Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 011

**** BACK ****

Dewi Candramanik termenung seorang diri dalam kamarnya. Apa yang dialami sore tadi ketika ia mempelajari ilmu memanah dari Joko Wilis sungguh membuat jantungnya berdebar penuh ketegangan. Selama beberapa hari ini ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri Joko Wilis. Naluri kewanitaannya membuat ia sadar bahwa ada suatu kalainan pada diri pemuda yang membuat ia kasmaran itu. Kalau ia belajar membidik, Joko Wilis berdiri di belakangnya dan merangkulkan kedua lengan untuk mengajarinya menarik busur dan membidik, ia mencium keharuman yang seperti bunga, keharuman seperti yang terdapat pada tubuh wanita! Pula, jari-jari tangannya demikian kecil meruncing, sentuhan lengannya demikian lembut. Juga rambutnya mengeluarkan bau harum. Makin lama, hatinya menjadi semakin curiga karena Joko Wilis bergerak demikian indah dan luwes seperti seorang wanita.

"Aku harus mendapat kepastian besok pagi," akhirnya puteri itu mengambil keputusan.

Sementara itu, senja itu Retno Wilis mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan keluar dari kadipaten. Ia terus menuju ke pintu gerbang dan keluar dari kota kadipaten, memasuki daerah berhutan dari pulau itu. Tentu saja maksudnya hanya satu, yaitu hendak menemui kakaknya. Kalau kakaknya berada di kadipaten dan melihat ia keluar dari kota, tentu kakaknya akan membayanginya. Dugaannya benar. Belum lama ia berjalan di jalan yang sunyi di tepi hutan itu, ia melihat seorang pemuda berpakaian putih di sebelah depan. Ketika ia mendekat, melihat bahwa orang itu adalah Bagus Seto.

"Kakangmas Bagus Seto!" ia memanggil.

"Diajeng Retno Wilis, engkau keluar dari kota raja untuk menemui aku, bukan?"

"Benar, kakangmas," Retno Wilis Lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa setelah berhasil memenangkan sayembara, telah mendapat banyak keterangan tentang Nusabarung dari Dyah Candramanik.

"Diajeng, sebaiknya kita sekarang lari saja meninggalkan pulau. Kalau engkau terlalu lama di sini, akhirnya engkau akan menemui halangan. Permainanmu terlalu berbahaya, diajeng."

"Nanti dulu, kakangmas. Hari ini terjadi hal yang penting. Ada dua orang utusan dari Blambangan tiba di sini dan mereka itu adalah orang-orang yang pandai. Bahkan seorang di antara mereka telah mencoba untuk mempengaruhi aku dengan ilmu sihirnya. Aku harus menyelidiki dulu apa maksud mereka datang berkunjung. Setelah itu, baru kita melarikan diri."

"Engkau telah menipu Dyah Candramanik, kalau ia mengetahui kepalsuanmu, tentu ia akan sakit hati. Karena itu berhati-hatilah, diajeng."

"Jangan khawatir, kakang. Aku akan bersikap hati-hati. Dyah Candramanik itu tidak merupakan bahaya karena ia sudah tergila-gila kepadaku, ia memang cantik, kakang. Kalau saja engkau yang mengikuti sayembara dan menikah dengannya, tentu serasi sekali!"

"Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, diajeng. Jangan terlalu lama engkau menyelidiki dua orang pendeta dari Blambangan itu. Kita harus cepat pergi dari sini. Hasil penyelidikanmu itu sudah cukup."

"Baik, kakangmas. Berilah waktu seminggu lagi kepadaku. Seminggu kemudian kita akan bertemu di sini, di waktu senja dan kita lari bersama."

Setelah bercakap-cakap melepas kerinduan, mereka lalu kembali ke kadipaten, mengambil jalan masing-masing. Menurut cerita Bagus Seto kepada Retno Wilis, pemuda itu mondok di rumah seorang duda tua yang hidup menyendiri di sudut kota.

Pada keesokan harinya, Retno Wilis memasuki taman-sari seperti biasa untuk menemui Dyah Candramanik mengajarkan ilmu memanah. Hatinya lega karena ia telah bertemu dengan kakaknya dan dengan wajah berseri ia bertemu dengan puteri itu. Ia melihat betapa Dyah Candramanik mengenakan pakaian baru yang merah muda sehingga tampak lebih cantik dari biasanya. Retno Wilis yang sedang senang hatinya, memuji kecantikan puteri itu.

"Wahai, diajeng Candramanik, engkau kelihatan secantik bidadari dari kahyangan."

Wajah Dyah Candramanik menjadi kemerahan dan ia berkata manja.
"Ah, kakangmas, harap jangan terlalu memujiku." Ia menggapai kepada seorang pelayan dan minta agar pelayan mengambilkan minuman untuk Joko Wilis. Setelah minum, Dyah Candramanik lalu berkata,

"Kakangmas Joko Wilis, mengapa aku amat bodoh? Mempelajari ilmu memanah, sampai sekarang aku belum juga pandai memanah."

"Siapa bilang, diajeng? Engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bukankah kemarin tiga kali anak panahmu mengenai sasaran. Itu sudah cukup bagus!"

"Kalau setiap kali melepas anak panah mengenai sasaran, itu baru dapat dibilang bagus, kakangmas. Aku masih lemah dalam hal membidik, dan ketika melepaskan anak panah, jari tangan kananku kurang tenang. Aku minta diajar membidik lagi yang lebih baik kakangmas!"

"Baiklah, diajeng. Hari ini akan kuajarkan engkau membidik ke arah sasaran agar tepat dan bagaimana engkau harus mengerahkan tenaga agar anak panahmu dapat meluncur dengan lurus."

Mulailah mereka berlatih memanah. Untuk mengajarkan bagaimana membidik dengan baik, terpaksa Joko Wilis harus memegang kedua lengan puteri itu dan untuk dapat melakukan ini, dia harus berdiri mepet di belakang puteri itu dan merangkulnya untuk membimbing kedua tangan yang memegang busur dan anak panah. Dengan cara begini, punggung puteri itu dekat sekali dengan dada Joko Wilis. Ketika mereka berdua sedang asyik belajar membidik, tidak ada orang lain yang menyaksikan karena pelayan telah disuruh pergi oleh Dyah Candramanik, tiba tiba ketika ia menarik gendewa dan membidik, puteri itu mengeluh dan tubuhnya condong ke belakang seperti hendak jatuh. Joko Wilis yang tidak menyangka, menjadi terkejut ketika siku lengan puteri itu telah mendesak buah dadanya.

"Ihh ... !" Dyah Candramanik terkejut dan kini yakin bahwa Joko Wilis adalah seorang perempuan, ia membalik dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Engkau ... engkau seorang wanita ... !" bisiknya dengan napas terengah-engah karena tegang hatinya.

Retno Wilis juga terkejut sekali, tidak mengira bahwa rahasianya akan dapat diketahui puteri itu. Ia tidak dapat mengelak lagi dan demi kebaikan puteri itu sendiri ia harus berterus terang agar puteri itu tidak terus tergila-gila kepadanya.

"Maafkan saya, diajeng, terus terang saja saya memang seorang perempuan."

"Gila kau! Kenapa engkau mempermainkan aku seperti ini? Mengapa engkau mengikuti sayembara itu, bahkan memenangkannya dan bersedia dijodohkan dengan aku?"

"Sekali lagi maafkan saya. Saya seorang petualang dan dalam perantauan saya, saya melihat sayembara itu. Melihat para pengikut sayembara yang sombong-sombong dan kasar-kasar, saya tidak tega membiarkan diajeng menjadi isteri seorang di antara mereka. Karena itu aku lalu memasuki sayembara untuk mengalahkan mereka semua sehingga andika terhindar dari pada bahaya menjadi jodoh orang-orang kasar itu."

Akan tetapi Dyah Candramanik tidak menjawab dan ia menangis, lalu bangkit berdiri dan lari meninggalkan Retno Wilis, kembali ke gedung kadipaten. Sejenak Retno Wilis bimbang. Apa yang harus ia lakukan? Apa pula yang akan dilakukan puteri itu? Apakah ia harus cepat melarikan diri? Retno Wilis menanti di taman-sari sampai lama, mengharapkan sang puteri akan kembali ke situ. Akan tetapi setelah dinanti-nanti sampai agak lama sang puteri tidak juga muncul, ia lalu kembali ke kamarnya dan mengambil keputusan untuk melarikan diri pada waktu senja nanti.

Sementara itu, Dyah Candramanik berlari ke dalam gedung kadipaten sambil menangis. Ia mencari ayahnya dan melihat ayahnya sedang berada di ruangan tamu bersama dua orang tamu kakek dari Blambangan itu, ia tidak perduli dan terus lari memasuki ruangan itu dan langsung menubruk ayahnya sambil menangis.

"Duh, kanjeng Romo ... !" ia menangis.

"Eh, Dyah Candramanik, ada apakah? Apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis seperti ini?"

"Aduh celaka, kanjeng Romo, kita telah tertipu dan terhina... !" Kata-katanya terhenti karena tangisnya yang tersedu-sedu.
"Tenanglah, anakku. Ceritakan dengan tenang dan jelas apa yang telah terjadi."

“Kanjeng Romo, Joko Wilis itu ...dia itu ... ternyata adalah seorang wanita ... !"

"Apa?" Adipati Martimpang bangkit berdiri dengan mata terbelalak. "Di mana si bedebah itu? Berani ia mempermainkan kita!"

"Aku meninggalkannya di taman-sari, kanjeng Romo."

"Kanjeng Adipati, biarlah kami berdua yang akan menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo yang sudah bangkit berdiri bersama adik seperguruannya, Wasi Surengpati.

"Akan kukerahkan pasukan untuk membantu andika berdua!"

Terjadi kesibukan. Tidak kurang dari tigapuluh orang dikerahkan untuk mengawal dua orang pendeta yang akan menangkap Retno Wilis itu. Mereka lalu mencari dara yang menyamar sebagai pemuda itu. Akan tetapi Retno Wilis sudah meninggalkan taman-sari dan berada di dalam kamar nya. Ketika itu Retno Wilis masih merasa bimbang. Ia masih ingin menyelidiki kehadiran dua orang pendeta utusan Blambangan itu, akan tetapi tidak disangkanya sama sekali rahasianya akan terbuka oleh sang puteri. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dirinya sudah dibayangi oleh dua orang pendeta itu, bahkan kini kamarnya sudah dikepung oleh tigapuluh orang perajurit yang membawa gendewa dan anak panah!

Ketika ia mendengar gerakan orang-orang di luar kamarnya, Retno Wilis lalu mengintai dari balik jendela. Alangkah terkejutnya melihat banyak perajurit sudah menodongkan anak panah mereka ke arah pintu, juga jendela kamarnya. Kalau ia berusaha keluar dari pintu atau jendela itu, tentu hujan anak panah akan menyambutnya dan itu berbahaya sekali. Mana mungkin menangkis puluhan batang anak panah yang dihujamkan ke arahnya.

"Joko Wilis, keluar dan menyerahlah. Engkau sudah dikepung!" terdengar bentak nyaring dan Retno Wilis mengenal suara ini sebagai suara Adipati Martimpang sendiri.

Maklumlah ia bahwa rahasianya tentu sudah dibuka oleh Dyah Candramanik sehingga sang adipati itu juga sudah tahu bahwa ia seorang wanita yang menyamar pria. Ia harus dapat meloloskan diri dari situ karena bahaya besar mengancamnya! Jalan melalui pintu atau jendela sudah tertutup, tak mungkin ia keluar dari situ. Satu-satunya jalan adalah menerobos atap rumah! Setelah menghadapi ancaman bahaya ini baru ia merasa menyesal mengapa ia tidak menurut nasihat Bagus Seto untuk melarikan diri kemarin, dan lebih menyesal lagi bahwa ia tidak membawa pedang pusakanya. Dengan pedang itu mungkin ia dapat menerobos keluar dan memutar pedangnya menangkis hujan anak panah. Sekarang ia bertangan kosong, tidak mungkin ia menempuh bahaya itu.

Setelah mengambil keputusan, Retno Wilis lalu mengerahkan tenaga saktinya dan ia meloncat naik melalui atap yang diterobosnya dengan kedua tangannya. Ia berhasil menerobos atap dan berada di atas atap. Akan tetapi sama sekali ia tidak mengira bahwa di situ sudah menanti Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati! Dua orang pendeta ini sudah menduga bahwa Retno Wilis mungkin mengambil jalan menerobos atap, maka begitu tubuh dara perkasa itu muncul, Wasi Karangwolo sudah menyambutnya dengan sambitan tepung berwarna kuning ke arah muka Retno Wilis dan Wasi Surengpati menyodokkan tongkat ularnya ke arah lehernya !

Retno Wilis menangkis sodokan tongkat ular itu, akan tetapi ia tidak dapat menghindar ketika bubuk kuning itu sebagian mengenai mukanya! Matanya tiba-tiba menjadi pedih dan tidak dapat dibuka, dan hidungnya mencium bau yang amis dan keras. Tiba-tiba ia merasa napasnya sesak dan terpelantinglah Retno Wilis di atas atap ! Dengan mudah Wasi Karangwolo menyambut tubuhnya dan menelikung sehingga Retno Wilis yang jatuh pingsan itu tidak berdaya lagi. Wasi Karangwolo membawanya loncat ke bawah. Melihat Joko Wilis sudah tertawan, Adipati Martimpang menghunus kerisnya dan hendak menusukkan keris itu ke dada Joko Wilis.

"Biar kubunuh penipu dan pengacau ini!" hardiknya.

Akan tetapi Wasi Karangwolo menghalangi.

"Sabar dulu, Kanjeng Adipati. Jangan tergesa-gesa membunuhnya. Mungkin saja ia dapat mengaku terus terang siapa sebenarnya ia ini, mungkin telik sandi yang dilepaskan Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan kita. Kalau ia sudah membuat pengakuan, nah, baru boleh ia dibunuh di depan rakyat jelata agar mereka takut membuat kacau seperti dara ini."

Adipati Martimpang mengangguk-angguk dan menyarungkan kembali kerisnya.
"Sesuka andika berdua sajalah untuk memeriksanya, kalau perlu boleh menyiksanya agar ia mengaku."

Wasi Karangwolo tersenyum.
"Kamu mempunyai cara yang lebih baik untuk membuat ia mengaku, bukan dengan penyiksaan karena boleh jadi dara ini cukup tangguh untuk membungkam mulut dan menahan segala siksaan. Dengan cara kami ia akan dengan sendirinya membuat pengakuan. Akan tetapi ia telah menghisap bubuk racun kuning kami dan mungkin sore nanti baru sadar. Kami hanya minta sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat untuk mengurung dirinya."

Retno Wilis lalu diangkat ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari batu dan pintunya terbuat dari besi tebal dengan jeruji di bagian atasnya. Setelah kedua kaki dan tangannya diikat dengan tali yang kuat, ditelikung seperti seekor domba yang hendak disembelih, Retno Wilis lalu dilempar ke dalam kamar tahanan itu.

Wasi Karangwolo dan Resi Surengpati minta kepada para penjaga untuk meninggalkan mereka bertiga saja dengan tawanan itu. Setelah semua orang pergi, mereka lalu mengerahkan tenaga batin mereka untuk melakukan sihir atas diri Retno Wilis. Dalam keadaan tidak sadar, Retno Wilis dibuka kedua pelupuk matanya dan kedua orang pendeta itu memandang dengan sinar mata mencorong ke dalam mata Retno Wilis.

"Hei, wanita muda yang menyamar sebagai Joko Wilis. Engkau akan menuruti semua kehendak kami! Kalau sudah sadar engkau harus menjawab semua pertanyaan kami dengan sebenarnya!" Kalimat itu di ulang-ulang dan beberapa mantera dibisikkan oleh kedua Wasi itu sampai akhirnya Retno Wilis yang masih pingsan itu mengangguk-angguk.

Mereka melepaskan lagi Retno Wilis yang rebah tak berdaya diatas lantai dan barulah mereka keluar dari kamar tahanan itu. Gadis itu sudah dikuasai dan dikendalikan pikirannya dengan ilmu sihir dan kedua kaki tangannya juga terikat kuat, sedikitpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Belum lagi keadaan kamar tahanan itu yang kokoh kuat dan di luar kamar tahanan terdapat belasan orang perajurit yang menjaganya. Biar ditambah sepasang sayap di pundak dara itu tak mungkin ia dapat meloloskan diri.

Tubuh dalam kamar tahanan itu bergerak-gerak, menggerakkan kaki tangannya akan tetapi ia tidak mampu bangkit. Kedua kaki dan tangannya sudah terbelenggu kuatkuat. Retno Wilis mulai sadar dari pingsannya, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Kepalanya terasa pening sekali. Ketika membuka matanya, ia melihat bahwa dirinya menggeletak di atas lantai yang dingin. Ketika ia mencoba menggerakkan kaki tangannya, ia tidak dapat. Tubuhnya terasa lemas sekali. Ia tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia kini hanya tahu bahwa ia telah dibelenggu kaki tangannya dan berada dalam sebuah kamar yang tidak berapa luas, yang hanya mempunyai sebuah pintu baja yang bagian atasnya ada terali besinya yang amat kuat. Ia telah ditawan! Pikiran ini membingungkannya. Ketika timbul niatnya untuk mematahkan belenggu pada kaki tangannya, mendadak di dalam kepalanya terdengar suara yang amat berwibawa.

"Engkau tidak dapat membebaskan diri dari belenggu karena semua tenagamu habis. Engkau merasa tubuhmu tidak berdaya, lemah lunglai!"

Ia harus membenarkan kata-kata yang terngiang di dalam telinganya ini. Tidak mungkin ia membebaskan diri dari belenggu yang demikian kuatnya, sedangkan tubuhnya demikian lemas tak berdaya.

"Aku lemah ... tubuhku lemah tak berdaya ... " katanya membenarkan, dan iapun tidak berani mencoba mengerahkan tenaganya lagi, melainkan rebah miring tak berdaya.

Tiba-tiba Retno Wilis melihat dua muka orang muncul di luar terali besi itu. Ia tidak ingat lagi siapa mereka, akan tetapi yang tampak olehnya hanya dua pasang mata yang mencorong seperti api dan yang seolah-olah mengikatnya. Ia menjadi gelisah menatap dua pasang mata itu.

"Wanita muda, siapakah namamu? Jawab yang benar!"

Retno Wilis merasa aneh sekali. Mengapa ada orang bertanya seperti itu dan ia merasa tak berdaya, merasa bahwa ia harus menjawab sejujurnya? Akan tetapi ia tidak mampu menahan diri dan ia harus menjawab sejujurnya, seolah ada sesuatu yang amat kuat mendorongnya untuk menjawab.

"Namaku Retno Wilis."

Dua orang kakek itu adalah Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo. Mendengar jawaban itu, mereka saling pandang. Wasi Karangwolo lalu bertanya lagi sambil mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Rara Wilis.

“Dari mana engkau datang?"

"Dari Panjalu."

Kembali dua orang kakek itu saling pandang dan pada saat itu, Adipati Martimbangpun datang dan ikut menjenguk lewat terali besi di bagian atas pintu. Melihat kehadiran adipati Martimpang, Wasi Karangwolo mengulang lagi pertanyaannya.

"Wanita muda, katakan siapa namamu dan darimana engkau datang!"

Bagaikan seorang yang sedang mimpi, jawaban itu meluncur dari mulut Retno Wilis di luar kehendaknya sendiri.

"Namaku Retno Wilis dan aku datang dari Panjalu."

Adipati Martimpang terkejut. Dia tidak mengenal nama Retno Wilis akan tetapi pengakuan gadis itu bahwa ia datang dari Panjalu mengejutkan hatinya. Kiranya benar bahwa gadis ini seorang telik-sandi yang dikirim oleh Kerajaan Panjalu!

"Siapa yang mengutusmu datang ke Nusabarung?”

"Tidak ada yang mengutusku."

"Apa maksudmu datang ke Nusabarung?"

"Hendak melihat-lihat keadaan, menentang kejahatan, membela yang benar dengan adil!" kata-kata terakhir itu adalah tugas yang selalu didengungkan oleh Bagus Seto kepada Retno Wilis, maka sekarang kata-kata itu keluar dengan sendirinya."

"Siapa ayah bundamu?" Wasi Karangwolo kembali bertanya untuk dapat mengetahui lebih banyak tentang gadis yang menjadi tawanan itu.

"Ayahku Patih Panjalu Tejolaksono dan ibuku Endang Patibroto!"

Dua orang kakek dan adipati itu terkejut setengah mati. Mata mereka terbelalak ketika mereka saling pandang. Kalau nama Retno Wilis tidak mereka kenal, maka nama Tejolaksono dan Endang Patibroto itu tentu saja telah mereka kenal dengan baik! Dua orang yang sakti mandraguna, yang pernah menggegerkan Nusabarung dan Blambangan.

Wasi Karangwolo selain terkejut juga girang sekali. Dia menganggap Tejolaksono dan Endang Palibroto sebagai musuh besarnya. Kakek ini adalah guru dari para senopati di Blambangan yang dulu terbunuh oleh Endang Patibroto. Para muridnya itu adalah Mayangkrudo, Kolonarmodo, dan Haryo Baruno. Bahkan Adipati Blambangan di waktu itu, Menak Linggo juga terbunuh oleh wanita sakti itu. Dan kini puteri Endang Patibroto dan Tejolaksono berada di dalam tangannya! Sungguh merupakan balas dendam yang terasa manis sekali bagi Wasi Kawangwolo. Adipati Martimpang kini yakin pula bahwa puteri patih Panjalu itu pasti datang untuk menyelidiki keadaan dan kekuatan Nusabarung. Gadis ini merupakan orang yang berbahaya sekali.

"Ia seorang yang berbahaya sekali!" kata Adipati Martimpang. "Kita bunuh saja ia sebelum ia dapat memberi keterangan tentang Nusabarung kepada Raja Panjalu!"

"Nanti dulu, Kanjeng Adipati. Kita kuras dulu keterangan darinya sebanyak-banyaknya," kata Wasi Karangwolo. Dia lalu memandang lagi kepada Retno Wilis dan suaranya menggetar penuh wibawa ketika dia bertanya, "Retno Wilis, dengan siapa saja engkau datang ke Nusabarung?"

"Dengan kakakku."

"Siapa kakakmu itu?" tanya Wasi Karangwolo, semakin penasaran.

"Kakangmas Bagus Seto."

"Di mana dia sekarang?"

"Di Nusabarung."

"Ya, tapi di mana?"

Retno Wilis tidak menjawab karena memang ia tidak tahu di mana kakaknya berada.

"Retno Wilis, jawab, atau aku akan membikin pecah kepalamu. Engkau merasa kepalamu nyeri sekali, seperti dipukuli dari dalam!"

Mendadak Retno Wilis memejamkan matanya dan mengerang kesakitan, menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa nyeri sekali.

"Hayo katakan, di mana adanya Bagus Seto?"

Tiba-tiba tampak uap putih, dan sesosok bayangan putih berkelebat, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda, berpakaian serba putih.

"Aku berada di sini!" kata Bagus Seto yang dengan kepandaiannya yang tinggi sudah dapat memasuki tempat itu.

Dia lalu melemparkan tangkai bunga cempaka putih ke arah kepala Retno Wilis dan dia berkata lembut namun penuh getaran yang berwibawa.

"Diajeng Retno Wilis, sadarlah! Engkau telah bebas dari pengaruh jahat yang menguasaimu, tenagamu telah pulih kembali seperti sedia kala!"

Adipati Martimpang terkejut sekali dan berteriak memanggil para senopatinya yang masih berada di luar.

"Tangkap pemuda itu!" bentaknya dan dia sendiri lalu menyelinap dan pergi dari tempat itu.

Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati juga merasa marah sekali melihat munculnya pemuda berpakaian putih itu.

"Keparat, menyerahlah!" bentak mereka sambil mengerahkan ilmu sihir mereka untuk menundukkan Bagus Seto. Akan tetapi pemuda itu tersenyum dan berkata kepada dua orang kakek itu. "Sayang sekali mempelajari ilmu hanya untuk melakukan kejahatan!"

Dua orang kakek itu menyerang dan menubruk maju, akan tetapi sekali berkelebat Bagus Seto telah lenyap dari tempat itu. Sementara itu, Retno Wilis seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Ia merasa betapa tenaganya sudah pulih kembali dan kini ia sadar betul bahwa ia telah tertawan dan terbelenggu. Dengan marah Retno Wilis lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan sekali menggerakkan kaki tangannya, dara perkasa ini telah membuat belenggu kaki tangannya patah-patah! Ia meloncat berdiri dan mengerahkan tenaganya menerjang daun pintu dari besi itu.

"Wuuuuuut ... braaaakkkk!" Pintu itu jebol dan Retno Wilis sudah melompat keluar dari dalam kamar tahanan.

Melihat ini, semua orang terkejut dan belasan orang penjaga, juga dua orang kakek itu, mundur dan keluar dari tempat tahanan itu. Retno Wilis mengejar mereka dan ketika ia tiba di luar, ia telah terkepung oleh para perajurit yang bersenjatakan tombak dan golok. Dara itu mengamuk!

"Retno, jangan membunuh orang! Aku menunggumu di dalam guha di mana engkau menyimpan pakaianmu!" terdengar suara kakaknya berdengung di dekat telinga Retno Wilis, akan tetapi kakaknya itu tidak tampak berada di situ.

Biarpun ia marah sekali dan mengamuk seperti seekor naga betina, namun peringatan kakaknya ini diturutnya dengan patuh. Ia menggerakkan kaki tangannya, menampar dan menendang merobohkan para pengeroyok, akan tetapi tidak ada seorangpun yang ia bunuh. Ia membatasi tenaganya dalam setiap tamparan dan tendangan sehingga yang terkena tidak sampai tewas, hanya terlukai yang membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi. Akan tetapi Adipati Martimpang sendiri kini memimpin lima orang senopatinya yang tangguh untuk mengeroyok Retno Wilis,

"Bunuh wanita ini!" bentaknya kepada Ki Wisokolo dan empat orang rekannya! Lima orang itu lalu membentak para perajurit supaya mundur dan mereka berlima mengepung Retno Wilis.

Dara yang sakti mandraguna itu tidak menjadi gentar. Biarpun lima orang senopati itu menyerangnya dari lima penjuru, akan tetapi dengan kegesitannya ia mampu mengelak dan menangkis sehingga serangan mereka itu semua gagal. Bahkan ketika ia menangkis dengan lengannya, ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga lima orang lawannya merasa lengan mereka tergetar hebat dan nyeri seperti telah bertemu dengan lengan baja! Di belakang lima orang senopati itu tampak puluhan orang perajurit yang telah mengepung dara itu.

Retno Wilis merasa heran dan agak kesal hatinya mengapa kakaknya tidak turun tangan membantunya, ia maklum bahwa kakaknya itu seorang yang tidak suka berkelahi, akan tetapi melihat adiknya dikeroyok seperti ini, mengapa dia tidak membantu? Ia maklum bahwa tidak mungkin ia melawan terus. Pasukan itu bisa datang beratus-ratus, tak mungkin dengan tenaganya seorang diri ia harus melawan mereka.

Ketika melihat Adipati Martimpang di belakang Ki Wisokolo sambil memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dan Retno Wilis menemukan ia membalik dan menyerang Ki Wisokolo dengan Aji Wisolangking. Tubuh Ki Wisokolo terpental dan terjengkang oleh pukulan ini dan secepat kilat Retno Wilis sudah melompat dan dilain saat ia telah menangkap lengan kanan Adipati Martimpang dan menekuknya ke belakang tubuh.

"Hayo perintahkan mereka semua mundur kalau engkau tidak ingin mati dengan kepala remuk!" kata Retno Wilis dan ia menekuk lengan itu lebih kuat ke belakang punggung sang adipati sehingga Adipati Martimpang mengeluh kesakitan.

Sedikit lagi Retno Wilis mendorong tangannya ke atas di belakang punggungnya, sambungan tulang pundaknya bias terlepas!

"Baik, jangan bunuh aku ... !"

Adipati Martimpang lalu berseru nyaring.
"Semua orang mundur, jangan menyerang lagi!"

Melihat betapa dara itu telah menangkap majikan mereka, semua pengeroyok bergerak mundur. Juga keduaWasi itu mundur dengan khawatir. Mereka maklum bahwa dara itu bukan hanya menggertak saja. Mungkin sang adipati akan benar-benar dibunuh oleh dara yang sakti mandraguna itu kalau mereka tidak mau mundur. Terpaksa mereka juga mundur sampai agak jauh. Retno Wilis berkata kepada adipati yang telah ditawannya.

"Mari temani aku untuk pergi dari sini. Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kalau orang-orangmu menyerangku, aku akan lebih dulu membunuhmu kemudian mengamuk dan membunuh semua orangmu!"

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 012 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment