Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 018

**** BACK ****

Sebelum memuntahkan airnya di laut Kidul, Kali Mayang bertemu dengan Kali Sanen yang mengalir dari timur. Pertemuan dua buah kali itu terjadi di sebelah selatan dusun Ambulu. Tak jauh dari tempat pertemuan dua kali yang membuat muara sungai itu menjadi lebar dan besar, terdapat sebuah kota besar yang disebut Bulumanik. Penduduknya banyak yang menjadi nelayan, karena di muara sungai itu terdapat banyak sekali ikan yang seakan tiada habis-habisnya mereka tangkapi setiap hari. Selain menjadi nelayan, juga para penghuni itu merupakan petani-petani yang hidupnya cukup makmur karena sawah ladang di sepanjang lembah sungai itu amat subur. Bulumanik terkenal sebagai tempat yang gemah ripah loh-jinawi dan tempat itu dikunjungi banyak pedagang dari kota lain. Rakyatnya cukup mampu untuk membeli barang-barang dari luar kota yang dibawa oleh para pedagang itu. Juga karena adanya sungai, maka lalu lintas dapat dilakukan dengan mudah melalui air.

Bulumanik dipimpin seorang Demang yang bernama Kebolinggo, seorang berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berwibawa. Dia ditaati oleh penduduk Bulumanik karena terkenal sebagai seorang penguasa yang adil dan pandai memimpin. Kedemangan Bulumanik ini
termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Nusabarung, bahkan Demang Kebolinggo adalah seorang yang berasal dari Nusabarung juga dan yang diangkat oleh Adipati Martimpang dari Nusabarung.

Pada suatu hari, penduduk melihat betapa Candi Trisakti yang berada di Kebolinggo dipugar. Para pendetanya yang memuja Trimurti oleh Demang Kebolinggo dipecat dan candi itu dipugar dan dibangun kembali, arca-arcanya diganti dengan arca Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala. Pembuatan arca-arca dan pemugaran candi itu dilakukan oleh banyak ahli pahat yang terkenal, bahkan dipimpin oleh seorang yang tidak dikenal oleh penduduk Bulumanik. Dia adalah seorang pendeta yang berusia enampuluh lima tahun dan selain ahli tentang bangunan candi, juga ahli membuat arca yang indah. Selain itu, pendeta ini juga amat berwibawa, sebentar saja terkenal sebagai seorang pendeta yang dihormati Demang Kebolinggo dan kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan ahli sihir!

Bagi yang sudah mengenal pendeta itu, tentu saja tidak merasa heran karena dia adalah Sang Wasi Siwamurti, utusan Negeri Cola yang sakti, dan penyebar Agama Shiwa. Seperti telah kita ketahui, Wasi Siwamurti adalah kakak seperguruan dari Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat di Blambangan. Wasi Siwamurti ini dating dari Negeri Cola membawa dua orang lain, yaitu anak angkatnya yang berjuluk Ki Shiwananda, dan seorang muridnya yang bernama Ni Dewi Durgomala yang cantik dan genit, masih nampak muda dan menarik walaupun usianya sudah empatpuluh tahun. Ni Dewi Durgomala ini kelihatan seperti berusia dua puluh tahun lebih saja.

Wasi Siwamurti telah mendapat persetujuan dari Adipati Menak Sampar di Blambangan dan sekutunya, Adipati Martimpang dari Nusabarung untuk menyebar-luaskan agama Shiwa dan memecah-belah musuh-musuh mereka, Panjalu dan Jenggala melalui perpecahan agama. Dalam rangka penyebar-luasan agama Shiwa itulah maka dia memugar dan membangun kembali candi di Bulumanik, lalu mengganti candi itu menjadi candi Shiwa, Durga dan Kala! Arca ketiga dewadewi ini yang menghiasi candi baru itu.

Untuk pembangunan candi yang membutuhkan tenaga banyak orang, Wasi Shiwamurti mendapat perkenan dari Demang Kebolinggo untuk mengerahkan tenaga warga Bulumanik. Terjadilah kekacauan di kota itu ketika Wasi Shiwamurti melakukan paksaan kepada para orang muda di Bulumanik untuk bekerja membantu pembangunan candi. Menurut berita angin, siapa berani menolak untuk membantu, oleh sang wasi dikutuk menjadi gila atau menderita penyakit parah yang mengakibatkan kematian. Berita ini didesas-desuskan orang sehingga penduduk dihinggapi perasaan takut dan tidak ada yang berani lagi menolak perintah untuk membantu pembangunan candi baru itu.

Biarpun ada berita yang mengerikan itu, tetap saja ada yang berani menentang, perintah itu. Seorang di antara mereka adalah seorang pemuda bernama Sularko. Sularko adalah seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap. Dia tinggal di sebuah rumah bersama ibunya yang sudah janda Mbok Rondo Gati dan seorang adik perempuannya yang sudah dewasa berusia delapan belas tahun bernama Sawitri. Seperti juga kakaknya yang tampan, Sawitri seorang gadis yang cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum.

Sularko sudah mengetahui akan adanya pembangunan candi itu, dan diapun mendengar desas-desus akan bujukan yang melanda kaum muda di Bulumanik untuk membantu pembangunan candi itu. Bahkan kabarnya, mereka yang membantu pembangunan candi mendapat hadiah-hadiah yang menarik, sering diajak berpesta ria. Akan tetapi mereka yang menolak akan mendapat malapetaka. Dia sendiri menganggap ajakan membangun candi itu mencurigakan, karena walaupun tidak ada paksaan, akan tetapi yang menolak dikenakan kutukan yang membuatnya gila atau sakit. Ini sama saja dengan paksaan. Yang membuat dia tidak senang adalah berita bahwa mereka yang membantu kelompok pembangunan candi itu diajarkan untuk menganut agama baru itu yang katanya penuh dengan kesenangan sorga dunia!

Sularko adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan dia pernah mempelajari kanuragan selama beberapa tahun sehingga dia menjadi seorang pemuda yang pemberani. Dia bekerja sebagai seorang nelayan yang juga mempunyai sedikit ladang untuk bertani. Setiap hari dia bekerja, kadang dibantu adiknya Sawitri yang cantik manis itu, kalau tidak menangkap ikan tentu menggarap ladangnya. Karena dia tekun dan rajin, maka kehidupan mereka bertiga dapat dibilang cukup.

Pada suatu pagi yang cerah di waktu sinar matahari pagi menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi, Sularko ditemani Sawitri sedang bekerja di ladangnya. Dia sedang menanam benih jagung bersama Sawitri. Dia yang membuat lubang dengan paculnya dan Sawitri memasukkan biji jagung kedalam lubang-lubang itu yang lalu ditutupnya. Sularko bekerja dengan menanggalkan bajunya, hanya memakai celana hitam yang sebatas bawah lutut, sedangkan Sawitri juga mengenakan pakaian sederhana untuk bekerja di lading yang berlumpur itu. Namun, dengan pakaian sederhana itu, kedua kakak beradik ini bahkan tampak elok dan wajar.

Sularko tampak perkasa dengan dadanya yang bidang berotot, sedangkan Sawitri tampak lemah gemulai dan ayu dalam pakaiannya yang sederhana dan kainnya yang diangkat sampai memperlihatkan betisnya yang memadi-bunting. Sambil bekerja ini, Sularko bersenandung dan mereka berdua menikmati cahaya matahari yang hangat menyinari tubuh mereka. Kepala mereka terlindung sebuah caping yang lebar.

Sularko memang pandai bertembang. Dia bersenandung tembang Kinanti dengan suara yang merdu dan Sawitri dapat merasakan kedamaian dalam tembang itu. Betapa indahnya keadaan seperti itu. Bekerja dengan hati dan tangan yang ringan, menikmati kehangatan matahari dan kesegaran angin yang semilir. Perpaduan antara kehangatan dan kesejukan yang memberi semangat dan kegembiraan hidup. Punggung dan dada Sularko berkilauan karena keringat yang membasahi tubuhnya dan ayunan cangkulnya mantap dan kuat. Sawitri mengikutinya sambil menaburkan benih jagung dan tubuhnya membuat gerakan amat lenturnya ketika ia membungkuk-bungkuk seperti itu.

Dua orang yang lewat di jalan itu, kemudian memandang mereka dan datang menghampiri dan duduk di pematang ladang adalah seorang wanita yang cantik dan pesolek, dan seorang laki-laki yang tinggi besar dan bertampang menyeramkan. Walaupun wajahnya itu termasuk gagah namun matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu mendatangkan kesan menyeramkan. Wanita itu cantik dan pesolek, kain yang dipakainya baru, rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus, mukanya putih karena bedak dan diberi pemerah pipi dan bibir. Di lengan, jari dan lehernya terdapat perhiasan yang indah, demikian pula telinganya memakai perhiasan yang gemerlapan. Yang pria juga mengenakan pakaian baru, dengan baju terbuka sehingga nampak dadanya yang lebar dan berbulu.

Siapakah dua orang itu? Mereka bukan lain adalah Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgornala, anak angkat dan murid Wasi Shiwamurti. Merekalah yang ditugaskan oleh Wasi Shiwamurti untuk melaksanakan pemugaran dan pembangunan candi di Bulumanik. Mereka pula yang membujuk para muda di dusun Bulumanik dan sekitarnya untuk ikut membangun candi itu. Pada pagi hari itu, kebetulan mereka lewat di jalan itu dan melihat Sularko dan Sawitri, mereka merasa kagum dan tertarik sehingga mereka menghampiri dan duduk di pematang tegal itu.

Sepasang mata Ni Dewi Durgomala bersinar-sinar memandang ke arah Sularko yang mencangkul, sedangkan sepasang mata lebar dari Ki Shiwananda juga seolah-olah hendak menelan tubuh Sawitri dengan pandang matanya. Melihat Sularko dan Sawitri, sikap dua orang itu seperti dua ekor singa yang memandang dua ekor domba muda yang berdaging gemuk dan lunak. Air liur telah membasahi mulut mereka dan beberapa kali Ni Dewi Durgomala menjilat bibir sendiri dengan lidahnya yang merah.

Sularko dan Sawitri yang sedang asyik bekerja itu akhirnya merasa bahwa ada orang memandang mereka. Keduanya menghentikan pekerjaan masing-masing, berdiri tegak dan menoleh ke arah dua orang itu. Keduanya memandang heran, apalagi melihat bahwa dua orang itu berpakaian mewah dan sedang mengamati mereka.

"Aduh betapa sayangnya orang-orang muda yang elok harus bekerja keras memeras keringat di lumpur yang kotor!" Terdengar Ni Dewi Durgomala berseru.

"Dan gadis seayu itu sepatutnya berada di keputren!" kata pula Ki Shiwananda dengan suaranya yang berat.

Sularko dan Sawitri memandang heran dan Sularko bertanya,
"Apakah andika berdua bicara kepada kami?"

"Duh orang muda yang elok, siapa lagi kalau bukan kepada kalian kami bicara? Di sini tidak ada orang lain. Aku hanya menyayangkan seorang pemuda seperti andika ini bekerja keras di lumpur yang kotor," kata Ni Dewi Durgomala sambil melempar senyum dan kerling yang memikat. Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, wanita ini masih tampak cantik sekali dan masih muda seolah seorang perawan berusia duapuluh tahun saja! Senyumnya memikat dan kerling matanya sungguh tajam menggores kalbu.

Muka Sularko berubah merah mendengar ucapan yang merayu itu, akan tetapi dia menjawab dengan tegas.

"Kenapa sayang bekerja di ladang? Lumpur ini sama sekali tidak kotor dan bekerja di ladang merupakan pekerjaan yang bersih dan sehat!"

"Benar sekali, wong bagus, akan tetapi pekerjaan seperti itu hanya pantas dilakukan para petani yang kotor. Akan tetapi seorang muda yang elok seperti andika ini sepantasnya memiliki pekerjaan yang lebih terhormat dan bersih."

"Misalnya bekerja apa?" tanya Sularko penasaran.

"Misalnya pekerjaan membangun candi yang suci. Andika tidak perlu bekerja keras cukup kalau hanya mengawasi para pekerja mengangkut batu, atau membantu para seniman pemahat arca dan hiasan candi."

Sularko menggeleng kepalanya.
"Aku tidak pandai memahat arca, juga adikku ini tidak pandai apa-apa kecuali bekerja di ladang."

“Biarpun begitu, kami dapat menerima andika berdua bekerja kepada kami. Kami dapat mengajarkan sehingga engkau akan pandai memahat arca, dan adikmu dapat menjadi seorang yang bekerja di dapur. Kalian akan mendapatkan pakaian baru yang indah, pekerjaan tidak berat dan kalau malam ikut berpesta dengan kami. Kami menjanjikan penghidupan yang penuh dengan kesenangan untuk kalian. Marilah kalian tinggalkan ladang ini dan ikut bersama kami."

Sularko menjadi tak senang hatinya. Wanita cantik genit itu seakan hendak memaksanya, membujuk-bujuk dengan janji muluk. Dia sudah mendengar akan desas-desus bahwa siapa menolak untuk diajak bekerja membangun candi akan dikutuk. Dia tidak takut.

"Sudahlah, harap andika tidak membujuk lagi. Bagaimanapun kami berdua tidak tertarik dan tidak mau bekerja membangun candi. Kami adalah keluarga petani dan pekerjaan kami di ladang atau di sungai," katanya dan dia mulai memegang gagang paculnya pula.

Ki Shiwananda mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri sambil menudingkan telunjuknya kepada Sularko.

"Orang muda, engkau sombong benar! Apakah engkau ingin hidupmu sengsara?"

Sularko menunda pekerjaannya dan balas memandang,
"Kami sudah berbahagia dengan kehidupan kami sebagai petani, kalau kami mengubah pekerjaan kami membangun candi, tentu kami hidup sengsara!"

"Kau ... kau ... !" Ki Shiwananda sudah menudingkan lagi telunjuknya, akan tetapi Ni Dewi Durgomala cepat bangkit berdiri mencegah dia bicara lebih lanjut.

"Sudahlah, biarkan mereka berpikir dulu. Eh, orang muda, biarlah kami memberi waktu kepada kalian berdua untuk berpikir mempertimbangkan penawaran kami. Malam nanti kami akan mengunjungi kalian di rumah kalian."

Sularko diam saja dan melanjutkan pekerjaannya menggali lubang. Sawitri juga melanjutkan pekerjaannya, membiarkan dua orang itu pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi jauh, barulah Sawitri menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada Sularko.

"Kakang, siapakah dua orang tadi?"

"Aku sendiripun tidak mengenal mereka, Sawitri. Akan tetapi mendengar bujukan mereka, kukira mereka adalah orang-orang yang mendirikan candi baru itu."

"Kakang, aku takut melihat pandang mata mereka, terutama yang laki-laki tadi."

"Tidak perlu takut, Sawitri. Mereka boleh saja membujuk dengan janji yang manis dan muluk-muluk, akan tetapi kalau kita tidak mau, mereka tidak dapat memaksa kita."

"Akan tetapi aku tetap khawatir, kakang. Bukankah sebelum mereka pergi mereka mengatakan bahwa malam nanti mereka akan datang mengunjungi kita?"

"Mereka dapat berbuat apa? Jangan takut, aku akan melindungimu. Kalau mereka mengancam, kita dapat memukul kentongan memanggil para penduduk untuk mengeroyok mereka."

Biarpun dihibur oleh kakaknya, tetap saja Sawitri merasa gelisah. Bayangan sepasang mata Ki Shiwananda itu seperti terus mengikutinya dan ia merasa ngeri. Akan tetapi gadis ini tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Setelah hari menjadi sore dan mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, kakak beradik itu pulang. Di tengah perjalanan, Sularko memesan adiknya agar tidak menceritakan peristiwa kunjungan dua orang tadi kepada ibu mereka. Dia khawatir kalau hal itu akan membuat ibu mereka gelisah.

Mbok Rondo Gati menyambut kedua anaknya dengan gembira. Setelah menyuruh mereka mandi, ia lalu mengeluarkan hidangan makan malam yang sederhana untuk mereka. Mereka bertiga lalu makan bersama dengan gembira. Bukan main lezatnya hidangan sederhana itu bagi Sularko dan Sawitri yang sudah merasa lelah dan kelaparan setelah sehari bekerja di ladang. Sejak sarapan pagi sebelum berangkat ke ladang, mereka tidak makan apa-apa lagi sampai sore.

Malam itu terang bulan. Malam yang indah karena bulan muncul sepenuhnya. Ramai suara anak-anak yang bermain di pelataran rumah sambil berdendang. Suara banyak anak-anak bertembang "ilir-ilir" terdengar mengalun dan mengandung pengaruh aneh yang mendatangkan rasa haru. Malam Respati (Kamis malam) yang indah akan tetapi juga menyeramkan.

Bau kembang dan kemenyan dibakar menambah keseraman malam itu. Telah terjadi kepercayaan umum bahwa pada malam Respati seperti itu, para jin setan dan mahluk-mahluk halus lainnya keluar dari sarang mereka untuk mandi sinar bulan purnama yang memperkuat tubuh halus mereka dan berpesta sekenyangnya dalam asap kemenyan dan keharuman bunga setaman yang oleh manusia memang dihidangkan untuk mereka.

Setelah suara anak-anak bertembang menghilang, tanda bahwa anak-anak itu telah memasuki rumah masing-masing dan tidur, suasana menjadi hening. Keheningan yang menghanyutkan manusia dalam lamunan yang ajaib. Suara burung malam kini menggantikan tembang anak-anak, akan tetapi suara burung-burung hantu itu mendatangkan suasana yang mengerikan, seolah-olah suara itu menjadi pertanda bahwa akan datang suatu malapetaka bagi mereka yang mendengarnya.

Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara gamelan. Suara ini datangnya dari candi yang sedang dibangun. Tahulah para penduduk dusun Bulumanik bahwa di candi itu diadakan pesta seperti yang sering diadakan tiap Respati malam. Tidak ada penduduk yang berani menonton keramaian itu karena pesta itu diadakan untuk para anggauta khususnya. Di halaman depan candi itu dibuat panggung dan diatas panggung inilah orang-orang itu mengadakan pesta dengan iringan gamelan yang bertalu-talu. Biasanya, dalam pesta itu terjadi pengangkatan anggauta baru. Banyak sudah kaum muda, laki-laki dan perempuan yang sudah masuk menjadi anggauta agama baru penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala itu. Bukan hanya para anggauta agama baru yang berpesta, akan tetapi juga mereka yang bekerja membangun candi itu. Para pekerja inipun otomatis telah menjadi anggauta mereka sehingga dalam waktu beberapa bulan saja sudah ratusan orang yang menjadi anggauta agama baru itu.

Pesta ini selain untuk memuja tiga dewa dewi itu, juga untuk memberi hiburan dan kesenangan kepada para anggautanya. Di situ mereka diberi kesempatan untuk makan dan minum sepuasnya, juga ikut berpesta pora mengumbar nafsu secara bebas dalam keadaan mabok-mabokan. Sambil minum tuak (minuman keras dari pohon aren) mereka berpesta pora dan diperbolehkan mencari pasangan masing-masing dan memuaskan nafsu mereka dengan bebas.

Malam itu, gamelan baru saja dibunyikan dan pesta belum dimulai. Biasanya pesta baru dimulai kalau Ni Dewi Durgomala yang memimpin pesta itu sudah muncul bersama Ki Shiwananda yang dianggap sebagai puteranya. Kalau kedua orang ini muncul, barulah dilakukan sembahyangan untuk mengundang Wasi Shiwamurti yang dianggap sebagai titisan Bathara Shiwa, yang datang pada setiap Respati malam di waktu bulan sedang purnama. Hanya sebulan sekali Wasi Shiwamurti muncul di situ, sekalian untuk memeriksa hasil pembangunan candi yang pada hari-hari biasa dipimpin oleh Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Malam itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda belum muncul dan semua orang menantikan ke dua orang ini karena kemunculan mereka berarti pesta pora dimulai.

Sularko dan Sawitri juga mendengar suara gamelan yang menggantikan suara tembang anak-anak tadi. Mereka merasa heran mendengar gamelan itu yang mengingatkan mereka akan pertemuan mereka dengan dua orang di ladang pagi tadi. Sawitri yang merasa gelisah, tidak dapat tidur. Setelah ibunya pulas, ia keluar dari kamar dan dilihatnya kakaknya juga belum tidur dan sedang duduk di ruangan depan. Ia lalu duduk pula di dekat kakaknya.

"Engkau belum tidur, Sawitri?"

Sawitri menggeleng kepalanya.
"Engkau juga belum kakang? Aku tidak dapat tidur, suara gamelan itu terdengar mengerikan."

Biarpun hatinya sendiri merasa tidak tenang, namun Sularko menghibur adiknya.
"Ah, apanya yang mengerikan?

“Gamelan itu adalah gamelan biasa, hanya lagunya yang asing bagi kita. Tidak ada yang mengerikan. Tidurlah, Sawitri. Apakah ibu sudah tidur?"

"Sudah, kakang. Justeru karena ibu sudah tidur dan aku belum, maka aku merasa seram dan melihat engkau duduk di sini, aku lalu datang mencari kawan."

Sularko tertawa.
"Ha-ha, engkau penakut benar, Sawitri. Apakah yang kau takutkan?"

"Entahlah, kakang. Aku seperti dapat firasat buruk, hatiku terasa berdebar tak menentu dan sepasang mata laki-laki tinggi besar itu seperti mengikuti aku terus."

"Itu hanya karena engkau membayangkan terus, Sawitri ..." Tiba-tiba Sularko menghentikan kata-katanya dan dia memandang ke arah pintu depan. Terdengar suara tawa lirih dari depan dan disusul suara seorang wanita yang merdu.

"Orang muda yang bagus, aku telah datang. Bukakan pintu rumahnya."

Suara itu segera disusul suara yang dalam dan berat,
"Perawan ayu, aku datang menjemputmu, bukalah pintunya."

Sawitri menggigil ketakutan dan ia lari mendekati kakaknya, bersembunyi di belakang tubuh kakaknya.
"Kakang, aku takut... "

Sularko adalah seorang pemuda pemberani, walaupun dua suara itu membuat tengkuknya meremang, namun dengan tabah dia lalu membentak ke arah luar,

"kalian datang mau apa? Kami tidak membutuhkan kalian dan tidak ingin bertemu dengan kalian. Kalian pergilah dari sini!"

"Orang muda, namamu Sularko dan adikmu bernama Sawitri, bukan? Kami datang untuk mengajak kalian bersenang-senang. Bukalah pintunya dan biarkan kami bercakap-cakap dengan kalian."

"Tidak! Kalian pergilah, atau kami akan berteriak agar semua orang datang mengeroyok kalian!" kata pula Sularko, lalu dia melepaskan rangkulan Sawitri, yang ketakutan untuk mengambil sebuah arit yang berada di sudut ruangan. Setelah memegang arit, Sularko menjadi tabah.

Suara Ki Shawananda terdengar pula.
"Bukalah pintunya, atau kami terpaksa menjebolnya."

"Kalau kalian berani menjebol pintu, kalian akan kubunuh!" Sularko berteriak, penuh kemarahan dan tangannya memegang gagang arit dengan kuat. Sawitri masih memegang lengan kakaknya dan bersembunyi di balik tubuh kakaknya.

Hening sejenak, kemudian terdengar suara keras.
"Brakkkk... !" Daun pintu rumah itu jebol dan pada saat kedua orang itu muncul, Sawitri menjerit ketakutan.

Ni Dewi Durgomala menggerakkan kedua tangannya ke atas seperti menggapai kepada kakak beradik itu. Tiba-tiba saja Sularko dan Sawitri merasa tubuhnya lemas dan kesadarannya hilang. Mereka berdua terkulai lemas, seolah kedua kaki mereka tidak bertenaga lagi dan keduanya seperti terhuyung hendak jatuh. Pada saat itu Ni Dewi Durgomala melompat ke depan dan merangkul tubuh Sularko, sedangkan Ki Shiwananda juga memeluk tubuh Sawitri dara itu juga tidak sampai jatuh. Kemudian mereka memanggul tubuh kakak beradik yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya keluar.

Pada saat itu, Mbok Rondo Gati yang mendengar jeritan Sawitri tadi, terbangun dari tidurnya dan tergopoh keluar kamar. Ia sempat melihat kedua orang anaknya dipanggul dua orang yang tidak dikenalnya dan dibawa keluar. Tentu saja ia menjadi kaget dan marah.

"Heii, tahan! Apa yang terjadi dengan anak-anakku? Hendak kalian bawa ke mana mereka?" Ia mengejar.

Ni Dewi Durgomala membalikkan tubuhnya dan melihat seorang wanita setengah tua mengejar, ia lalu mendorongkan tangan kirinya ke arah Mbok Rondo Gati. Bagaikan dilanda angin yang amat kuat tubuh janda itu terjengkang dan roboh. Dadanya terasa sesak dan ketika ia merangkak dan berhasil berdiri, kedua orang anaknya yang dipanggul dua orang itu telah lenyap dari situ. Hanya angin malam saja yang menerobos masuk melalui pintu yang telah jebol.

Mbok Rondo Gati menjerit-jerit dan menangis. Ketika para tetangga datang, ia hanya dapat mengatakan bahwa kedua orang anaknya dibawa lari orang. Akan tetapi ia tidak dapat bercerita dengan jelas bagaimana rupa orang-orang yang dikatakan menculik kedua orang anaknya. Para tetangga menjadi ragu. Rasanya sukar dipercaya ada dua orang dewasa diculik begitu saja oleh dua orang. Padahal mereka semua tahu bahwa Sularko adalah seorang pemuda yang pemberani dan juga bukan pemuda lemah karena pernah mempelajari kanuragan. Akan tetapi melihat daun pintu yang jebol mereka juga merasa heran sekali. Para penduduk Bulumanik masih percaya sekali akan tahyul, maka para tetangga Janda Mbok Gati itu segera menduga bahwa yang dapat melakukan penculikan itu tentu sebangsa mahluk halus atau iblis. Mereka lalu pulang dan bersembunyi di rumah masing-masing. Dalam malam Respati seperti itu mereka semua percaya bahwa di luar banyak hantu dan setan gentayangan mencari korban, dan mereka percaya bahwa yang mendatangi rumah Mbok Rondo Gati tentulah sebangsa setan pula.

Mbok Rondo Gati yang ditinggal pergi para tetangganya, hanya dapat menangis. Ia sendiri juga ketakutan dan percaya bahwa dua orang yang membawa pergi anak-anaknya tentulah sebangsa iblis. Buktinya, hanya dengan gerakan tangan, wanita cantik yang memanggul tubuh Sularko membuat ia roboh terjengkang, ia menangis akan tetapi tidak berani keluar untuk mencari kedua orang anaknya.

Sementara itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda membawa dua orang muda itu ke dalam ruangan belakang candi. Ni Dewi Durgomala lalu mencekoki Sularko dan Sawitri dengan secawan minuman yang telah diramu dan dimantera sehingga kedua orang muda itu terbangun akan tetapi mereka seperti orang mimpi. Mereka menurut saja apa yang dikehendaki dua orang itu dan ketika mereka diajak keluar dari ruangan itu menuju ke panggung di halaman depan, keduanya hanya menurut saja. Kemunculan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda disambut dengan meriah, dengan sorak sorai.

Semua orang bergembira karena kemunculan mereka ini menjadi pertanda bahwa pesta pora akan segera dimulai. Ketika mereka melihat bahwa Sularko dan Sawitri, mereka yang berasal dari Bulumanik mengenal mereka dan menjadi gembira sekali, menganggap bahwa kedua orang muda itu sependapat dengan mereka dan mau masuk menjadi anggauta agama baru dan malam ini tentu akan diadakan upacara penerimaan mereka menjadi murid atau anggauta baru. Maka mereka bersorak dengan gembira.

Sedikitnya ada seratus orang anggauta agama baru itu berkumpul di situ. Mereka adalah juga para pekerja yang membangun candi, dari para seniman pembuat arca dan pemahat yang pandai, sampai kuli-kuli angkut batu dan pelaksana pekerjaan berat lainnya. Pada malam pesta seperti itu mereka diperlakukan sama. Hal ini yang menggembirakan mereka. Pada malam seperti itu biasanya mereka berpesta pora, makan berlimpah ruah dan mereka diperbolehkan mengumbar nafsu mereka. Para anggauta itu bukan hanya laki-laki, akan tetapi juga banyak perempuannya. Kesemuanya masih muda-muda dan berkulit bersih. Bahkan banyak di antara mereka yang tampan dan cantik.

Di sudut panggung serombongan penabuh gamelan dan di atas panggung itu tampak tiga kursi. Kursi yang tengah besar dan diukir indah, sedangkan dua kursi yang mengapitnya lebih kecil dan lebih sederhana bentuknya. Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda naik ke panggung bersama Sularko dan Sawitri. Pemuda dan pemudi ini tampak seperti domba yang jinak. Kalau tadi mereka baru dibawa dari rumah mereka, keduanya seperti kehilangan semangat dan lesu, setelah diberi minum ramuan minuman seperti tuak itu, keduanya menjadi penurut dan menaati semua perintah Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Mereka ikut naik ke panggung dan ketika Ni Durgomala dan Ki Shiwananda duduk dikursi yang mengapit kursi besar, Sularko dan Sawitri juga duduk di atas lantai panggung.

Malam itu tidak seperti malam Respati lainnya. Pada malam Respati yang tidak disinari bulan purnama, pesta itu dilakukan oleh para anggauta dan dipimpin oleh dua orang tokoh agama baru itu. Akan tetapi, khusus diwaktu malam terang bulan purnama, seperti pada bulan-bulan yang lalu, Wasi Shiwamurti sendiri akan muncul dan memimpin upacara dan pesta. Para anggauta masih gaduh menyambut munculnya Sularko dan Sawitri. Ni Dewi Durgomala lalu mengangkat tangannya ke atas sambil berdiri dari kursinya, memberi isyarat agar semua orang diam tidak membuat gaduh. Semua terdiam dan suasana menjadi hening, bahkan gamelan juga dihentikan.

"Saudara-saudara para anggauta sekalian, anak-anakku yang berbahagia, seperti kalian dapat melihat sendiri, malam ini ada seorang pemuda dan seorang pemudi masuk menjadi anggauta kita. Dan pada malam hari ini, Sang Wasi Shiwamurti sebagai penjelmaan Sang Hyang Bathara Shiwa akan hadir dan memimpin sendiri upacara penerimaan murid dan pesta yang akan diadakan pada malam hari ini, untuk menyatakan syukur bahwa pembangunan candi berjalan lancar dan hampir selesai. Sekarang diminta kalian diam karena kami membutuhkan suasana hening untuk mengundang Yang Mulia Sang Wasi Shiwamurti datang ke tengah-tengah kita.”

Seorang gadis cantik yang memang menjadi pembantu Ni Dewi Durgomala naik ke panggung membawa sebuah pedupaan di mana terdapat arang membara yang mengepulkan sedikit asap putih. Setelah berjongkok di depan Ni Dewi Durgomala, gadis itu meletakkan pedupaan di atasi lantai panggung. Ni Dewi Durgomala menerima sebungkus besar kemenyan dari gadis itu dan ia memberi isyarat agar gadis itu mundur!

Hanya ada Sularko dan Sawitri yang masih duduk bersimpuh di atas panggung depan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shawananda, duduk tak bergerak bagaikan telah menjadi arca. Ni Dewi Durgomala lalu membaca doa seperti orang berkidung yang terdengar aneh, makin lama semakin nyaring, kemudian ia mengambil kemenyan dan memasukkannya ke dalam bara api dipedupaan. Asap putih yang tebal mengepul dari pedupaan, terus kemenyan itu ditambah sambil membaca mantera dan asap yang mengepul semakin tebal. Tercium bau harum yang menyeramkan dari asap itu. Semua orang membelalakkan mata karena mereka maklum, seperti yang biasa dilakukan setiap bulan purnama, Wasi Shiwamurti tentu akan datang memenuhi panggilan itu secara luar biasa. Dan benar saja, tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang kakek berjubah pendeta yang usianya sudah enampuluh lima tahun, berjenggot dan berkumis putih, memegang sebatang tongkat yang gagangnya terukir kepala naga, tahu-tahu telah duduk di atas kursi besar yang berada di tengah sambil tersenyum!

Ni Dewi Durgomala lalu menaburkan bunga mawar ke kaki Sang Wasi, sambil memberi hormat dan Ki Shiwananda juga memberi hormat dengan menyembah. Semua anggauta memandang dengan kagum dan hormat disertai rasa takut karena bagi mereka Wasi Shiwamurti adalah titisan Sang Hyang Shiwa sendiri. Dan mereka percaya bahwa Wasi Shiwamurti pandai menghilang dan melakukan segala macam kesaktian.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 019 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment