Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 009

**** BACK ****

Retno Wilis lalu menghampiri arca itu. Dengan kedua tangannya ia mencoba dulu berat arca itu. Karena hanya mengangkatnya sedikit saja, semua orang melihat bahwa dia seakan-akan tidak kuat mengangkatnya. Orang-orang sudah mulai tertawa-tawa lagi penuh ejekan. Akan tetapi, suara ejekan dan semua suara tiba-tiba terhenti sama sekali, semua mata terbelalak memandang ketika Retno Wilis mengangkat arca batu itu dengan sebelah tangan saja ke atas kepalanya! Mula-mula tangan kanannya yang mengangkat arca itu, lalu dilontarkannya ke atas, diterimanya dengan tangan kiri dan ia membawa arca itu berkeliling panggung, bukan satu kali, melainkan tiga kali! Setelah suasana hening sejenak dan orang-orang memandang dengan mata terbelalak tidak percaya, baru setelah Retno Wilis meletakkan kembali arca ditempat semula, pecah sorak sorai yang riuh rendah menggetarkan seluruh alun-alun itu. Bahkan Sang Adipati, isterinya dan Dyah Candramanik juga ikut pula bertepuk tangan. Wajah Dyah Candramanik berseri-seri dan kedua telapak tangannya sampai terasa panas karena ia bertepuk keras-keras dan lama. Suara juru bicara hampir tertelan oleh sisa sorak sorai gemuruh itu.

"Peserta ke sepuluh, Joko Wilis, dinyatakan berhasil dengan ujian kekuatan dan ia dipersilakan turun dulu dari panggung. Dengan demikian, yang berhasil lulus tingkat pertama ada lima orang peserta sayembara. Sekarang tiba saatnya diadakan ujian tingkat kedua bagi lima orang yang telah lulus tadi. Dimulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan, untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah agar mengenai sasaran, yaitu buah kelapa yang berada di ujung bambu. Diharapkan para peserta dapat meruntuhkan buah kelapa sehingga jatuh ke bawah, dan sedikitnya anak panah harus mengenai buah kelapa, baru di anggap lulus!"

Dengan sikapnya yang sombong, Kalinggo naik pula ke atas panggung. Dia memilih busur yang terbesar dan terberat karena busur seperti itu, makin berat semakin baik dan semakin cepat meluncurkan anak panah. Diapun memilih sebatang anak panah yang lurus, kemudian memasang anak panah pada busurnya dan mulailah dia membidik ke atas, ke arah buah kelapa yang tergantung di ujung bambu. Ada sepuluh buah kelapa yang tergantung di sepuluh batang pohon bambu. Dia memilih yang terdekat dan setelah membidik beberapa saat, dia lalu melepaskan tali busurnya. Anak panah itu melesat dengan cepat sekali dan menancap di buah kelapa itu, persis di tengah-tengahnya! Sorak sorai menyambut keberhasilan ini dan dengan mengangkat dada Kalinggo menuruni panggung.

Dua orang peserta berturut-turut mencoba dan mereka hanya berhasil mengenai buah kelapa pada sisinya karena buah kelapa itu bergoyang-goyang ketika batang bambu tertiup angin. Mereka dinyatakan gagal karena sedikitnya harus dapat mengenai buah kelapa tepat di tengah-tengahnya.

Kini tiba giliran Ngurah Pranawa, pemuda dari Bali-dwipa. Dia memegang busur seperti seorang ahli, bidikannya tetap, tangannya tidak bergoyang sedikitpun dan ketika anak panahnya melesat, anak panah itu pun telah menusuk sebutir kelapa tepat di tengahnya. Jadi ada dua orang yang sudah berhasil lulus ujian kedua.

Ketika nama Joko Wilis disebut dipersilakan naik, para penonton kini tidak ada yang menertawakannya, bahkan mereka bersorak sorai menyambut karena dalam pandangan mereka, Joko Wilis kini menjadi yang terhebat di antara mereka semua. Sambutan para penonton ini membanggakan hati dan membesarkan semangat Retno Wilis untuk menang. Akan ia perlihatkan sekali lagi kehebatannya, pikirnya, agar jangan ada lagi orang berani memandang rendah kepadanya! Ia memilih gendewa yang kecil saja, lalu memasang dua batang anak panah pada busurnya, membidik cepat dan begitu dua batang anak panah melesat ke atas, semua orang memandang dan menahan napas dan kembali mereka bersorak sorai ketika melihat dua butir buah kelapa jatuh dari puncak batang-batang bambu. Ternyata sekali melepas dua anak panah, Joko Wilis telah dapat menjatuhkan dua butir buah kelapa, dua batang anak panah itu tepat mengenai tangkai buah kelapa!

Kembali Dyah Candramanik bertepuk tangan sampai terasa panas dan kelelahan. Juga Sang Adipati mengangguk-angguk dan harus memuji ketangkasan pemuda remaja itu. Suara juru bicara tidak terdengar sama sekali, lenyap ditelan sorak sorai yang menggegap gempita. Baru setelah sorak sorai mereda dan Retno Wilis sudah turun kembali dari panggung, juru bicara mengumumkan hasil ujian itu.

"Peserta Joko Wilis telah lulus dengan sempurna sekali. Kini yang telah lulus dari uji kekuatan dan ketangkasan terdapat tiga orang, yaitu Kalinggo dari Blambangan, Ngurah Pranawa dari Bali-dwipa, dan Joko Wilis dari Gunung Wilis. Dan sekarang tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi ujian terakhir, yaitu masing-masing harus mampu bertahan melayani berkelahi dengan Ki Wisokolo selama hitungan sampai seribu. Dalam uji tanding ini, tidak boleh menggunakan senjata dan apabila terjadi ada yang terluka atau bahkan tewas dalam pertandingan ini, hal itu sudah dianggap wajar dan tidak akan diadakan pengadilan. Kita mulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan!"

Ki Wisokolo sudah menanti di atas panggung. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar seperti Werkudara, kumisnya melintang sekepal sebelah, pundaknya bidang, kedua lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya. Inilah senopati nomor satu di Nusabarung, juga jagoan yang tak pernah terkalahkah! Sambil bersikap tenang Ki Wisokolo menoleh ke arah para penabuh gamelan dan memberi isyarat agar gamelan dibunyikan. Segera terdengar bunyi gamelan yang bernada gagah, pengiring perang! Ki Wisokolo berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan matanya mencorong memandang kepada Kalinggo ketika jagoan dari blambangan ini naik ke pentas.

Ki Wisokolo mengangguk ramah kepada Kalinggo karena dia mengenal putera senopati Blambangan ini, dan dalam hatinya dia sudah condong memenangkan jagoan muda dari Blambangan ini agar dapat berjodoh dengan Dyah Candramanik. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menguji kepandaian pemuda ini untuk melihat apakah memang patut menjadi mantu Sang Adipati.

Juru bicara memberi aba-aba,
"Satu- dua - tiga , mulai!" dan diapun dengan lantang mulai menghitung, "Satu - dua - tiga - empat -" dan seterusnya sementara gamelan dipukul bertalu-talu membuat suasana menjadi semakin bersemangat.

"Mulailah, anak mas Kalinggo!" kata Ki Wisokolo dan Kalinggo tidak sungkan-sungkan lagi segera maju menyerang dengan pukulan yang kuat. Akan tetapi Ki Wisokolo dengan mudah mengelak sambil membalas dengan sapuan kakinya untuk membuat tubuh lawan terpelanting. Akan tetapi Kalinggo cukup tangkas untuk mengelak pula. Kemudian Kalinggo menyerang terus bertubi-tubi, ditangkis atau dielakkan oleh Ki Wisokolo, bahkan kadang dia menerima pukulan itu dan dengan tubuhnya yang kebal. Sementara itu, juru bicara terus menghitung dengan suara lantang.

Retno Wilis ikut nonton pertandingan itu dan ia mengerutkan alisnya. Di sini terjadi kecurangan, pikirnya. Dari ketangkasannya ketika mengelak dan menangkis, juga kekebalannya, jelas bahwa tingkat kepandaian Wisokolo jauh lebih tinggi dari pada Kalinggo. Akan tetapi Ki Wisokolo ini hanya mempertahankan diri saja, jarang sekali menyerang dan kalau menyerangpun tidak dengan sungguh-sungguh. Jelas tampak olehnya bahwa Ki Wisokolo agaknya hendak memberi kesempatan kepada Kalinggo untuk memenangkan sayembara itu!

Sementara itu, Kalinggo menjadi penasaran sekali dan dia mengamuk makin hebat. Segala kepandaian dan tenaganya dikerahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan, namun semua usahanya sia-sia. Sampai basah seluruh tubuhnya oleh keringat dan sampai hitungan ke delapanratus, napasnya sudah terengah-engah. Namun dia terus menyerang, walaupun tidak lagi sehebat tadi. Dalam keadaan ini, kalau Ki Wisokolo hendak merobohkan lawannya, tentu saja amat mudah. Akan tetapi dia tidak ingin merobohkan lawan yang satu ini. Ketika hitungan sampai ke seribu, Ki Wisokolo meloncat ke belakang dan tersenyum menyeringai, memandang kepada Kalinggo yang sudah bermandi keringat dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi dia lulus dan penonton menyambutnya dengan sorak sorai memuji.

Kalinggo mengangkat kedua tangan ke atas saking gembiranya. Dia lulus ujian, berarti dia telah menang dalam sayembara. Akan tetapi masih ada dua orang peserta lain! Harus dilihat dulu bagaimana hasil ujian kedua peserta ini. Menurut peraturan, kalau pemenangnya lebih dari seorang, maka kedua pemenang itu akan diadu dan siapa yang keluar sebagai pemenang dialah yang dianggap memenangkan sayembara dan mendapatkan hadiahnya.

"Peserta Kalinggo telah lulus ujian terakhir, harap menanti di bawah panggung dan kini dipersilakan peserta Ngurah Pranawa untuk maju menandingi Ki Wisokolo selama seribu hitungan!"

Ngurah Pranawa lalu meloncat ke atas panggung, disambut sorak sorai penonton, terutama yang menjagoi pemuda dari Bali-dwipa ini. Ki Wisokolo sudah siap lagi dan mempersilakan pemuda Bali itu untuk mulai menyerangnya, sementara juru bicara mulai menghitung dari satu dan seterusnya.

Ngurah Pranawa segera maju menyerang, disambut dengan tangkisan oleh Ki Wisokolo. Terjadi pertandingan yang seru seperti juga tadi ketika Ki Wisokolo menguji Kalinggo. Akan tetapi Retno Wilis melihat bahwa pertandingan kali ini berbeda dari tadi. Kalau tadi Ki Wisokolo hanya bertahan saja, sekarang dia membalas setiap serangan Ngurah Pranawa. Retno Wilis tahu bahwa tingkat kepandaian Ngurah Pranawa masih belum mampu menandingi kepandaian Ki Wisokolo. Biarpun Ngurah Pranawa juga kuat dan gesit, namun setelah hitungan ke enamratus lebih, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Wisokolo mengenai perutnya dan membuat tubuhnya terpental keluar panggung. Ngurah Pranawa dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting dan dapat jatuh sambil berdiri. Akan tetapi sudah jelas bahwa dia telah gagal dalam pertandingan itu.

"Peserta Ngurah Pranawa telah gagal menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan. Dan sekarang tinggal peserta terakhir, yaitu Joko Wilis dipersilakan naik ke panggung untuk bertanding melawan Ki Wisokolo!"

Belum juga Retno Wilis naik ke panggung, tepuk sorak sorai penonton sudah menyambut ketika namanya disebut. Retno Wilis melompat naik ke atas panggung sambil tersenyum. Ada keraguan dalam hatinya. Mestinya ia mengalah dalam pertandingan ini, akan tetapi, ia merasa kasihan kalau mengecewakan penonton yang demikian banyak mendukungnya itu. Setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo dan sorak sorai penonton mereda, Retno Wilis berkata dengan suara lantang
kepada Ki Wisokolo,

"Paman, andika telah dua kali melayani dua orang peserta, tentu telah lelah sekali. Tidak adil kalau sekarang harus melayani aku pula. Sebaiknya paman beristirahat dan minum-minum dulu sebelum bertanding lagi."

Ki Wisokolo tertawa. Dia sama sekali tidak merasa lelah. Untuk apa dia beristirahat? Apa lagi kalau hanya menghadapi seorang pemuda remaja seperti ini. Dalam segebrakan saja tentu dia akan mampu merobohkan pemuda ini. Dan dia harus merobohkannya kalau dia hendak melihat Kalinggo dari Blambangan itu yang menang.

"Ha-ha-ha, Joko Wilis. Biar harus menghadapi lima orang seperti andikapun aku tidak perlu beristirahat dulu. Apalagi hanya andika seorang. Jangan-jangan sekali tendang aku sudah akan melemparkanmu keluar panggung! Ha-ha-ha!"

Merah kedua pipi Retno Wilis. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengalah sekali ini, akan tetapi ucapan Ki Wisokolo yang sombong itu membuatnya marah sekali. Ia harus memberi pelajaran kepada manusia sombong ini, pikirnya.

"Hemm, sombongnya! Kalau aku tidak dapat mengalahkanmu selama hitungan seratus saja, anggaplah aku kalah!"

Ucapan yang lantang ini tentu saja membuat semua orang terkejut sekali. Melawan selama hitungan seribu saja belum tentu dapat menang, sekarang pemuda itu malah menantang untuk mengalahkan dalam hitungan seratus! Seorang di antara para penonton, seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, mengerutkan alisnya dan berkata kepada diri sendiri,

"Hemm, ia mencari penyakit!" Pemuda ini tentu saja adalah Bagus Seto yang merasa bingung sekali melihat ulah adiknya. Dia maklum bahwa tentu Retno Wilis akan dapat mengalahkan Ki Wisokolo sebelum hitungan ke seratus, akan tetapi itu berarti bahwa ia menangkan sayembara dan harus menikah dengan Dyah Candramanik!

Ki Wisokolo sendiri terperangah mendengar tantangan itu. Dia menganggap pemuda itu sombong bukan main.

"Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan kurobohkan sebelum seratus hitungan!" katanya dan segera dia menubruk maju dengan kedua lengan dipentang, seperti seekor biruang menyerang korbannya.

"Ggrrr ... !" Dari kerongkongannya keluar gerengan seperti seekor binatang buas.

"Haiiiiiitt ... !" Retno Wilis berseri melengking dan tubuhnya sudah lenyap dari depan Ki Wisokolo.

Raksasa ini terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata pemuda remaja itu telah berada di belakangnya dan dia lalu menyerang lagi dengan cepat dan dahsyat. Akan tetapi lagi-lagi dia menyerang angina karena tubuh Retno Wilis sudah mengelak dengan cepat. Ki Wisokolo menjadi marah dan menyerang membabi buta, dengan cepat dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.

Namun, sambil kadang-kadang melengking Retno Wilis mengelak dengan gerakan yang indah dan lucu, bagaikan seekor burung walet yang gesit sekali sehingga semua serangan Ki Wisokolo mengenai angin belaka. Sementara itu, juru hitung sudah menghitung sampai tigapuluh, dan semua penonton terpesona oleh gerakan Retno Wilis yang demikian cepatnya. Jangankan tubuhnya, ujung bajunyapun tidak dapat disentuh oleh Ki Wisokolo yang menjadi semakin marah. Mulailah para penonton tertawa dan bersorak ketika tiba-tiba kaki Retno Wilis menendang pantat lawannya. Debu mengebul dari pantat yang ditendang dan tubuh Ki Wisokolo terhuyung ke depan.

"Aku di sini, Ki Wisokolo!" kata Retno Wilis mengejek ketika lawannya mencari-carinya. Begitu tahu bahwa pemuda itu berada di belakangnya, Ki Wisokolo membalikkan tubuhnya sambil memukul-mukul dengan kedua tangannya diseling tendangan-tendangan kedua kakinya. Namun, semua pukulan dan tendangan itu tidak ada yang mengenai tubuh Retno Wilis yang berlompatan ke sana sini untuk menghindar. Kembali tangannya menampar, sekali ini mengenai belakang telinga raksasa itu.

"Aduh ... !" Ki Wisokolo berseru dan tubuhnya berputar-putar.

Akan tetapi dia masih dapat mengatur keseimbangan sehingga tidak roboh dan kini matanya terbelalak liar dan menjadi merah. Hitungan sudah sampai enampuluh dan dia sama sekali belum mampu menyentuh pemuda itu, bahkan dia telah merasakan sekali tendangan dan sekali tamparan!

"Bedebah!" bentaknya dan kini tubuhnya bergulingan ke arah Retno Wihs, terus menubruk. Dielakkan, menubruk lagi seperti seekor harimau kelaparan. Keringatnya bercucuran, napasnya terengah-engah karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

"Ah, keringatmu bau, lekas pergi dari sini!" tiba-tiba Retno Wilis berseru dan begitu kakinya menendang, kini dengan pengerahan tenaga, kaki kiri itu telah bertemu dengan dada Ki Wisokolo.

"Bukk ... !!"

"Aughh ... !" Ki Wisokolo mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya melayang, terlempar keluar panggung dan jatuh berdebuk di atas tanah di bawah panggung. Kawan-kawannya segera menolong dan menggotongnya karena dia telah jatuh pingsan!

Sorak sorai gegap gempita menyambut kemenangan Joko Wilis ini. Hitungan baru sampai delapanpuluh dan jagoan nomor satu dari Nusabarung itu telah roboh. Retno Wilis tersenyum dan memandang kepada keluarga Sang Adipati. Ia melihat Dyah Candramanik bangkit dari kursinya dan bertepuk tangan dengan wajah berseri-seri.

"Cari penyakit ... !" Kembali Bagus Seto berkata kepada diri sendiri melihat Retno Wilis mengalahkan Ki Wisokolo seperti yang sudah disangkanya tadi.

Sementara itu, sukarlah bagi juru bicara untuk membuat pengumuman karena penonton yang begitu gaduh membicarakan pertandingan yang baru saja mereka tonton. Mereka semua begitu kagum kepada Joko Wilis, pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampak lemah itu. Akhirnya, setelah berdiri di atas panggung dan melambai-lambaikan tangan memberi isyarat kepada semua penonton agar jangan gaduh, juru bicara itu dapat mengelukan kata-kata yang lantang.

"Peserta Joko Wilis dinyatakan lulus dengan sempurna. Karena sekarang ternyata ada dua orang peserta yang lulus, yaitu Joko Wilis dan Kalinggo, maka sesuai dengan peraturan yang berlaku, kini akan diadakan pertandingan antara kedua orang pemenang itu. Siapa di antara mereka berdua yang keluar sebagai pemenang, dinyatakan memenangkan sayembara ini!"

Ucapan ini disambut sorak sorai dari para penonton yang menjadi gembira sekali karena mereka kembali akan menonton pertandingan yang tentu akan hebat sekali. Ada yang menjagoi Kalinggo, akan tetapi ada banyak pula yang menjagoi Joko Wilis sehingga diantara mereka ada yang bertaruhan!

"Kini dipersilakan peserta Kalinggo dari Blambangan naik ke panggung untuk bertanding melawan Joko Wilis dari Gunung Wilis!" Juru bicara berteriak kembali lalu turun dari panggung.

Kalinggo naik ke panggung dan membusungkan dadanya. Biarpun dia melihat sendiri betapa Ki Wisokolo dikalahkan pemuda itu, namun dia tidak merasa gentar. Bahkan dia yakin akan mampu mengalahkan pemuda yang kecil itu. Dia harus membikin gentar nyali pemuda itu, pikirnya. Begitu berhadapan dengan Retno Wilis yang memandangnya dengan senyum simpul, Kalinggo berkata dengan suara lantang,

"Joko Wilis, ini adalah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang di antara kita. Karena itu, kalau ada kulit robek dan tulang patah, jangan salahkan aku!"

Retno Wilis tersenyum. Pada saat itu, Retno Wilis meraba paha kirinya. Ada kerikil kecil sekali mengenai paha kirinya dan ia tahu apa artinya itu. Kakaknya sudah berada di situ! Dan kakaknya tentu hendak memperingatkan kepadanya agar ia tidak berlaku kejam terhadap lawan, tidak boleh membunuh! Ia tersenyum dan mengangguk ke arah dari mana datangnya kerikil kecil tadi.

"Jangan khawatir! Aku tidak akan merobek kulitmu atau mematahkan tulangmu!" Retno Wilis berkata sambil memandang kepada Kalinggo, akan tetapi sebetulnya ia menujukan kata-katanya itu kepada Bagus Seto.

"Payah, ia benar-benar mencari penyakit!" kembali Bagus Seto mengeluh karena dalam ucapan Retno Wilis itu dia dapat menduga bahwa tentu Retno Wilis tidak mau mengalah. Kalau keluar dari sayembara sebagai pemenang, engkau akan dikawinkan dengan Dyah Candramanik dan baru engkau tahu sendiri betapa bingungnya engkau! Demikian Bagus Seto berkata kepada dirinya sendiri.

Sementara itu, mendengar jawaban Retno Wilis, Kalinggo sudah menjadi marah sekali. Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang perlahan-lahan berubah kemerahan seperti berdarah. Itulah Aji Hasta-rudita (Tangan Berdarah)! Pukulan dari tangan merah itu sungguh hebat dan mengerikan karena berhawa panas dan kalau mengenai tubuh orang, tubuh itu dapat menjadi hangus seperti dibakar api!

Akan tetapi Retno Wilis yang melihat itu hanya tersenyum saja, seolah ia tidak tahu akan keampuhan telapak tangan darah itu. Ia malah tersenyum dan bertanya,

"Eh, Kalinggo, engkau ingin roboh dalam hitungan ke berapa?"

"Untuk pertandingan ini tidak memakai hitungan. Akan tetapi aku akan merobohkanmu secepat mungkin!" kata Kalinggo dan dia mengeluarkan teriakan yang mengguncang tempat itu, kemudian bagaikan seekor srigala, dia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Retno Wilis!

"Haiiiiittt ... !" Retno Wilis berseru dan Kalinggo sudah kehilangan lawannya. Begitu cepat gerakan Retno Wilis sehingga dia tidak melihat kemana lawannya berkelebat. Tahu-tahu Retno Wilis sudah berada di belakangnya. Dia membalik dan menyerang lagi, makin lama serangannya semakin cepat dan kuat. Akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena tidak ada yang dapat mengenai tubuh pemuda remaja itu. Ketika Kalinggo mempergunakan kecepatan, tubuh Retno Wilis berkelebatan sehingga yang tampak hanya bayangannya saja. Kalinggo menghentikan serangannya dan berdiri dengan napas memburu dan mata melotot marah.

"Bukan laki-laki kalau hanya mengelak saja!" bentaknya. "Kalau memang berani, hayo hadapi seranganku dengan tangkisan, jangan hanya berlari seperti seorang pengecut!"

Mendengar ini, Retno Wilis mengerutkan alisnya.
"Kalinggo, manusia tak tahu diri. Kaukira aku takut menghadapi pukulanmu? Nah, seranglah, aku tidak akan mengelak lagi!"

Kalinggo mengerahkan tenaga dalam dikedua telapak tangannya yang merah dan dia sudah girang sekali. Kalau lawannya itu menangkis, tentu akan celaka. Bertemu dengan tangan merahnya, tentu tangan pemuda itu akan hangus dan dia akan keluar sebagai pemenangnya. Dia menubruk dan mencengkeram dengan kedua tangannya. Gerakannya cepat dan kuat sekali.

Dengan tenang Retno Wilis menangkis dengan kedua tangannya pula, gerakannya memutar dari kiri ke kanan. Dalam gerakan menangkis ini iapaun mengerahkan Aji Wisolangking dan hanya tampak sinar hitam ketika kedua tangannya menangkis.

"Plak-dukk ... !" Tangkisan itu sedemikian kuatnya dan aji Wisolangking dapat menahan pengaruh Hasta-rudita, dan akibatnya, tubuh Kalinggo terpelanting dan terhuyung hamper saja roboh. Bukan main kagetnya Kalinggo. Lawannya benar-benar dapat menangkisnya, bahkan tangkisan itu mengandung tenaga yang demikian kuatnya sampai dia hampir roboh. Penonton bersorak riuh rendah ketika Kalinggo terpelanting itu, terutama mereka yang bertaruh memihak Retno Wilis. Sebaliknya yang memihak Kalinggo menjadi pucat wajahnya dan memandang penuh kekhawatiran.

Karena maklum bahwa pemuda remaja itu benar-benar amat tangguh, Kalinggo menjadi nekat dan kembali dia menyerang, sekali ini dia menggunakan kedua tangan, yang kanan menghantam ke arah dada lawan, yang kiri menyusul mencengkeram ke arah muka.

Tenang saja Retno Wilis menyambut serangan ini. Pukulan tangan kanan ditangkisnya dengan tangan kiri, sedangkan cengkeraman tangan kiri itu disambutnya dengan tangkapan pada pergelangan tangan. Ketika ia mengerahkan tenaga dalam tangkapan itu, Kalinggo berteriak kesakitan. Seperti remuk rasa pergelangan tangan kirinya yang ditangkap tangan pemuda itu. Pada saat itu, Retno Wilis menendang ke arah lutut, tidak kuat benar akan tetapi cukup membuat Kalinggo terpelanting dan roboh bertekuk lutut.

"Ah, sudahlah, tidak perlu berlutut minta ampun!" kata Retno Wilis dan para penonton bersorak gembira, ada yang tertawa melihat betapa Kalinggo jatuh berlutut seperti hendak minta ampun kepada pemuda remaja yang lincah itu.

Kalinggo adalah seorang jagoan yang jarang menerima kekalahan seperti itu. Dia merasa dipermainkan dan terhina sekali, maka dia menggunakan kesempatan sekali lagi Retno Wilis lengah, tiba-tiba dalam keadaan berlutut itu dia menubruk ke depan dan sudah berhasil menangkap kaki kanan Retno Wilis. Dengan girang dia mengerahkan tenaga untuk menarik kaki itu dan membuat tubuh lawan terbanting. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa Retno Wilis! Cepat dara perkasa ini menggunakan aji Argo-selo (Batu Gunung) dan tubuhnya menjadi seberat batu gunung sehingga betapapun Kalinggo mengerahkan tenaganya, kaki yang kecil itu tidak tergeser sedikitpun juga! Para penonton kini terdiam, mengira bahwa pemuda remaja itu tentu akan celaka melihat kakinya sudah tertangkap Kalinggo. Akan tetapi mereka melihat Kalinggo ber-ah-uh-uh mengerahkan tenaga menarik, namun tetap saja pemuda itu tidak bergerak. Kaki itu seolah telah berakar pada papan panggung. Selagi Kalinggo bersusah payah mengerahkan segala tenaganya, kaki kiri Retno Wilis menyambar, mengenai jalan darah pundaknya sehingga seketika Kalinggo merasa kedua tangannya lemas tak bertenaga dan tangkapannya terlepas. Retno Wilis menendang lagi dan tubuh Kalinggo melayang, terlempar keluar panggung.

Tepuk sorak sekali ini menggegap gempita, membuat panggung seolah-olah akan ambruk. Dyah Candramanik juga bangkit berdiri dan bertepuk tangan. Baru setelah Sang Adipati Martimpang sendiri yang naik ke atas panggung dan memberi isyarat dengan tangannya agar semua orang diam, suasana menjadi hening dan suara adipati itu terdengar lantang.

"Dengan ini kami umumkan bahwa pemenang sayembara ini adalah Joko Wilis dari Gunung Wilis!"

Kembali sorak sorai pecah dan semua penonton bersorak-sorak, kecuali mereka yang kalah dan terpaksa membayar kepada lawan bertaruh. Sang Adipati menghadapi Retno Wilis.

"Andika telah menangkan sayembara, dan berhak menerima hadiah yang disayembarakan."

Retno Wilis merasa tengkuknya meremang. baru sekarang ia teringat bahwa pemenang sayembara akan dijodohkan dengan Dyah Candramanik dan kelak menggantikan kedudukan adipati di Nusabarung! Ia cepat memberi hormat kepada Adipati Martimpang dan berkata dengan gagap.

"Akan tetapi saya ... saya tidak ... menghendaki hadiah ... "

Kata-kata ini bahkan menyenangkan hati sang adipati, karena dianggapnya pemuda ini rendah hati. Pemuda yang sudah mengalahkan Ki Wisokolo, senopatinya yang paling tangguh! Pantas menjadi mantunya. Juga pemuda ini amat tampan, seperti Arjuna sehingga serasi sekali kalau menjadi suami puterinya yang cantik, Dyah Candra-manik.

"Berdirilah dan mari andika ikut dengan kami masuk ke kadipaten, di sana kita bicara!" perintahnya.

Retno Wilis menjadi bingung. Akan tetapi tak mungkin ia melarikan diri begitu saja. Ia justeru hendak mengadakan penyelidikan sehingga sebetulnya baik sekali kalau ia diterima masuk ke kadipaten. Akan tetapi bagaimana nanti kalau ia harus menikah dengan Dyah Candramanik? Ia masih belum dapat memikirkan bagaimana baiknya dan baru sekarang ia teringat akan kata-kata kakaknya. Bahkan kakaknya tadi telah memberi peringatan dengan sambitan kerikil kecil. Tentu maksud kakaknya agar ia mengalah sehingga tidak menjadi pemenang sayembara. Akan tetapi bagaimana ia dapat mengalah menghadapi Kalinggo yang demikian sombong? Ah, biarlah ia mengikuti saja kehendak sang adipati. Tentang pernikahan itu bagaimana nanti saja. Ia akan melihat perkembangannya. Sewaktu-waktu ia dapat meloloskan diri.

Kalau sekarang, di mana terdapat demikian banyaknya perajurit dan para penonton, sulit rasanya untuk melarikan diri. Juga kalau ia melarikan diri sekarang, bagaimana dengan penyelidikannya? Adipati Martimpang tiba di tempat di mana dia tadi duduk bersama isteri dan puterinya. Dyah Candramanik menyambut kedatangan ayahnya dengan muka kemerahan. Ia hanya mengerling sekali kepada Retno Wilis, lalu menundukkan muka dengan ke malu-maluan. Setelah kini berhadapan dengan Dyah Candramanik, Retno Wilis harus mengakui bahwa gadis itu cantik sekali. Wanita setengah tua yang duduk di dekatnya itu tentulah ibunya karena wanita itupun amat cantik.

Adipati Martimpang mengajak mereka semua memasuki gedung, diiringkan oleh para perajurit pengawal. Retno Wilis berjalan di belakang, dan ia memandang ke kanan kiri ketika memasuki ruangan depan pendopo gedung itu. Sebuah istana yang cukup mewah. Setelah tiba di ruangan dalam, Adipati Martimpang duduk di atas kursi bersama para isterinya yang sudah keluar menyambut Dyah Candramanik juga duduk di dekat ibunya. Retno Wilis menghadap dan duduk bersila di atas lantai.

"Joko Wilis," kata sang adipati dengan ramah, "sesuai dengan isi sayembara, andika yang telah lulus dengan baik akan kami jodohkan dengan puteriku ini, Dyah Candramanik."

Retno Wilis mengangkat muka memandang ke arah Dyah Candramanik yang juga memandang kepadanya. Dua pasang mata yang sama indahnya bertemu pandang dan Dyah Candramanik tersenyum, mukanya menjadi kemerahan dan ia menundukkan mukanya.

"Banyak terima kasih saya haturkan kepada paduka, kanjeng gusti adipati. Akan tetapi mohon beribu maaf bahwa saya masih terlalu muda untuk menikah," kata Retno Wilis dengan hati berdebar karena ia khawatir adipati itu akan marah kepadanya.

Adipati Martimpang memandang penuh selidik kepadanya.
“Joko Wilis, apa artinya ini? Andika sudah tahu bahwa sayembara ini diadakan untuk mencarikan jodoh puteriku, bukan? Apakah andika hendak mengatakan bahwa masukmu mengikuti sayembara itu hanya untuk main-main belaka?" Suara adipati itu jelas mengandung nada kemarahan.

"Tidak sama sekali, gusti. Saya merasa berbahagia sekali, hanya saya mengatakan bahwa saya masih terlalu muda. Kalau paduka mengijinkan, berilah waktu kepada saya selama satu tahun lagi."

"Nanti dulu. Kami akan bertanya kepada puteri kami. Eh, Dyah Candramanik puteriku yang cantik, bagaimana pendapatmu dengan Joko Wilis ini? Apakah engkau sudah setuju kalau kami jodohkan dengan dia?"

Dyah Candramanik tersenyum sambil menundukkan mukanya, lalu terpaksa ia menjawab,
"Ah, aku menurut bagaimana keputusan kanjeng rama saja."

Adipati Martimpang tertawa.
"Ha-ha, itu artinya engkau setuju. Nah, kami pikir permintaanmu itu pantas juga. Joko Wilis. Memang andika kelihatan masih terlalu muda. Baiklah, andika tinggal di sini selama setahun, dan setelah itu baru kalian kami nikahkan."

"Terima kasih, gusti."

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 010
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment