Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 004

**** BACK ****

Kakek itu berusia kurang lebih enampuluh tahun, rambutnya yang sudah berwarna dua itu dibiarkan terjurai sampai ke punggung. Pakaiannya amat sederhana, dari kain berwarna hitam yang seperti kain melilit tubuhnya saja. Kumis dan jenggotnya panjang, juga berwarna dua. Biarpun amat sederhana, namun kakek itu tampak bersih, dari rambutnya sampai pakaiannya. Dia duduk bersila di atas sebuah dipan bambu, dan seorang pemuda bersila di atas lantai, menghadapnya.

"Jarot, hari belum sore benar engkau telah berada di rumah. Apakah pekerjaanmu di ladang telah selesai? Apakah sepetak tegalan milik kita itu telah kau paculi semua,siap untuk menanam kentang?"

"Sudah selesai semua, Bapa Bhagawan," jawab pemuda itu.

Pemuda itu berusia kurang lebih duapuluh tahun, berwajah lembut dan tampan, berkulit hitam manis, tubuhnya padat dan tegap membayangkan kekuatan. Siapakah pemuda dan kakek itu? Kakek itu adalah seorang pendeta yang mengasingkan diri di lereng Gunung Semeru, bernama Bhagawan Dewondaru, seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan hidup sebagai seorang petani biasa yang selalu mengenakan pakaian serba hitam. Usianya sudah enampuluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih tegak dan kokoh kuat, masih kuat untuk mencangkul sehari penuh selama berhari-hari.

Pemuda itu bernama Jarot, sudah kurang lebih tujuh tahun Jarot menjadi murid Bhagawan Dewondaru, mempelajari segala ilmu kesaktian sambil bekerja sebagai petani. Tujuh tahun yang lalu, Bhagawan Dewondaru menemukan Jarot dalam keadaan hampir mati hanyut di Kali Rejali yang bermata air di Lereng Semeru. Bagaimana Jarot yang ketika itu baru berusia lima belas tahun hanyut di Kali Rejali dalam keadaan hampir mati? Jarot sebetulnya adalah putera Adipati yang berkuasa di Pasisiran, yaitu daerah di pantai Laut Kidul sebelah barat pulau Nusa Barung. Jarot adalah putera yang lahir dari seorang selir, akan tetapi sejak kecil pemuda ini amat disayang oleh ayahnya. Dia seorang anak yang selain tampan dan lembut, juga amat berbakti dan patuh kepada Sang Adipati Pasisiran sehingga ayahnya ini amat menyayangnya lebih dari pada putera-putera lainnya.

Hal ini membuat putera permaisuri yang bernama Lembu Alun menjadi iri hati dan diam-diam dia membenci adik tirinya itu. Karena khawatir bahwa kelak kedudukan adipati akan diserahkan kepada Jarot setelah ayah mereka mengundurkan diri, maka Lembu Alun segera mengatur jalan sesat untuk mengenyahkan adik tirinya.

Pada suatu hari, Lembu Alun mengajak adik tirinya untuk pergi berburu binatang hutan. Jarot merasa heran sekali karena biasanya, kakaknya ini menjauhinya, bahkan bicarapun jarang kepadanya. Dari gerak gerik dan pandang matanya, dia tahu bahwa kakak tirinya itu tidak senang atau membencinya. Oleh karena itu, ajakan itu sungguh membesarkan hatinya.

“Aku girang sekali, kakangmas. Dengan siapa saja kita berburu?" tanya Jarot sambil memandang kepada Lembu Alun dengan wajah berseri.

"Ah, kita pergi berdua saja, adimas. Membawa banyak orang hanya akan mengganggu kita berburu saja. Kita pergi berdua menunggang kuda dan membawa gendewa dan anak panahmu. Aku dengar di hutan sepanjang kali Rejali di lereng Semeru terdapat banyak kijang. Aku ingin sekali makan daging kijang yang gemuk. Kita pergi berdua saja, kalau sudah mendapat satu atau dua ekor kita segera pulang. Kalau kita berangkat pagi-pagi benar, sorenya kita sudah dapat pulang.”

“Baik, kakangmas," kata Jarot dan kedua orang muda itu dengan tangkasnya lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda mereka ke luar dari kadipaten menuju ke utara, menyusuri sepanjang kali Rejali.

Dua orang muda itu melakukan perjalanan penuh kegembiraan, terutama sekali Jarot karena baru sekali ini dia diajak oleh kakaknya itu pergi berburu. Dia mulai merasa betapa keliru anggapannya bahwa kakaknya itu tidak senang kepadanya. Sekarang baru ternyata bahwa kakaknya itu baik sekali kepadanya. Setelah mereka memasuki hutan di lereng Gunung Semeru, Lembu Alun lalu melompat turun dari kudanya.

"Di sinilah tempatnya, adimas. Sebaiknya kita berjalan kaki saja karena kijang-kijang itu tentu akan melarikan diri kalau mendengar derap kaki kuda kita."

Jarot juga turun dari kudanya. Kedua ekor kuda itu ditambatkan di sebatang pohon dan kedua orang muda itu lalu mencari kijang dengan jalan kaki. Mereka menyusuri Kali Rejali dalam hutan itu. Akhirnya mereka menemukan jejak kaki banyak kijang di tepi sungai.

"Adimas, sebaiknya kita berpencar. Engkau mengambil jalan sepanjang sungai ini, dan aku akan mencari ke sebelah sana. Dengan cara berpencar, lebih banyak kemungkinan kita menemukan kijang."

“Baik, kakangmas. Aku akan mengambil jalan di sepanjang sungai ini."

"Mari kita berlumba, adimas. Siapa diantara kita yang dulu memperoleh kijang!"

Jarot tersenyum dan ikut bergembira seperti kakaknya.
"Baik, kakangmas. Akan tetapi aku tentu kalah. Siapa yang tidak tahu bahwa kakangmas adalah seorang jago panah yang terkenal di kadipaten kita? Akan tetapi siapa tahu, aku akan lebih dulu bertemu dengan kijang."

Mereka lalu berpencar. Lembu Alun menyusup-nyusup di antara alang-alang dan menghilang ke tengah hutan. Jarot juga berindap-indap mengintai kalau-kalau ada kijang di sebelah depannya. Akan tetapi sudah sejam dia bergerak maju berindap-indap, belum juga tampak bayangan seekorpun kijang. Dia mulai merasa khawatir. Mungkin kakaknya kini telah merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya! Jarot merasa gerah. Melihat air Kali Rejali yang jernih itu, dia tertarik lalu menuruni tebing sungai. Dia lalu mencuci mukanya. Terasa segar dan sejuk sekali ketika air membasahi muka, leher dan lengannya. Pada saat itulah, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri sekali. Sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot mengeluh lalu roboh terpelanting ke dalam sungai. Dia pingsan dan perlahan-lahan tubuhnya hanyut oleh air sungai itu.

Dalam keadaan seperti itulah Bhagawan Dewondaru menemukannya, hanyut pingsan di Kali Rejali. Orang tua itu segera menolongnya dan membawanya pulang ke pondoknya di lereng yang lebih tinggi. Dengan penuh kasih dia mengobati dan merawat Jarot sampai pemuda itu sembuh dan sehat kembali.

Setelah kesehatannya pulih kembali, Bhagawan Dewondaru lalu bertanya mengapa dia sampai hanyut di sungai dengan sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot lalu bercerita.

"Saya sedang berburu kijang bersama kakak saya, Bapa. Karena merasa gerah, saya turun ke sungai dan membasahi muka dan leher saya. Pada saat itulah saya merasa nyeri sekali di punggung saya dan selanjutnya saya tidak ingat apa-apa lagi. Setelah saya sadar, ternyata saya telah berada di sini, mendapat pengobatan dan perawatan dari Bapa. Atas budi pertolongan Bapa, saya menghaturkan banyak te rima kasih. Kalau tidak ada Bapa yang menolong saya, tentu saya telah tewas."

"Jangan berterima kasih kepadaku angger. Akan tetapi berterima kasihlah kepada Hyang Widhi, karena Hyang Widhi yang menolongmu melalui aku yang kebetulan melihat engkau hanyut di Kali Rejali. Akan tetapi, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu, angger?"

"Saya bernama Jarot dan saya tinggal di kadipaten Pasisiran. Saya adalah putera Adipati Pasisiran, Bapa."

"Jagad Dewa Bathara ... ! Kiranya andika adalah putera Sang Adipati di Pasisiran. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat, Raden."

"Harap jangan sungkan, Bapa. Dan jangan menyebut saya raden, sebut saja nama saya. Dan siapakah Bapa yang tinggal di tempat sunyi ini?"

"Saya bernama Bhagawan Dewondaru, angger. Agaknya ketika andika membasahi muka itu, andika diserang secara menggelap oleh seseorang. Apakah andika mempunyai musuh?"

Jarot menggeleng kepalanya.
"Setahu saya tidak, Bapa Bhagawan. Saya tidak pernah bermusuhan dan agaknya di dunia ini tidak ada yang memusuhi saya."

Kakek itu mengeluarkan sebatang anak panah dan memperlihatkannya kepada Jarot.
"Apakah andika mengenal anak panah ini?"

Jarot menerima anak panah itu dan menggeleng kepalanya.
"Saya tidak mengenalnya, Bapa. Kakak saya selalu memakai anak panah dengan bulu merah, dan anak panah ini bulunya hitam. Saya tidak mengenalnya."

"Hemm, akan tetapi kenyataannya, andika diserang dan dipanah orang dari belakang. Apakah kakak andika itu sayang kepada andika?"

Ditanya begini, Jarot mengerutkan alisnya.
"Biarpun tidak sayang, akan tetapi tidak mungkin dia yang melakukannya, Bapa. Hal ini terbukti dari anak panah ini yang sama sekali bukan miliknya."

"Angger, saya tidak menyangka siapa-siapa, akan tetapi melihat keadaanmu, engkau terancam bahaya besar. Sebaiknya andika tinggal di sini untuk sementara. Kalau andika kembali ke kadipaten, saya khawatir orang yang hendak membunuh andika itu akan mengulangi lagi perbuatannya."

Jarot membenarkan pendapat kakek itu. Kalau diingat, sekarang diapun merasa bahwa banyak orang yang membenci atau tidak senang kepadanya. Kakaknya, Lembu Alun biasanya juga tidak suka kepadanya, dan ada saudara-saudara tiri yang lain. Agaknya karena ayahnya menyayangnya, maka dia dibenci orang banyak. Para ibu tirinya juga tidak suka kepadanya. Seolah hanya ayahnya dan ibunya saja yang suka kepadanya. Akan tetapi benarkah kebencian mereka demikian besarnya sehingga mereka tega mencoba membunuhnya?

"Baiklah, Bapa. Kalau Bapa tidak berkeberatan, untuk sementara saya tinggal mondok di sini. Saya akan membantu pekerjaan Bapa bertani."

"Bagus sekali, angger. Sebagai gantinya, saya akan mengajarkan ilmu-ilmu yang kiranya berguna bagimu."

Demikianlah, mulai hari itu, Jarot tinggal di pondok Bhagawan Dewondaru. Bukan untuk sementara, bahkan berlarut-larut sampai tujuh tahun! Hal ini adalah karena dengan terkejut dan juga girang sekali Jarot mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja dia tidak mau melepaskan kesempatan baik itu dan diapun bekerja dengan rajinnya di samping mempelajari ilmu-ilmu kesaktian sampai tujuh tahun lamanya!

Pada sore hari itu, dia menghadap gurunya yang bertanya kepadanya tentang pekerjaannya di ladang, yang dijawabnya bahwa tegalan mereka telah dia paculi sampai selesai.

"Bagus sekali, angger Jarot. Mulai besok pagi, andika tidak perlu bekerja di ladang lagi. Menurut pendapatku, waktumu tinggal bekerja dan belajar di sini telah habis. Besok andika harus meninggalkan tempat ini dan kembalilah ke Kadipaten Pasisiran."

Jarot terkejut sekali dan mengangkat muka memandang wajah gurunya, lalu menyembah.
"Akan tetapi, Bapa. Saya belum ingin pergi, masih ingin melanjutkan bekerja dan belajar di sini."

"Tidak, angger. Semua ilmuku sudah kuberikan kepada andika. Pula, ada pertemuan tentu ada perpisahan dan besok sudah tiba waktunya kita berpisah."

"Setidaknya, ijinkanlah saya tinggal di sini sampai selesai menanam kentang, Bapa. Saya tidak ingin melihat Bapa bersusah payah bekerja sendiri."

Bhagawan Dewondaru tersenyum.
"Sebelum andika datang, pekerjaanku adalah bertani. Setelah andika berada di sini, aku menjadi seorang tua yang menganggur dan bermalasan. Tidak, angger. Engkau harus pergi dari sini besok
karena akupun akan meninggalkan tempat ini besok."

"Kemanakah Bapa hendak pergi?"

"Aku sendiri belum tahu ke mana aku hendak merantau dan entah kapan aku kembali ke sini. Mungkin juga tidak akan kembali sama sekali karena telah mendapatkan tempat tinggal lain. Andika harus pulang ke Kadipaten pesisiran, bertemu dan berkumpul dengan orang tuamu. Sekarang andika tidak perlu khawatir lagi akan usaha jahat yang hendak membunuhmu. Andika cukup kuat untuk menjaga diri."

Jarot tidak berani membantah lagi. Dia menemukan kehidupan yang hening dan tenang di situ, menemukan kebahagiaan hidup bersama gurunya, digembleng ilmu dan juga pengetahuan tentang kehidupan. Kalau teringat betapa saudara-saudara dan para ibu tirinya seolah berebutan kekuasaan dan saling berlumba menyenangkan hati ayahnya agar kelak dijadikan pengganti adipati di Pasisiran, rasanya segan dia untuk pulang. Akan tetapi dia kalau teringat kepada ayah ibunya, hatinya sudah merasa rindu sekali kepada mereka yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun. Ingin sekali dia mengetahui, apa yang diceritakan oleh kakaknya Lembu Alun tentang kehilangan dirinya kepada ayah ibunya. Lembu Alun tentu kehilangan dirinya dan pulang seorang diri dari perburuan itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar dia mandi biarpun semalam hampir tidak tidur, dan setelah kembali ke pondok, gurunya telah bangun, bahkan telah siap untuk pergi membawa tongkatnya dan menggendong buntalan pakaiannya.

"Sepagi ini, Bapa hendak ke manakah?”

"Seperti telah kuberitahukan kemarin, hari ini aku juga akan pergi merantau. Aku berangkat dulu, angger. Kalau andika turun gunung, jangan lupa singgah di dusun Kemanggisan di selatan itu dan beritahu kepada Ki Janur bahwa pondok dan tegalan ini kuserahkan kepadanya untuk digarap. Pondok dan tegal ini menjadi miliknya sampai aku kembali ke sini, entah kapan."

"Baik, Bapa. Akan tetapi, saya mohonBapa memberitahu kepada saya, ke mana saya harus pergi kalau saya ingin berjumpa dengan Bapa."

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.
"Aku pergi menurutkan kata hati dan langkah kaki, bagaimana aku dapat tahu ke mana aku hendak pergi? Sudahlah, angger, kalau memang berjodoh, sekali waktu kita tentu akan dapat saling bertemu lagi. Selamat tinggal."

Jarot memberi hormat dengan sembah.
"Selamat jalan, Bapa, harap jaga diri Bapa baik-baik," katanya terharu. Tujuh tahun hidup bersama kakek itu, dia sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri.

Setelah Bhagawan Dewondaru pergi, barulah Jarot berkemas. Dia juga membungkus pakaiannya dengan sarung dan menggendong juntaian itu diatas punggungnya, kemudian setelah beberapa lamanya dia memandang pondok dan sekitarnya yang telah amat dikenalnya itu, diapun membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar menuju ke dusun Kemanggisan. Dusun ini merupakan satu-satunya dusun di mana dia bertemu dengan manusia-manusia lain, yaitu kalau berbelanja segala keperluan mereka. Ki Janur adalah seorang penduduk dusun yang kadang diminta bantuannya menggarap tegal, seorang laki-laki yang tulus dan jujur, dan yang hidup menduda tanpa anak. Setelah tiba di dusun Kemanggisan, Jarot menemui Ki Janur dan menyampaikan pesan gurunya. Ki Janur menerimanya dengan senang karena tegalan milik Bhagawan Dewondaru merupakan tegalan yang subur sekali.

"Terima kasih, denmas, akan saya urus baik-baik tegal dan pondok itu," katanya.

Setelah menyampaikan pesan gurunya, Jarot lalu menuruni lereng Semeru menuju ke selatan, menyusuri sepanjang Kali Rejali yang mengalir ke selatan. Muara air Kali Rejali itu berada di pinggir Kadipaten Pasisiran.

**** 004 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 005
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment