Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 003

**** BACK ****

Kerajaan Jenggala baru saja pulih dari kekacauan ketika rajanya dipengaruhi orang-orang jahat. Raja baru diangkat, yaitu Pangeran Sigit dengan permaisuri Setyaningsih. Setelah menjadi Raja Jenggala Pangeran Sigit menggunakan nama julukan yang panjang, yaitu : Sri Samarotsaha Karnakeshana Dharmawangsa Kirtisinga Jayantaka-tunggadewa!

Biarpun raja baru ini berusaha keras untuk memulihkan kejayaan Jenggala, namun luka oleh perang saudara itu terlalu parah sehingga keadaan Jenggala menjadi lemah. Bahkan banyak para adipati di daerah-daerah, terutama daerah selatan, melepaskan diri dari pengaruh Jenggala dan tidak mengakui kekuasaan Jenggala lagi.

Karena maklum bahwa kekuatan Jenggala sudah mulai surut, Sang Prabu lalu mohon bantuan dari Kerajaan Panjalu, di mana yang menjadi rajanya adalah Sri Dayawarsha Digjaya Sastraprabu. Yang menjadi patih dari Kerajaan Panjalu adalah Ki Patih Tejolaksana. Panjalu mengirim bantuan dan dengan bantuan Panjalu yang memiliki banyak senopati yang sakti, barulah Jenggala dapat memulihkan kembali kedaulatannya atas kadipaten-kadipaten itu. Namun sejak itu, Jenggala tergantung kepada Panjalu yang menjadi semakin besar, kuat dan makmur.

Akan tetapi perang saudara itu membuat Panjalu juga kehilangan banyak daerah yang dipimpin oleh adipati-adipati. Memang banyak yang telah dikuasai kembali, akan tetapi di bagian timur, seperti Nusabarung, Blambangan dan lain-lain telah memisahkan diri dan tidak mengakui kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Mereka menyusun kekuatan dan siap sedia untuk perang melawan dua kerajaan bersaudara itu. Blambangan sendiri menjadi kuat karena memperoleh dukungan dari Bali-dwipa.

Pada suatu sore, Patih Tejolaksono sedang berbincang-bincang dengan kedua isterinya, yaitu Ayu Chandra dan Endang Patibroto. Mereka duduk di dalam taman bunga di belakang gedung tempat tinggal mereka di Kepatihan Anom karena Tejolaksono diangkat menjadi Patih Anom yang membantu pekerjaan Patih Sepuh yang bernama Suryoyudo.

"Aku mendengar di timur terjadi pergolakan, kakangmas. Kenapa kakangmas tidak diutus Sang Prabu untuk memadamkan api pemberontakan di sana?" tanya Endang Patibroto kepada suaminya, Patih Tejolaksono.

"Sang Prabu belum memberi perintah, diajeng. Dan menurut keterangan kakang Patih Suryoyudo, Sang Prabu memang hendak melihat dulu perkembangan di daerah Blambangan dan kadipaten-kadipaten di ujung timur itu. Kalau mereka tidak mengadakan serangan melanggar perbatasan, maka kitapun tidak bergerak, akan tetapi kalau mereka mengadakan pengacauan di daerah perbatasan, barulah kita akan memukulnya. Sang Prabu berpendapat bahwa perang baru saja selesai dan perlu memberi istirahat kepada pasukan."

"Akan tetapi kalau dibiarkan saja Blambangan, Nusa Barung dan yang lain-lain itu bergolak dan tidak mengakui kekuasaan Panjalu dan Jenggala, berarti Panjalu akan kehilangan kedaulatannya. Kalau menurut aku, sebaiknya digempur saja mereka itu. Sebaiknya memadamkan api sebelum menjalar dan menjadi besar. Bukankah begitu, mbak-ayu Ayu Chandra?"

"Aku sendiri tidak tahu, diajeng Endang Patibroto. Kita kaum wanita bagaimana dapat mencampuri urusan pemerintahan."

"Ah, mana bisa begitu! Biarpun kita ini wanita, namun kita dapat berperan besar dalam pemerintahan. Kalau untuk menghadapi para pengacau, aku sendiripun sanggup untuk menanggulangi," kata Endang Patibroto.

Wanita yang berusia kurang dari limapuluh tahun ini masih tampak cantik jelita dan gagah, berbeda dengan Ayu Chandra yang tampak anggun dan lembut.

Patih Tejolaksono yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, tersenyum. Wajahnya yang tampan gagah itu tampak jauh lebih muda ketika dia tersenyum lebar. Matanya bersinar tajam dan sikapnya lembut, namun dagunya yang berlekuk itu membayangkan kekuatan yang pantang mundur.

"Diajeng Endang Patibroto. Agaknya kehidupan yang makmur dan tenteram ini tidak dapat kaunikmati. Apakah andika lebih senang kalau terjadi pertempuran di mana andika dapat berkiprah melawan musuh?"

Endang Patibroto memandang suaminya dengan sinar mata tajam. Suaminya dapat menyelami jiwanya. Ia memang seorang wanita ksatria yang keras hati dan suka akan pertempuran.

"Sesungguhnyalah, kakangmas. Kehidupan penuh damai ini membuat hatiku gelisah. Aku teringat akan anak kita. Kemana perginya Retno Wilis dan bagaimana keadaannya sekarang? Aku khawatir sekali.”

"Mengapa engkau khawatir, diajeng? Retno Wilis pergi bersama kakaknya, Bagus Seto dan aku yakin Bagus Seto akan mampu menjaga dan melindunginya."

"Hemm, tanpa perlindunganpun Retno Wilis mampu untuk menjaga diri sendiri. Aku tidak khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya. Hanya aku khawatir kalau-kalau ia tidak mau kembali kepada kita. Aku sudah rindu kepadanya dan aku ingin sekali pergi merantau dan mencarinya. Sungguh tidak enak sekali rasa hati ini kalau diam menanti saja tanpa mengetahui kapan ia akan pulang."

Patih Tejolaksono menghela napas panjang. Dia mengenal betul isterinya yang satu ini. Ia seorang petualang dan hanya kalau hidupnya menghadapi penuh tantangan ia dapat merasa senang.

"Akan tetapi ke mana engkau akan mencari kedua orang anak kita itu, diajeng? Engkau tidak tahu ke mana mereka pergi, ke selatan atau utara, timur atau barat. Lalu engkau hendak menyusul ke mana?"

"Akan kucari jejak mereka dan aku yakin akhirnya aku akan dapat menemukan mereka."

"Aku juga akan merasa bahagia sekali kalau puteraku Bagus Seto mau pulang ke sini, diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau kedua orang anak itu menolak kauajak pulang?"

"Kalau mereka menolak, aku akan menemani mereka merantau. Aku memang suka merantau dan mengalami hal-hal yang hebat!" kata Endang Patibroto sambil tersenyum. "Bagaimana, kakangmas? Engkau tidak keberatan kalau aku pergi mencari mereka, bukan?"

"Kalau memang itu yang kaukehendaki, diajeng, tentu saja aku tidak berkeberatan. Akan tetapi tentukanlah waktunya, sampai berapa lama engkau mencari mereka agar hatiku tidak gelisah memikirkan kalian bertiga."

"Aku akan mencari mereka, berilah waktu setahun, kakangmas. Dalam waktu setahun, bertemu dengan mereka atau tidak, aku tentu akan pulang."

"Sayang aku tidak dapat menyertaimu mencari mereka, diajeng. Di sini aku terikat oleh kedudukan dan pekerjaanku."

"Akupun pergi bukan percuma, kakangmas. Sambil mencari dua orang putera kita, aku juga akan menyelidiki daerah-daerah yang sedang bergolak. Siapa tahu jejak anak-anak kita itu menuju ke timur, sehingga aku dapat menyelidiki dan mencari mereka di daerah timur, sekalian menyelidiki keadaan di Nusabarung dan Blambangan.”

"Sebaiknya engkau mencari mereka di daerah Jenggala dulu, diajeng. Siapa tahu mereka berada di sana, dan engkau sekalian menengok adikmu Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala."

"Tentu aku akan singgah di sana kakangmas."

Demikianlah, setelah mendapat perkenan suaminya, dengan girang Endang Pati Broto lalu berkemas dan tiga hari kemudian berangkatlah wanita perkasa ini meninggalkan kota raja Panjalu. Ia berpakaian ringkas dan tidak membawa senjata. Wanita ini memiliki banyak ilmu kedigdayaan yang cukup untuk melindungi dirinya, maka ia tidak membawa senjata apapun. Sebuah buntalan digendongnya di punggung, buntalan berisi pakaian dan bekal uang untuk biaya perjalanannya. Endang Patibroto ini di waktu mudanya banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya bertanding. Di antara ilmu-ilmunya yang terampuh adalah pukulan-pukulan Aji Gelap Musti, Aji Pethit Nogo dan Wisangmolo. Selain itu ia mempunyai pula Aji Bayutantra yang membuat ia dapat bergerak cepat sekali dan berlari cepat seperti angin. Ajinya Pekik Sardulo Bairowo juga amat dahsyat karena pekik ini dapat melumpuhkan lawan, menggetarkan jantung.

Terakhir kalinya Endang patibroto bertemu dengan puterinya adalah ketika ia dan suaminya menyerang pasukan yang dipimpin oleh mendiang Bagaspati pemuja Bathara Siwa dan utusan Negeri Cola. Setelah mengalahkan musuh-musuh mereka, Retno Wilis meninggalkannya, pergi bersama Bagus Seto, berjalan menyusuri Laut Kidul menuju ke timur. Akan tetapi ia tidak pergi ke pantai Laut Kidul, melainkan pergi ke Jenggala lebih dahulu untuk mengunjungi adiknya, Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala. Ia diterima dengan gembira oleh adiknya. Bahkan Raja Jenggala juga menyambutnya dengan gembira.

Endang Patibroto hanya dua hari tinggal di istana Jenggala dan setelah mendapat keterangan bahwa adiknya dan Sang Prabu juga tidak pernah mendengar berita tentang puterinya, iapun pergi dan kini mengunjungi pantai Laut Kidul dan mulailah ia pergi ke timur untuk mencari puterinya dan Bagus Seto.

**** 003 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 004
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment