Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 010

**** BACK ****

"Selama berada di sini, andika boleh menggembleng pasukan khusus agar mereka pun memiliki kadigdayaan. Dan andika tinggal di dalam istana ini, sebagai calon mantu kami.

"Terima kasih, kanjeng gusti adipati."

Tentu saja hati Retno Wilis gembira sekali. Kalau ia diperbolehkan menanti sampai setahun tinggal di situ, tentu banyak kesempatan baginya untuk melakukan penyelidikan akan rencana Nusabarung, apakah benar hendak memberontak dan bersekutu dengan Blambangan. Ia akan mempunyai banyak waktu dan sebelum setahun lewat, dengan mudah ia akan meloloskan diri dari pulau itu. Ia yakin bahwa kakaknya, Bagus Seto, juga telah masuk ke Nusabarung dan sekarang entah berada di mana. Sewaktu-waktu tentu kakaknya akan menghubunginya, kalau tidak ia dapat berjalan-jalan di pulau itu untuk mencarinya.

Setelah beberapa hari tinggal di kadipaten Nusabrung, Retno Wilis sudah mulai menyelidiki keadaan di Nusabarung dan ia mendengar bahwa Nusabarung baru bersiap-siap menghimpun kekuatan, namun belum ada tanda-tandanya hendak memberontak. Yang membuat hatinya tidak tenang adalah sikap Dyah Candramanik. Pada suatu pagi puteri itu menyuruh biyung emban untuk memanggilnya ke taman-sari. Tentu saja ia tidak berani menolak dan memasuki taman-sari. Dyah Candramanik telah berada di situ, hanya berdua dengan biyung emban. Setelah Retno Wilis datang, biyung emban yang tahu diri itu tanpa diperintah sudah pergi meninggalkan mereka berdua saja di taman-sari.

Retno Wilis tersenyum melihat sang puteri malu-malu menundukkan mukanya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada puteri ini. Agaknya sang puteri memang jatuh cinta kepadanya. Melihat sang puteri diam saja, Retno Wilis mendahului bicara.

"Gusti puteri ... "

"Ah, kenapa engkau menyebut aku gusti? Engkau bukan hambaku dan aku bukan gustimu," Dyah Candramanik menegur tanpa memandang muka Retno Wilis.

"Lalu, saya harus menyebut apa?"

"Lupakah engkau bahwa kita telah ditunangkan? Tentu engkau tahu apa yang harus kausebut terhadap calon isterimu?" Sang puteri berkata lagi, kini memandang wajah Retno Wilis dan sikapnya mulai agak tabah.

"Ahh ... kalau begitu, apakah aku harus menyebutmu diajeng?"

"Memang begitu seharusnya, kakangmas Joko Wilis."

"Baiklah, diajeng Dyah Candramanik. Akan tetapi pagi ini engkau memanggilku ada keperluan apakah?"

"Aku hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Kakangmas, engkau menolak untuk dinikahkah denganku sekarang, minta mundur setahun lagi. Aku heran sekali, kalau engkau tidak ingin menikah, mengapa engkau memasuki sayembara dan menghadapi bahaya maut untuk memperebutkan aku?"

"Aku ... aku ... ah, aku sebetulnya belum memikirkan tentang perjodohan diajeng."

"Akan tetapi aneh! Mengapa mengikuti sayembara?"

"Karena aku melihat para peserta itu sombong-sombong dan tidak ada yang sesuai untuk menjadi jodohmu. Aku hendak mencegah engkau menikah dengan seorang dari mereka. Kalau aku tidak ikut sayembara, tentu engkau sudah dipersunting Kalinggo dari Blambangan itu. Apakah engkau akan suka kalau dijodohkan dengan orang sekasar itu?"

"Tentu saja tidak! Akan tetapi engkau yang menang. Engkau yang berhak menikah dengan aku. Apakah ... apakah engkau tidak cinta kepadaku, kakangmas Joko Wilis?"

Retno Wilis menjadi bingung.
"Tentu saja aku mencintamu, diajeng. Engkau seorang puteri yang cantik jelita, siapa tidak mencintamu? Aku hanya minta waktu, tidak ingin buru-buru menikah."

"Baiklah, kanjeng Rama sudah menyetujuinya. Dan akupun tidak marah, hanya kuminta selama setahun menunggu ini, engkau seringlah datang ke sini untuk bercakap-cakap dengan aku, untuk mengajariku memanah."

"Baiklah, diajeng. Akan tetapi engkau juga harus banyak memberitahu padaku tentang Nusabarung dan pemerintahannya. Engkau tentu maklum bahwa kelak kanjeng Ramamu akan mengangkat aku sebagai penggantinya. Bagaimana aku dapat memerintah dengan baik kalau tidak mengenal keadaan Nusabarung?"

"Tentu saja aku akan menceritakan semua yang kuketahui, kakangmas. Soal apakah yang ingin kauketahui?"

"Segala hal yang menyangkut Nusabarung dan pemerintahannya, diajeng. Aku mendengar bahwa Nusabarung berada dibawah kekuasaan Jenggala, benarkah itu diajeng?" kata Retno Wilis sambil duduk di bangku panjang, di sebelah Dyah Candra-manik.

"Dahulu memang benar begitu, kakang-mas. Akan tetapi kanjeng Romo tidak suka membiarkan hal itu. Katanya Nusabarung harus terlepas dari kekuasaan Jenggala."

"Ah, kalau begitu berarti Nusabarung hendak menentang Jenggala. Padahal Jenggala adalah sebuah kerajaan besar. Bagaimana Nusabarung hendak menentangnya, diajeng? Apakah itu tidak berbahaya?"

"Karena itu kanjeng rama mulai menghimpun kekuatan, menghimpun pasukan yang besar. Selain itu, kanjeng rama juga berhubungan baik dengan Blambangan, bahkan kalau perlu, kita dapat minta bantuan dari Bali-dwipa. Mereka semua juga tidak suka ditundukkan oleh Jenggala dan Panjalu."

"Kalau begitu ada rencana dari Nusabarung untuk menyerang Jenggala? Ini berbahaya sekali!"

"Bukan menyerang, melainkan menjaga diri dan melakukan perlawanan kalau Jenggala berani menyerang ke sini. Kita semua sudah siap, kakangmas. Karena itulah kanjeng Rama mengadakan sayembara untukku, untuk mendapatkan seorang mantu yang sakti mandraguna seperti kakangmas. Dan karena itu pula aku ingin belajar memanah agar kalau saatnya tiba, aku dapat pula menjaga diri."

"Wahai, diajeng, siapa orangnya yang berani mengganggu andika? Selain tidak berani, juga tidak mau karena siapa yang melihat andika tentu akan merasa sayang dan tidak akan mengganggumu."

"Dalam keadaan perang, siapa yang akan memperdulikan, kakangmas? Sudahlah, apa lagi yang kakangmas tanyakan?"

Dengan cerdik Retno Wilis menghentikan pertanyaan-pertanyaannya dan mengajarkan ilmu memanah kepada dara jelita itu. Tentu saja tangan mereka bersentuhan dan Retno Wilis berlaku hati-hati sekali agar jangan sampai dara itu mengetahui rahasianya. Sikapnya yang lemah lembut, ramah dan sopan ini bahkan membuat Dyah Candramanik semakin tergila-gila.

Pada hari-hari berikutnya, secara sambil lalu sambil mengajarkan memanah, Retno Wilis berhasil mengorek banyak keterangan dari puteri itu. Ia tahu bahwa Nusabarung mempunyai lima orang senopati yang gagah perkasa, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati, dan Ki Surodiro. Mereka semua adalah senopati-senopati yang pandai berperang dan juga sakti. Juga ia mendengar dari sang puteri yang tergila-gila kepadanya itu bahwa Nusabarung tadinya mempunyai pasukan yang lebih sedikit dari seribu orang banyaknya, akan tetapi kini dengan masuknya orang-orang muda di sekitar Nusabarung, jumlah itu meningkat menjadi kurang lebih dua ribu orang. Sebagian dari jumlah itu kini berjaga di pantai daratan. Pada suatu pagi, selagi Retno Wilis melatih Dyah Candramanik yang belajar memanah, muncullah seorang petugas. Dyah Candramanik memandang dengan marah kepada petugas jaga itu.

"Mau apa engkau ke sini tanpa dipanggil? Berani engkau memasuki taman ini?"

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Adipati untuk menemui Raden Joko Wilis di sini."

"Mau apa dengan kakangmas Joko Wilis?"

"Kanjeng Gusti Adipati memanggilnya untuk menghadap sekarang juga."

Mendengar ini, Retno Wilis mendekati orang itu dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut,

"Paman, ada urusan apakah Kanjeng Adipati memanggilku?"

"Hamba tidak tahu, raden. Hanya yang hamba ketahui, Kanjeng Gusti Adipati sedang menerima tamu dari Blambangan."

"Tamu dari Blambangan? Siapakah mereka?"

"Hamba tidak tahu, hanya ada dua orang kakek yang berpakaian mewah datang bertamu dan tak lama kemudian Kanjeng Gusti Adipati memerintahkan saya untuk mengundang paduka."

"Baiklah, paman. Saya akan menghadap sekarang. Diajeng Dyah Candramanik, agaknya ada keperluan penting sekali maka kanjeng Ramamu memanggil aku. Aku pergi dulu."

Dyah Candramanik hanya mengangguk dengan muka bersungut-sungut karena merasa betapa kesenangannya terganggu.

Retno Wilis dan utusan itu lalu meninggalkan taman-sari. Setelah memasuki tempat persidangan di mana Sang Adipati menerima para tamunya, Retno Wilis melihat bahwa di situ duduk dua orang kakek berpakaian mewah sedang duduk berhadapan dengan Adipati Martimpang. Yang seorang adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, pakaiannya mentereng dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan jenggotnya juga terpelihara baik-baik. Seorang kakek yang rapi dan pesolek, mukanya bundar dan mulutnya selalu tersenyum, wajahnya yang juga lembut dan tampan itu tampak seperti kewanitaan. Adapun kakek ke dua, biarpun pakaiannya juga mewah, namun pakaian itu dekil dan kotor. Rambutnya juga awut-awutan tidak tersisir, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai seperti menertawakan orang. Sekali pandang saja Retno Wilis dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan orang sembarangan. Ia dapat melihat ini dari sikap mereka yang seperti orang memandang rendah dan sinar mata mereka yang tajam berpengaruh.

"Joko Wilis! Ke sinilah, hendak kuperkenalkan dengan dua orang yang datang dari Blambangan." Dia menunjuk kepada kakek yang pakaiannya rapi dan pesolek. "Ini adalah Sang Wasi Karangwolo, seorang pendeta yang menjadi penasihat dari Sang Adipati di Blambangan. Adapun yang kedua ini adalah Sang Wasi Surengpati, juga seorang pertapa yang kini membantu Wasi Karangwolo yang menjadi saudara seperguruannya. Paman Wasi berdua, inilah Joko Wilis yang kumaksudkan. Dialah yang memenangkan sayembara tanding itu, mengalahkan Kalinggo, bahkan mengalahkan Ki Wisokolo."

Sang Wasi Karangwolo memandang kepada Joko Wilis dengan tajam penuh selidik, senyumnya melebar dan dia berkata,

"Sungguh seorang pemuda yang ganteng sekali!"

Sang Wasi Surengpati juga memandang dan dia mengerutkan alisnya.
"Seorang bocah seperti ini keluar sebagai pemenang? Sungguh mengherankan sekali. Joko Wilis, engkau telah bertemu dengan kami, hayo cepat berlutut dan menyembah!"

Retno Wilis terkejut. Perintah itu diucapkan dengan suara dalam dan berpengaruh sekali, ia merasa seolah-olah ada tenaga yang mendorongnya untuk berlutut dan menyembah... Maklum bahwa ini merupakan teriakan yang mengandung tenaga sihir, iapun memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak perintah itu dan berkata dengan suara tenang namun juga penuh tantangan.

"Paman Wasi, tidak ada peraturan yang mengharuskan saya berlutut dan menyembah kepada orang yang belum saya ketahui benar keadaannya. Saya hanya menyembah kepada Kanjeng Adipati, akan tetapi tidak kepada kalian berdua!"

Wasi Surengpati tercengang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda remaja itu ternyata mampu menolak sihirnya yang kuat! Sang Adipati juga terkejut mendengar perintah Wasi Surengpati dan dia menegur,

"Apa maksud Kakang Wasi Surengpati dengan perintah yang tidak pada tempatnya itu? Mengapa Joko Wilis harus menyembah kepada kalian berdua yang menjadi tamu kami?"

Wasi Karangwolo yang menjawab sambil tertawa,
"Ha-haha, Kanjeng Adipati, adi Wasi Surengopati hanya ingin menguji saja kepada Joko Wilis dan ternyata pemuda remaja ini mampu menolak ujiannya. Sungguh mengagumkan sekali, seorang pemuda yang ganteng dan juga sakti mandraguna!"

Barulah Adipati Martimpang mengerti dan dia tersenyum bangga.
"Sudah kami katakan bahwa dia sakti mandraguna. Sungguh hati kami merasa girang dan bangga, seperti andika berdua saksikan sendiri, kami telah memperoleh tenaga yang amat tangguh dan boleh diandalkan!"

"Akan tetapi, Kanjeng Adipati, apa artinya tenaga seorang saja dibandingkan tenaga limaribu orang pasukan gemblengan yang kokoh kuat!" tanya Wasi Karangwolo.

Mendengar ucapan ini, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan berkata kepada Joko Wilis,
"Joko Wilis, kembalilah engkau ke taman-sari dan lanjutkan beri latihan memanah kepada Dyah Candramanik."

Retno Wilis merasa kecewa dalam hatinya karena ia ingin sekali mendengar apa yang akan dibicarakan oleh dua orang tamu dari Blambangan ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat membantah dan pergilah ia meninggalkan ruangan itu dan kembali ke taman-sari di mana Dyah Candrarnanik menyambutnya dengan gembira. Setelah Retno Wilis pergi, Adipati Martimpang bertanya dengan nada suara tidak senang kepada Wasi Karangwolo.

"Paman Wasi Karangwolo, apa artinya ucapan paman tadi? Apa yang paman maksudkan?"

"Maksud saya, Kanjeng Adipati, bahwa Kalinggo jauh lebih baik untuk menjadi mantu paduka dari pada Joko Wilis tadi. Betapa pun saktinya, Joko Wilis hanya seorang diri saja. Bagaimana dia akan mampu menanggulangi keadaan kalau Nusabarung diserbu pasukan dari Jenggala? Sebaliknya, kalau Kalinggo menjadi mantu paduka, tentu Blambangan akan lebih dekat dengan Nusabarung dan limaribu orang pasukan Blambangan yang kokoh kuat tentu jauh lebih berharga dari pada bantuan tenaga seorang Joko Wilis."

"Pula, harus diingat bahwa Gunung Wilis terletak di wilayah kekuasaan Panjalu. Siapa tahu kalau-kalau pemuda itu merupakan telik sandi yang hendak mengadakan penyelidikan di Nusabarung!" kata pula Wasi Surengpati.

Mendengar ucapan kedua orang tamunya itu, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi gelisah. Teringatlah dia bahwa sebelum diadakan sayembara, dia sama sekali tidak mengenal Joko Wilis. Bukan tidak mungkin kalau Joko Wilis merupakan seorang mata-mata atau telik sandi yang sedang menyelidiki keadaan di Nusabarung! Dan teringat pula dia betapa Joko Wilis menolak untuk segera menikah dengan Dyah Candramanik, melainkan minta diundur selama satu tahun.

"Kalau begitu, bagaimana baiknya, Paman Wasi berdua? Dia sudah terlanjur kami terima sebagai calon mantu, karena memang dia yang memenangkan sayembara itu. Dan agaknya puteriku Dyah Candramanik juga sudah menyetujui."

"Mana yang harus diutamakan, kepentingan hati puteri paduka ataukah keselamatan kadipaten Nusabarung? Kalau paduka menghendaki, biarlah kami berdua yang akan melakukan penyelidikan terhadap diri Joko Wilis, kalau ternyata dia seorang telik sandi, kami berdua yang akan sanggup menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo.

"Baik, paman Wasi. Akan tetapi kami harap andika berdua berhati-hati, jangan sampai membuat puteriku berduka. Kalau benar Joko Wilis seorang telik sandi dari Panjalu atau Jenggala, tentu dengan mudah kami sendiri yang akan memberitahu kepada puteriku Dyah Candramanik."

Demikianlah, Adipati Martimpang telah membuat persekutuan dengan dua orang pendeta yang datang dari Blambangan itu untuk menyelidiki keadaan Joko Wilis!

**** 010 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 011 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment