Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 005

**** BACK ****

Malam itu gelap gulita. Angin malam berhembus lesu sehingga awan gelap yang menutupi bintang-bintang di langit tetap menyelubungi Kadipaten Pasisiran dalam kegelapan yang pekat. Orang-orang enggan ke luar rumah karena gelap dan dinginnya. Apalagi malam itu adalah malam Jumat Kliwon yang dianggap malam yang khas bagi roh-roh jahat gentayangan mencari korban.

Akan tetapi dua orang pemuda agaknya tidak memperdulikan malam yang menyeramkan itu. Mereka bahkan keluar dari batas kota Kadipaten Pasisiran dan menuju keselatan, ke pantai Laut Kidul. Di pantai yang curam terdapat guha-guha yang besar dan jalan menuju ke guha-guha itupun merupakan jalan yang berbahaya. Namun, dua orang itu kini memegang obor dan menuruni tebing yang curam itu.

Akhirnya mereka tiba di tempat yang dituju. Mereka berhenti di depan sebuah guha besar dan menancapkan obor mereka di kanan kiri depan guha sehingga menerangi dalam guha itu. Di dalam guha, di atas sehelai tikar, duduk seorang kakek yang menyeramkan. Rambutnya panjang dan gimbal, matanya bundar dan besar, hidungnya pesek dan mulutnya yang lebar itu menyeringai seperti mulut seekor srigala yang kelaparan. Mata yang besar itu mencorong seperti mata harimau ketika terkena cahaya dua batang obor itu. Pakaiannya seperti baju pendeta yang longgar dan panjang, berwarna kuning. Ketika melihat dua orang laki-laki muda itu maju, berlutut dan menyembah kepadanya, kakek ini tertawa bergelak.

"Hoa ha-ha, mengapa kalian datang malam-malam begini, Lembu Alun dan Lumbu Tirta. Bukankah sudah cukup aku memberi pelajaran ilmu-ilmu itu kepada kalian? Dan kapan kalian akan mengajak aku ke kadipaten menduduki pangkat sebagai Penasihat Kadipaten?"

"Ampunkan kami kalau mengganggu, Bapa Guru. Kedatangan kami ini ada hubungannya dengan pertanyaan terakhir itu. Sampai sekarang, ayah kami belum juga menentukan pilihannya untuk mengangkat seorang di antara kami para puteranya menjadi calon Adipati. Agaknya ayah kami masih terus memikirkan adimas Jarot yang lenyap tujuh tahun yang lalu. Karena itu, kami mohon keterangan dari Bapa Guru, apakah Dimas Jarot itu masih hidup?"

"Tunggu sebentar, akan kubuat perhitungan. Namanya Jarot? Akan kuminta Perewangan untuk memberi petunjuk."

Setelah berkata demikian, kakek yang duduk bersila itu lalu menyilangkan lengan depan dada, mulutnya berkemak-kemik membaca mantram. Tak lama kemudian tiba-tiba saja tubuhnya menjadi kaku, kedua tangannya mencakar-cakar udara, berkelojotan seperti orang sekarat dan mulutnya yang berbuih itu mengeluarkan suara melengking seperti suara seorang nenek-nenek.

"Kau tanyakan tentang Si Jarot? Hi-hi-hi-hik, dia masih hidup, bahkan dia menjadi ancaman besar bagi kalian. Hi-hihi aduh panas ... kalian jaga baik-baik, dia panas ... !" Kakek itu berhenti berkelojotan dan mengusap buih dari mulutnya.

"Kalian mendengar sendiri dari Perawangan tadi? Jarot masih hidup, bahkan menjadi ancaman besar bagi kalian. Dan agaknya dia itu tidak boleh dipandang ringan, kalau dia panas itu berarti pemuda itu memiliki kesaktian yang patut diperhitungkan."

"Kalau begitu, kita harus bekerja secepatnya, Bapa Guru. Sebelum Jarot muncul, ayah kami harus disingkirkan dulu. Kalau ayah meninggal, aku sebagai putera permaisuri pasti akan diangkat menjadi penggantinya. Dan kalau aku sudah menjadi adipati, tentu Bapa Guru akan kami boyong ke Kadipaten Pasisiran. Kalau Jarot muncul setelah aku menjadi Adipati, dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi."

"Hemm, itu mudah. Akan tetapi engkau harus menyediakan syaratnya. Sehelai bajunya yang bekas dipakai dan belum dicuci, beberapa helai, sedikitnya tujuh helai rambutnya, lalu hari dan pasaran apa dia dilahirkan. Karena hanya pada hari tertentu itu maka seranganku akan dapat berhasil. Dan kalau dia sudah jatuh sakit, engkau harus berusaha agar dia mau minum air yang sudah kuisi dengan kekuatan mantram. Nah, sediakan semua syarat itu secepatnya, dan pergilah dari sini, tinggalkan aku yang sedang menikmati malam Jumat Kliwon yang angker ini."'

Dua orang muda itu adalah putera-putera Adipati di Pasisiran yang bernama Lembu Alun dan Lembu Tirta, putera dari permaisuri. Seperti kita ketahui, Lembu Alun adalah kakak tiri Jarot yang dulu mengajak Jarot pergi berburu kijang. Sekarang dia telah berusia duapuluh lima tahun dan Lembu Tirta berusia duapuluh tiga tahun. Ketika dulu Lembu Alun pulang seorang diri sambil menuntun kuda tunggangan Jarot, pemuda ini sambil menangis memberitahu kepada ayah bundanya bahwa Jarot telah lenyap.

"Kami berpencar untuk memburu kijang, akan tetapi setelah saya cari-cari, adimas Jarot telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Sudah saya panggil-panggil dan cari-cari namun dia tidak muncul. Terpaksa karena hari sudah sore saya pulang sendirian."

Tentu saja ibu Jarot dan juga Adipati Pasisiran menjadi terkejut dan khawatir sekali mendengar keterangan Lembu Alun yang diceritakan sambil menangis itu. Sang Adipati lalu mengerahkan pasukan untuk mencari Jarot. Seluruh hutan itu telah-dijelajahi dan malam itu juga mereka mencari-cari namun sia-sia. Setelah tiga hari tiga malam mencari tanpa hasil, akhirnya mereka pulang ke kadipaten dengan lesu dan sedih.

"Tidak, tidak mungkin Jarot mati!" teriak Sang Adipati dengan penuh duka dan khawatir, "kalau dia mati tentu dapat ditemukan jenazahnya."

Sampai tujuh tahun lamanya, Sang Adipati walaupun terendam dalam duka, agaknya masih belum melepaskan harapannya bahwa Jarot masih hidup dan sewaktu-waktu akan muncul di depannya. Sikap ayahnya ini membuat hati Lembu Alun khawatir sekali. Diapun sangsi apakah Jarot telah tewas. Kenapa mayatnya tidak ditemukan? Andaikata mayat itu hanyut di Kali Rejuli pun tentu akan dapat ditemukan oleh para pencari itu. Dia sendiri menjadi ragu-ragu. Dan sikap ayahnya yang masih mengharap-harapkan kembalinya Jarot itu, makin menggelisahkan karena dia tahu bahwa kalau Jarot muncul, tentu pemuda itu yang akan ditunjuk sebagai pengganti ayahnya.

Lima tahun yang lalu, dia dan adiknya, Lembu Tirta secara tidak sengaja bertemu dengan Wasi Surengpati, kakek yang menyeramkan di dalam guha itu. Setelah mengetahui bahwa Wasi Surengpati adalah seorang pertapa yang sakti, kedua orang muda ini lalu minta untuk diterima sebagai murid. Wasi Surengpati mau menerima mereka menjadi murid asalkan mereka berjanji kelak mengangkatnya menjadi sesepuh atau penasihat di Kadipaten Pasisiran. Setelah kedua orang pemuda itu menyanggupi dan memberi hadiah apa saja yang diinginkan kakek itu merekapun diterima menjadi murid dan menerima beberapa macam ilmu kanuragan yang membuat mereka menjadi semakin sombong.

Dan pada malam hari itu, mereka merencanakan agar cepat-cepat Lembu Alun diangkat menjadi adipati dengan cara melenyapkan atau membunuh ayah mereka sendiri melalui ilmu hitam yang akan dilaksanakan oleh guru mereka! Betapa kejinya! Di antara segala daya tarik yang amat kuat dan membuat manusia saling berebutan, bahkan tidak segan-segan melakukan segala daya yang licik dan kotor untuk memperoleh adalah KEKUASAAN. Semua orang berpendapat bahwa hanya kekuasaan yang dapat membahagiakan mereka.

Kalau ada kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti tercapai! Kekuasaan dapat membuat mereka dipuja dan disembah orang lain, dan dapat membuat mereka hidup kaya raya, mewah dan mulia! Kekuasaan dapat membuat orang mabok dan bertindak sewenang-wenang, karena kekuasaan selalu menjadi milik yang menang, dan kalau sudah berkuasa, maka apapun yang dilakukannya adalah baik dan benar! Maka tidak heran kalau Lembu Alun yang haus akan kekuasaan itu, demi mendapatkan kedudukan Adipati, tidak segan-segan mencoba membunuh adik tirinya dan kini bahkan tidak segan-segan membunuh ayah kandungnya sendiri. Orang-orang yang berpendirian demi kian, yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri mengejar kekuasaan dengan segala cara, orang demikian itu sama sekali lupa bahwa di atas segala macam kekuasaan ada KEKUASAAN MUTLAK yaitu kekuasaan Tuhan!

Betapapun tinggi kekuasaan seorang manusia, dia tidaklah kebal terhadap kesengsaraan, terhadap duka, kecewa, putus asa, penyakit dan kematian! Terutama sekali menghadapi penyakit dan kematian, kekuasaan sedikitpun tidak dapat menolongnya. Dia akan tetap merintih-rintih kesakitan dikala sakit dan menghembuskan napas terakhir apabila ajal tiba. Dia tidak tahu bahwa makin besar kekuasaannya, makin lemahlah dia terhadap segala uji dan coba. Hanya orang bijaksana saja yang tidak haus kekuasaan secara wajar, diapun tidak mabok karenanya, bahkan dia menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan nusa dan bangsa, manusia dan dunia.

Sebelum kedua orang bersaudara ini sempat menyerahkan syarat-syarat yang diminta oleh Wasi Surengpati, pada keesokan harinya, menjelang senja, Lembu Alun danLembu Tirta sedang berjalan-jalan di luar pintu gerbang kota sebelah utara. Tiba-tiba di luar pintu gerbang mereka melihat seorang pemuda yang melangkah lebar kearah pintu gerbang. Keduanya terbelalak dan Lembu Alun cepat memberi isyarat kepada adiknya dan keduanya segera melangkah lebar menyambut pendatang itu. Setelah mereka berhadapan, pemuda itu memandang mereka dengan wajah berseri dan segera menegur mereka.

"Kakangmas Lembu Alun dan kakangmas Lembu Tirta!" Pemuda yang bukan lain adalah Jarot itu segera menghampiri semakin dekat.

Akan tetapi kedua orang muda itu memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata marah. "Siapa andika, berani menegur kami begitu saja?" tanya Lembu Alun dengan suara ketus.

"Kakangmas Lembu Alun. Sudah lupakah kepadaku? Aku Jarot, adikmu!"

"Jarot? Tidak mungkin! Jarot sudah mati dan lenyap tujuh tahun yang lalu! Andika hanya mengaku-ngaku saja, andika orang palsu!"

"Kakangmas Lembu Alun! Ini aku, Jarot. Aku masih hidup dan baru hari ini aku pulang."

"Aahh, Jarot sudah mati tidak mungkin hidup kembali. Andika orang jahat yang berpura-pura menjadi adik kami!" kata Lembu Tirta. "Kakangmas Lembu Alun, kita hajar saja orang palsu ini!"

Dua orang itu lalu menerjang maju dan memukul Jarot. Jarot terkejut sekali, bukan saja melihat betapa dua orang kakaknya tidak mengenalnya dan menyerangnya, terutama sekali melihat cara mereka menyerang menggunakan aji kekuatan yang cukup dahsyat! Dari mana kedua kakaknya memiliki kekuatan dahsyat seperti itu.

"Wuuuuuuttt ... ! Wuuuuuuuut ... !!"

Jarot cepat mengelak dengan lincahnya sehingga pukulan kedua orang itu luput. Kini kedua orang itu yang menjadi kaget dan heran. Mereka telah menyerang dengan Aji Samber Nyawa, yang sekali pukul dapat membunuh lawan. Akan tetapi dengan mudah saja Jarot dapat mengelak dari dua pukulan mereka! Padahal dahulu Jarot hanya pernah mempelajari ilmu kanuragan yang biasa saja, sama dengan mereka sebelum menjadi murid Bhagawan Dewondaru. Akan tetapi keheranan ini tidak menghentikan kemarahan mereka. Mereka lalu menerjang dan menyerang lagi dengan lebih dahsyat. Melihat ini, terpaksa Jarot menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Dukk ... ! Dukk ... !" Dua orang kakak beradik itu terpental ke belakang dan terhuyung! Mereka menjadi semakin kaget dan penasaran sekali.

"Kakangmas Lembu Alun dan kakangmas Lembu Tirta. Ingatlah, ini aku Jarot, bukan musuh kalian. Aku telah kembali dan mari kita menghadap Kanjeng Romo dan kanjeng ibu."

Akan tetapi Lembu Alun sudah mencabut kerisnya dan membentak kepada adiknya,
"Lembu Tirta, kita bunuh manusia palsu ini!" Dia lalu menyerang lagi menggunakan kerisnya dan perbuatannya ini segera diturut oleh Lembu Tirta yang juga menyerang dengan kerisnya. Jarot cepat mengelak dari tusukan kedua batang keris itu. Keris-keris itu menyambar lagi dan sampai lima enam kali Jarot mengelak.

"Kakangrnas berdua, hentikan serangan kalian. Aku Jarot tulen, bukan palsu. Aku adik kalian!" berulang kali Jarot membujuk mereka, akan tetapi kedua orang itu menyerang semakin ganas, keris mereka berkelebatan menyambar-nyambar.

Jarot maklum bahwa tidak mungkin dia mengelak terus, maka ketika melihat betapa mereka itu benar-benar tidak mau mendengarkan bujukannya, dia lalu menggerakkan kedua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga sakti. Tangkisannya mengena pergelangan tangan kanan mereka dengan kuat sekali.

"Dukk ... dukkk ... !!" Dan kedua orang bersaudara itu tidak dapat mempertahankan keris mereka yang terlepas dari tangan mereka yang terasa lumpuh!

Mereka terbelalak, maklum bahwa mereka tidak mampu menandingi Jarot yang kini demikian digdayanya. Mereka lalu memungut keris mereka dan lari memasuki kota, terus menuju ke pintu gerbang kota sebelah selatan dan terus berlari menuju ke pantai Laut Kidul.

Jarot tidak mengejar mereka, hanya merasa heran sekali mengapa kedua orang kakaknya begitu keras hendak membunuhnya. Benarkah mereka itu tidak mengenalnya lagi? Begitu besarkah perubahan pada dirinya sehingga mereka tidak mengenalnya? Jarot tidak memperdulikan mereka lagi dan langsung saja dia melangkah menuju ke Kadipaten.

Hatinya merasa terharu juga ketika dia berdiri di halaman kadipaten yang telah dikenalnya sejak dia kecil itu. Bahkan dia tahu bahwa pada saat senja seperti itu, para ibunya dan para putera-puteri berkumpul di ruangan dalam berbincang-bincang. Dia mengira-ira apakah namanya disebut dalam percakapan mereka itu. Mungkin tidak lagi. Sudah terlalu lama dia meninggalkan mereka. Mungkin mereka sekarang sudah lupa, seperti dua orang kakaknya tadi. Perasaan kecewa mengalir masuk ke dalam hatinya. Akan tetapi segera diusirnya perasaan ini dengan kesadaran bahwa yang bersalah adalah dia sendiri. Dia meninggalkan mereka selama tujuh tahun tanpa pamit.

Seorang tukang kebun menghampirinya, sapu lidi panjang di tangan kanan. Biarpun cuaca sudah agak remang, Jarot masih mengenal baik tukang kebun ini. Ki Sambung, tukang kebun yang kini berusia empat puluh tahun itu. Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya untuk menguji apakah tukang kebun ini juga lupa kepadanya. Padahal dahulu, di waktu dia masih kecil, sering sekali dia mengajak tukang kebun itu bermain-main. Ketika tukang kebun sudah tiba dekat di depan Jarot, tiba-tiba dia terbelalak, mulutnya ternganga dan gagang sapu yang dipegangnya terlepas dari tangannya, lalu dia mengamati wajah Jarot dan akhirnya dia berseru dengan suara terputus-putus,

"Den mas Jarot ... ? Tapi ... tapi ... benarkah andika denmas Jarot yang sudah hilang demikian lamanya?"

Bukan main senang dan lega rasa hati Jarot mendengar seruan ini. Ki Sambung tidak lupa kepadanya, berarti bahwa tidak banyak perubahan terjadi atas dirinya! Jarot tertawa,

"Ha-ha, paman Sambung, kiranya andika tidak lupa kepadaku? Aku memang Jarot, tulen dan bukan setannya!"

"Denmas Jarot ... ! Ah, sekian lamanya ini, andika pergi ke mana sajakah, denmas? Semua orang mengharapkan kedatangan denmas!" Dan seperti seorang anak kecil, tukang kebun itu lalu berlari ke dalam gedung sambil berteriak-teriak.

”Denrnas Jarot datang ... ! Denmas Jarot telah pulang ... !!"

Mendengar teriakannya berulang-ulang itu, para pelayan yang berada di serambi depan sudah berlari-lari keluar ke pekarangan dan mereka semua menyambut Jarot dengan wajah ceria dan senyum gembira. Tak lama kemudian, Sang Adipati sendiri keluar diikuti oleh para isteri, putera dan puterinya.

"Jarot, anakku ... !" Ibu Jarot berlari ke depan dan menubruk puteranya. Mereka saling rangkul dan wanita itu menangis tersedu-sedu saking gembiranya.

"Kanjeng ibu, ampunkan anakmu yang berdosa, meninggalkan kanjeng ibu tanpa pamit ... " Jarot menelan keharuannya.

"Jarot, benarkah kami tidak mimpi dan engkau yang datang ini?" Sang Adipati bertanya.

Jarot melepaskan pelukan pada ibunya dan dia lalu berlutut menyembah depan kaki ayahnya. "Kanjeng Rama, ampunkan saya, kanjeng Rama, saya telah pergi tanpa pamit selama tujuh tahun."

Sang Adipati memegang pundak pemuda itu dan berkata,
"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam."

Keluarga itu lalu memasuki gedung dan berkumpul kembali di ruangan dalam. Setelah pelayan menyuguhkan minuman dan Jarot diminta agar minum lebih dulu, Sang Adipati Kertajaya lalu bertanya kepada Jarot,

"Jarot, sekarang tiba saatnya bagimu untuk bercerita. Tujuh tahun yang lalu itu, engkau pergi berburu dengan kangmasmu Lembu Alun ... ah, ya. Di mana Lembu Alun dan Lembu Tirta? Kenapa mereka tidak berkumpul di sini?"

"Mereka sejak sore tadi pergi dan belum kembali," jawab seorang di antara para ibu selir.

"Anakku Jarot, kau lanjutkan pertanyaanku. Ketika itu engkau pergi berburu kijang dengan kangmasmu Lembu Alun, kenapa engkau lalu menghilang di dalam hutan itu sehingga kangmasmu pulang seorang diri? Kami sudah mengerahkan pasukan untuk mencarimu di daerah itu sampai tiga hari tiga malam, namun usaha kami sia-sia belaka. Apakah yang terjadi denganmu dan ke mana saja engkau menghilang?"

Dengan terus terang tanpa menuduh siapa-siapa Jarot lalu menceritakan pengalamannya tujuh tahun yang lalu.

"Ketika itu, saya dan kakangrnas Lembu Alun berpencar untuk mencari dan memburu kijang. Ketika itu saya tidak melihat seekorpun kijang dan hawanya gerah sekali maka saya lalu turun ke sungai untuk membasuh muka dan leher saya. Tiba-tiba saja saya merasa sakit sekali pada punggung saya dan selanjutnya saya tidak ingat apa-apa lagi."

Jarot berhenti sebentar dan para pendengarnya penuh perhatian dan mereka ingin sekali tahu apa selanjutnya yang terjadi dengan pemuda itu. Jarot kini berhati lega karena ternyata seluruh keluarganya mengenalnya. Dia pergi ketika berusia limabelas tahun dan pulang setelah berusia duapuluh dua tahun, namun ayahnya, ibunya dan para ibu tiri, juga saudara-saudaranya semua mengenalnya. Mengapa Lembu Alun dan Lembu Tirta tidak mengenalnya? Hal ini membuat dia teringat dan melamun.

"Selanjutnya bagaimana, angger Jarot?” tanya ibunya yang sudah tidak sabar lagi ingin mengetahui pengalaman Jarot.

"Ketika saya sadar dari pingsan, ternyata saya telah berada di dalam sebuah pondok. Kiranya ada orang yang menolong saya dan orang itu kemudian menjadi guru saya. Namanya adalah Bhagawan Dewondaru, seorang maha sakti yang bertapa di lereng Semeru. Karena ternyata kami saling cocok, saya terus berguru kepada Bapa Guru sampai tujuh tahun lamanya. Kanjeng Rama, dan kanjeng ibu, ampunkan saya yang tidak pulang selama tujuh tahun. Selama itu saya pergi menuntut ilmu dan baru sekarang saya dapat pulang."

"Tidak mengapa, engkau kini pulang sudah membahagiakan hati kami semua. Hanya lain kali, kalau hendak meninggalkan kadipaten lama-lama, harus memberitahu lebih dulu, Jarot. Engkau membuat hati kami gelisah dan putus harapan selama bertahun-tahun."

Keluarga itu lalu makan malam, dan semalam itu mereka bercakap-cakap melepas rindu sampai larut malam, barulah mereka mengaso dan tidur. Jarot mendapatkan kamarnya yang dahulu, yang masih dirawat dengan baik-baik oleh ibunya yang tidak pernah putus asa dan selalu percaya bahwa sekali waktu puteranya akan pulang.

**** 005 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 006
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment