Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 008

**** BACK ****

Nusa Barung adalah sebuah pulau di lautan Kidul yang cukup besar. Di pulau itu terdapat seorang penguasa yang menyebut dirinya Adipati Martimpang yang kekuasaannya bukan hanya di atas pulau Nusa Barung, melainkan sampai ke daratan pantai Laut Kidul. Adipati Martimpang berhasil menjadi penguasa yang berpengaruh dan ditakuti. Dia juga menghimpun pasukan yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, sebagian dari pasukannya berjaga di daratan pantai pulau Jawa bagian selatan itu. Dia juga mempunyai lima orang senopati yang terkenal gagah perkasa dan berbadan seperti raksasa.

Adipati Martimpang sendiri adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan wajahnya menyeramkan, sama sekali tidak dapat dibilang tampan. Akan tetapi dia memiliki belasan orang isteri yang cantik-cantik. Tidak mengherankan kalau dia juga mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita seperti ibunya dan diberi nama Dyah Candramanik. Gadis ini sudah berusia tujuh belas tahun dan tidak ada pemuda di Nusabarung yang tidak tergila-gila kepada puteri adipati ini.

Adipati Martimpang sendiri amat membanggakan puterinya. Akan tetapi siapakah yang berani mencoba untuk menundukkan hati Dyah Candramanik? Mereka gentar terhadap ayahnya. Karena itulah maka sampai berusia tujuh belas tahun, belum ada pria yang berani meminangnya. Tentu saja Adipati Martimpang mempunyai cita-cita besar terhadap puterinya yang dibanggakannya ini. Dia berkeinginan agar puterinya mendapatkan jodoh seorang raja yang masih muda dan yang kaya raya serta besar kekuasaannya. Atau setidaknya seorang ksatria yang sakti mandraguna dari keturunan orang terkenal. Karena itu jangan harap ada seorang pemuda biasa di Nusabarung mampu mempersunting bunga yang indah harum itu.

Untuk menguji kesaktian orang yang berani meminang, Sang Adipati mengadakan sayembara tanding. Siapa yang dapat mengalahkan seorang di antara lima orang senopatinya, yang bernama Wisokolo, dialah yang patut menjadi jodoh putrinya. Akan tetapi sebelum bertandmg melawan Wisokolo yang sakti, orang itu harus dapat menunjukkan bahwa dia putera seorang yang terkenal, pendeknya bukan pemuda keturunan orang biasa.

Karena syaratnya yang begitu berat, menandingi Ki Wisokolo, maka sampai berbulan-bulan setelah sayembara diumumkan, masih belum juga ada yang berani memasuki sayembara. Syarat itu begitu berat. Siapa yang berani menandingi Ki Wisokolo yang terkenal digdaya itu? Salah-salah tulang-tulang bisa patah-patah atau kepala bisa remuk!

Adipati Martimpang menjadi kecewa sekali, lalu menambah hadiah sayembara itu. Kalau ada orang yang lulus sayembara, bukan saja pemuda itu akan mempersunting Dyah Candramanik, bahkan akan diangkat menjadi calon adipati, menggantikan kedudukan Adipati Martimpang kalau dia sudah mengundurkan diri. Hal ini adalah sewajarnya karena sang adipati tidak mempunyai putera pria. Semua anaknya yang berjumlah tujuh orang adalah perempuan. Dyah Candramanik merupakan anak sulung dan yang paling cantik di antara saudara-saudaranya.

Berita tentang sayembara yang berhadiah besar ini tersebar luar sampai ke daerah-daerah lain. Maka berdatanganlah orang-orang muda dari segala penjuru untuk memasuki sayembara dan mengadu nasib. Mereka itu berdatangan dari Blambangan, daerah-daerah pantai utara dan timur, Probolinggo, Besuki, bahkan ada yang datang dari Madura dan Bali-dwipa!

Pada hari yang ditentukan, berkumpullah lima orang pemuda yang tampak gagah perkasa di Nusabarung, kemudian muncul pula dua orang pemuda yang tampak lemah lembut. Dua orang pemuda ini bukan lain adalah Bagus Seto dan Retno Wilis! Ketika Retno Wilis mendengar berita tentang diadakannya sayembara tanding di Nusabarung, ia segera berkata kepada kakaknya,

"Kakang Bagus, mari kita ikuti sayembara itu!"

Bagus Seto tersenyum memandang adiknya yang nakal.
"Aku tidak ingin mencari jodoh, diajeng. Untuk apa aku mengikuti sayembara itu?"

"Biar aku yang memasuki sayembara, engkau hanya menjadi penonton saja."

"Heh-heh, engkau ini aneh-aneh saja. Engkau seorang gadis, bagaimana hendak memasuki sayembara tanding yang hadiahnya seorang puteri itu? Apakah engkau ingin menikah dengan sesama wanita?"

"Tentu saja tidak, kakangmas. Akan tetapi ini merupakan kesempatan baik sekali bagi kita untuk memasuki Nusabarung. Dalam keadaan biasa kita masuk ke sana tentu akan menimbulkan kecurigaan sehingga gerakan kita kurang leluasa. Kita sudah mendengar desas-desus bahwa Nusabarung sedang bergolak dan timbul dugaan bahwa mereka hendak memberontak terhadap Jenggala. Kiranya sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelidiki keadaan di sana. Dan kesempatan ini amat baik. Kalau kita ikut menjadi peserta sayembara, tentu kita akan dapat menyelidiki dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan. Bukankah engkau pikir begitu, kakangmas?"

"Akan tetapi engkau seorang perempuan, bagaimana engkau akan ikut dalam sayembara itu, diajeng?"

"Ah, hal itu mudah saja, kakangmas. Apa sih sukarnya menjadi pria sebentar? Kan yang membedakan hanya pakaiannya saja. Aku dapat menyamar menjadi pria tentu saja dan tak seorangpun akan mengetahui akan hal itu."

"Menyamar sebagai pria? Ah, engkau nakal, diajeng."

"Bagaimana lagi kalau tidak mengambil cara itu, kakangmas? Sebetulnya, lebih baik kalau engkau yang mengikuti sayembara, akan tetapi kalau engkau tidak mau, terpaksa aku yang maju."

"Jangan main-main, diajeng. Bagaimana kalau engkau nanti mendapat kemenangan keluar sebagai pemenang dan mendapatkan hadiah puteri itu?"

"Kalau begitu, biarlah puteri itu kuhadiahkan kepadamu, kakangmas!"

"Hussh, mana boleh begitu? Aku tidak mempunyai niat sama sekali untuk menikah dan pula, mana mungkin diperbolehkan kalau si pemenang memberikan hadiahnya kepada orang lain ? Kita berdua tentu akan mendapat kesulitan."

"Kalau begitu, biar aku mengalah saja, kakangmas. Yang penting kita diperkenankan masuk tanpa dicurigai."

"Engkau dapat masuk sebagai peserta, akan tetapi aku tidak, kalau begitu sebaiknya engkau saja yang masuk untuk mengikuti sayembara, dan aku akan masuk sebagai pelancong biasa dan mengamati engkau dari jauh."

"Begitu juga boleh, kakang. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan meninggalkan aku seorang diri."

Bagus Seto kembali tersenyum dan memandang wajah adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Ah, diajeng Retno. Engkau seperti anak kecil saja. Seorang dara gagah perkasa seperti engkau ini, yang sudah biasa bertualang dan malang melintang di dunia, kenapa sekarang menjadi penakut, takut ditinggal seorang diri?"

"Aku tidak takut akan bahaya yang mengancam diriku, kakang Bagus. Aku takut kepada diriku sendiri. Dahulu aku bisa malang melintang, menurutkan kehendakku sendiri, menghancurkan mereka yang menjadi lawanku. Aku tidak mengenal apa artinya baik dan buruk, bahkan sampai sekarangpun aku masih bingung membedakan antara baik dan buruk. Aku membutuhkan bimbinganmu, kakang, maka aku takut kalau kautinggal pergi."

"Aku tidak akan meninggalkanmu sebelum tiba saatnya, Retno. Akan tetapi jangan lupa, engkau harus mengalah dalam sayembara, pura-pura kalah. Kalau engkau keluar sebagai pemenang, tentu engkau hanya akan menghadapi kesulitan, harus menikah dengan puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung."

"Aku mengerti, kakangmas. Aku akan berpura-pura kalah dan aku akan menyelidiki keadaan Nusabarung dari para peserta sayembara. Kabarnya malah ada jago dari Nusakambangan yang ikut dalam sayembara. Kalau aku dapat mendekatinya, tentu akan banyak mendengar tentang keadaan di Blambangan. Kalau benar Nusabarung bersekutu dengan Blambangan dan lain-lain kadipaten, aku harus menyelidikinya dan kelak melaporakan kepada Sang Prabu di Jenggala, juga kepada Kanjeng Romo. Aku sudah terlalu banyak mengacau dan mengganggu keamanan Panjalu dan Jenggala, maka sekarang aku harus menebus semua dosa itu. Juga aku akan membantu perjuangan kanjeng Romo."

"Bagus kalau engkau berpikiran begitu, diajeng. Nah, sekarang aku pergi, kita berpisah di sini."

"Baik, kakangmas."

Dua orang muda kakak beradik itu lalu berpisah. Sebelum berpisah Bagus Seto memberikan pakaian pria kepada Retno Wilis, kemudian pemuda itu meninggalkan adiknya. Retno Wilis lalu mencari tempat tersembunyi di dalam sebuah guha untuk berganti pakaian. Pakaiannya dan bekal pakaiannya sendiri ia sembunyikan di dalam guha itu. Setelah keluar dari dalam guha, ia berubah menjadi seorang pemuda. Akan tetapi karena baju yang dipakainya terlalu besar, ia nampak sebagai seorang perjaka remaja tanggung! Iapun berangkat menuju Nusabarung, membayar seorang tukang perahu yang mau menyeberangkannya ke pulau itu. Ia tahu bahwa kakaknya tentu juga akan menyewa perahu untuk melakukan penyeberangan ke Nusabarung.

"Anakmas, apakah andika pergi ke Nusabarung untuk menonton keramaian sayembara?" tanya tukang perahu yang setengah tua itu.

"Benar, paman," jawab Retno Wilis, membenarkan saja agar tidak lagi orang banyak bertanya. "Paman, aku melihat di pantai tadi banyak perajurit melakukan penjagaan, apakah mereka itu perajurit Nusabarung?"

Tukang perahu menghela napas panjang.
"Agaknya anakmas bukan orang sini, ini mudah diduga mendengar cara anakmas bicara dan bertanya tentang perajurit itu. Memang benar, mereka itu perajurit-perajurit dari Nusabrung yang akhir-akhir ini terdapat banyak di pantai, bahkan mereka mempunyai perkemahan di pantai. Biasanya, para petugas itu selalu memeriksa setiap orang yang hendak menyeberang ke Nusabarung, akan tetapi karena adanya sayembara itu, mereka tidak lagi memeriksa dan banyak orang pergi ke Nusabarung dibiarkan saja. Kalau lain waktu andika lewat di sini, tentu tidak lepas dari pemeriksaan mereka."

"Apa saja yang diperiksa, paman? Mengapa pula orang lewat harus diperiksa?"

"Aku sendiri tidak tahu, anakmas. Hanya kabarnya, mereka itu memeriksa untuk mencari mata-mata musuh."

Retno Wilis merasa lega bahwa ia meninggalkan pedang pusakanya di dalam guha tadi. Kalau ia membawa pedang, mungkin saja ia akan mengalami pemeriksaan oleh perajurit-perajurit tadi.

"Apakah Nusabarung mempunyai musuh, paman? Apakah mereka mau berperang?" Retno Wilis bertanya perlahan, seperti orang yang merasa takut kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.

"Aku tidak tahu, anakmas. Akan tetapi di mana-mana kini diadakan gerakan, para pria muda diharuskan masuk menjadi perajurit-perajurit."

"Diharuskan?"

"Ya, yang menolak akan dihukum berat. Bahkan ... ” tukang perahu itu mengecilkan suaranya, "... banyak wanita muda juga mereka bawa."

"Ke mana?"

"Entahlah, akan tetapi yang mereka bawa pergi itu wanita muda yang berwajah cantik."

Kini tampak banyak perahu menyeberang ke dan dari Pulau Nusabarung dan tukang perahu itu menjadi pendiam, agaknya khawatir kalau ucapannya terdengar orang lain. Setelah mendarat di Pulau Nusabarung, Retno Wilis ikut dalam rombongan banyak orang yang juga ingin nonton sayembara tanding. Mereka semua menuju ke alun-alun di depan kadipaten, di mana di dirikan sebuah panggung di mana para pengikut sayembara akan berlaga. Di alun-alun itu telah berkumpul banyak sekali orang yang hendak menonton sayembara. Retno Wilis menyelinap di antara orang banyak dan bertanya kepada seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kirinya.

"Ki sanak, apa sajakah yang dipertandingkan dalam sayembara ini?" ia bertanya sambil lalu seperti seorang penonton yang ingin tahu.

Orang itu memandang kepada Retno Wilis.
"Agaknya andika datang dari pesisir maka belum tahu akan hal itu. Pertandingan ada tiga macam. Pertama, calon pengikut harus melalui ujian tenaga, yaitu mengangkat arca raksasa yang
berada dipanggung itu."

Retno Wilis melihat sebuah arca yang sebesar manusia dewasa berdiri di atas panggung. Arca itu tentu besar sekali.

"Dan yang kedua?"

"Yang kedua ujian ketangkasan. Setiap peserta harus dapat memanah sasaran di atas itu dengan tepat. Nah, kalau seorang peserta lulus dalam dua ujian itu, barulah dia dihadapkan kepada Ki Wisokolo untuk bertanding dan kalau dia mampu bertahan menandingi Ki Wisokolo sampai hitungan ke seribu, barulah dia dinyatakan menang."

"Siapa Ki Wisokolo?"

Orang itu tersenyum seperti menertawakan pertanyaan yang dianggapnya tolol itu.
"Andika tidak mengenal Ki Wisokolo? Dia adalah senopati nomor satu di Nusabarung, jagoan yang tak pernah terkalahkan. Karena itu, siapa yang mampu menghadapinya sampai seribu hitungan, dia benar benar tangguh dan akan keluar sebagai pemenangnya."

"Ah, begitukah? Aku mendengar yang disayembarakan adalah puteri Gusti Adipati, apakah ia seorang gadis yang cantik?"

Kembali orang itu tersenyum lebar.
"Ah-ah, siapa yang tidak tergila-gila kepada Sang Dyah Ayu Candramanik? Ia cantik jelita seperti dewi dari kahyangan, kalau bernyanyi suaranya merdu melebihi burung perkutut yang paling baik dan kalau ia menari, wah, seperti bidadari."

"Siapakah yang telah mendaftarkan diri sebagai pengikut sayembara?"

“Andika lihat di sana itu, di sebelah kanan panggung. Di sanalah orang yang hendak memasuki sayembara didaftar. Nah, itu beberapa orang pria sudah mendaftar."

"Terima kasih, ki sanak," kata Retno Wilis dan iapun lalu melangkah menuju ke tempat itu.

"Hei, engkau hendak ke mana?" tanya orang tadi heran.

"Hendak mendaftarkan diri sebagai pengikut sayembara, apa lagi?" jawab Retno Wilis sambil tersenyum dan orang itu tertegun. Pemuda remaja itu memang tampan sekali. Akan tetapi dengan tubuhnya yang kecil dan tampak lemah itu bagaimana hendak mengikuti sayembara? Hampir dia tertawa membayangkan pemuda remaja itu mencoba mengangkat arca besar itu, lebih besar dari tubuh pemuda remaja itu sendiri!

Dengan langkah tegap Retno Wilis menghampiri meja di mana tiga orang perwira duduk menerima pendaftaran. Dan mereka yang sudah mendaftarkan diri sebagai pengikut sudah berkumpul di bawah panggung. Tiga orang perwira itu memandang heran kepada Retno Wilis ketika ia menghampiri meja. Mereka memandang penuh perhatian dan seorang di antara mereka bertanya.

"Orang muda, engkau mau apakah?"

"Saya hendak mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara!" jawab Retno Wilis dengan suara tegas.

Tiga orang perwira itu saling pandang lalu mereka tertawa,
"Andika? Hendak menjadi peserta sayembara? Eh, orang muda, apakah andika sudah tahu syarat-syaratnya?"

"Sudah, bukankah pertama mengangkat arca batu itu, dan kedua memanah sasaran di ujung bambu itu?"

"Benar, dan sesudah lulus dengan syarat-syarat itu, harus dapat bertahan menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan!"

"Aku sudah tahu."

"Dan andika nekat mau ikut?"

"Benar."

Tiga orang perwira itu agaknya merasa kasihan kepada pemuda remaja yang tampan ini, akan tetapi karena pemuda itu nekat, merekapun hanya menggerakkan pundak mereka.

"Siapa nama andika?" tanya seorang dari mereka yang bertugas mencatat nama-nama para peserta.

"Namaku Joko Wilis."

"Berasal dari mana?"

"Dari lereng Gunung Wilis."

"Baiklah, nama andika sudah kami catat. Tunggu di sana seperti para peserta lainnya."

Dengan girang Retno Wilis lalu menuju ke bawah panggung di mana sudah berkumpul lima orang pemuda lain. Mereka ini semua memiliki perawakan yang gagah, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Ketika lima orang itu melihat Retno Wilis menghampiri mereka ikut menunggu di situ, mereka memandang dengan terheran-heran.

"Eh, ki sanak, apakah andika juga ikut menjadi peserta sayembara?” tanya seorang di antara mereka yang mukanya penuh kumis jenggot cambang bertubuh tinggai besar dan matanya terbelalak lebar."

"Benar, ki sanak," jawab Retno Wilis sambil tersenyum.

"Ha-ha-ha-ha!" Si brewok itu tertawa sambil berdongak sehingga perutnya turun naik ketika dia tertawa. "Ah, kenapa andika begini nekat? Sayembara ini berat sekali. Baru mengangkat arca itu saja, mana andika kuat? Jangan-jangan malah arca batu itu akan jatuh menimpa tubuhmu sehingga gepeng, ha-ha-ha!" Empat orang peserta lainnya ikut tertawa.

"Jangan andika sekalian menertawakan kisanak ini. Siapa tahu di tubuhnya yang kecil tersimpan kedigdayaan yang hebat!" tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja masuk berkata. Agaknya diapun seorang peserta baru yang mendaftarkan diri sesudah Retno Wilis. Mendengar ucapan itu, Retno Wilis memandang dan ia melihat seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, tubuhnya jangkung agak kurus, wajahnya biasa saja akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam sekali. Retno Wilis memandang kepadanya dengan berterima kasih. Akan tetapi hatinya tetap merasa penasaran karena ia dijadikan bahan ejekan dan dipandang rendah. Kalau tadinya ia berniat untuk menjadi peserta yang gagal, kini ia mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepada mereka semua bahwa ia dapat mengangkat arca batu itu dengan mudah melebihi kekuatan mereka. Ia juga akan mengikuti ujian memanah sampai berhasil. Masih belum terlambat baginya untuk mundur setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo, berpura-pura kalah.

Dengan demikian ia tidak akan dicurigai dan akan dapat melakukan penyelidikan tentang Nusabarung dengan leluasa. Setelah matahari naik tinggi, pendaftaran dihentikan dan ternyata jumlah peserta yang mendaftarkan diri ada sepuluh orang. Setelah pendaftaran ditutup, terdengar bunyi tetabuhan dan muncullah Sang Adipati Martimpang bersama lima orang senopatinya dan di sampingnya berjalan isteri pertamanya dan Dyah Candramanik. Sepuluh orang peserta sayembara itu memandang kepada Dyah Candramanik dengan sinar mata kagum. Mereka berbisik-bisik memuji dan munculnya dara jelita ini membuat semangat mereka menjadi semakin besar.

Retno Wilis dalam kesempatan waktu menanti itu, secara sambil lalu memperkenalkan diri kepada para peserta. Ia tahu siapa adanya mereka itu, akan tetapi hanya si brewok tinggi besar yang sombong itu dan pemuda yang tadi membelanya yang menjadi pusat perhatiannya. Si brewok itu bernama Kalinggo datang dari Blambangan, bahkan dia mengaku sebagai putera seorang senopati di Blambangan. Adapun pemuda yang jangkung agak kurus bermata tajam itu bernama Ngurah Pranawa, seorang peserta yang datang dari Bali-dwipa. Bukan orangnya yang menarik hati Retno Wilis untuk mendekatinya, melainkan asal mereka itulah. Ia hendak menyelidiki hubungan antara Nusabarung, Blambangan dan Bali-dwipa. Ia dapat memancing pembicaraan dengan Kalinggo tentang keadaan dirinya.

"Tentu aku yang akan menangkan sayembara ini," bual si tinggi besar brewok itu. "Aku datang dari Blambangan, tentu akan mendapatkan kehormatan dan perhatian. Apalagi ayahku seorang senopati terkenal di Blambangan."

"Akan tetapi apa hubungannya antara ayahmu menjadi senopati di Blambangan dengan sayembara ini?" Retno Wilis mendesak dengan sikap sambil lalu untuk sekedar mengobrol saja.

"Hubungannya erat sekali!" kata Kalinggo. "Nusabarung membutuhkan bantuan Blambangan, maka Sang Adipati tentu akan mempertimbangkan keadaanku dan akan lebih senang bermantukan seorang putera senopati Blambangan dari pada pemuda lain! Andika lihat saja nanti!"

Retno Wilis sudah merasa puas mendengar semua itu dan tidak bertanya lagi karena ia khawatir kalau-kalau pemuda sombong itu akan menjadi curiga, ia lalu mendekati Ngurah Pranawa yang mengaku sebagai seorang pemuda dari Bali-dwipa.

"Saudara Ngurah Pranawa, andika datang jauh dari Balidwipa. Ah, sudah lama aku mendengar tentang Bali-dwipa yang indah, akan tetapi belum pernah aku berkunjung ke sana. Siapakah yang duduk menjadi raja di tempat andika?"

"Di Bali-dwipa terdapat banyak raja yang menjadi sesembahan. Adapun yang berkuasa di tempat tinggal saya adalah Ki Gusti Ngurah Jelantik yang menjadi raja muda di Telibeng."

"Andika sendiri putera siapakah?"

"Ah, saya hanya putera seorang pendeta yang tinggal di lereng bukit, dan saya memang suka merantau. Dalam perantauan di sini aku mendengar tentang sayembara ini dan mencoba untuk mengikutinya. Siapa tahu para dewata menjodohkan saya dengan puteri Sang Adipati."

"Tentu ada hubungan dekat antara para raja di Bali-dwipa dengan Nusabarung, bukankah begitu, saudara Ngurah Pranawa?"

"Aku hanya mendengar bahwa Adipati di Nusabarung suka mengirim upeti setiap tahun kepada Dalem Bali (Sribaginda Raja di Bali), tentu ada hubungan antara Bali-dwipa dan Nusabarung. Akan tetapi mengapa andika menanyakan hal itu, saudara Joko Wilis?"

"Ah, hanya ingin tahu saja karena aku merasa heran mengapa andika jauh-jauh dari Bali-dwipa datang ke sini memasuki sayembara."

Karena pemuda dari Bali itu mulai tampak curiga, Retno Wilis tidak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu terdengar bunyi gong dan seorang juru bicara berdiri di atas panggung, lalu berkata dengan suara lantang.

"Dengan ini kami mengumumkan atas nama Kanjeng Gusti Adipati bahwa jumlah peserta sayembara ada sepuluh orang. Dan kini dimulailah syarat pertama dari sayembara ini, yaitu mengangkat arca raksasa ini sampai melewati kepala. Dipersilakan para peserta untuk menguji kekuatan masing-masing satu demi satu. Kami akan memanggil nama peserta satu demi satu dan yang terpanggil namanya dipersilakan naik ke panggung dan memperlihatkan kekuatannya. Pertama kami panggil nama peserta Kalinggo dari Blambangan.”

Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menyambut Kalinggo yang melompat keatas panggung dengan gerakan yang ringan dan cekatan. Setelah tiba di atas panggung, Kalinggo menanggalkan baju bagian atas sehingga tampaklah tubuh atasnya yang kokoh kuat, dengan otot besar melingkar-lingkar. Dia memandang ke arah tempat duduk Dyah Candramanik seolah-olah hendak memamerkan otot-ototnya kepada dara jelita itu, akan tetapi Dyah Candramanik membuang muka, bahkan jijik melihat tubuh yang berotot dan dada bidang yang berambut itu.

Dengan sikap pongah Kalinggo menghampiri arca batu sebesar tubuhnya itu, memegang dengan kedua tangannya dan mencoba beratnya dengan mengangkatnya sedikit. Kemudian dia memandang kembali ke arah Dyah Candramanik dan tersenyum. Setelah itu dia membungkuk, memegang arca itu dan mengerahkan tenaganya mengangkat dan ternyata dia bukan hanya membual belaka. Arca besar dan berat itu terangkat oleh kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya, lalu dibawanya berkeliling panggung itu, baru dia turunkan kembali ke tempatnya yang tadi.

Tepuk sorak menyambutnya dan tampaknya dada raksasa muda brewok dari Blambangan itu semakin membesar dan membengkak. Dengan jari-jari tangannya, dia mengusap peluh yang membasahi leher dan dadanya.

"Peserta Kalinggo telah lulus dari ujian kekuatan. Harap turun dari panggung dan kami panggil nama peserta Purwanto dari Pasuruan!"

Dari bawah meloncat seorang pemuda yang juga bertubuh tinggi tegap seperti Raden Gatotkaca, dan para penonton juga menyambutnya dengan tepuk sorak. Pemuda ini membungkuk-bungkuk tanda menghormati semua orang yang menyambutnya dengan tepuk sorak, kemudian dia menghampiri arca raksasa tanpa membuka bajunya. Dia memeluk arca itu dan mengerahkan tenaganya. Arca terangkat, akan tetapi ketika dia hendak mengangkat arca itu ke atas kepalanya, kedua lengannya gemetar dan terpaksa dia melepaskan lagi arca itu ke atas panggung. Dia mencoba sekali lagi, akan tetapi kembali dia gagal. Ternyata tenaganya tidak cukup untuk mengangkat arca itu ke atas kepalanya! Dengan tersipu dia mendengarkan juru bicara mengumumkan bahwa dia gagal, lalu dia turun dari atas panggung. Penonton menyambutnya dengan tawa mengejek.

Berturut-turut para peserta dipersilakan naik dan akhirnya nama Joko Wilis dipanggil sebagai peserta terakhir. Kebanyakan dari para peserta gagal mengangkat arca itu dan yang berhasil hanya Kalinggo, Ngurah Pranawa dan dua orang lagi. Jadi empat orang sudah berhasil mengangkat arca itu di atas kepala.

"Kini peserta terakhir, Joko Wilis dari Gunung Wilis kami persilakan naik panggung!" demikian juru bicara mengumumkan.

Para peserta, baik yang berhasil maupun yang tidak, sudah tertawa sebelum Retno Wilis meloncat naik. Melihat betapa wajah mereka tertawa-tawa memandang kepadanya, makin panaslah hati Retno Wilis. Apa lagi mendengar Kalinggo berkata sambil menyeringai.

"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan arca itu akan menghimpit tubuhmu sampai gepeng!"

Retno Wilis tidak memperdulikan lagi ejekan mereka, dan iapun meloncat ke atas panggung. Sambutan para penonton tidak jauh bedanya dari sambutan para peserta sayembara tadi. Banyak di antara penonton yang tertawa melihat pemuda remaja yang kelihatan lemah dengan kedua lengan kecil itu naik ke panggung.

"Heiii, bocah cilik begitu mau ikut-ikutan sayembara?" teriak seseorang.

"Bocah yang masih hijau! Lebih baik engkau pulang kepada ibumu!" ejek yang lain.

Para penonton banyak yang tertawa mendengar ini dan memandang kepada Retno Wilis dengan senyum menyejek atau senyum kasihan. Semua orang menduga bahwa pemuda remaja itu tentu tidak akan mampu mengangkat arca yang demikian beratnya. Lima orang di antara para peserta yang bertubuh kuat, dengan lengan yang besar berotot, tidak kuat mengangkat arca itu, apa lagi pemuda remaja yang kedua lengannya kecil dan tampak lemah itu.

Makin diejek dan ditertawakan, makin panaslah hati Retno Wilis dan ia lupa bahwa ia mengikuti sayembara hanya sebagai sarana agar ia dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa saja. Kini ia mengambil keputusan untuk memberi pelajaran kepada mereka semua yang mencemoohkannya dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat! Biarlah, aku mengalahkan mereka semua dalam ujian kekuatan dan kepandaian memanah, baru nanti kalau diharuskan bertanding melawan Ki Wisokolo ia akan mengalah agar ia tidak lulus dalam sayembara itu!

Ia memandang ke sekeliling dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Dyah Candramanik, ia melihat bahwa dara jelita itu sama sekali tidak ikut menertawakannya, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan seolah mengandung harapan agar ia berhasil! Maka iapun membungkuk dengan hormat kearah puteri itu. Hal ini menyenangkan hati Sang Adipati dan keluarganya yang mengira bahwa pemuda remaja itu memberi hormat kepada mereka. ‘Seorang pemuda yang pandai membawa diri dan tahu sopan santun,’ pikir mereka.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 009
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment