Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 017

**** BACK ****

Orang itu memang Demang Grobokan. Kepala dusun yang kaya raya ini memang seorang yang mata keranjang, mengandalkan kekuasaannya untuk merampas wanita yang disukainya. Tidak perduli gadis, janda atau bahkan yang sudah bersuami, kalau menimbulkan seleranya, tentu akan dimintanya dengan halus maupun kasar. Dia memiliki kurang lebih tigapuluh orang anak buah atau tukang pukul yang sekarang berada di pekarangan mengepung Bagus Seto dan Harjadenta.

Ketika melihat seorang gadis cantik tahu-tahu berada di depannya, demang itu terkejut sekali. Dia memang sudah dilapori anak buahnya betapa anak buahnya kocar kacir diamuk oleh dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang digdaya. Kini melihat gadis itu datang membentaknya, dia dapat menduga bahwa ini tentu gadis yang dimaksudkan anak buahnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan tombaknya. Tombak yang runcing itu dengan tepat sekali meluncur dan menusuk ke arah perut Retno Wilis!

Akan tetapi dengan sigap Retno Wilis miringkan tubuhnya dan menangkap tombak itu dengan tangan kanannya kemudian sekali tarik tombak itu telah pindah ke tangannya. Ia lalu menekuk gagang tombak dengan kedua tangan.

"Trakkk ... !" Gagang tombak itu patah di tengah-tengahnya.

Melihat ini, Demang Grobokan terkejut dan ketakutan. Dia meloncat untuk berlari pergi, akan tetapi kaki Retno Wilis menyambar, menendang lututnya dan Demang Grobokan jatuh menelungkup, buntalan di tangan kirinya terlepas dan isinya tercecer. Kiranya buntalan itu berisi banyak perhiasan emas permata! Retno Wilis sudah melangkah maju dan menginjak punggung Demang Grobokan,

"Apakah engkau masih akan berani melawan?" bentak Retno Wilis sambil mengerahkan tenaga pada kakinya yang menginjak punggung.

"Uhhh ... hekkkkk ... uhhh, ampunkan saya ... !" Demang itu terengah-engah dan mengeluh.

Retno Wilis sebetulnya marah sekali kepada orang itu. Kalau saja ia tidak mendapat peringatan dari kakaknya tadi agar jangan membunuh orang, tentu ia sudah menginjak pecah dada Demang Grobokan. Ia melepaskan kakinya. Demang Grobokan merangkak untuk bangkit, akan tetapi kaki kiri Retno Wilis menyambar lehernya dan dia roboh kembali sambil merintih kesakitan. Ketika tiga kali dia mencoba bangkit selalu disambut tendangan kaki gadis itu yang membuat pipinya bengkak-bengkak dan kepala seperti pecah rasanya, dia tidak berani bangkit kembali, dan tetap menelungkup sambil mengeluarkan rintihan menangis.

Retno Wilis merasa sudah cukup memberi hajaran. Ia tadi memang sengaja menghajar Demang itu.

"Hayo bangkit!” bentaknya dan Demang Grobokan dengan ketakutan, wajahnya bengkak-bengkak dan mukanya pucat tubuhnya menggigil bangkit dan terhuyung ... "Hayo keluar!" Retno Wilis mendorongnya dan Demang Grobokan dengan rasa takut sekali melangkah keluar. "Perintahkan tukang-tukang pukulmu untuk mundur semua!"

Melihat di luar semua tukang pukulnya mengepung dua orang pemuda akan tetapi mereka tidak berani bergerak itu, Demang Grobokan lalu berteriak dengan suara gemetar,

"Kalian semua mundurlah. Mundur dan jangan turun tangan!"

Biarpun tidak dilarang oleh Demang Grobokan, para tukang pukul itu memang sudah tidak berani berkutik. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua tukang pukul lalu mundur dan hanya menonton dari jauh.

"Hei, kalian anak buah Demang Grobokan. Cepat perintahkan semua penduduk Grobokan untuk berkumpul di sini. Cepat !!"

Tigapuluh orang itu lalu berpencar dan cepat mereka memanggil para penduduk Grobokan untuk berkumpul di pekarangan rumah Demang Grobokan. Para penduduk dusun itu berbondong-bondong datang di tempat itu.

"Ampunkan saya, den ajeng... !” Demang Grobokan minta ampun sambil berlutut dan menyembah-nyembah.

"Diam kau! Kita tunggu sampai semua penduduk berkumpul di sini!" kata Retno Wilis.

Bagus Seto hanya tersenyum melihat sepak terjang adiknya dan Harjadenta memandang dengan sinar mata penuh kagum. Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dara perkasa itu. Hatinya penuh kekaguman akan kehebatan sepak terjang Retno Wilis dan penuh pesona akan kecantikannya. Mimpipun belum pernah dia bertemu dengan seorang dara seperti itu! Kalau hanya mendengar cerita orang tentang seorang dara seperti Retno Wilis, tentu dia tidak akan percaya. Mana ada dara segagah dan sehebat itu? Namun Retno Wilis melampaui semua khayalnya.

Setelah pekarangan itu penuh penduduk dusun Grobokan dan tempat itu diterangi lampu dan obor-obor, Retno Wilis lalu berkata dengan suara lantang kepada para penduduk.

"Para paman, bibi dan saudara sekalian dengarlah baik-baik. Demang Grobokan ini telah mengakui bahwa dia telah melakukan perbuatan yang jahat, hendak merampas puteri Ki Dirun untuk dijadikan selirnya. Sekarang, Demang Grobokan ini telah mengakui kejahatannya, dan bertaubat, tidak akan melakukan kejahatan lagi di dusun ini. Kalian semua menjadi saksi, kalau sampai dia berani melakukan kejahatan lagi, lain kali kalau aku lewat di sini, aku tentu akan membunuhnya di depan kalian." Setelah berkata demikian, Retno Wilis berkata kepada Demang Grobokan yang masih duduk berlutut. "Ki Demang, hayo kaukatakan sendiri kepada mereka semua bahwa engkau telah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanmu yang jahat. Engkau tidak akan mengerahkan para tukang pukulmu lagi untuk memaksa rakyat!"

Demang Grobokan yang telah hilang nyalinya sejak Suropekik meninggalkannya, apa lagi setelah dia dihajar keras oleh Retno Wilis, bangkit berdiri. Semua orang kini dapat melihat mukanya yang matang biru dan benjol-benjol, dan dengan suara lemah dia berkata.

"Saudara warga dusun Grobokan sekalian ... "

"Bicara yang keras!" bentak Retno Wilis.

Demang Grobokan lalu mengulang kata-katanya dengan suara yang keras.
"Saudara warga dusun Grobokan sekalian! Aku, Demang Grobokan, mengaku telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Akan tetapi aku telah menyadari kesalahanku, dan mulai saat ini, aku berjanji bahwa aku sudah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanku yang keliru. Kalau aku berbuat jahat lagi, biarlah Hyang Widhi akan memberi hukuman yang seberat-beratnya kepadaku!"

Retno Wilis merasa puas dengan ucapan itu, dan ia berkata,
"Ingat baik-baik, Ki Demang. Ucapanmu itu disaksikan semua warga dusun Grobokan, dan jangan kira aku hanya menggertak saja. Lain kali aku tentu akan lewat di sini untuk melihat apakah benar-benar engkau memenuhi janjimu. Awas, kalau engkau masih jahat, aku tidak akan memberi ampun lagi kepadamu!"

Demang Grobokan mengangguk-angguk.
"Aku tidak akan melanggar janji."

Retno Wilis lalu menoleh kepada kakaknya dan berkata,
"Kakang, mari kita pergi dari s ini!"

Akan tetapi Harjadenta menahan mereka berdua dan berkata,
"Malam telah tiba, andika berdua tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, rumah Ki Dirun sudah kosong ditinggal pergi penghuninya, kalau andika tidak berkeberatan, silakan menggunakan rumah itu. Tadinya aku juga mondok di rumah itu untuk semalam ini."

Bagus Seto mengangguk kepada adiknya,
"Kurasa sebaiknya begitu, diajeng. Melanjutkan perjalanan di waktu malam begini, apa lagi kalau jauh dari kota dan pedusunan, kita akan kemalaman di perjalanan."

Retno Wilis memandang kepada kakaknya, kemudian kepada Harjadenta, lalu berkata,
"Baiklah kalau begitu."

Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke rumah Ki Dirun. Baru saja mereka memasuki rumah itu, beberapa orang penduduk dusun Grobokan berdatangan membawa segala macam makanan dan minuman yang mereka punya, disuguhkan kepada tiga orang muda yang menggemparkan itu. Malam itu semua penduduk hampir tidak dapat pulas, dengan gembira membicarakan peristiwa sore tadi dan membayangkan betapa akan bahagia hidup mereka kalau Ki Demang benar-benar menyadari kesalahannya dan akan mengubah sikap hidupnya. Mereka semua akan merasa aman dan dapat bekerja dengan tenang dan sejahtera. Setelah makan hidangan yang disuguhkan para penduduk, tiga orang muda itu bercakap-cakap di ruangan depan.

"Adimas Harjadenta, andika tadi mengatakan bahwa andika mengejar seorang pencuri keris. Bagaimana sebetulnya duduk perkaranya dan siapakah guru andika itu?"

Retno Wilis juga memandang pemuda itu penuh perhatian karena diapun ingin mendengar riwayat pemuda tampan yang gagah perkasa itu. Harus diakui bahwa ia merasa tertarik kepada pemuda yang halus dan lembut tutur sapanya itu, yang dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Tadipun Retno Wilis sudah mencarikan daun untuk mengobati luka-luka di pundak dan paha Harjadenta. Harjadenta menarik napas panjang dan mulai bercerita.

"Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi. Guruku adalah Empu Gandawijaya yang bertapa di Gunung Raung. Sejak aku berusia tigabelas tahun sampai kini, sudah sepuluh tahun lamanya aku diambil murid oleh Bapa Guru dan tinggal di lereng Gunung Raung bersamanya. Beberapa pecan yang lalu, Bapa Guru memanggilku dan memberi tahu bahwa dia telah kehilangan sebuah keris pusaka bernama Ki Carubuk yang katanya hilang dicuri seorang wanita sakti yang tidak diketahui namanya. Bapa Guru lalu mengutusku untuk pergi mengejar dan mencari pencuri itu, merampas kembali Ki Carubuk, baru diperbolehkan pulang ke Gunung Raung. Bapa Guru tidak banyak memberi petunjuk, hanya mengatakan bahwa pencuri itu seorang wanita sakti, pandai ilmu sihir dan guna-guna. Aku disuruh naik perahu sepanjang Kali Mayang menuju ke muaranya di Lautan Kidul. Ketika perjalananku tiba di Grobokan, aku singgah dan mencari tempat penginapan. Kebetulan aku bertemu Ki Dirun dan dia menerimaku menginap di rumahnya. Kemudian aku ketahui tentang urusannya dengan Ki Demang Grobokan itu dan aku lalu menolongnya." Harjadenta menceritakan tentang peristiwa itu, semula dia mengusir dua orang utusan Ki Demang, lalu datang lima orang tukang pukul yang dapat diusirnya pula.

"Tidak kusangka bahwa mereka itu masih belum mau menyerah, bahkan lalu datang bersama Suropekik, warok yang digdaya itu dan aku dikeroyok oleh dia dan belasan orang anak buahnya. Aku sudah kewalahan dan tentu aku sudah tewas kalau andika berdua tidak datang menolong. Sekarang tiba giliran kalian berdua. Bagaimana andika berdua dapat datang pada saat yang demikian cepatnya? Andika berdua datang dari manakah dan hendak ke mana?"

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan berkata,
"Diajeng, engkau sajalah yang bercerita kepada dimas Harjadenta tentang diri kita."

Retno Wilis adalah seorang gadis yang bersikap polos dan terbuka, dan tidak malu-malu seperti para gadis lainnya. Biasanya, seorang gadis akan merasa sungkan dan malu-malu terhadap seorang pemuda yang baru dijumpainya akan tetapi tidak demikian dengan Retno Wilis. Ia berani menentang pandang mata Harjadenta dengan tenang tanpa perasaan apapun seperti kalau ia memandang seorang gadis lain. Biarpun ia sudah amat berpengalaman dalam dunia persilatan dan pertempuran, namun ia masih seperti kanak-kanak dalam pergaulannya dengan pria. Maka kinipun ia menatap wajah Harjadenta sedemikian terbuka dan jujur sehingga pemuda itulah yang merasa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang demikian tajam dan jernih.

"Nah, apakah yang ingin kauketahui tentang kami, kakangmas Harjadenta?"

Pertanyaan itu demikian polos dan dikeluarkan dengan suara yang merdu, sehingga Harjadenta menjadi gugup dan tidak berani menentang pandang mata itu terlalu lama. Dia sendiri juga sejak kecil ikut gurunya di lereng Gunung Raung sehingga sama sekali tidak mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita, maka pertemuannya dengan Retno Wilis membuat dia tegang dan tidak tenang.

"Segalanya, diajeng. Riwayat andika berdua, putra siapa datang dari mana, lalu hendak ke mana dengan tujuan apa. Pula, bagaimana andika berdua begitu kebetulan dapat datang pada saat aku terancam bahaya maut?"

Retno Wilis tersenyum.
”Baiklah, pertama-tama kami adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono dari Panjalu."

Harjadenta terbelalak.
“Putera puteri Patih? Ah, andika berdua adalah orang-orang muda bangsawan tinggi, maafkan kalau aku telah bersikap kurang patut!"

"Hush ... !" Retno Wilis mencela. "Kalau engkau mengubah sikapmu kepada kami dan merendahkan diri, aku tidak mau lagi bersahabat denganmu, kakangmas Harjadenta!"

Pemuda ini terkejut dan memandang wajah cantik yang kini cemberut itu.
"Akan tetapi ... kalian putera puteri seorang Patih, apalagi Patih Panjalu ... !"

"Apa bedanya patih dan bukan patih?. Apa pula bedanya seorang raja dan seorang rakyat biasa? Mereka sama-sama manusia! Tidak, aku tidak mau engkau mengubah sikapmu. Kita biasa-biasa saja sebagai sahabat."

Harjadenta menghela napas panjang dan diam-diam dia menjadi semakin kagum. Seorang puteri bangsawan bicara seperti itu! Dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang dara yang benar-benar luar biasa.

"Baiklah, diajeng RetnoWilis. Maafkan aku yang kurang pengertian. Nah, silakan engkau melanjutkan ceritamu. Andika adalah putera puteri seorang Patih dari Panjalu. Lalu mengapa andika berdua datang ke tempat yang begini jauh dari tempat tinggalmu?"

"Kami berdua memang sengaja meninggalkan Panjalu untuk merantau dan mencari pengalaman."

"Ah, dua orang muda yang berilmu tinggi, sakti mandraguna seperti andika berdua masih mencari pengalaman lagi? Kalau boleh aku mengetahui, siapakah guru-guru andika berdua yang mulia?"

"Guruku adalah Nini Bumigarbo dan guru kakakku adalah Sang Bhagawan Ekadenta."

Kembali Harjadenta terbelalak.
"Ah, guruku pernah bercerita tentang seorang wanita maha sakti berjuluk Nini Bumi garbo dan seorang Pendeta linuwih berjuluk Sang Bhagawan Ekadenta. Mereka itu seolah manusia setengah dewa yang amat sakti, seperti dalam dongeng. Kiranya andika berdua adalah murid-murid mereka? Pantas kalian memiliki kesaktian yang demikian hebat!"

"Nah-nah-nah, mulai lagi! Aku paling tidak senang melihat orang menjilat-jilat dan memuji setinggi langit!” tiba-tiba Retno Wilis berkata tegas dan suaranya seperti orang marah.

Harjadenta kembali terkejut dan cepat berkata, dengan suara lirih.
"Maafkan aku, diajeng, aku ... bukan maksudku untuk menjilat-jilat ... "

"Tapi engkau memuji setinggi langit. Kami hanya orang-orang biasa saja yang tiada bedanya dengan engkau atau orang lain, tidak perlu memuji-muji seperti itu atau aku tidak mau bercerita lagi."

Harjadenta menelan ludahnya. Gadis ini selain sakti dan hebat, juga galaknya bukan main!
"Maafkan, tidak akan kuulangi lagi. Harap kau suka melanjutkan ceritamu, diajeng Retno Wilis." Kini dia bahkan tidak berani menentang langsung wajah gadis itu, hanya memandang ke arah pakaiannya yang serba putih sederhana, akan tetapi yang tidak menyembunyikan lekuk-lengkung
tubuhnya yang ramping padat.

"Kami juga tidak sengaja datang ke tempat ini. Kami berdua sedang melakukan perjalanan menyusuri Kali Mayang yang indah pemandangannya. Ketika kami tiba di hutan dekat dusun ini, kami bertemu dengan seorang pemuda bernama Martono bersama ibunya. Ibunya menangis dan kami mendengarnya lalu menemui mereka. Martono itu yang bercerita kepada kami tentang perbuatan Ki Demang, yang hendak merampas Lasmini tunangannya. Karena itu kami lalu cepat memasuki dusun ini dan melihat engkau dikeroyok banyak orang maka aku lalu cepat membantumu."

"Untung sekali engkau tahu siapa yang perlu dibantu dan siapa yang harus ditentang." kata Harjadenta.

"Tentu saja aku tahu. Martono sudah bercerita tentang seorang pemuda yang menolong keluarga Dirun dan yang kini dikeroyok di sini."

"Dan aku tadinya mempunyai dugaan yang amat buruk terhadap dirimu, diajeng Retno."

Retno Wilis memandang wajah pemuda itu penuh selidik.
"Dugaan buruk. Apa itu?"

"Melihat engkau demikian cantik dan demikian sakti, sekilas terlintas dalam pikiranku akan pemberitahuan Bapa Guru bahwa pencuri pusaka Ki Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti."

"Sialan! Kau kira aku ini pencuri keris itu?"

"Maaf, aku tidak tahu ... "

"Sudahlah," kata Bagus Seto sambil tertawa. "Sekarang kita harus memikirkan keadaan Ki Dirun dan keluarganya, juga Martono dan ibunya. Mereka entah lari ke mana. Sebaiknya mereka itu kembali lagi ke sini, di mana mereka meninggalkan rumah dan sawah mereka."

"Benar," kata Harjadenta, "biar aku memberitahu kepada para tetangga untuk mengejar mereka dan memberitahu mereka bahwa dusun Grobokan telah aman dan mereka boleh kembali lagi ke sini."

Bagus Seto membenarkan pendapat Harjadenta yang segera menghubungi para tetangga dan minta agar mereka menyusul ke mana larinya keluarga Dirun dan keluarga Martono untuk memanggil mereka pulang. Malam itu mereka melewatkan malam di rumah keluarga Dirun. Retno Wilis menggunakan kamar yang biasa ditiduri Lasmini, sedangkan Bagus Seto dan Harjadenta menggunakan kamar Ki Dirun. Pada keesokan paginya, setelah mereka mandi dan makan sarapan pagi yang diantar dan disuguhkan oleh para penduduk Grobokan, mereka lalu hendak meninggalkan Grobokan dan mereka merasa perlu untuk berpamit kepada Ki Demang Grobokan.

Kunjungan mereka disambut dengan ramah dan hormat oleh Ki Demang. Melihat sikap orang itu, Bagus Seto merasa gembira dan mengharapkan agar penguasa itu benar-benar bertaubat dan selanjutnya akan menjadi seorang penguasa yang memimpin penduduk dusun Grobokan ke arah kehidupan yang sejahtera dan makmur.

"Ki Demang," kata Retno Wilis setelah mereka bertiga berpamit. "Kalau sewaktu-waktu pikiranmu menggodamu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan menekan rakyat, ingatlah kepada kami karena sekali waktu kami pasti akan lewat di sini melihat keadaan."

Ki Demang tersenyum. Kini baru dia mengerti bahwa tiga orang itu adalah orang-orang muda sakti yang hidupnya sebagai pendekar, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan yang memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Bukan seperti orang macam Suropekik yang mau melakukan apapun juga asalkan mendapat upah besar. Sekali waktu orang macam Suropekik itu bagaikan memelihara seekor harimau ganas dapat membalik dan menyerang pemeliharanya sendiri. Kalau dia ingin hidup sejahtera dan makmur penuh ketenteraman, dia harus mengubah jalan hidupnya dan tidak selalu menuruti nafsunya sendiri.

"Harap andika bertiga jangan khawatir. Saya tidak akan melanggar janji yang telah saya ucapkan dan disaksikan semua penghuni Grobokan."

Tiga orang muda itu lalu meninggalkan rumah Ki Demang. Akan tetapi Ki Demang Grobokan mengikuti dan mengantar mereka. Di sepanjang jalan para penduduk juga menyambut dan ikut pula mengantar mereka. Setelah mereka tiba di luar pagar yang mengelilingi dusun Grobokan, barulah Ki Demang dan para penduduk dusun berhenti mengantar, apa lagi karena hal ini diminta oleh Retno Wilis.

"Sudahlah, sampai di sini saja kalian mengantar. Sekarang kami harus pergi." Mereka bertiga lalu menuju ke Kali Mayang. Setelah tiba di tempat di mana Harjadenta menyimpan dan menambatkan perahunya, pemuda ini bertanya kepada Bagus Seto.

"Andika berdua hendak pergi ke manakah?"

"Kami akan kembali ke pantai dan melanjutkan perjalanan perantauan kami." jawab Bagus Seto.

"Kalau begitu, silakan ikut dalam perahuku. Akupun hendak pergi ke muara sungai ini untuk menaati nasihat Bapa Guru bahwa aku diharuskan mencari sampai ke muara sungai Mayang ini."

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan tersenyum.
"Tentu menarik sekali melakukan perjalanan melalui air, pemandangannya tentu berbeda. Bagaimana, maukah engkau, Retno?"

"Bagaimana engkau saja kakang. Kalau memang kita sejalan, tidak ada salahnya ikut dalam perahu kakangmas Harjadenta, asal saja tidak menyusahkan dia."

Harjadenta tertawa senang.
"Mengapa menyusahkan? Kita melakukan perjalanan bersama, membeli beras dan masak sendiri di perahu, lauknya kita cari di sungai dengan mengail."

Pemuda itu tampak gembira sekali dan tak lama kemudian merekapun sudah meluncurkan perahu ke tengah sungai. Karena perahu itu menuju ke hilir, Harjadenta hanya perlu mengemudikannya saja dengan dayungnya, perahu itu sendiri sudah terbawa arus air yang cukup kuat, sehingga meluncur dengan cepatnya ke depan. Naik perahu ini merupakan pengalaman baru bagi Retno Wilis, maka iapun merasa gembira sekali.

**** 017 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 018 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment