Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 015

**** BACK ****

Kakek itu sudah tua sekali, sedikitnya tentu sudah delapanpuluh tahun usianya. Pakaiannya seperti seorang pertapa, amat sederhana, hanya merupakan kain yang dililit-lilitkan pada tubuhnya yang kurus kerempeng. Rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua seperti kapas. Seluruh anggauta tubuhnya sudah menunjukkan ketuaannya, kecuali sinar matanya. Mata yang penuh keriput dan dihias alis mata yang sudah putih semua itu, memiliki sinar yang tajam sekali dan mata itu masih bening seperti mata kanak-kanak!

Kakek itu adalah seorang Empu pembuat keris, juga seorang pertapa yang telah lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di lereng Gunung Raung yang terkenal sebagai gunung yang angker. Jarang ada orang berani mendaki Gunung Raung, karena gunung ini terkenal dengan hutan-hutannya yang penuh dengan binatang liar dan buas, juga dikenal sebagai tempat pelarian orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah, dan lebih dari itu, dikabarkan banyak bagian dari gunung itu dijadikan sarang para demit dan setan bekasakan yang suka mengganggu manusia.

Akan tetapi kakek itu merasa tenang dan damai tinggal di lereng gunung itu. Nama kakek ini adalah Empu Gandawijaya. Semenjak sepuluh tahun yang lalu, kakek itu tidak tinggal seorang diri di lereng Gunung Raung, melainkan ditemani seorang muridnya. Pemuda ini ditemukan oleh Empu Gandawijaya ketika pemuda itu berusia tiga belas tahun dan hidup menyendiri, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Melihat anak remaja yang hidup kapiran seorang diri ini, dan melihat pula betapa anak muda itu memiliki bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang satria, Empu Gandawijaya lalu membawa dan mengajaknya ke Gunung Raung dan menjadi muridnya yang dianggap sebagai anak sendiri.

Pemuda itu bernama Harjadenta dan selama sepuluh tahun dia hidup bersama mpu Gandawijaya, bekerja di sawah ladang dan mempelajari banyak ilmu dari Sang Empu. Bukan hanya ilmu pembuatan keris, akan tetapi juga mempelajari sastera dan aji kanuragan. Kini dia sudah berusia duapuluh tiga tahun, menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh sedang, berdada bidang dan berwajah tampan gagah. Sinar matanya penuh kejujuran dan keterbukaan, dan mulutnya selalu tersenyun ramah kepada siapapun juga. Biarpun dia hidup di tempat sunyi bersama gurunya, namun Harjadenta inilah yang kadang pergi ke dusun-dusun untuk mencari segala keperluan untuk dia dan gurunya.

Pada suatu pagi, baru saja Harjadenta terbangun dari tidurnya dan terdengar ayam jantan berkeruyuk, dia sudah melihat gurunya duduk bersila di ruangan depan pondok mereka yang tidak begitu besar.

"Bapa guru, sepagi ini bapa sudah bangun tidur." Harjadenta bertanya dengar heran. Biasanya, selalu dia yang lebih dulu terbangun dan setelah dia memasak air baru gurunya keluar dari kamarnya.

Empu Gandawijaya membuka kedua matanya dan mengeluh.
"Denta, ke sinilah dan duduk di sini. Aku mempunyai urusan yang harus kita bicarakan sekarang juga."

Dengan penuh keheranan Harjadenta lalu duduk bersila di depan gurunya dan menanti apa yang akan disampaikan orang tua itu kepadanya.

"Denta, semalam telah ada pencuri yang sakti masuk ke pondok kita dan mencuri Ki Carubuk."

Terkejutlah Harjadenta mendengar ini. Ki Carubuk adalah sebatang keris pusaka buatan gurunya yang belum lama ini dirampungkan, sebatang keris yang amat ampuh menurut gurunya.

"Seorang pencuri telah mengambil Ki Carubuk, bapa. Akan tetapi mengapa hal itu dapat terjadi, bahkan saya sama sekali tidak mendengar ada orang masuk ke dalam pondok?"

Empu Gandawijaya menghela napas panjang.
"Itulah maka kukatakan bahwa pencuri itu sakti. Dia pasti seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semalam dia telah dapat melepas Aji Penyirepan, membuat kita berdua tertidur nyenyak dan tidak tahu bahwa dia memasuki pondok ini dan mengambil keris pusaka KiCarubuk."

Harjadenta lalu menyembah dan berkata penuh penyesalan.
"Ampunkan saya, Bapa. Hal itu menunjukkan bahwa saya kurang waspada, sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang berani memasuki pondok kita dan mencuri pusaka."

"Bukan salahmu, Denta. Aku sendiri saja dapat terkena Aji Penyirepannya yang hebat itu, apa lagi engkau."

"Lalu bagaimana baiknya, Bapa? Saya menunggu perintah Bapa Guru."

"Kulup, aku sekarang sudah tua, tubuhku sudah tidak kuat untuk melakukan perjalanan jauh, apa lagi untuk mengejar pencuri. Akan tetapi aku tidak mau menambahi dosa-dosaku, karena itu engkau harus pergi mencari pencuri itu dan merampas kembali Ki Carubuk."

Pemuda itu merasa heran.
"Mengapa Bapa Guru merasa berdosa dengan hilangnya Ki Carubuk, Bapa? Hal itu bukan kesalahan Bapa."

"Ketahuilah, Denta. Ki Carubuk adalah sebatang keris yang amat ampuh. Keris itu akan menjadi pusaka yang amat berguna kalau terjatuh ke tangan seorang satria atau seorang yang mulia hatinya, akan tetapi kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, keris itu dapat menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan kepada rakyat banyak. Aku khawatir pencuri itu seorang jahat dan keris itu akan dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Kalau demikian halnya, berarti aku telah menambah dosaku dengan pembuatan keris itu. Karena itu, carilah pusaka itu agar dapat kembali kepada kita dan jangan engkau kembali ke sini sebelum berhasil menemukan Ki Carubuk itu, anakku. Ingat, Ki Carubuk itu berluk tujuh dengan ricikan Lambe Gajah, kembang kacang, sraweyan, dan Greneng, sinarnya kehitaman, agak kelabu, di ujungnya ada sinar keemasan."

Mendengar perintah ini, Harjadenta merasa terharu. Dia harus meninggalkan kakek itu seorang diri di tempat sunyi ini. Setelah selama sepuluh tahun tinggal bersama gurunya, dia sudah menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya sendiri dan kini tiba-tiba saja dia diharuskan pergi meninggalkan gurunya untuk mencari keris pusaka Ki Carubuk dan tidak boleh pulang kalau keris itu belum ditemukan!

"Akan tetapi, Bapa. Kalau saya pergi, lalu siapa yang akan menemani Bapa di sini? Siapa yang akan mengerjakan sawah ladang, siapa yang akan memasak makanan dan minuman untuk Bapa? Siapa yang akan mencuci pakaian dan siapa pula yang akan membersihkan tempat ini setiap hari?"

Empu Gandawijaya tertawa memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi.
"Kulup, sebelum engkau tinggal di sini, aku sudah puluhan tahun hidup menyendiri, jangan khawatir, biarpun sudah tua, aku dapat menjaga dan merawat diriku sendiri. Ki Cambuk itu terlalu penting bagiku, jangan sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Nah, berangkatlah, Harjadenta dan pergunakan semua ilmu yang pernah kaupelajari di sini untuk dapat merebut kembali Ki Cambuk. Doa restuku mengiringi perjalananmu."

Harjadenta tidak dapat membantah lagi. Dia lalu berkemas dan pada hari itu juga dia berangkat setelah dia minta doa restu dan minta petunjuk dari gurunya.

"Bapa, saya mohon petunjuk, seperti apa kiranya pencuri itu dan ke mana saja harus mencarinya. Tanpa petunjuk Bapa, saya merasa tidak berdaya dan tidak tahu mencari ke mana."

Sejenak kakek itu diam dan menundukkan kepalanya. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata,
"Kalau perhitunganku tidak keliru, Denta, pencuri itu seorang wanita yang sakti mandraguna, cantik dan pandai ilmu sihir dan guna-guna. Hanya petunjuk itu yang dapat kuberikan dan engkau naiklah perahu itu di sepanjang Kali Mayang. Turutlah aliran sungai itu sampai ke muaranya di Laut Kidul. Mudah-mudahan dengan menempuh jalan itu engkau akan dapat menemukan pencuri itu."

Dengan bekal petunjuk gurunya itu, Harjadenta menuruni lereng Gunung Raung. Dia melalui dusun-dusun di kaki gunung di mana dia sering datang menukar hasil hutan dengan barang-barang yang dibutuhkan dia dan gurunya, kemudian dia terus melakukan perjalanan ke selatan sampai dia bertemu dengan mata air Kali Mayang.

Dia menyusuri sungai itu sampai sungai itu menjadi cukup besar untuk melanjutkan perjalanannya dengan perahu. Di sebuah dusun di pantai sungai Mayang, dia membuat sebuah perahu dari batang bambu dan kayu, kemudian melanjutkanperjalanannya dengan perahu sederhana ini. Karena perahu itu meluncur terbawa aliran sungai dan ditambah dengan dorongan dayung, maka perjalanan dapat berjalan lebih cepat dari pada kalau dia berjalan menyusuri sungai yang kadang bertemu dengan bagian yang rimbun dan sulit dilalui sehingga dia harus mengambil jalan memutar.

Dalam perjalanan ini, Harjadenta seringkali berhenti di sebuah dusun dan melakukan penyelidikan, bertanya-tanya kalau-kalau ada penduduk yang melihat seorang wanita cantik melakukan perjalanan seorang diri lewat di dusun itu. Akan tetapi, sampai jauh dia melakukan perjalanan itu, setelah lewat beberapa minggu, belum juga dia mendapatkan keterangan tentang wanita yang dicarinya.

Pada suatu hari perahunya melewati sebuah dusun, yaitu dusun Grobokan. Dusun itu cukup ramai karena daerah itu merupakan daerah yang menghasilkan palawija yang melimpah ruah. Dia mengambil keputusan untuk singgah di Grobokan, untuk menyelidiki kalau-kalau ada wanita asing yang cantik singgah di tempat itu. Dia menambatkan perahunya di sebatang pohon di tepi sungai dan memasuki dusun Grobokan. Karena daerah itu subur dan menghasilkan banyak palawija, maka penduduknya juga lebih baik keadaannya dengan dusun-dusun lainnya. Rumah-rumah disitu cukup besar dan terbuat dari kayu.

Seperti biasa, kalau hendak menginap di sebuah dusun, Harjadenta mencari rumah penduduk yang sekiranya dapat menerima dirinya untuk bermalam. Dicarinya rumah yang tampak sunyi, tidak banyak penghuninya dan dia menemukan seorang laki-laki setengah tua duduk seorang diri di depan rumah sambil menyambung tali-tali jala yang berlubang. Agaknya kakek ini suka menjala ikan di Kali Mayang. Melihat di sana tidak ada orang lain, Harjadenta lalu menghampirinya.

"Kulonuwun ... !" Harjadenta memberi salam.

Kakek itu mengangkat mukanya memandang dan merasa heran melihat seorang pemuda yang berpakaian bersih dan berwaiah tampan berdiri di depannya.

"Mari silakan, denmas. Ada keperluan apakah denmas mengunjungi saya?"

"Maaf, paman. Saya adalah seorang perantau yang tiba di dusun ini dan ingin mencari tempat untuk melewatkan semalam ini. Kalau sekiranya paman tidak berkeberatan, bolehkah saya menumpang di sini semalam?"

Laki-laki itu memandang Harjadenta dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki dan agaknya hatinya puas meneliti pemuda itu. Seperti penduduk dusun umumnya, dengan senang hati dia tentu saja suka menolong orang lain dan tidak keberatan kalau pemuda yang sopan dan bersih ini hendak menginap di rumahnya untuk semalam.

"Tentu saja kalau paman dan para penghuni ini yang lainnya tidak berkeberatan."

"Ah, tidak denmas. Aku tidak keberatan dan yang tinggal di sini hanya aku, isteriku dan seorang anak perempuanku. Kami tidak berkeberatan asal denmas sudi tinggal di tempat kami yang kotor dan buruk."

"Paman terlalu merendahkan diri. Rumah ini cukup bagus dan bersih, dan sayapun tidak memilih-milih tempat. Dipan bambu yang paman duduki itu saja sudah cukup bagiku untuk melewatkan malam di luar rumah ini."

"Ah, tidak, denmas, tidak boleh begitu. Kami masih ada bilik di dalam rumah yang kosong, bekas bilik anak laki-laki kami yang sekarang telah pergi untuk selamanya." Wajah kakek itu tampak berduka.

"Maksud paman, anak laki-laki itu ... ?"

"Dia sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu, denmas. Terserang penyakit panas. Sekarang tinggal isteriku dan anak perempuan kami. Silakan duduk, denmas."

"Terima kasih, paman." Harjadenta lalu mengambil tempat duduk di sudut dipan bambu itu. "Namaku Harjadenta, paman, aku datang jauh dari lereng Gunung Raung."

"Namaku Dirun, denmas." Dia lalu melongok ke arah pintu rumahnya yang terbuka. "Las ... ! Lasmini, keluarlah ke sini!" Dia memanggil.

Terdengar suara lembut menjawab dan keluarlah dari pintu itu seorang perawan dusun yang manis. Rambutnya ikal, kulitnya hitam manis, matanya lebar dan lugu, mulutnya manis sekali, seorang dara yang usianya paling banyak enambelas tahun. Gadis itu tampak terkejut dan malu-malu ketika melihat ada seorang pemuda duduk di situ bersama ayahnya.

"Ada ... ada apa, bapak?" tanyanya dan suaranya lembut jernih, sejernih sinar matanya. Kini ia menunduk, tidak berani menatap wajah pemuda tampan gagah itu,

"Denmas, ini anak kami, Lasmini. Las, ini adalah denmas Harjadenta yang menjadi tamu kita. Cepat kau keluarkan wedang teh dan ubi rebus itu."

"Baik, pak."

"Ah, paman, harap jangan repot-repot." kata Harjadenta dengan sungkan.

"Tidak, denmas. Wong wedang dan ubi rebus itu sudah ada, kok.”

Dara manis itu menghilang ke dalam rumah. Tuan rumah itu ternyata ramah sekali dan tanpa diminta dia menceritakan keadaan dirinya kepada Harjadenta.

"Dulu, ketika puteraku masih hidup, keadaan kami lumayan, aku tidak perlu bekerja keras, denmas. Akan tetapi setelah anakku mati, terpaksa aku bekerja keras, berladang dan kadang mencari ikan. Isteriku kadang membantu dan yang bekerja di rumah adalah anakku Lasmini tadi."

‘Gadis yang manis dan rajin,’ pikir Harjadenta.
"Kalau begitu tentu kehidupan keluargamu di sini tenteram, paman."

Orang itu mengerutkan alisnya.
"Mestinya begitu. Tidak banyak kebutuhan kami dan semua kebutuhan dapat tercukupi. Bahkan anakku telah bertunangan dengan seorang pemuda yang rajin dan tinggal di ujung dusun ini. Kami merencanakan untuk melangsungkan pernikahan mereka bulan depan."

"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, paman. Anakmu telah hampir menikah apa lagi yang paman susahkan."

"Akan tetapi, ah, aku khawatir sekali, denmas."

Harjadenta memandang penuh perhatian kepada kakek itu. Wajah kakek berusia limapuluhan tahun itu tiba-tiba tampak khawatir dan alisnya berkerut, matanya memandang ke kanan kiri seolah ada bahaya mengancamnya.

"Apa yang paman khawatirkan?"

"Seminggu yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia itu utusan Ki Demang yang berkuasa di dusun Grobokan ini. Dan kedatangannya itu adalah untuk meminang Lasmini yang akan dijadikan isteri ke enam Ki Demang."

"Hemm, lalu bagaimana engkau menjawab. Paman Dirun?"

"Menolak dengan keras tentu saja aku tidak berani, denmas Harjadenta. Akan tetapi, menerima pinangan itupun tentu saja kami tidak bisa karena anakku telah bertunangan. Maka kami hanya memberitahu kepada utusan itu bahwa Lasmini telah bertunangan dan bulan depan akan menikah. Kami minta dengan hormat kepada utusan itu agar memberitahukan hal ini kepada Ki Demang."

"Lalu bagaimana kata mereka?"

"Utusan itu kelihatan tidak senang dan mengatakan bahwa dia memberi waktu sepekan kepada kami untuk menyatakan menerima atau menolak pinangan itu. Kami khawatir sekali, denmas. Ki Demang terkenal galak dan mempunyai banyak tukang pukul. Kami khawatir dia akan memaksa kami agar memenuhi permintaannya itu."

"Kalau begitu sebaiknya pernikahan anakmu itu dipercepat saja, paman. Kalau anakmu sudah menikah tentu Ki Demang itu tidak akan dapat memaksa."

Dirun menghela napas panjang.
"Mudah-mudahan saja begitu, akan tatapi kami merasa khawatir sekali. Ki Demang itu terkenal mata keranjang. Dulu, lima tahun yang lalu dia tergila-gila kepada seorang wanita yang sudah bersuami. Entah bagaimana, tiba-tiba saja suami wanita itu meninggal dunia tanpa sakit, dan jandanya segera diambil sebagai isteri ke empat oleh Ki Demang. Ah, betapa gelisah hati kami. Kalau saja anak kami tidak cantik, tentu tidak akan ada malapetaka yang menimpa kami. Apa yang harus kami lakukan, denmas?"

"Apakah paman sudah memberitahukan hal ini kepada tunangan anak paman? Siapa nama calon mantu itu, paman?"

"Namanya Martono, diapun hanya seorang petani biasa, dan kami sudah menceritakan kepadanya, akan tetapi diapun tidak dapat berdaya. Maklum rakyat kecil, kami dapat berbuat apakah terhadap Ki Demang?"

"Utusan Ki Demang itu mengatakan akan kembali sepekan lagi? Kapankah itu, paman Dirun?"

"Tepat pada hari ini, denmas. Sejak pagi hatiku sudah tidak karuan rasanya karena hari ini dia akan kembali."

"Dan apa yang akan kaukatakan nanti?"

"Aku akan berterus terang saja, denmas, bahwa pernikahan anakku dengan Martono akan kami laksanakan dua pekan lagi sehingga kami terpaksa tidak dapat melaksanakan perintah Ki Demang."

"Bagus, paman. Memang begitulah seharusnya jawabanmu."

"Akan tetapi kami khawatir ... aku takut ... "

"Jangan takut, paman. Ada aku di sini, dan akulah yang akan mencegah kalau mereka akan melakukan kekerasan."

Melihat sikap yang tegas dari pemuda tampan gagah itu, Ki Dirun merasa agak lega, akan tetapi dia tetap was-was mengingat bahwa Ki Demang merupakan orang yang paling berkuasa di dusun itu. Seorang wanita setengah tua keluar bersama Lasmini menghidangkan air teh dan ubi rebus. Dirun memperkenalkan isterinya kepada Harjadenta yang cepat memberi hormat.

"Bibi, aku sudah mendengar semua cerita Paman Dirun tentang adik Lasmini dan utusan Ki Demang. Harap bibi, dan juga andika, adik Lasmini, tidak khawatir. Akulah yang akan menghadapi mereka kalau mereka menggunakan kekerasan. Sukur kalau mereka mau mengerti dan mengurungkan pinangan paksaan itu."

Isteri Ki Dirun mengucapkan terima kasih dan Lasminpun hanya mengangguk ke arah Harjadenta sambil tersenyum kecil. Kemudian kedua orang ibu dan anak itu masuk lagi ke dalam rumah. Mereka berdua lalu makan minum sambil bercakap-cakap. Matahari sudah mulai condong ke barat dan tiba-tiba Ki Dirun tampak gelisah sekali sambil memandang kedepan.

Harjadenta juga memandang dan melihat dua orang laki-laki berpakaian mewah memasuki pelataran rumah itu. Sikap mereka angkuh dan garang, dan Ki Dirun cepat bangkit dari tempat duduknya ketika melihat mereka, sambil membungkuk menanti mereka dengan sikap takut-takut.

"Silakan duduk dan terimalah suguhan kami yang sederhana, denmas berdua," katanya sambil mempersilakan dua orang itu duduk di dipan bambu dengan mengacungkan ibu jarinya dengan sikap hormat sekali.

Dua orang utusan itu keduanya bertubuh gendut. Yang seorang memiliki kumis melintang seperti tanduk, dan orang kedua memiliki hidung besar sekali. Si kumis melintang meraba-raba kumisnya dan si hidung besar mendengus dengan hidungnya, tidak menghargai sikap Dirun yang
demikian merendah dan penuh hormat.

"Kami datang bukan untuk minum wedangmu dan makan ubimu. Heh, Pak Dirun, siapa pemuda ini? Calon mantumukah?"

"Bukan, aku bukan calon mantu Paman Dirun, melainkan seorang keponakannya." jawab Harjadenta sambil bangkit berdiri memandang kedua orang itu.

"Hei Dirun!" kata lagi si kumis melintang sambil melotot ke arah tuan rumah. "Kami datang untuk mendengar jawabanmu atas pinangan Juragan kami kepada anakmu. Bagaimana?"

"Ampun, denmas. Bagaimana saya dapat memenuhi permintaan Ki Demang yang terhormat ? Anak kami itu, dua pekan lagi sudah akan menikah."

"Hah? Menikah? Dengan siapa?"

"Dengan Martono, pemuda yang tinggal di ujung dusun ini."

"Kalau begitu, berani engkau menolak pinangan Ki Demang? Petani busuk, apakah nyawamu rangkap maka engkau berani membantah perintah Ki Demang?" Bentak si hidung besar dengan suara agak sengau.

"Dirun, kamu harus menyerahkan Lasmini sekarang juga kepada Ki Demang atau terpaksa kami harus menggunakan kekerasan, menangkap engkau sekeluarga dan merampas Lasmini untuk menjadi selir Ki Demang!"

Saking takutnya, Dirun tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menunduk dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Melihat ini, Harjadenta lalu melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu.

"Heh, kalian utusan Ki Demang! Tidak ada aturannya di dunia ini untuk memaksa orang menyerahkan anak gadisnya. Kalian bersikap melebihi perampok saja!"

Dua orang utusan Ki Demang itu hampir tidak dapat percaya kepada telinganya sendiri. Mana mungkin ada orang berani bicara seperti itu kepada mereka, dua orang kepercayaan Ki Demang, orang yang paling berkuasa di Grobokan? Dengan muka merah dan mata melotot mereka memandang kepada Harjadenta dan si kumis melintang sudah melangkah maju menghampiri Harjadenta dengan marah.

"Bocah setan, berani kau berkata demikian kepadaku?"

Setelah berkata demikian, tangan kanannya menyambar untuk menampar muka pemuda itu. Akan tetapi Harjadenta yang juga sudah marah menyaksikan sikap mereka, menangkap pergelangan tangan kanan yang besar itu dan sekali putar, lengan itu sudah dipuntir ke belakang punggung.

"Pergilah!" bentak Harjadenta dan sekali dia mendorong dengan kuatnya, tubuh si kumis melintang itu terdorong dan jatuh menelungkup dengan kuatnya. Dia terbanting dan perutnya yang lebih dulu menimpa tanah. Perut yang gendut itu terbanting keras, membuat dia terengah-engah dan merangkak bangun dengan susah payah.

Si hidung besar marah bukan main. Dia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah muka Harjadenta. Akan tetapi pemuda inipun memperlakukan dia seperti kawannya tadi, lengannya ditangkap dipuntir lalu didorong kuat. Si hidung besar terdorong kedepan dan jatuh menelungkup dan sial baginya, yang mengenai tanah lebih dulu adalah hidungnya yang besar sehingga hidung itu bercucuran darah ketika dengan terengah-engah dia mencoba untuk bangkit berdiri. Agaknya dua orang itu hanya lagaknya saja yang besar dan galak. Begitu bertemu lawan yang kuat, mereka sudah menjadi jerih. Sambil mundur-mundur mereka berdua memaki-maki.

"Bangsat? Keparat! Tunggu engkau akan pembalasan kami!"

Dan setelah memaki, mereka takut kalau-kalau pemuda itu akan mengejar maka mereka lalu melarikan diri pontang panting meninggalkan rumah Dirun. Dirun dan isteri serta anaknya yang keluar mendengar ribut-ribut, tidak menjadi gembira oleh pertolongan Harjadenta. Bahkan mereka menjadi pucat dan ketakutan.

"Aduh, bagaimana ini, denmas! Mereka tentu akan dating bersama tukang-tukang pukul Ki Demang dan celakalah kita!" kata Dirun, isteri dan anak perempuannya saling rangkul dan menangis ketakutan.

"Paman, bibi dan engkau Lasmini, sudah jangan menangis. Tenanglah saja. Di sini ada aku yang bertanggung jawab. Aku yang memukul, bukan kalian dan aku akan rampungkan urusan ini sampai tuntas. Sekarang jangan bingung, Paman Dirun. Engkau pergilah kepada calon mantumu, ajak dia dan orang tuanya mengungsi ke sini karena aku khawatir kalau dia akan diganggu oleh mereka."

"Dia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sudah janda, denmas." kata Dirun.

"Lebih baik lagi kalau begitu. Panggil nereka berdua ke sini agar mudah aku melindungi kalian. Dan andika, bibi dan adik lasmini, masuklah ke dalam dan jangan keluar kalau mendengar suara ribut-ribut. Percayalah, aku yang akan menanggulangi semua urusan ini."

Ki Dirun lalu pergi untuk memanggil calon mantunya, sedangkan Lasmini dan ibunya segera bersembunyi ke dalam kamar mereka. Harjadenta dengan sikap tenang duduk kembali ke atas dipan bambu dan makan ubi rebus. Dia maklum bahwa sikapnya menentang utusan Ki Demang tadi tentu akan berekor dan mungkin benar sangkaan Ki Dirun bahwa mereka akan datang lagi membawa tukang-tukang pukul. Akan tetapi Harjadenta sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka.

Tak lama kemudian Ki Dirun sudah kembali bersama calon mantunya, Martono, seorang pemuda petani yang bertubuh tegap berkulit kecoklatan karena terbakar sinar matahari bersama ibunya yang sudah setengah tua. Harjadenta menyuruh mereka berdua masuk pula ke dalam rumah dan hanya Ki Dirun yang menemaninya di luar rumah, menanti apa yang akan datang dengan tenangnya.

"Denmas Harjadenta, sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali kepadamu. Kami telah membuat denmas repot dan menghadapi bahaya. Kalau sampai denmas terseret dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sungguh kami akan merasa menyesal sekali."

"Ah, paman. Harap jangan berkata demikian. Semua ini terjadi karena kehendakku. Aku tidak suka melihat perbuatan sewenang-wenang. Harap jangan khawatir, paman. Aku yang akan menyelesaikan urusan ini."

Tiba-tiba tampak dua orang gendut utusan Ki Demang tadi memasuki pekarangan rumah itu, diikuti oleh lima orang laki-laki yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap bengis.

"Itulah dia! Itulah jahanam yang telah berani memukuli kami. Kalian hajarlah dia!" kata si kumis melintang kepada lima orang itu sambil menunjuk kepada Harjadenta.

Harjadenta sudah bangkit berdiri dan keluar menyambut mereka. Lima orang itu agaknya memandang rendah kepada pemuda yang lembut itu, dan mereka segera mengepungnya.

"Orang muda, siapakah engkau yang telah berani memukuli utusan Ki Demang?" tanya seorang di antara lima orang tukang pukul itu sambil bertolak pinggang.

"Namaku Harjadenta. Aku berani memukuli mereka karena mereka bertindak sewenang-wenang terhadap Paman Dirun." jawab Harjadenta dengan tenang.

"Babo-babo, keparat! Sekarang cepatlah engkau berlutut dan minta ampun kepada mereka berdua atau terpaksa kami berlima akan memberi hajaran kepadamu." kata pula orang itu dengan lagak sombong.

"Hemm, kenapa aku yang harus minta ampun? Semestinya mereka berdua yang harus minta ampun kepada Paman Dirun sekeluarganya." jawab Harjadenta tegas.

"Apa? Engkau berani membantah kami? Rasakan ini!" kata orang itu sambil menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah pipi Harjadenta.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 016 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment