Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 014

**** BACK ****

Bagus Seto dan Retno Wilis melakukan perjalanan dengan santai menuju ke timur. Pada suatu siang yang cerah, mereka berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon asam yang besar. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak berserakan di bawah pohon, menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi leher mereka. Matahari amat terik dan sinarnya menyengat tubuh. Nyaman memang mengaso di bawah pohon asam itu. Angin semilir seperti mengipasi tubuh mereka dan Retno Wilis memandang ke atas. Banyak buah asam bergantungan di dahan. Tiba-tiba ia melihat sepasang burung sedang bercumbu di atas dahan. Ia tersenyum geli sehingga Bagus Seto juga memandang ke atas. Diapun melihat sepasang burung itu dan tersenyum juga, bukan menertawakan burung-burung itu melainkan menertawakan adiknya yang tersenyum melihat burung-burung itu bercumbu.

"Burung-burung tak tahu malu," kata Retno Wilis melihat kakaknya tersenyum.

"Eh? Kenapa, diajeng? Burung-burung itu berkasih-kasihan, sudah sewajarnya, dan sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi. Mengapa kaukatakan tidak tahu malu?"

"Apakah itu yang dinamakan cinta, kakangmas?"

"Benar, dan cinta itu suci adanya, walaupun di dalam cinta itu terkandung nafsu berahi."

"Apakah cinta manusia juga mengandung nafsu, kakang?"

"Tentu saja. Di dunia ini, di antara tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, cintanya tentu mengandung nafsu berahi, cinta semua makhluk mengandung pamrih karena disenangkan hatinya. Tidak ada cinta tanpa pamrih, karena itu semua cinta bergelimang nafsu."

"Akan tetapi cinta antara suami-isteri adalah suci, bukan kakang? Suami isteri kadang mengalah demi membahagiakan masing-masing pihak, tanpa pamrih."

Bagus Seto tersenyum.
"Biarpun dengan menyesal, terpaksa harus kukatakan, bahwa cinta antara suami isteri juga tidak terbebas daripada nafsu, akan tetapi hal itu adalah sewajarnya karena nafsu berahi inilah yang merupakan syarat berkembang biaknya manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Berarti bahwa sejak kita lahir, kita sudah disertai nafsu, jadi sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi."

"Aku menjadi bingung, kakang. Kalau semua cinta dilumuri nafsu, maka cinta itu kotor, kakang. Bukankah nafsu itu merupakan sesuatu yang buruk dan dapat menyeret manusia ke jurang kesengsaraan?"

"Sama sekali tidak demikian, adikku. Nafsu berahi, seperti juga nafsu lain, merupakan hal yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya nafsu berahi dalam cinta kasih, maka manusia tidak akan berkembang biak seperti sekarang ini. Akan tetapi seperti juga nafsu lain, nafsu berahi juga amat berbahaya kalau sudah menguasai dan memperhamba manusia. Kalau seseorang telah diperhamba nafsu berahi maka dia akan mengejar kesenangan melalui nafsu berahinya sedemikian rupa sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang sesat, seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran dan lain-lain."

"Ah, aku menjadi ngeri memikirkan soal cinta-kasih kalau begitu. Akan tetapi benar-benarkah tidak ada cinta-kasih yang bersih dari pada nafsu bagi manusia?"

"Tidak ada, adikku. Tidak akan ada cinta kalau tidak ada nafsu. Nafsu itu menyenangkan, nafsu itu hendak memuaskan diri, hendak menyenangkan diri sendiri. Seorang baru mencinta kalau yang dicinta itu menarik hatinya, menyenangkan hatinya melalui kecantikan, keluhuran budi, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Pendeknya, orang disenangkan dulu hatinya baru jatuh cinta. Dapatkah seorang wanita mencinta seorang pria atau seorang pria mencinta seorang wanita kalau yang dicintanya itu ternyata tidak dapat melakukan hubungan badan? Tentu saja tidak. Betapapun buruknya kenyataan ini, betapapun sarunya, namun kenyataannya demikianlah. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa cinta seseorang dapat berubah dan berbalik menjadi benci, mengapa? Karena kalau disenangkan dia mencinta, kalau sekali waktu dia disusahkan, dia menjadi marah dan cintanya berubah menjadi benci. Demikianlah ulah nafsu, adikku. Berbahagialah orang yang dapat mengikuti dan mengerti akan gerak-gerik nafsu yang menguasai diri sendiri."

Retno Wilis mengerutkan alisnya yang kecil hitam melengkung indah itu. Ia teringat akan mendiang Adiwijaya. Orang yang dianggap sebagai pamannya atau bahkan pengganti orang tuanya sendiri itu mencintanya tanpa pamrih, mencintanya dengan hati bersih dan suci, bahkan rela mengorbankan dirinya untuknya!

"Akan tetapi, kakang. Bukankah terdapat cinta-kasih antara sahabat yang benar-benar bersih dari nafsu, cinta-kasih murni antara dua orang sahabat yang setia?”

"Tidak ada, adikku. Cinta antara dua orang sahabat juga bergelimang nafsu, walaupun bukan nafsu berahi. Cinta seorang sahabat itu tentu didorong karena dia menganggap orang yang dicintanya itu baik terhadapnya, menyenangkan dan menguntungkan. Selama ada penilaian antara baik dan buruk, tentu cinta yang timbul karena penilaian itu ditunggangi nafsu."

"Kalau begitu di dunia ini tidak terdapat cinta-kasih sejati, cinta-kasih yang suci dan murni?"

"Tentu saja ada, diajeng Retno Wilis.Tengoklah ke sekelilingmu. Semua yang tampak ini berguna bagi kehidupan manusia. Pohon-pohon, bahkan pohon asam ini amat berguna bagi manusia. Buahnya untuk masak, daunnya untuk jamu dan kayunya masih dapat digunakan untuk membangun rumah dan kayu bakar. Lihat bunga-bunga indah itu. Tampak oleh mata manusia demikian indah menyenangkan. Baunya juga harum amat menyegarkan bagi penciuman. Lihat sinar matahari, demikian indah dan mendatangkan terang, juga menghidupkan. Rasakan semilirnya angin yang demikian menyejuk dan menyegarkan. Lihatlah, di sekeliling kita. Tanah tersedia untuk kita, menghasilkan segala macam kebutuhan hidup manusia. Semua itu diberikan tanpa pamrih, tanpa memandang bulu dan terus menerus. Bukan hanya manusia yang mendapat limpahan berkah ini, melainkan juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Nah, semua itulah cinta kasih, adikku. Itulah sifat Hyang Widhi, yaitu Kasih."

Retno Wilis memandang kakaknya dan mata yang indah itu terbelalak, berseri.
"Kakang, engkau membuka mataku! Betapa buta aku selama ini tidak melihat dan tidak merasakan lagi adanya berkah dan cinta-kasih suci yang berlimpah ruah diberikan kepadaku!"

"Itulah, adikku. Itulah pekerjaan nafsu yang selalu menarik perhatian kita sehingga kita selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak ada pada kita. Nafsu tidak mengenal puas, tidak mengenal cukup, akan selalu mendorong kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Akhirnya nafsu menyeret kita ke dalam perbuatan yang sesat dan jahat. Aku girang bahwa engkau merasa terbuka matamu, diajeng."

Setelah bercakap-cakap dan tidak merasa gerah lagi, kedua orang kakak beradik itu hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar orang bertembang dengan suara yang berat dan dalam.

"Rumangsane mung nalongso
Susah sajeroning urip
Sakabehing kang tinuju
Olehe namun kuciwo
Sing dioyak-oyak teko luput
Luwih becik s ing narimo
Opo paringing Hyang Widhi"

Arti tembang itu adalah
Rasanya hanya nelangsa,
susah dalam kehidupan,
semua yang diharapkan,
hanya mendapat kecewa,
yang dikejar-kejar tak dapat,
lebih baik yang menerima,
apa yang diberikan Hyang Widhi.

Bagus Seto dan Retno Wilis tidak jadi meninggalkan tempat di bawah pohon asam itu dan menanti orang yang bertembang itu datang dekat. Dia seorang paman tani berusia hampir limapuluh tahun, bercelana hitam tak berbaju, bajunya berada di atas singkong yang dipikulnya dalam dua buah keranjang. Orang itu bertubuh kurus, tulang-tulangnya menonjol di bawah kulitnya yang coklat karena banyak terbakar sinar matahari. Otot-ototnya juga menonjol, menunjukkan bahwa otot-otot itu sering dipergunakan untuk memikul berat dan bekerja keras. Kakinya telanjang. Seluruh penampilan kakek ini, dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya, memperlihatkan kesederhaan yang polos, tidak dibuat-buat, kesederhanaan yang mendekati kemiskinan.

Namun wajah itu berseri, matanya memandang polos ke depan, kosong dan tidak perduli. Ketika tiba dekat pohon asam yang lebat itu, dia berhenti melangkah, lalu menghampiri tempat teduh itu, melepaskan pikulannya yang berat. Dengan tangan kanannya dia menanggalkan sebuah caping dari kepalanya dan mengipasi dadanya yang berkeringat dengan caping itu, kemudian dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis dan tampak keheranan dalam sinar matanya.

Bagus Seto tersenyum kepadanya dan bertanya,
''Paman, Kidung Pangkur yang kautembangkan tadi indah sekali!"

Kakek itu tersenyum dan seketika wajahnya yang penuh keriput itu tampak segar dan muda.
"Wah, denmas, tembangku hanya tembang orang dusun."

"Benar, paman, aku tertarik sekali, terutama isi tembang itu. Apakah engkau merasa setuju kalau ada orang yang mempunyai cita-cita untuk meraih keadaan yang lebih baik?"

Petani itu menggunakan baju hitamnya yang tadi ditaruh di atas singkong untuk menghapus keringat dari leher dan mukanya.

"Mengharapkan sesuatu yang tidak ada hanya merupakan penyiksaan diri belaka, denmas. Kalau hasilnya luput, kita akan merasa nelangsa dan kecewa, sebaliknya kalau dapat, kita tetap saja tidak puas dan mengharapkan yang lebih baik atau lebih banyak. Dari pada mengharapkan yang tidak-tidak, lebih baik menerima apa yang diberikan oleh Hyang Widhi." Petani itu memandang ke arah pikulannya, mungkin menaksir-naksir berapa yang akan didapatnya dari penjualan sepikul singkong itu.

"Akan tetapi kalau begitu hidup ini tidak akan ada kemajuan, paman. Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang berusaha untuk memperbaiki kehidupan kita? Dengan usaha keras tentunya."

"Oooh, tentu saja, denmas. Kita harus bekerja setiap hari, karena apakah artinya hidup ini tanpa bekerja? Kita bekerja sekuat tenaga setiap hari, tanpa mengharapkan apa-apa dan apa yang datang sebagai hasil pekerjaan kita itu, itulah anugerah dan berkah Hyang Widhi yang harus kita terima dengan penuh rasa sukur, tanpa mengharapkan yang bukan-bukan." Petani itu bicara dengan bahasa yang bersahaja, akan tetapi menyentuh perasaan Bagus Seto.

"Kalau begitu pandangan hidup paman, maka paman menyerah dengan penuh kepasrahan kepada Hyang Widhi untuk menentukan keadaan hidup paman?"

"Tentu saja, denmas. Hyang Widhi kuasa mengatur segalanya. Kita tidak mempunyai kemampuan untuk menolak apa yang telah ditentukan Hyang Widhi. Tugas kita hanya bekerja sebaik mungkin dan setelah itu maka aku pasrah kepada Hyang Widhi. Apapun yang diberikan kepadaku akan kuterima dengan penuh rasa sukur. Kalau sudah begitu, maka kehidupan ini terasa nikmatnya nikmat dari berkah Hyang Widhi yang tidak ada henti-hentinya kepada kita."

"Diajeng Retno, inilah contohnya seorang yang berbahagia!" kata Bagus Seto kepada adiknya.

Biarpun ucapan petani singkong itu amat sederhana, namun ucapannya mengandung arti yang amat dalam sehingga Retno Wilis masih belum mengerti benar. Ia memandang kepada kakek itu dengan kagum lalu bertanya,

"Paman, bahagiakah paman dalam hidup paman.”

Kakek itu memandang kepada Retno Wilis dengan sinar mata tidak mengerti.
"Apa maksud andika, den ajeng? Apa itu bahagia? Saya tidak membutuhkan bahagia."

Retno Wilis terbelalak. Kalau kata bahagia saja tidak mengerti, bagaimana mungkin orang hidup berbahagia? Akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepada adiknya.

"Diajeng, justeru karena paman ini tidak membutuhkan bahagia, itu berarti bahwa dia telah berbahagia! Kebahagiaan hanya dikejar-kejar orang yang hidupnya tidak bahagia, yang hidupnya diganggu persoalan-persoalan yang menyusahkan dan menggelisahkan hatinya. Kalau gangguan itu tidak ada lagi, maka orangpun tidak butuh bahagia karena sesungguhnya dia sudah berbahagia! Seperti orang yang sakit saja yang membutuhkan kesehatan, kalau orang itu tidak sakit lagi, dia tidak butuh akan kesehatan karena sesungguhnya dia sudah sehat. Mengertikah engkau, adikku?"

Retno Wilis baru mengerti setengah-setengah saja. Semua orang di dunia ini mengejar kebahagiaan, bagaimana petani miskin ini dikatakan oleh kakaknya sebagai orang yang berbahagia karena dia tidak mengejar, bahkan tidak mengerti apa itu kebahagiaan?

"Wah, matahari sudah naik tinggi, saya harus berangkat sekarang, denmas. Nanti pasarnya keburu sepi dan tidak ada yang membeli singkongku ini! Selamat tinggal, denmas dan den-ajeng."

"Selamat jalan, paman. Semoga Hyang Widhi selalu memberkahimu seperti yang andika nikmati setama ini," kata Bagus Seto dan petani itu lalu memikul lagi dua keranjang singkong itu dan meninggalkan tempat itu.

Retno Wilis mengikuti petani itu dengan pandang matanya. Betapa tubuh kurus itu terseok-seok memikul beban yang berat, akan tetapi betapa lincahnya kedua tangannya itu berlenggang dan kedua kaki itu melangkah seperti orang menari-nari gembira.

"Hayo, diajeng, kita lanjutkan perjalanan kita," kata Bagus Seto dan Retno Wilis mengangguk, lalu mereka berdua melangkah ke arah timur meninggalkan pohon asam itu.

"Kakang, aku masih memikirkan pembahasan tentang cinta-kasih tadi. Aku masih merasa ngeri melihat kenyataan bahwa tidak ada cinta-kasih yang murni, semua cinta-kasih manusia bergelimang nafsu. Aku ngeri, kakang dan tidak mau jatuh cinta!"

Bagus Seto tertawa.
"Ha-ha, mudah saja engkau berkata demikian, adikku. Akan tetapi sekali waktu akan tiba saatnya
engkau bertemu seseorang dan jatuh cinta kepadanya, baik kaukehendaki maupun tidak. Jodoh manusia ditentukan oleh Hyang Widhi, dan sekali engkau bertemu dengan calon jodohmu yang sudah ditentukan, engkau akan jatuh cinta padanya dan dia akan jatuh cinta padamu."

"Mencinta dengan dorongan nafsu?"

"Tentu saja, karena Hyang Widhi menghendaki demikian. Ingat, engkau diciptakan untuk kelak menjadi seorang ibu yang melahirkan anak-anakmu, dan untuk itu engkau harus lebih dulu jatuh cinta kepada seorang pria dan menjadi isterinya."

"Ih, ngeri aku memikirkan dan membayangkan hal itu. Saling jatuh cinta dengan nafsu. Aku tidak ingin jatuh cinta, kakangmas. Biar selama hidupku aku begini saja, hidup seorang diri."

"Hemm, kalau cinta berahi sudah menyelubungi hatimu, engkau tidak akan mampu melawan hatimu sendiri. Akan tetapi sudahlah, semua itu sudah diatur oleh Hyang Widhi, dan manusia tidak akan mampu mengubahnya. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

Karena pantai Laut Kidul di tempat itu merupakan daerah pegunungan kapur yang sukar dilalui, terpaksa kedua orang muda ini melakukan perjalanan agak ke utara, melalui dusun-dusun.

**** 014 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 015 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment