Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 016

**** BACK ****

Tamparan itu cepat dan kuat sekali, tanda bahwa penampar itu memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi tentu saja Harjadenta tidak rnenghendaki pipinya ditampar orang. Hanya dengan menarik tubuh atas ke belakang saja, tamparan itu luput.

"Ehhh ... ??" Tukang pukul itu marah dan penasaran sekali, dan dia lalu menerjang maju dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Melihat ini Harjadenta cepat menggerakkan tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan mendorong ke arah dada penyerangnya itu.

"Plak ... bukkk ... !" Tukang pukul itu terjengkang keras dan roboh terbanting.

Tentu saja empat orang kawannya menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi mereka serentak menyerang Harjadenta dari empat penjuru. Bahkan orang pertama yang tadi roboh kini sudah bangkit kembali dan ikut pula menyerang.

Akan tetapi Harjadenta tidak merasa gentar sedikitpun. Tenaga para tukang pukul yang besar itu baginya biasa saja, bahkan baginya mereka itu bergerak dengan amat lamban. Dengan mudah dia berloncatan ke sana sini untuk mengelak dari serangan mereka, dan kadang ditangkisnya. Dan setiap kali dia menangkis, para tukang pukul itu tentu menyeringai kesakitan, merasa betapa lengannya seperti bertemu dengan sepotong linggis besi!

Sementara itu, Ki Dirun yang menonton perkelahian itu, hanya dapat berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetaran. Tentu saja dia khawatir sekali kalau penolongnya kalah. Dapat dia bayangkan apa akan jadinya dengan dia dan keluarganya kalau Harjadenta sampai kalah. Tentu Lasmini akan dibawa oleh tukang pukul itu dengan paksa dan dia serta isterinya, dan Martono serta ibunya akan menerima hajaran.

Akan tetapi Ki Dirun tidak perlu khawatir lagi. Kini Harjadenta mulai membalas serangan mereka dan begitu kaki tangannya bergerak-gerak cepat membagi-bagi pukulan dan tendangan, terdengar suara bak-bik-buk disusul teriakan-teriakan kesakitan dari lima orang pengeroyok dan tubuh mereka berpelantingan ke kanan kiri! Lima orang itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit lagi dan kini lima orang itu mencabut kelewang dari pinggang mereka. Kelewang atau golok itu tajam dan berkilauan menggiriskan hati Ki Dirun yang semakin ketakutan.

Namun Harjadenta hanya tersenyum sambil menanti serangan mereka. Lima orang tukang pukul itu mengepung, lalu serentak mereka menyerang dengan kelewang mereka. Senjata golok itu menyambar-nyambar haus darah. Akan tetapi semua sabetan itu dapat dielakkan oleh Harjadenta dan kini dia tidak mau memberi hati lagi. Setelah mengelak atau menangkis dia langsung membalas dengan cepat dan kini dia menambah tenaga tamparan dan tendangannya. Berturut-turut lima orang itu terpelanting roboh dan golok mereka yang terlepas dari pegangan mencelat ke kanan kiri dan mereka tidak dapat segera bangkit kembali. Mereka mengaduh-aduh dan mencoba untuk merangkak menjauhi pemuda yang digdaya itu.

Sementara itu, dua orang utusan Ki Demang yang bertubuh gendut, ketika melihat betapa lima orang tukang pukul itu roboh semua, memandang dengan mata terbelalak dan mereka sudah siap untuk melarikan diri. Melihat ini, dengan beberapa kali loncatan Harjadenta sudah dapat membekuk mereka. Dia menangkap tengkuk mereka dan dua orang itu menjadi ketakutan. Kaki mereka terasa lemas dan tanpa diperintah lagi mereka segera berlutut dan menyembah-nyembah kepada pemuda perkasa itu.

"Ampun, denmas ... ampunkan kami yang hanya menjadi orang suruhan Ki Demang ... " mereka meratap dan menyembah-nyembah.

Harjadenta melepaskan tengkuk mereka, mendorong mereka dengan muak.
"Dengar kalian orang-orang sombong. Katakan kepada Ki Demang bahwa kalau dia masih berani memaksakan kehendaknya untuk merampas anak gadis orang, aku akan datang kepadanya dan membunuhnya. Juga kalian dan semua tukang pukulnya akan kubasmi sampai habis!"

"Ampun, denmas ... !"

"Pergilah!" Harjadenta menendang dua kali dan dua orang itu terguling-guling, lalu merangkak bangun dan seperti lima orang tukang pukul mereka, mereka lari tunggang langgang. Harjadenta menghampiri Ki Dirun yang masih berdiri dengan tubuh gemetar di dekat dipan bambu. "Nah, paman, sekarang bahaya sudah lewat. Kurasa mereka tidak akan berani mengganggumu lagi."

Akan tetapi tiba-tiba Ki Dirun menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Harjadenta sambil berkata dengan suara penuh permohonan,

"Denmas, saya menghaturkan terima kasih kepada denmas akan tetapi kami semua mohon kepadamu, janganlah tinggalkan kami. Kalau denmas pergi, tentu mereka akan datang lagi dan celakalah kami karena sudah tidak ada denmas yang melindungi. Karena itu tinggallah di sini, denmas sampai bahaya benar-benar lewat. Saya takut... "

Harjadenta tersenyum.
"Baiklah, untuk semalam ini saja. Besok aku akan mendatangi Ki Demang dan akan mengancamnya agar dia tidak mengganggu keluargamu lagi. Kalau perlu akan kuberi hajaran keras dia!"

Akan tetapi, yang ditakuti Ki Dirun terjadilah. Sore hari itu, menjelang senja, belasan orang datang memasuki pekarangan rumah Ki Dirun dan mereka semua kelihatan bengis. Lima orang tukang pukul yang siang hari tadi dihajar Harjadenta juga tampak berada di antara mereka dan mereka mengiringkan seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang bertubuh seperti raksasa, mukanya penuh brewok, matanya besar dan orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam. Celana hitamnya sampai di bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sehelai ikat pinggang atau kolor yang besar, sebesar lengan tangan. Kolor itu berwarna merah dan panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter. Ikat kepalanya juga berwarna hitam dan raksasa ini Nampak kokoh kuat seperti seekor gajah!

"Ho-ho-ha-ha! Siapakah orang yang bernama Harjadenta? Majulah ke sini menghadapi aku kalau engkau memang seorang jantan!" kata raksasa itu sambil tertawa-tawa.

Ki Dirun sudah mendekam di atas lantai, tak berani bergerak saking takutnya. Harjadenta dengan langkah tenang keluar dari ruangan depan dan menghampiri raksasa berpakaian hitam itu.

"Akulah yang bernama Harjadenta. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Harjadenta dengan tenang dan tabah.

Raksasa itu memandang Harjadenta dari kepala sampai ke kaki, lalu tertawa bergelak dan memandang wajah pemuda yang tingginya hanya sepundaknya itu.

"Ho-ho-ha-ha! Kukira seorang yang gagah perkasa, kiranya hanya seorang pemuda remaja yang masih berbau pupuk! Heh, Harjadenta bocah kemarin sore! Engkau berhadapan dengan Suropekik, warok yang paling gemblengan dari Ponorogo. Hayo engkau cepat menyerah untuk kubawa dan kuhadapkan Ki Demang Grobokan. Kalau engkau melawan, akan kupatahkan semua tulangmu kemudian kuseret ke depan Ki Demang!"

Harjadenta marah sekali mendengar ini. Raksasa itu amat sombong dan diapun melayani kesombongannya itu, tidak mau kalah gertak.

"Suropekik, ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang biasa membasmi warok-warok yang jahat seperti engkau! Aku tidak takut padamu, biar kaugerakkan semua pengikutmu ini untuk mengeroyokku, aku tidak akan undur selangkahpun!"

Tantangan Harjadenta ini benar-benar mengejutkan semua orang dan membuat wajah yang tertutup brewok itu berubah merah saking marahnya. Ki Suropekik adalah seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya dan selama merajalela di dunia ramai, jarang menemukan tandingan yang sama kuatnya. Kini mendengar tantangan Harjadenta yang demikian berani, tentu saja dia merasa terhina. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar berotot itu seolah-olah tangannya sudah terasa gatal-gatal untuk segera melaksanakan ancamannya, yaitu mematahkan semua tulang pemuda itu, dari suaranya terdengar parau dan kasar.

"Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan! Majulah, Harjadenta dan jangan engkau nanti bersambat kepada ibumu kalau kuhajar sampai tulang-tulangmu patah semua!"

"Suropekik, engkau yang datang mencari permusuhan, bukan aku. Maka engkaulah yang harus maju lebih dulu. Aku siap menghadapi sumbarmu yang seperti gentong kosong!"

Suropekik menggereng seperti seekor harimau dan dari mulutnya mengepul uap putih. Agaknya, saking marahnya maka dari dalam dadanya keluar uap panas! Kemudian bagaikan seekor biruang, dia sudah menerjang maju dengan kedua lengan terbuka dan agaknya dia hendak menangkap pemuda itu dan meremukkan tulang-tulangnya dalam dekapannya.

Akan tetapi dia hanya menubruk angin saja karena yang ditubruk dengan gesitnya sudah mengelak ke samping. Dari samping Harjadenta mengirim tamparan tangan kiri ke arah pelipis raksasa itu. Akan tetapi, ternyata Suropekik yang besar tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit pula. Tangan kanannya menangkis tamparan Harjadenta dengan kuatnya.

"Dukkk ... !!" Dua lengan bertemu dengan kerasnya dan Harjadenta merasa betapa lengannya terpental dan tergetar, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar. Suropekik tertawa bergelak dan kini dia menyerang dengan hebat dan cepatnya, mengirim pukulan dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, bahkan kakinyapun kadang menyelingi pukulannya mengirim tendangan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat tubuh Harjadenta terlempar jauh. Akan tetapi gerakan Harjadenta amat cepat dan lincah. Dia dapat meloloskan diri dari semua sergapan ini, bahkan kadang membalas dengan tamparan tangannya.

"Wuuuutttt ... desss!" Sebuah tamparan tangan kanan Harjadenta mengenai dada raksasa itu, akan tetapi tidak membuatnya roboh. Tamparan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga itu ternyata bertemu dengan dada yang kokoh kuat seperti dinding baja dan hanya membuat Suropekik melangkah mundur dua langkah saja! Ternyata warok itu memiliki tubuh yang kebal. Harjadenta terkejut dan tahulah dia bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Karena pukulannya tidak mampu merobohkan lawan, Harjadenta lalu mencabut sebatang keris yang tadinya terselip di pinggangnya. Keris itu adalah pemberian gurunya, bernama Ki Mengeng, sebatang keris berluk tujuh.

"Ho-ho-ha-ha, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mencabut pusaka!" kata Suropekik yang tahu bahwa keris itu sebuah pusaka ampuh melihat dari pamornya yang mencorong. Diapun merasa miris untuk melawan pusaka itu dengan tangan kosong saja, maka diapun meloloskan sabuknya, yaitu kolor yang besar dan panjang itu.

“Akan tetapi aku tidak takut kepada pusakamu itu, dan rasakanlah ini kehebatan pusakaku Kyai Gunturgeni!" Dia menggerakkan kolornya dan kolor itu menjadi seperti sebatang pecut dan terdengarlah ledakan-ledakan ketika dia mengayun kolor itu ke atas. Tampak asap mengepul mengikuti suara ledakan.

Harjadenta semakin waspada. Diapun mengenal pusaka ampuh, maka ketika kolor itu menyambar, dia cepat mengelak dan mencari kesempatan untuk menusukkan kerisnya! Akan tetapi lawannya yang juga gentar untuk menerima keris itu dengan kekebalan tubuhnya, memutar-mutar kolornya dan membuat Harjadenta tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk memasukkan kerisnya dalam serangan.

Terjadilah pertandingan yang menegangkan. Semua sambaran kolor dapat dielakkan atau ditangkis dengan keris oleh Harjadenta, akan tetapi juga tusukan-tusukan kerisnya tidak dapat mengenai sasaran karena selalu dihalau oleh sambaran kolor. Kolor yang diputar-putar itu berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung yang kadang mengeluarkan ledakan, dan perlahan namun tentu Harjadenta mulai terdesak!

Suropekik merasa penasaran sekali karena sebegitu jauh dia belum dapat merobohkan pemuda itu. Diapun ingin dapat menangkap Harjadenta hidup-hidup untuk dapat memamerkan dan membanggakan keunggulannya. Akan tetapi ternyata pemuda itu sukar sekali dirobohkan. Dia mulai merasa khawatir kalau pemuda itu meloncat dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk melarikan diri. Karena itu, dia lalu berseru nyaring,

"Kawan-kawan, mari bantu aku menangkap bocah liar ini!"

Belasan orang itu kini menyergap ke depan, menggerakkan senjata mereka yang berupa golok atau keris. Tentu saja Harjadenta yang tadinya memang sudah terdesak, menjadi semakin repot. Dia telah dikepung ketat dan sama sekali tidak ada jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Pula, bagaimana dia dapat dan mau melarikan diri dengan meninggalkan Ki Dirun sekeluarga yang terancam. Tidak, dia tidak akan lari, dan akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ki Dirun menjadi cemas sekali. Wajahnya pucat dan tubuhnya yang mendekam itu menggigil ketakutan. Kemudian ia teringat akan anak bininya yang berada di dalam rumah.

“Melarikan diri!" Demikian terlintas dalam pikirannya.

Selagi semua orang itu mengeroyok Harjadenta, dia memiliki kesempatan untuk membawa lari anak isterinya. Maka, biarpun tubuhnya menggigil, dengan merangkak, berhasil juga dia memasuki rumahnya. Dia melihat Lasmini saling rangkul dengan ibunya dan menangis tanpa suara, sedangkan Martono juga berdiri bingung menghibur ibunya yang juga menangis.

"Martono, cepat bawa ibumu lari dari sini. Lari dan bersembunyilah. Aku dan anak biniku juga akan melarikan diri. Kita berpisah dulu, agar dapat menyelamatkan diri masing-masing. Cepat sebelum terlambat!" Dia lalu memegang tangan Lasmini dan tangan isterinya, ditarik dan dibawanya lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Martono yang kebingungan juga menirunya, menarik tangan ibunya dan dibawa lari melalui pintu belakang rumah.

Setelah tiba di kebun belakang, mereka lalu melarikan diri cepat-cepat dan menuju ke sungai yang berada tak jauh dari dusun Grobokan. Ki Dirun yang kadang bekerja sebagai nelayan memiliki sebuah perahu, maka dia menarik isteri dan anaknya kedalam perahu. Martono dan ibunya tidak memiliki perahu dan untuk ikut dalam perahu Ki Dirun, perahu itu terlalu kecil.

"Engkau bawalah ibumu menyusuri sungai ini, pendeknya kemana saja asal jauh dari Grobokan. Kelak kita akan dapat bertemu kembali!" kata Ki Dirun dan dia segera mendayung perahunya ke tengah sungai dan perahu itu hanyut oleh aliran sungai, ditambah tenaga dayung Ki Dirun sehingga perahu itu meluncur cepat.

Martono masih menggandeng tangan ibunya dan terseok-seok mereka melarikan diri, menyusuri sungai, masuk keluar hutan dalam cuaca yang mulai gelap itu. Ibu Martono menangis terisak-isak sambil berlari. Tangisnya ini menarik perhatian dua orang yang kebetulan berada di tepi hutan itu. Mereka adalah Bagus Seto dan Retno Wilis. Tertarik akan keindahan pemandangan di sepanjang Kali Mayang, kedua orang muda itu menyusuri sungai itu arah ke hulu. Makin jauh mereka mengikuti hulu sungai, pemandangan semakin indah dan mereka terus menyusuri sungai itu. Setelah berbulan-bulan melihat pemandangan pantai Laut Kidul, pemandangan yang baru ini tampak lain dan memiliki keindahan yang khas. Dan sore itu mereka tiba di hutan di mana mereka mendengar tangis wanita yang terisak-isak.

Mereka tentu saja menjadi tertarik dan segera menghampiri dari mana datangnya tangis itu. Dan mereka menjumpai Martono dan ibunya yang sedang melarikan diri. Melihat seorang wanita setengah tua ditarik-tarik oleh seorang pemuda dan wanita itu menangis, Retno Wilis menjadi marah. Sekali melompat ia telah berada di depan Martono dan ia membentak.

"Manusia jahanam! Kenapa engkau menyeret-nyeret wanita ini! Lepaskan!"

Martono terkejut sekali ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya berada di depannya dan membentaknya. Juga ibunya terkejut. Akan tetapi ibu ini segera mengerti bahwa gadis itu salah paham, maka ia cepat berkata.

"Den ajeng, dia ini anakku dan kami berdua sedang melarikan diri dari ancaman bahaya maut."

Retno Wills merasa mukanya panas saking rikuhnya. Ia telah mengira yang bukan-bukan. Ternyata pemuda itu sama sekali bukan orang jahat. Ia lalu bertanya dengan suara lembut,

"Bahaya maut apakah yang mengancam kalian sehingga kalian melarikan diri?"

Dengan tergesa-gesa Martono lalu bercerita.
"Ki Demang Grobokan hendak merampas tunangan saya dan dia mengirim tukang-tukang pukulnya untuk merampas Lasmini, tunangan saya. Kami dibela seorang denmas yang sakti bernama Harjadenta, akan tetapi sekarang dia dikeroyok oleh belasan orang tukang pukul di depan rumah orang tua Lasmini. Kini Lasmini dan ayah ibunya sudah melarikan diri dan saya mengajak ibu melarikan diri pula karena terancam."

"Hemm, di mana penolong itu dikeroyok?" tanya Retno Wilis.

"Di rumah Paman Dirun di dusun Grobokan, tak jauh dari sini, itu diluar hutan ini. Permisi, kami harus melarikan diri.” Martono lalu menggandeng tangan ibunya lagi dan diajak lari.

Retno Wilis menoleh kepada Bagus Seto yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kakang, aku khawatir akan nasib penolong itu yang dikeroyok para tukang pukul. Mari kita ke sana, kakang."

"Baiklah!" kata kakaknya sambil tersenyum.

Retno Wilis lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Tubuhnya melesat seperti angin menuju ke dusun Grobokan dan Bagus Seto mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di dusun itu, dengan mudah Retno Wilis dapat mencari rumah Lasmini karena dusun itu sudah gempar dengan adanya perkelahian itu. Dengan cepat Retno Wilis dan Bagus Seto tiba di tempat itu dan Retno Wilis melihat seorang pemuda yang memegang keris dikeroyok belasan orang yang memegang golok. Terutama sekali seorang raksasa yang bersenjatakan kolor merupakan lawan yang amat tangguh sehingga pemuda itu kini main mundur, bahkan sudah ada beberapa batang golok yang mengenai tubuhnya. Paha dan pundaknya sudah terluka, namun pemuda itu tidak gentar sedikitpun juga, masih tetap melakukan perlawanan gigih dengan kerisnya. Ada pula lima orang di antara para pengeroyok yang sudah roboh oleh pemuda itu, dan mereka hanya merintih dan menonton dari pinggiran, tidak dapat ikut mengeroyok lagi.

Mudah bagi Retno Wilis untuk berpihak apa lagi ia telah mendengar dari Martono bahwa pemuda itu merupakan penolong keluarga Lasmini. Ia mengeluarkan suara panjang melengking dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam pertempuran, tangannya bergerak menampar ke arah raksasa yang memutar kolornya secara dahsyat.

"Wuuuttt ... plakk ... !!" Biarpun hanya ditampar pundaknya yang kebal, namun tubuh Suropekik terhuyung dan dia merasa seolah dirinya disambar petir! Dia terhuyung dan melihat siapa orangnya yang berani menyerangnya sehebat itu dengan tangan kosong dan ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik berdiri di depannya, ia terbelalak dan juga marah.

Sementara itu, ketika tidak lagi didesak oleh Suropekik, Harjadenta leluasa mengamuk menghadapi anak buah warok itu sehingga para pengeroyoknya menjadi kocar kacir. Diam-diam Harjadenta memperhatikan Retno Wilis dan dia terkejut, juga kagum. Akan tetapi timbul kecurigaan dalam hatinya. Yang mencuri keris pusaka Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti. Jangan-jangan ini orangnya? Akan tetapi karena wanita itu kini bertanding melawan Suropekik, diapun diam saja dan hanya mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang lawannya.

Bagus Seto hanya berdiri menonton. Dia tidak khawatir akan adiknya karena sekali pandang saja dia tahu bahwa betapa hebatpun kolor raksasa itu, dia tidak akan mampu mengalahkan adiknya. Yang di khawatirkan malah Harjadenta. Pemuda ini mengamuk dengan kerisnya dan dia khawatir kalau kalau pemuda itu membunuh orang banyak. Sayang kalau seorang pemuda segagah itu melakukan pembunuhan terhadap banyak orang dan melihat betapa dia sudah luka-luka, bukan tidak mungkin dia menjadi mata gelap dan membunuhi para pengeroyoknya. Setelah membuat penilaian, Bagus Seto lalu menggerakkan kakinya dan tubuhnya seperti melayang ke arah Harjadenta yang sedang mengamuk.

"Tidak perlu membunuhi orang, ki sanak!" katanya dan dengan tangannya dia menangkis keris pusaka Harjadenta yang menyambar-nyambar mencari korban.

Harjadenta terkejut sekali ketika ada orang menangkis keris pusakanya hanya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi karena orang itu tidak menyerangnya, maka diapun hanya menghentikan amukannya dan memandang dengan heran. Dia melihat seorang pemuda berpakaian serba putih yang kini dikeroyok banyak orang. Tentu para pengeroyok itu mengira bahwa pemuda pakaian putih itu membantunya, maka mereka kini mengayunkan senjata mereka untuk menyerang si pemuda pakaian putih.

Melihat betapa orang-orang itu meninggalkan pemuda yang mengamuk tadi dan kini mereka menyerangnya, Bagus Seto lalu menggerakkan kedua tangannya seperti orang mendorong dan mereka yang menyerbu ke arahnya itu terjengkang seperti daun-daun kering ditiup angin. Tentu saja mereka terkejut dan belum tahu mengapa mereka tiba-tiba terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuatnya. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kini Bagus Seto menggerakkan tangan seperti menampar dan orang-orang itu berpelantingan keras. Kini mengertilah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lari tunggang langgang.

Harjadenta melihat ini semua dan dia terbelalak kagum. Diapun tahu bahwa pemuda berpakaian putih itu memiliki kadigdayaan yang luar biasa, seorang sakti mandraguna. Akan tetapi karena pemuda itu kini memandang ke arah pertempuran antara Suropekik dan wanita cantik itu, Harjadenta juga memandang dan menonton pertandingan yang seru dan hebat itu. Dia semakin kagum. Wanita itu bertangan kosong saja menandingi kolor di tangan Suropekik. Padahal dia melihat wanita itu membawa sebatang pedang di punggungnya. Ia tidak mau menggunakan pedang dan melawan dengan tangan kosong saja, berarti bahwa wanita itu yakin akan mampu mengalahkan lawan!

Dan apa yang dilihatnya memang demikian. Suropekik berusaha untuk menghantamkan kolornya yang ampuh, namun gadis itu dengan gerakan seperti seekor burung srikatan saja mengelak ke sana sini, bahkan kadang ia berani menangkis pukulan kolor itu dengan tangannya! Dan gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang membuat Suropekik menjadi repot untuk mengelak atau menangkis dengan kolornya. Menghadapi tamparan-tamparan itu tampaknya Suropekik merasa jerih untuk menerimanya dengan kekebalan tubuhnya. Memang demikianlah. Tadi Suropekik mengandalkan kekebalan tubuhnya, menerima tamparan Retno Wilis dengan dadanya. Ia menganggap bahwa pukulan seorang gadis itu tentu tidak berapa kuat, maka dia menerima dengan dadanya sambil mengerahkan tenaganya.

"Bukk ... !" Tubuh Suropekik terjengkang dan hampir saja dia roboh, dadanya terasa panas dan sesak. Dia menjadi marah dan mengamuk dengan kolornya, namun senjatanya itu sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Retno Wilis yang bergerak dengan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak demikian cepatnya sehingga seringkali Suropekik kehilangan lawan. Dia secara ngawur hanya memutar kolornya dan berputar-putar, mencoba menandingi kecepatan gerakan Retno Wilis dengan putaran kolornya.

Retno Wilis kini bergerak mengitari lawan dan memaksa Suropekik juga berputaran. Karena sejak tadi Suropekik mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan kolornya dan dia harus berputar-putar, lama kelamaan pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Melihat keadaan lawan sudah mulai mengendur gerakan kolornya, Retno Wilis menggerakkan kakinya menendang. Lutut Suropekik disentuh ujung kaki dara perkasa itu, membuat dia hampir roboh dan lutut kanannya ditekuk, dan pada saat itu, sebuah tamparan tangan kiri Retno Wilis hinggap di dagunya.

"Dess ... !!" Tubuh raksasa itu berputar dan diapun roboh terpelanting, kepalanya berdenyut nyeri dan dadanya sesak, akan tetapi karena dia memang kuat dan kebal, Suropekik sudah dapat bangkit kembali. Dia menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan kedua matanya yang besar berubah merah. Dia marah sekali. Biarpun dia melihat betapa semua anak buahnya sudah melarikan diri, dia tetap nekat. Dia tidak percaya bahwa dia dikalahkan oleh seorang dara yang bertangan kosong! Dia tidak dapat menerima kenyataan ini. Dia bangkit berdiri mengerahkan aji yang dimilikinya sehingga tangan yang memegang kolor itu seperti menggigil, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dan dia mengayun kolornya ke atas kepala, lalu menerjang maju sambil menghantamkan kolornya.

"Darr ... !" Retno Wilis menggunakan kedua tangan untuk menyambut hantaman kolor itu dengan pukulan jarak jauh dan begitu terdengar kolor itu meledak seperti sebuah cambuk, Suropekik roboh! Dia masih memegangi kolornya, akan tetapi dari mulutnya muntah darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat benturan tenaganya dengan tenaga sakti dara itu.

"Pergilah kalau engkau tidak ingin mati!" kata Retno Wilis yang merasa penasaran juga melihat kenekatan orang tinggi besar itu.

Kini Suropekik benar-benar yakin bahwa dia tidak akan mampu menandingi dara itu, maka dengan lemah dia bangkit berdiri, memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi tanpa menengok lagi.

Harjadenta yang menonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Dia yang menggunakan keris pusakanya saja tidak mampu mengalahkan Suropekik, akan tetapi dara itu dengan bertangan kosong saja dapat mengalahkan raksasa itu hanya dalam pertempuran yang pendek. Tahulah dia bahwa dara itu, dan juga pemuda berpakaian putih seperti juga pakaian dara itu, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat. Maka dia lalu menghampiri mereka sambil membungkuk-bungkuk memberi hormat.

"Banyak terima kasih saya ucapkan atas pertolongan andika berdua," katanya sambil menatap wajah mereka. "Kalau andika berdua tidak datang membantu, tentu aku sudah mati dikeroyok mereka."

"Tidak perlu berterima kasih, sobat. Kita semua hanya melaksanakan tugas-kewajiban kita saja secara wajar. Andika juga telah menyelamatkan keluarga Ki Dirun."

"Nama saya Harjadenta. Bolehkah saya mengetahui nama andika berdua yang terhormat?"

Bagus Seto tersenyum.
"Namaku Bagus Seto dan ini adalah adikku bernama Retno Wilis. Kami datang dari Panjalu. Dan andika datang dari manakah?"

"Saya datang dari Gunung Raung, hendak mencari seseorang... barangkali andika berdua dapat membantu saya. Saya sedang mencari seorang wanita yang telah mencuri keris pusaka guru saya. Apakah andika berdua mengetahui seorang wanita cantik yang sakti, yang mencuri Pusaka Carubuk milik guru saya?" Harjadenta menatap tajam wajah Retno Wilis untuk melihat perubahan pada wajah itu. Akan tetapi Retno Wilis tidak bereaksi apa-apa terhadap
ucapan itu, bahkan ia lalu berkata.

"Kita tidak boleh berhenti sampai di sini saja! Demang keparat itu harus dihajar agar jera memaksa gadis menjadi selirnya. Hayo kakang, kita cari Demang jahanam itu!"

"Terserah kepadamu, diajeng. Akan tetapi aku pesan agar engkau membatasi diri, jangan membunuh orang."

"Tadinya saya memang berniat untuk memberi hajaran kepada Demang itu, akan tetapi melihat dia mempunyai begitu banyak tukang pukul, tentu saja saya tidak berdaya. Sekarang setelah andika berdua muncul, saya akan membantu andika berdua memberi hajaran kepada Demang dan anak buahnya yang jahat dan sewenang-wenang itu." kata Harjadenta.

"Adimas Harjadenta, engkau telah terluka. Lihat, paha dan pundakmu masih berdarah. Engkau perlu merawat diri dan mengobati lukamu. Biar urusan dengan Demang ini dirampungkan oleh diajeng Retno Wilis."

"Hanya luka kecil saja, kakangmas Bagus Seto. Tidak semestinya kalau diajeng Retno Wilis melakukan tugas itu seorang diri saja. Biar aku membantu kalian."

"Marilah kita pergi. Kakangmas Harjadenta, apakah engkau sudah mengetahui di mana letak rumah Demang jahanam itu?"

"Aku sendiri belum pernah ke sana. Akan tetapi mudah saja. Kita tanya kepada penduduk, tentu mereka semua mengetahuinya."

Mereka bertiga lalu keluar dari pekarangan rumah Ki Dirun itu. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka bertanya kepada seorang dusun di mana rumah Demang dan segera menuju ke tempat itu. Rumah itu paling besar di dusun Grobokan. Pekarangannya juga luas dan ketika mereka bertiga tiba di pekarangan itu, sedikitnya duapuluh orang segera mengepung mereka. Selain penerangan dari lampu-lampu yang tergantung di luar rumah, juga di antara mereka ada yang membawa obor sehingga tempat menjadi terang seperti siang. Bagus Seto yang melihat para tukang pukul itu mengepung, segera maju dan berkata dengan suara lantang namun lembut.

"Saudara sekalian! Kami datang untuk bertemu dengan Ki Demang! Minta dia keluar menemui kami dan harap saudara sekalian mundur. Kami tidak ingin berkelahi dengan kalian!"

Para tukang pukul itu memang sudah merasa jerih. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi membantu Suropekik dan mereka sudah mengetahui bahwa tiga orang muda itu memiliki kesaktian. Akan tetapi untuk mundur merekapun takut akan kemarahan Ki Demang, maka mereka semua hanya ragu-ragu dan tetap mengepung, biar pun tidak ada yang berani turun tangan menyerang.

"Kakangmas, aku khawatir kalau demang itu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Biar aku menangkapnya dan membawanya keluar," kata Retno Wilis kepada kakaknya.

Bagus Seto mengangguk dan sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ. Para pengepung hanya melihat berkelebatnya bayangan orang, tidak tahu bahwa yang berkelebat itu adalah dara perkasa yang telah melompat di atas kepala mereka. Retno Wilis terus masuk ke dalam gedung. Ketika tiba di ruangan belakang, ia melihat seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun sedang hendak melarikan diri. Tangan kirinya membawa sebuah buntalan kain dan tangan kanannya memegang sebatang tombak. Dari pakaiannya saja Retno Wilis dapat menduga bahwa orang itu tentulah demang dusun Grobokan itu. Ia lalu membentak nyaring.

"Engkau tentu Demang Grobokan keparat itu! Hendak lari kemana kau?"

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 017 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment