Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 019

**** BACK ****

Wasi Shiwamurti lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa upacara dapat dimulai. Segera para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka dan suasana mendadak menjadi meriah. Seorang anggauta wanita yang cantik lalu naik ke panggung membawa seekor ayam jago putih, diikuti seorang anggauta lain yang membawa periuk dan pisau. Pisau yang tajam berkilau itu diserahkan kepada Wasi Shiwamurti sambil berlutut oleh anggauta wanitai itu. Wasi Shiwamurti lalu menggunakan pisau itu untuk menyembelih ayam jantan putih dan darahnya lalu ditampung ke dalam periuk tanah. Kemudian datang lagi seorang anggauta membawa seguci besar yang terisi tuak, dan darah ayam itu dituangkan kedalam guci, bercampur dengan tuak.

Wasi Shiwamurti membaca mantera diatas guci itu, kemudian mulailah pesta minum-minum tuak yang sudah bercampur darah. Mula-mula, Ni Dewi Durgomala yang menuangkan tuak darah itu dalam dua buah cawan, menyerahkan kepada Sularko dan Sawitri, menyuruh mereka meminumnya. Dua orang yang sudah menjadi seperti boneka hidup itu, tanpa ragu lalu minum tuak itu sampai habis, diikuti sorak sorai para anggauta. Setelah itu, setiap orang anggauta kebagian secawan tuak dan beramai-ramai mereka meminumnya. Hidangan lalu dikeluarkan dan para anggauta mulai naik ke atas panggung dan mereka mulai makan minum, disaksikan oleh Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgo mala dan Ki Shiwananda sambil tertawa-tawa.

Gamelan terus dipukul gencar. Semua orang bergembira. Tuak dituangkan dan diminum dan tak lama kemudian banyak di antara mereka menjadi mabok. Ni Dewi Durgomala melaporkan kepada Wasi Shiwamurti tentang dua orang muda yang mulai malam itu masuk menjadi anggauta. Wasi Shiwamurti mengangguk-angguk senang.

"Kuserahkan kepada andika berdua untuk melatih mereka agar menjadi anggauta yang setia dan baik," kata Wasi Shiwamurti sambil tersenyum.

Dua orang muridnya itu mengangguk senang. Setelah makan minum selesai dan semua bekas pesta disingkirkan dari panggung, mulailah kini pesta menari yang dimulai dengan tarian Ni Dewi Durgomala. Wanita ini menari dengan indah dan liar, tersenyum-senyum dan ia menari di depan Wasi Shiwamurti yang menonton sambil tertawa-tawa senang, kadang kalau Ni Dewi Durgomala menari dekat, tangannya meraih dan membelai murid yang kadang juga menjadi kekasihnya itu. Karena Wasi Shiwamurti menganggap dirinya titisan Bathara Shiwa, dan Ni Dewi Durgomala sebagai titisan Bathari Durgo, maka wanita itu dianggap sebagai isterinya. Dan Ki Shiwananda yang menjadi putera angkat Wasi Shiwamurti dianggap sebagai titisan Sang Bathara Kala, putera Bathawa Shiwa.

Setelah menari beberapa lamanya, Ni Dewi Durgomala lalu berteriak kepada para anggautanya agar segera menari merayakan malam Respati bulan purnama itu. Dan mulailah tari-tarian yang gila-gilaan. Para anggauta wanita menari-nari, diikuti anggauta pria dan di panggung itu mereka menari berpasang-pasangan. Dalam keadaan mabok-mabokan mereka menari. Terjadi hal yang amat aneh, yaitu Sularko dan Sawitri yang tadinya seperti orang kehilangan semangat dan menurut saja, kinipun bangkit dan ikut pula menari! Mereka menari sambil memejamkan mata, dengan tarian liar, asal melenggang-lenggok menurutkan irama gamelan yang dipukul gencar. Karena mereka menari berpasangan dan liar dalam keadaan setengah mabok, sebentar saja nafsu mereka memuncak, bagaikan api membakar mereka semua dan mulailah terjadi perbuatan yang tidak sopan yang tidak terkendalikan lagi. Mereka itu, laki-laki dan perempuan, mulai saling berangkulan, berciuman dan saling belai. Dan berpasang-pasangan mereka mulai turun dari panggung dan sambil menari-nari mereka pergi menjauhkan diri, mencari tempat-tempat sunyi dan gelap, membiarkan nafsu berahi menggulung dan menelan mereka.

Melihat ini, Wasi Shiwamurti lalu melempar kemenyan di atas pedupaan dan selagi asap mengepul tebal, diapun menghilang di balik asap. Ni Dewi Durgomala lalu menghampiri Sularko yang masih menari-nari, menggandeng pemuda itu, mengajaknya menari bersama kemudian mereka berdua-pun turun dari panggung dan masuk ke bagian belakang candi di mana terdapat kamar Ni Dewi Dbrgornala.

Demikian pula Ki Shiwananda. Raksasa ini menari dan menuntun Sawitri menuruni panggung. Sawitri yang seperti mabok itu hanya tertawa dan menurut saja ketika tangannya digandeng dan ia digiring masuk ke dalam kamar Ki Shiwananda yang berada di belakang candi pula. Inilah yang menarik banyak orang muda untuk memasuki perkumpulan agama baru itu. Ada pesta pora, ada mabok-mabokan lalu terjadi permainan cinta yang liar di antara mereka, dapat memilih pasangan masing-masing dan dalam keadaan mabok mereka menenggelamkan diri ke dalam lautan nafsu berahi dan melampiaskan nafsu sepuas-puasnya.

Bagaikan sebuah boneka hidup, Sularko menurut saja segala kemauan Ni Dewi Durgomala. Dia bagaikan telah kehilangan kesadarannya karena pengaruh minuman keras, juga karena ilmu sihir dan guna-guna yang dikerahkan wanita itu untuk menundukkannya. Tentu saja Ni Dewi Durgomala girang bukan main dan wanita iblis ini berpelesir sampai pagi, bersenang-senang tanpa ada yang menghalanginya. Selama semalam Sularko memenuhi semua permintaan atau perintah Ni Dewi Durgomala seperti orang yang telah kehilangan pribadinya, bahkan akal pikirannya sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Semua terjadi seperti mimpi yang tidak dapat dikuasainya.

Akan tetapi menjelang pagi, ketika Ni Dewi Durgomala yang telah kelelahan itu tertidur, berangsur-angsur lenyaplah kekuasaan yang mencengkeram dan mempengaruhi batin Sularko dan diapun mulai sadar akan keadaan dirinya. Tentu saja dia menjadi amat terkejut dan menyesal. Dengan hati-hati dan cepat dia membereskan pakaiannya dan meninggalkan Ni Dewi Durgomala yang masih tertidur. Sularko teringat akan adiknya. Secara samar-samar, seperti dalam mimpi, dia kini teringat kembali betapa dia dan adiknya berada di rumah mereka dan akan kedatangan dua orang, yaitu Ni Dewi Durgomala dan seorang laki-laki seperti raksasa. Dia khawatir sekali akan keadaan adiknya. Kalau dia dibawa ke tempat ini tanpa diketahui, tentu adiknyapun dibawa ke sini pula. Dia lalu menyelinap keluar dari kamar itu dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di bagian belakang dari candi yang sedang dibangun. Dia menjadi bingung. Terdapat beberapa buah kamar di situ dan dia tidak tahu di kamar mana adiknya berada. Dia tahu bahwa tempat itu amat berbahaya dan di situ terdapat banyak orang sakti, maka dia tidak berani sembarangan membuka pintu kamar-kamar itu.

Sementara itu, keadaan Sawitri tidak banyak bedanya dengan keadaan kakaknya, Sularko. Bahkan sebagai seorang wanita muda, keadaan Sawitri lebih parah lagi. Seperti juga dengan Sularko, Sawitri sama sekali tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia hanya taat dan menurut saja apa yang dikehendaki Ki Shiwananda darinya. Iapun berada di bawah pengaruh sihir dan minuman yang mengandung obat pembius. Seperti juga Ni Durgomala, setelah kelelahan Ki Shiwananda tertidur pulas dan sedikit demi sedikit Sawitri mendapatkan kembali kesadarannya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hatinya ketika ia mendapat kenyataan tentang dirinya yang sudah ternoda. Dengan menahan rasa sakit di badan dan hati, Sawitri yang melihat Ki Shiwananda sedang tidur mendengkur, segera membereskan pakaiannya, ia melihat sebatang keris tergantung di dinding. Dengan hati-hati diambilnya keris itu, kemudian ia menghampiri Ki Shiwananda yang sedang tidur, kemudian dengan segala kebencian yang terkandung di hatinya, ia menusukkan keris itu pada dada raksasa yang telah merusak kehormatan dirinya itu.

"Wuuutt ... takk ... !!" Sawitri terkejut sekali.

Keris itu tidak dapat menembus kulit dada yang tebal dan kebal itu. Bahkan Ki Shiwananda terbangun dari tidurnya. Melihat Sawitri memegang keris terhunus dan hendak menusuknya lagi, dia menjadi marah sekali. Tangan kirinya menampar, mengenai tangan Sawitri yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dari tangannya dan terlempar ke atas lantai.

"Jahanam! Berani engkau mencoba membunuhku!" Ki Shiwananda melompat bangun dan dengan langkah lebar dia menghampiri Sawitri.

Gadis yang marah akan tetapi juga ketakutan ini menjerit pada saat tangan yang besar itu menyambar dan mengenai kepalanya. Tubuhnya terputar dan terbanting keras ke atas lantai dan Sawitri tidak dapat bangun kembali. Kepalanya retak terkena hantaman tangan Ki Shiwananda. Pada saat itu, Sularko berada di luar pintu kamar itu. Terkejut sekali dia ketika mendengar jerit adiknya. Dengan nekat dia lalu mendobrak daun pintu sehingga terbuka. Dia melihat Ki Shiwananda dengan pakaian tidak karuan berdiri marah dan Sawitri menggeletak di atas lantai, tak dapat gerak lagi.

“Sawitri ... !" Sularko memekik dan menubruk adiknya.

Diangkatnya kepala adiknya dan ketika dia melihat bahwa adiknya telah tewas dengan kepala mengeluarkan darah, dia menjadi marah bukan main. Lupa akan kekuatan sendiri, Sularko merebahkan kembali adiknya dan dia lalu meloncat dan menyerang Ki Shiwananda dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan itu keras sekali karena Sularko yang amat marah itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kepalan tangan kanannya menghantam dada Ki Shiwananda.

"Bukk ... !" Tangan Sularko terasa nyeri dan terpental seolah dia memukul dinding baja. Sebelum dia dapat menyerang lagi, Ki Shiwananda yang sudah marah telah menggerakkan tangannya, dihantamkan ke arah kepala Sularko.

"Wuuuuuttt ... prakkkk!" Sekali pukul saja retaklah kepala Sularko dan tubuhnya terpelanting. Robohlah Sularko di dekat tubuh adiknya yang sudah menjadi mayat dan diapun tewas seketika!

Mendengar suara ribut-ribut, Ni Dewi Durgomala berlari keluar dari kamarnya dan memasuki kamar Ki Shiwananda. Melihat pemuda dan gadis yang semalam menjadi permainan mereka itu menggeletak di atas lantai dan tewas, ia menegur Ki Shiwananda.

"Apa yang kaulakukan ini?"

"Terpaksa kubunuh mereka, gadis ini mencoba untuk menyerangku dengan kerisku, dan pemuda itu masuk kamar dan memukulku," jawab Ki Shiwananda dengan pendek dan masih marah.

"Ah, engkau terburu nafsu. Sekarang cepat bawa mereka keluar dan lemparkan ke Kali Mayang!"

Karena malam itu baru menjelang pagi dan suasana masih sunyi sekali, Ki Shiwananda cepat mengangkat dua buah mayat itu dan membawanya keluar dari candi. Dia menggunakan ilmunya berlari cepat dan sebentar saja ketika fajar mulai menyingsing, dia sudah tiba di tepi Kali Mayang. Dia lalu melemparkan dua mayat itu ke dalam sungai dan dua mayat itu hanyut. Setelah melihat dua mayat itu hanyut, Ki Shiwananda lalu cepat kembali ke Bulumanik dan masuk ke dalam candi.

"Bagaimana?" tanya Ni Dewi Durgomala.

"Sudah beres, mereka sudah hanyut di sungai," jawab Ki Shiwananda puas.

"Hemm, lain kali engkau harus lebih dapat menahan diri. Sejauh ini kita belum pernah membunuh secara langsung seperti itu. Kalau ada orang lain mengetahui, sungguh tidak enak sekali."

"Aku menjadi mata gelap ketika mereka berani menyerangku," Ki Shiwananda membela diri. "Biasanya, tidak ada yang bersikap seperti dua orang muda itu."

Ni Dewi Durgomala menghela napas panjang.
"Itulah yang membuat mereka menjadi istimewa. Sayang kita lalai sehingga tidak mengikat kesadaran mereka lebih jauh sehingga mereka mendapatkan kesadaran dan mencoba untuk menyerangmu. Pemuda-pemuda lain kalau sadar lalu menjadi jinak seperti domba dan menjadi anggauta yang baik."

"Demikian pula gadis itu. Coba pikir, ia berani menyerangku dengan kerisku sendiri.Untung aku keburu sadar dan dapat mengerahkan aji kekebalan pada saat ia menusuk dadaku. Karena marah aku menamparnya, akan tetapi terlalu kuat sehingga ia tewas seketika. Biasanya, para gadis lain yang sudah melayani aku tidak bersikap seperti gadis itu. Dan pemuda itu agaknya hendak membela adiknya dan menyerangku, terpaksa pula kurobohkan dia dengan pukulan."

"Sudahlah, yang sudah terlanjur tak dapat diubah. Akan tetapi selanjutnya agar engkau berhati-hati, jangan sembarangan membunuh secara langsung seperti itu. Kalau sampai ada yang mengetahui, tentu akan berkurang atau bahkan hilang kepercayaan mereka kepada kita dan kita tentu akan mendapat teguran keras dari Bapa Guru Wasi Shiwamurti."

Setelah matahari mulai naik, kedua orang itu sudah sibuk lagi memimpin para pekerja yang membangun candi. Tidak ada yang tahu bahwa pagi tadi telah terjadi pembunuhan keji yang dilakukan oleh Ki Shiwananda, orang yang mereka anggap sebagai pembantu Ni Dewi Durgomala.

Sementara itu, Mbok Rondo Gati yang kehilangan dua orang anaknya, setelah pagi menggantikan malam, baru berani keluar. Ia menangis dan menceritakan kepada para tetangganya tentang dua orang anaknya yang dibawa pergi seorang laki-laki dan seorang wanita yang dapat bergerak seperti iblis cepatnya. Para tetangga tidak ada yang dapat menduga siapa yang melakukan penculikan itu, hanya menduga bahwa tentu iblis sendiri yang datang mengganggu.

Dengan bingung dan sambil menangis, Mbok Rondo Gati lalu keluar dari rumahnya dan pergi mencari-cari kedua anaknya, bertanya-tanya kepada siapa saja kalau-kalau ada yang melihat dua orang anaknya. Akhirnya ia pergi ke candi yang baru dibangun dan di situ ia mendapat keterangan dari seorang pemahat arca bahwa semalam kedua anaknya ikut berpesta di candi itu. Mbok Rondo Gati merasa girang sekali mendengar ini.

"Akan tetapi kenapa mereka sampai sekarang belum pulang? Di manakah kedua orang anakku itu?"

"Kami tidak tahu bibi, mungkin kalau bibi bertanya kepada Ni Dewi, ia akan dapat memberitahu kepada bibi ke mana perginya dua orang anak bibi itu." Orang itu lalu bekerja lagi dan tidak memperhatikan lagi kepada Mbok Rondo Gati.

Wanita yang kehilangan anaknya itu lalu bertanya-tanya di mana ia dapat menemui Ni Dewi, dan akhirnya ia diberitahu bahwa Ni Dewi berada di bagian belakang candi dan sedang memberi petunjuk kepada para pekerja yang mengerjakan ukir-ukiran pada batu relief, ia pergi ke belakang candi dan benar saja, di situ ia dapat bertemu dengan Ni Dewi Durgomala. Mbok Rondo Gati memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan alis berkerut. Ia merasa ragu-ragu. Wanita yang semalam memanggul Sularko mirip wanita ini, akan tetapi juga ada perbedaannya. Kalau yang semalam bersikap mengerikan, yang sekarang berhadapan dengannya
itu merupakan seorang wanita yang ramah, murah senyum dan lemah lembut.

"Bibi mencari siapakah?" Ni Dewi, Durgomala yang di antara para pekerja dan para anggauta disebut Ni Dewi saja, bertanya sambil tersenyum manis.

"Saya... saya mencari dua orang anak saya, yang laki-laki bernama Sularko dan yang perempuan bernama Sawitri. Saya mendengar bahwa malam tadi mereka ikut pesta di sini." Kata Mbok Rondo Gati dengan suara penuh harap akan tetapi juga lirih karena merasa segan berhadapan dengan wanita yang pandang matanya amat berwibawa itu.

Ni Dewi Durgomala mengerutkan sepasang alisnya yang hitam panjang dan berkata,
"Sularko dan Sawitri? Aha, aku ingat sekarang. Mereka adalah dua orang kakak beradik yang menjadi anggauta baru perkumpulan kami. Memang benar, bibi, mereka semalam ikut berpesta dengan kami."

Bukan main girang dan leganya hati Mbok Rondo Gati mendengar keterangan ini.

"Den ajeng, di mana adanya mereka sekarang? Semalam mereka tidak pulang," tanyanya.

Ni Dewi Durgomala mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Tidak pulang? Akan tetapi pagi tadi mereka sudah meninggalkan tempat ini, seperti para anggauta lain, kecuali mereka yang bekerja di sini."

“Sudah meninggalkan tempat ini? Akan tetapi mengapa mereka tidak pulang?"

"Barangkali ketika andika ke sini, mereka sudah sampai di rumah, bibi. Kami tidak tahu, akan tetapi mereka pagi tadi sudah meninggalkan tempat ini," setelah berkata demikian, Ni Dewi Durgomala menoleh kepada para pekerja dan memberi petunjuk ini itu, seolah memberi tanda kepada Mbok Rondo Gati bahwa ia sedang sibuk bekerja dan bahwa kehadiran wanita setengah tua itu hanya mengganggu saja.

Mendengar jawaban itu, Mbok Rondo Gati timbul pula harapannya. Mungkin saja kedua anaknya itu sudah pulang sekarang. Maka ia mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan tempat itu. Bergegas ia pulang ke rumahnya dengan harapan akan melihat kedua orang anaknya sudah pulang, begitu tiba di rumah, ia sudah memanggil-manggil sambil berlari masuk.

"Sularko ... ! Sawitri ... ! Di mana kalian?" Akan tetapi, biarpun ia sudah mencari sampai ke dapur dan kebun belakang, ia tidak melihat kedua orang anaknya itu. Tentu saja harapan tipis itu segera membuyar lagi dan ia mulai menangis lagi sambil meratap, memanggil-manggil kedua orang anaknya. Akan tetapi tidak ada yang menjawab. Kini tidak ada tetangga yang datang menjenguknya. Mereka semua sudah pergi bekerja, ke sawah ladang atau ke sungai mencari ikan.

Mbok Rondo Gati tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis. Hendak mencari, harus dicari ke mana? Ia tadi sudah mencari di seluruh pelosok Bulumanik. Ia menangis terus sampai hari menjadi siang, air matanya sudah habis dan ia menjadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ia lupa makan, lupa segala, kadang duduk, kadang berdiri atau merebahkan diri di atas bale-bale sambil terus menangis. Tiba-tiba ia mendengar suara memanggilnya dari luar rumah.

"Mbok Rondo Gati! Mbok Rondo Gati!"

Mendengar ada suara orang memanggilnya, ia cepat keluar. Biarpun tubuhnya terasa lemas karena sejak semalam ia tidak makan atau minum dan hatinya yang sedih dan gelisah membuat tubuhnya lemas sekali, namun kini ia bangkit dan berlari keluar, muncul harapannya akan mengetahui di mana adanya kedua anaknya. Setibanya di luar rumah, ia melihat seorang pemuda kawan Sularko berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Mbok Rondo Gati, aku ... aku melihat Sularko dan Sawitri ...!"

Tentu saja wanita setengah tua itu menjadi girang sekali, ia lari menghampiri pemuda itu dan memegang lengannya.

"Di mana? Di mana engkau melihat mereka?"

"Aku ... aku ... ah ... !” Pemuda itu menggagap dan agaknya sukar sekali bicara.

Mbok Rondo Gati menjadi bingung.
"Kenapa? Ada apa? Mari minumlah dulu, engkau kelihatan begitu tegang." Ia menuntun pemuda itu memasuki rumah dan menyerahkan sebuah kendi.

Pemuda itu menerima kendi dengan kedua tangan menggigil lalu dia menuangkan air dari mulut kendi ke dalam mulutnya yang ternganga. Setelah minum air kendi, pemuda itu tampak lebih tenang dan dia meletakkan kendi kembali ke atas meja dan memandang kepada Mbok Rondo Gati.

"Nah, sekarang ceritakan di mana engkau melihat kedua anakku itu," kata Mbok Rondo Gati.

Pemuda itu menghela napas panjang, dua kali, memandang wajah wanita itu dan mulai bercerita, "Begini, Mbok Rondo, tadi pagi-pagi sekali aku sudah mendayung perahuku ke hilir sungai dan menjala ikan. Sialnya aku tidak berhasil, maka aku terus mendayung perahuku ke hilir, mencari tempat sepi untuk mendapatkan ikan lebih banyak. Kemudian tadi ... aku melihat ada dua benda terapung di sungai ... dan ketika aku mendayung perahuku mendekat ... kulihat... kulihat dua benda terapung itu adalah Sularko dan Sawitri ... sudah menjadi mayat ... "

Mbok Rondo Gati mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan iapun jatuh pingsan! Tentu saja pemuda itu menjadi bingung, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil Mbok Rondo Gati. Akhirnya Mbok Rondo Gati siuman dari pingsannya dan ia lalu menangis lagi dengan sedihnya.

"Apakah engkau sudah membawa mereka ke tepi sungai?" tanyanya memelas dengan suara lirih.

Pemuda itu menggeleng kepalanya.
"Aku seorang diri, Mbok. Dan saking takut dan tegang hatiku, aku lalu mendayung perahuku kuat-kuat untuk kembali dan cepat memberitahu kepadamu. Aku belum memberitahu kepada siapapun juga kecuali kepadamu."

Wanita itu menangis lagi.
"Ah, mengapa tidak kaubawa ke tepi? Kau biarkan mereka hanyut terus ... ?"

Mbok Rondo Gati lalu mengajak pemuda itu ke sungai. Iapun memiliki sebuah perahu, yang biasa dipergunakan Sularko untuk mencari ikan.

"Hayo tunjukkan kepadaku dimana engkau milihat mereka," katanya dan iapun mengikuti perahu pemuda itu ke hilir.

Akan tetapi, tentu saja mereka tidak menemukan dua jenazah yang hanyut itu, entah sudah sampai di mana. Mungkin saja sudah sampai di Laut Kidul. Saking bingung dan takutnya karena ditanya terus oleh Mbok Rondo Gali, pemuda itu lalu kembali ke Bulumanik untuk minta bantuan orang-orang mencari dua jenazah itu. Sedangkan wanita itu melanjutkan sendiri pencariannya. Akan tetapi ia tidak berhasil menemukan dua mayat anaknya itu, dan Mbok Rondo Gati terus mendayung hilir mudik sambil menangis dan kadang seperti orang yang sudah berubah pikirannya, ia memanggil-manggil nama kedua anaknya.

"Sularko ... ! Sawitri ... Di mana kalian, anak-anakku ... ?" ia memanggil-manggil.

Tiba-tiba ada suara dari tepi sungai.
"Mbok, ada apakah, mbok?"

Mbok Rondo Gati menoleh dan memandang ke arah tepi sungai dan wajahnya tiba-tiba berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum.

"Sularko! Sawitri! Anak-anakku ... !" Dan dengan cepat ia mendayung perahunya ke tepi sungai di mana berdiri sepasang orang muda itu. Setelah tiba di pantai, ia meninggalkan perahunya dan lari ke arah dua orang muda. "Sawitri anakku ... !" ia menjerit dan menubruk, merangkul gadis itu.

Gadis itu terheran-heran, akan tetapi ia membiarkan wanita itu merangkul dan menciumnya. Ia merasa terharu sekali. Pemuda itu menyentuh pundak Mbok Rondo Gati sambil berkata,

"Mbok, tenanglah, mbok dan waspadakan siapa sebetulnya kami berdua."

Suara pemuda itu lembut sekali. Mbok Rondo Gati melepaskan rangkulannya dari gadis itu dan kini ia merangkul pemuda itu sambil menangis,

"Sularko... anakku Sularko ... !"

Pemuda itu membiarkan dirinya dipeluk, akan tetapi dia mengusap ke arah dahi wanita tua itu dan berkata lagi dengan suara lembut,

"Mbok, sadarlah, mbok. Kami bukan anak-anakmu.”

Mbok RondoGati tampak terkejut, memandang wajah pemuda yang tersenyum lembut itu, lalu melepaskan rangkulannya dan mundur tiga langkah. Kemudian ia menoleh ke arah gadis itu, matanya penuh keheranan dan juga kekagetan, digosok-gosoknya kedua matanya dengan punggung tangan akan tetapi matanya yang merah dan basah itu tidak menipunya. Yang berdiri di depannya memang seorang gadis dan seorang pemuda yang sebaya kedua anaknya, yang bentuk tubuhnya juga sama, akan tetapi jelas mereka itu bukan anak-anaknya. Pemuda itu seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, dan gadis itupun berpakaian serba putih akan tetapi bukan Sawitri. Tubuhnya seketika menjadi lemas, ia terhuyung dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja gadis itu tidak dengan cepat merangkulnya.

Gadis itu adalah Retno Wilis dan pemuda itu adalah Bagus Seto. Seperti telah kita ketahui, Bagus Seto dan Retno Wilis naik perahu bersama Harjadenta menuju ke hilir. Harjadenta dalam usahanya mencari keris pusaka Ki Carubuk milik gurunya yang hilang dicuri orang dan menurut gurunya dia harus mencari sampai ke muara Kali Mayang. Adapun Retno Wilis dan Bagus Seto ikut naik perahu itu karena mereka hendak kembali ke pantai laut Kidul untuk melanjutkan perjalanan mereka ke timur. Ketika perahu sudah mendekati muara Kali Mayang, tepat pada pertemuan antara Kali Mayang dan Kali Sanen, Bagus Seto berkata kepada Harjadenta.

"Adimas Harjadentra, kurasa sudah cukup sampai di sini saja kami mendarat dan melanjutkan perjalanan kami dengan jalan kaki. Engkaupun harus melakukan penyelidikanmu sampai kemuara Kali Mayang, bukan?"

"Betul, kakangmas. Akan tetapi aku tidak tahu ke mana aku harus melakukan penyelidikan di tempat sunyi ini," kata Harjadenta yang tiba-tiba merasa sedih karena harus berpisah dengan kakak beradik itu, terutama harus berpisah dari Retno Wilis. Akan tetapi biarpun dia berkata demikian, dia mendayung perahunya ke pinggir seperti yang diminta oleh Bagus Seto.

Pada saat kakak beradik itu mendarat itulah mereka mendengar tangis Mbok Rondo Gati yang naik perahu seorang diri. Bagus Seto lalu menegur wanita malang itu. Harjadenta juga belum menengahkan perahunya lagi, dan mereka belum sempat berpamitan. Dia juga tertarik sekali melihat wanita yang menangis dan yang mengira Bagus Seto dan Retno Wilis anaknya, maka Harjadenta juga ikut mendarat dan mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia lalu menghampiri dan melihat wanita itu pingsan dalam rangkulan Retno Wilis.

“Ia kenapakah, diajeng Retno?" tanyanya sambil menghampiri.

"Kami belum tahu, akan tetapi ia pingsan setelah mengetahui bahwa kami bukan anak-anaknya. Kasihan sekali orang ini."

Retno Wilis lalu merebahkan tubuh wanita itu di atas rumput. Bagus Seto memijit-mijit tengkuk Mbok Rondo Gati dan wanita itupun siuman dari pingsannya. Tubuhnya amat lemah karena sehari semalam ia sama sekali tidak makan atau minum dan terus-menerus menangis. Kini begitu siuman dari pingsannya dan melihat tiga orang muda berjongkok di dekatnya. Ia memandang mereka lalu matanya mencari-cari, ia bangkit dan bertanya,

"Di mana mereka?”

"Mereka siapa? Andika mencari siapa, Mbok?" tanya Retno Wilis.

"Anakku ... anak-anakku, Sularko dan Sawitri, di manakah mereka? Ya Gusti ...kalau mereka benar-benar sudah mati, di mana mayat mereka? Kalau masih hidup, di mana mereka?" Wanita itu kembali menangis teringat akan cerita pemuda yang mengabarkan bahwa dia melihat mayat Sularko dan Sawitri.

"Tenanglah, mbok, dan ceritakan kepada kami apa yang terjadi dengan anak-anakmu. Siapa andika dan di mana andika tinggal dan apa yang terjadi dengan mereka berdua?"

Harjadenta ikut bertanya karena hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang Empu yang sakti dan gurunya itu menyuruh dia mencari jejak pencuri di tempat itu. Siapa tahu ada hubungan antara peristiwa wanita kehilangan anak-anaknya ini dengan hilangnya Ki Carubuk. Mendengar ucapan orang-orang muda yang tenang sabar itu, Mbok Rondo Gati merasa agak tenang juga. Setelah menyusut air matanya yang hampir kering, iapun bercerita.

"Saya adalah Mbok Rondo Gati dari Bulumanik, kademangan di hulu sana. Saya mempunyai dua orang anak bernama Sularko dan Sawitri, yang usianya sebaya dengan andika bertiga. Malam tadi ... malam yang menyeramkan ... saya melihat dua orang anak saya itu diculik orang ... eh, diculik mahluk halus."

"Diculik makhluk halus? apa maksudmu, mbok?" Tanya Retno Wilis penasaran sekali.

"Saya melihat sendiri Sularko dipanggul seorang wanita cantik dan Sawitri dipanggul seorang laki-laki seperti raksasa. Ketika saya berteriak wanita itu hanya menggerakkan tangan ke arah saya dan saya terjengkang seperti disambar halilintar. Mereka lalu lenyap membawa kedua oranganak saya itu ... " Wanita itu mulai menyusuti air matanya lagi yang sudah jatuh bercucuran.

"Tenanglah, mbok. Kami bertiga akan membantu. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu?” tanya Bagus Seto dengan lembut.

"Semalam saya menangis, tidak berani keluar karena malam tadi malam Respati terang bulan purnama. Saya takut kepada setan-setan yang berkeliaran di luar rumah. Baru tadi pagi saya keluar dari rumah dan mencari-cari anak saya sampai ke seluruh pelosok kademangan Bulumanik."

"Lalu?" desak Retno Wilis yang tertarik sekali oleh cerita itu.

"Saya tidak dapat menemukan mereka. Lalu saya datang ke candi yang baru dibangun. Seperti biasa, pada malam Respati di candi itu diadakan pesta pada malam harinya dan saya mencari ke situ kalau-kalau kedua orang anak saya berada di sana. Dari beberapa orang pekerja di candi itu saya mendapat kabar bahwa semalam memang kedua anak saya ikut berpesta, katanya mereka menjadi anggauta-anggauta baru agama itu."

"Hemm, agama apakah itu, mbok?"

"Saya sendiri tidak tahu, hanya kabarnya, agama baru itu didukung oleh Ki Demang dan kabarnya yang disembah adalah arca Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala... "

Retno Wilis dan Bagus Seto saling pandang dan mereka menjadi tertarik sekali. Mereka berdua sudah pernah mengalami bentrok dengan tokoh-tokoh penyembah tiga bathara dan bathari itu. Harjadenta yang belum mempunyai pengalaman mengenai agama baru itu, bertanya,

"Lalu bagaimana, mbok?"

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 020 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment