan Hutan Suro? Apa kalian ingin mampus?"

Ki Wirodemung sudah menyambar sebatang tombak dari ruangan depan dan menudingkan telunjuknya kepada si kumis melintang dan berteriak,

"Saudara-saudara, mereka berlima adalah perampok-perampok jahat, mari kita basmi mereka!"

Orang-orang dusun itu memang sudah membawa alat apa saja untuk dapat dijadikan senjata ketika mereka mendengar kentongan dipukul tanda bahaya tadi. Kini mereka mengacungkan arit, pecok, linggis atau pacul dan menyerbu ke arah lima orang itu. Akan tetapi, lima orang itu menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan sambil tertawa-tawa dan ternyata mereka itu kuat bukan main. Senjata para penduduk dusun terlepas dari pegangan dan beterbangan disusul tubuh mereka yang terlempar berpelantingan terkena pukulan dan tendangan lima orang yang menyebut diri sebagai Lima Macan hutan Suro itu. Dalam waktu singkat saja, duapuluh orang itu sudah roboh semua termasuk Ki Wirodemung yang tombaknya patah dan mukanya bengkak membiru terkena pukulan tangan si kumis melintang.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 002
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment