Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 020

**** BACK ****

"Saya lalu pergi menemui pimpinan agama itu yang disebut Ni Dewi, akan tetapi ia mengatakan bahwa memang semalam kedua anak saya ikut berpesta, akan tetapi pagi tadi telah pergi lagi seperti para anggauta lain yang tidak ikut bekerja membangun candi."

"Kalau begitu, kedua anakmu tentu masih selamat dan yang perlu kita ketahui, ke mana mereka pergi," kata Retno Wilis.

Tiba-tiba wanita itu menangis lagi.
"Ada berita buruk sekali... aduh Gusti ...kuatkanlah hamba ... "

"Tenang, mbok. Ceritakanlah kepada kami apa yang terjadi selanjutnya," kata Bagus Seto dan suara pemuda itu menenangkan hati Mbok Rondo Gati.

"Ketika saya sedang bingung dan berada di rumah karena tidak tahu harus mencari ke mana, tiba-tiba datang seorang pemuda dusun, seorang kawan dari Sularko. Dia memberitahu kepada saya bahwa ketika dia sedang mencari ikan, dia melihat mayat kedua orang anakku terapung di tengah sungai ... ! Saya sudah mencari-carinya, akan tetapi tidak dapat saya temukan ... "

"Kenapa ketika pemuda itu melihat mayat anak-anakmu, dia tidak mengambilnya?" tanya Retno Wilis.

"Dia bilang ... dia kaget dan ketakutan, karena seorang diri, dan dia cepat-cepat mendayung perahunya untuk memberitahu kepada saya."

"Jadi mbok tadi sedang mencari-cari kedua orang anak yang dikabarkan sudah mati itu ketika mendengar Kami memanggil?"

Mbok Rondo Gati mengangguk.
"Saya sudah hampir gila, ketika andika berdua memanggil, saya kira andika adalah Sularko dan Sawitri anak saya, maka ... maafkanlah saya ... "

"Mbok, apakah keterangan pemuda, kawan anak andika itu boleh dipercaya kebenarannya?"

Mbok Rondo Gati menghapus air matanya dan mengangguk.
"Dia sahabat Sularko, dia pasti tidak berbohong walaupun saya mengharap mudah-mudahan keterangannya tentang kematian anak saya tidak benar."

"Sudahlah, mbok. Sekarang sebaiknya mbok pulang saja dan kami bertiga yang akan melakukan penyelidikan dan mencari ke mana hilangnya kedua orang anakmu itu." Retno Wilis membujuk.

Akhirnya Mbok Rondo Gati menurut nasihat itu dan Retno Wilis naik perahu janda itu, sedangkan Bagus Seto kembali naik perahu Harjadenta. Mereka berempat lalu mendayung perahu untukkembali ke Bulumanik.

Untuk sementara tiga orang muda perkasa itu tinggal mondok di rumah Mbok Rondo Gati dan hal ini merupakan hiburan besar bagi janda yang berduka kehilangan dua orang anaknya itu. Tiga orang muda yang berjanji untuk menyelidiki hilangnya dua orang anaknya itu mendatangkan harapan dalam hatinya. Akan tetapi harapan untuk bertemu kembali dengan dua orang anaknya sudah hilang ketika Bagus Seto mengundang pemuda yang mengabarkan akan adanya dua mayat anak Mbok Rondo Gati dan pemuda itu menyatakan dengan sumpah bahwa dia tidak berbohong. Mbok Rondo Gati hanya mengharapkan untuk dapat mengetahui siapa yang
menculik anaknya dan siapa pula yang membunuhnya. Maka ia melayani tiga orang muda itu dengan baik, memasakkan makan dan minum sederhana untuk mereka. Malam itu mereka bertiga berunding.

"Biar malam ini aku sendiri yang mengadakan penyelidikan ke candi yang baru dibangun itu. Kita harus mencurigai mereka karena sejak dahulu, penyembah Bathari Durgo dan Bathara Kala itu selalu melakukan penyelewengan-penyelewengan. Sebaiknya kalian mengaso dulu dan menanti hasil penyelidikanku."

Retno Wilis dan Harjadenta menyetujui pendapat Bagus Seto ini. Mereka berdua tentu saja maklum akan kesaktian pemuda itu dan tidak mengkhawatirkan kepergiannya seorang diri. Malam itu, bulan masih bersinar terang, bagus Seto menggunakan kepandaiannya, berkelebat di antara baying-bayang pohon dan tak lama kemudian tibalah dia di candi yang sedang dibangun itu. Malam itu tidak ada yang bekerja dan juga tidak diadakan pesta seperti pada malam Respati. Keadaan di sekitar candi itu sunyi. Bagus Seto mengadakan pemeriksaan dari atas atap, akan tetapi dia tidak menemui sesuatu yang mencurigakan. Dia melihat para pekerja pria berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan besar dan para pembantu wanita berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan lain. Tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Memang menjadi peraturan agama itu, kecuali pada hari Respati malam, tidak diperbolehkan mereka saling berhubungan atau saling mengganggu dengan ancaman hukuman berat yaitu dikutuk.

Di bagian belakang candi itu terdapat belasan buah kamar yang kebanyakan kosong dan di dalam dua kamar di antaranya, Bagus Seto melihat seorang wanita cantik duduk bersamadhi. Dari hawa di sekitar kamar itu saja tahulah Bagus Seto bahwa wanita itu adalah seorang yang memiliki kesaktian. Dia mendapatkan pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, juga sedang bersamadhi. Laki-laki inipun memiliki kesaktian. Bagus Seto membayangkan cerita Mbok Rondo Gati. Apakah dua orang ini yang menculik Sularko dan Sawitri? Akan tetapi, mereka kelihatan sebagai orang-orang yang berilmu, rasanya tidak masuk akal kalau mereka melakukan kejahatan seperti itu.

Setelah puas melakukan penyelidikan keadaan candi yang baru dibangun, sebuah candi yang indah dan di mana-mana terdapat arca Bathara Shiwa, Bathara Kala dan Bathari Durgo. Bagus Seto lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah Mbok Rondo Gati.

"Aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sana," katanya kepada Retno Wilis dan Harjadenta. "Kecuali dua orang yang sakti, yaitu seorang perempuan cantik dan seorang pria raksasa."

"Hemm, jangan-jangan mereka itu yang menculik Sularko dan Sawitri!" kata Harjadenta.

"Rasanya sukar dipercaya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti mereka melakukan penculikan," kata Bagus Seto.

"Akan tetapi kita hatus menyelidiki dua orang itu!" kata Retno Wilis.

"Tidak ada lain jalan. Kita harus menanti sampai datangnya hari Respati malam di waktu mereka mengadakan pesta dan kita lihat saja apa yang terjadi di sana."

"Hari Respati malam masih kurang sepekan lagi," kata Retno Wilis.

"Kita harus bersabar kalau ingin berhasil,” kata kakaknya.

"Dan untuk memancing mereka mengulangi lagi perbualan mereka, kita perlu mengadakan umpan."

"Akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Retno Wilis. "Aku sendiri sudah pernah menjadi korban ilmu sihir dan guna-guna mereka."

"Justeru itulah, kita harus memancing. Dan sebaiknya adimas Harjadenta yang menjadi umpan. Beranikah engkau menjadi umpan untuk mereka, adimas?"

Harjadenta tersenyum. walaupun agak masam karena hatinya agak gentar juga mendengar betapa Retno Wilis saja menganggap hal ini berbahaya.

"Tentu saja aku berani. Bukankah di sini terdapat anda berdua yang pasti akan melindungiku?"

"Tentu saja kami akan melindungimu, adimas."

"Lalu bagaimana pemasangan umpan itu dilakukan kakang?" tanya Retno Wilis.

"Pada hari Respati, sebaiknya kalau adimas Harjadenta datang ke sana dan minta pekerjaan membangun candi. Engkau tentu dapat melakukan pekerjaan memahat dan mengukir, adimas?"

"Walaupun bukan ahli, akan tetapi aku dapat membantu pekerjaan mereka.”

"Bagus, nanti pada hari Respati, engkau minta pekerjaan di sana dan aku yakin pasti akan diterima. Nah, malamnya tentu engkau akan kebagian pesta pula. Dan aku mengharap pada malam hari itu akan terjadi sesuatu yang akan mengungkap rahasia ini."

"Apakah tidak sebaiknya kalau akupun menjadi umpan, kakang? Ingat, yang menjadi korban, anak-anak Mbok Rondo Gati, adalah seorang pemuda dan seorang pemudi. Biarlah akupun ikut memancing mereka dan engkau yang melindungi aku dan kakangmas Harjadenta."

Bagus Seto menggeleng kepalanya.
"Aku tidak setuju dengan pendapatmu itu. Ingat, engkau bukanlah gadis yang tidak terkenal. Aku khawatir kalau di antara mereka yang sakti itu mengenalmu dan kalau mereka mengenalmu, tentu gagal usaha kita untuk memancing. Berbeda dengan adimas Harjadenta, dia belum lama turun gunung dan tidak pernah berurusan dengan orang-orang dari golongan itu. Sudahlah, pada Respati malam nanti, kalau dalam pesta, engkau mengintai dan menyelidiki bagian wanita, dan aku menyelidiki bagian pria. Akan tetapi hati-hati diajeng, di sana ada wanita yang cantik dan sakti yang berbahaya sekali.”

"Wanita cantik yang sakti? Aku jadi ingat akan pesan guruku." kata Harjadenta.

Retno Wilis tersenyum dan memandangnya.
“Tentu engkau menduga ia menjadi pencuri Ki Carubuk, bukan?"

Bagus Seto berkata,
"Bukan tidak mungkin ia yang mencuri pusaka itu! Di sekitar kamarnya aku mencium adanya kekuatan tersembunyi seperti kekuatan sihir dan guna-guna."

"Bagus! Kalau begitu aku menjadi lebih bersemangat pula untuk melakukan penyelidikan. Biar aku yang menjadi umpannya untuk menangkap si pencuri laknat itu!" kata Harjadenta.

Demikianlah, tiga orang itu tinggal di rumah Mbok Rondo Gati dan setelah hari Respati tiba, Harjadenta pagi-pagi benar telah pergi mengunjungi candi yang baru dibangun. Ketika dia mengatakan pada para pekerja dan penjaga bahwa kedatangannya adalah untuk minta pekerjaan membantu pembangunan candi, dia segera dihadapkan kepada Ni Dewi Durgomolo. Wanita yang masih cantik dan genit itu menyambut kunjungan Harjadenta dengan wajah berseri dan matanya yang tajam itu meneliti Harjadenta dari kepala sampai ke kaki dan agaknya ia merasa puas dengan apa yang dilihatnya. Seorang pemuda yang tegap tampan dan gagah, wajahnya riang dan terang penuh senyum. Bukan seperti pemuda dusun kebanyakan, melainkan lebih pantas menjadi seorang pemuda kota atau pemuda bangsawan.

"Siapa namamu?" tanyanya ketika Harjadenta menghadapnya.

Pemuda yang tampak amat hormat itu mengangkat mukanya. Dia duduk bersila di atas lantai sedangkan Ni Dewi Durgomala duduk di atas sebuah kursi. Harjadenta memandang wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita yang cantik, pikirnya. Usianya sukar ditaksir. Melihat wajah dan bentuk tubuhnya, agaknya ia baru berusia duapuluhan tahun, akan tetapi pandang matanya yang tajam demikian matang dan penuh pengertian seperti pandang mata seorang wanita yang lebih tua. Matanya mengerling tajam dan genit, senyumnya memikat dan sehabis bicara ia menggunakan ujung lidahnya yang merah untuk menjilat bibirnya sendiri. Seperti seekor ular yang cantik, pikir Harjadenta, menduga-duga apakah wanita ini yang dimaksudkan gurunya, yang telah mencuri Ki Carubuk.

"Nama saya Harjadenta,
"jawabnya sederhana, lalu menundukkan mukanya karena pandang wanita itu penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hatinya melalui pertemuan pandang mata.

"Dari mana engkau datang, siapa orang tuamu?" tanya pula Ni Dewi Durgomala penuh selidik. Kalau yang minta pekerjaan itu seorang pemuda dusun, ia tidak akan bertanya sebanyak itu.

"Saya datang dari hulu Kali Manyar dari dusun Manukan," dia membohong. Dia tidak berani mengaku bahwa dia berasal dari Gunung Raung karena kalau benar wanita ini yang mencuri Ki Carubuk, tentu wanita ini akan menjadi curiga kepadanya. "Saya sudah tidak mempunyai orang tua lagi, sudah yatim piatu."

Wanita cantik itu berseri, girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu.
"Dan engkau datang ke tempat ini mau apa?" tanyanya lagi sambil memandang dengan tersenyum manis.

"Saya adalah seorang pengembara yang mencari pengalaman hidup dan disini saya mendengar bahwa pembangunan candi ini membutuhkan banyak tenaga. Nah, kalau sekiranya saya dapat diterima, saya akan senang sekali bekerja di sini, membantu pembangunan candi ini."

"Engkau dapat membuat arca, memahat dan mengukir"

"Sedikit-sedikit, dan saya dapat belajar dari ahli-ahli yang berada di sini."

“Bagus sekali! Engkau diterima, akan tetapi kalau menjadi pekerja di sini, engkau juga harus menjadi anggauta perkumpulan agama kami. Sanggupkah engkau?"

"Kalau memang itu persyaratannya, tentu saja saya sanggup."

"Baik sekali, Harjadenta. Malam ini adalah malam Respati, malam nanti ada pesta di sini dan pada kesempatan ini engkau dapat menerima pengangkatan sebagai seorang anggauta baru." Ni Dewi Durgomala memandang kepada Harjadenta dengan sinar mata penuh arti. Pemuda ini diam-diam bergidik. Pandang mata itu begitu penuh tantangan, penuh rayuan, penuh daya tarik maka dia cepat-cepat menundukkan mukanya.

"Saya bersedia, den ajeng ... ”

"Hemm, jangan sebut aku den ajeng, tetapi sebut aku Ni Dewi begitu saja. Ketahuilah bahwa aku yang memimpin pembangunan di sini, dan wakilku adalah Ki Shiwananda. Kalau engkau bekerja dengan baik dan penurut, engkau tentu akan dapat menemukan kebahagiaan di sini. Agama kami bertujuan membahagiakan semua anggautanya."

"Terima kasih."

Harjadenta lalu diajak pergi menemui para tukang membuat arca dan diperbantukan di bagian ini. Mulai pagi itu Harjadenta sudah bekerja ikut membangun candi.

"Andika diterima sendiri oleh Ni Dewi dan diberi pekerjaan di sini? Ah, andika beruntung sekali," kata seorang di antara mereka, seorang laki-laki muda yang mukanya penuh noda hitam bekas cacar. "Aku tidak seberuntung andika."

"Mengapa engkau mengatakan aku beruntung?" Tanya Harjadenta.

"Engkau tentu diterima menjadi anggauta agama baru, bukan?"

"Benar."

"Nah, engkau akan mengerti sendiri malam nanti. Engkau sungguh beruntung dan aku iri kepadamu,” kata pula pria yang mukanya bernoda itu. Dia sudah menutup mulut dan tidak mau bercerita lebih banyak dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pekerjaannya mengukir dan memahat.

Berdebar tegang juga hati Harjadenta menanti datangnya malam. Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Mengapa laki-laki bopeng itu mengatakan bahwa dia beruntung? Siang dan sore itu para pekerja mendapatkan makan yang cukup banyak dan enak. Harjadenta juga ikut makan dan dia mendapat kenyataan betapa para pekerja itu bekerja dengan rajin dan agaknya patuh sekali kepada atasan mereka. Mereka bekerja sambil bernyanyi dan bersenandung. Kalau Ni Dewi datang menjenguk, mereka semua menganggukan wajah mereka berseri gembira. Wanita cantik itupun bersikap ramah sekali kepada para pekerja, kalau ada yang bekerja benar, ia memuji-muji dan kalau ada yang pekerjaannya tidak benar, ia memberi petunjuk dengan sabar. Tidak mengherankan kalau mereka bekerja dengan senang, pikir Harjadenta. Para pekerja diperlakukan dengan ramah dan mendapat makan yang cukup memadai.

Malam Respati itupun tibalah. Bulan muncul dan masih cukup terang karena bulan masih muncul tiga perempatnya. Gamelan sudah dibunyikan dan para pekerja dan para anggauta agama baru itu sudah mandi dan bersiap-siap untuk ikut dalam pesta. Harjadenta disuruh mandi dan bertukar pakaian. Lalu dia dipanggil oleh Ni Dewi Durgomala. Setelah dia menghadap, wanita itu berkata dengan ramah.

"Sudah siapkah, engkau untuk melakukan upacara pengangkatan sebagai anggauta baru dari agama kami?"

Harjadenta mengangguk dan menjawab,
"Saya sudah siap, Ni Dewi."

"Kalau begitu, engkau ikutilah para peserta lainnya mendekati panggung dan kalau nanti aku dan Ki Shiwananda sudah muncul di panggung, engkau harus naik ke panggung dan berlutut memberi hormat kepadaku. Pada waktu itu engkau harus minum anggur kebahagiaan sebagai tanda bahwa engkau telah menerima agama baru sebagai agamamu, dan engkau telah menjadi anggauta kami. Dan selanjutnya, sebagai seorang anggauta yang baik dan taat, engkau harus melaksanakan segala perintahku. Mengertikah engkau, Harjadenta?"

Harjadenta mengangguk.
"Saya mengerti."

"Bagus, nah sekarang bersiaplah dengan para anggauta yang lain. Malam ini, untuk menghormati kemunculan Sang Bathari Durgo dan Sang Bathara Kala yang menjelma menjadi aku dan Ki Shiwananda, kita semua akan mengadakan pesta seperti biasa, engkau boleh ikut bersenang-senang dan mendapatkan kebahagiaan."

Harjadenta tidak mengerti apa yang dimaksudkan wanita itu, akan tetapi dia mengangguk dan tidak banyak bertanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dia akan menghadap apa yang datang nanti sambil mencari kesempatan untuk menyelidiki tentang pusaka Ki Carubuk, dan juga tentang nasib Sularko dan Sawitri. Ketika dia bercampur dengan para anggauta agama itu, berkumpul dibawah panggung sambil mendengarkan gamelan yang mengiringkan nyanyian seorang pesinden yang suaranya merdu, dia mencari si muka bopeng yang siang tadi dibantunya bekerja.

"Tampaknya kita semua akan bersenang-senang, kawan." katanya.

"Tentu saja, setiap malam Respati kita semua bersenang-senang, dan inilah yang membuat kita semua senang bekerja di sini dan menjadi anggauta agama baru ini." jawab si muka bopeng. Agaknya dia bergembira sekali sehingga mau banyak bicara secara terbuka. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Harjadenta untuk memperoleh keterangan sebanyak-banyaknya.

"Menurut Ni Dewi, aku akan diangkat menjadi anggauta baru malam ini. Apa yang akan terjadi denganku nanti. Aku belum mengerti dan tidak dapat membayangkan apa yang terjadi sehingga aku merasa agak gugup."

Si muka bopeng tertawa.
"Ha ha, tidak perlu gugup, kawan. Engkau akan mendapatkan kesenangan luar biasa. Engkau tinggal menaati saja dan biasanya dalam pengangkatan anggauta baru di malam Respati biasa, bukan kalau sedang bulan purnama di mana Sang Hyang Bathara Shiwa sendiri hadir dalam tubuh Wasi Shiwamurti, engkau hanya akan disuruh minum secawan tuak yang sudah diberi mantera dan engkau akan merasa bahagia sekali. Jangan khawatir kawan. Engkau akan mendapat kehormatan dan kesenangan yang luar biasa malam ini dan melihat gelagatnya, Bathari Durgo akan memilih engkau menjadi pelayannya malam ini."

"Bathari Durgo ... ?"

"Penjelmaan Bathari Durgo, yaitu Ni Dewi. Apakah engkau belum mengerti?"

"Belum. Maukah engkau menerangkan sejelasnya, kawan?"

"Agama kami menyembah Tritunggal, yaitu Sang Bathara Shiwa, Bathari Durgo dan Bathara Kala yang menjelma menjadi Sang Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Nah, kita memuja tiga dewa dewi itu melalui mereka bertiga yang akan mengajarkan tentang agama ini kepada kita."

"Hemm, begitukah? Kawan, apakah pada malam Respati yang lalu juga ada anggauta-anggauta baru yang diangkat?" tanya Harjadenta sambil lalu, seolah pertanyaan itu tidak penting, pada hal dia mau mencari keterangan tentang Sularko dan Sawitri.

“Oh, ada. Mereka itu adalah kakak beradik dari Bulumanik sini saja, bernama Sularko dan adiknya yang bernama Sawitri."

"Lalu apa yang terjadi dengan mereka?"

Si muka bopeng menyeringai.
"Tentu saja mereka menjadi pilihan Ni Dewi dan Ki Shiwananda. Mereka tentu hidup berbahagia sekarang."

Harjadenta tidak mendesak lebih jauh.
"Bagaimana kalau ada orang berani menentang agama ini?"

"Siapa berani menentang? Ki Demang Kebolinggo sendiri menunjang didirikannya candi baru ini. Bahkan Kadipaten Nusabarung juga mendukungnya. Yang menentang tentu akan celaka oleh kutukan!"

"Kutukan?"

"Ya, tiga orang pimpinan kami adalah orang-orang sakti dan kalau mereka diserang dan menjadi marah, maka cukup dengan kutukan saja mereka yang berani mengganggu akan celaka hidupnya."

"Celaka bagaimana?"

"Sedikitnya tentu akan diserang penyakit berat atau bahkan dapat mati."

Percakapan itu terhenti karena di panggung telah muncul Ni Dewi Durgamala dan Ki Shiwananda. Harjadenta memandang ke atas panggung dan dengan penuh perhatian dia memandang ke arah Shiwananda. Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa, tinggi besar dan kokoh kuat. ‘Seorang lawan yang tangguh,’ pikirnya. Melihat semua orang berlutut dan menyembah ke arah kedua orang itu, Harjadenta juga ikut berlutut dan menyembah. Akan telapi dia segera teringat pesan Ni Dewi bahwa kalau Ni Dewi sudah muncul di panggung, dia harus naik ke panggung menghadapnya. Maka, diapun lalu naik ke panggung melalui tangga yang tersedia di situ. Setelah berada di atas panggung, dia berlutut di depan Ni Dewi dan menyembah.

Ni Dewi Durgomala tertawa melihat dia. Ni Dewi lalu bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,
"Saudara-saudara, malam ini ada seorang anggauta baru. Inilah dia orangnya dan namanya adalah Harjadenta!" Ia memberi isyarat dan dua orang gadis lalu naik ke panggung membawa seguci tuak dan cawan-cawannya. Ni Dewi sendiri menuangkan tuak ke dalam sebuah guci, lalu membaca mantera dan menyerahkan cawan itu kepada Harjadenta.

"Harjadenta, sebagai tanda bahwa engkau mulai malam ini menjadi anggauta agama kami, minumlah anggur bahagia ini sampai habis!" Matanya memandang dengan mencorong ke arah muka Harjadenta.

Harjadenta terkejut sekali ketika merasa betapa jantungnya berdebar dan ketika dia balas memandang, ada pengaruh hebat menguasai pikirannya. Dia berusaha menolak pengaruh itu, akan tetapi dia mendengar suara berwibawa dan memerintah.

"Minumlah anggur kebahagiaan ini!"

Seperti dalam mimpi, Harjadenta tidak dapat melawan atau menolak sama sekali. Seolah bergerak dengan sendirinya, kedua tangannya menerima cawan itu dan dia segera minum tuak itu. Hampir dia tersedak karena pemuda ini tidak biasa minum-minuman keras seperti tuak itu. Akan tetapi ditahannya dan tuak secawan itupun habis diminumnya.

Terdengar sorak sorai dan setelah semua orang memberi hormat kepada Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda dengan nyanyian pujian yang aneh terdengarnya, pestapun dimulailah. Hidangan yang enak-enak disuguhkan dan tuak berlimpah-limpah. Semua orang makan dan minum dengan gembira, gamelan dibunyikan, makin lama semakin cepat dan keras iramanya dan orang-orang itupun mulai berjoget! Berlenggang-lenggok dengan gerakan-gerakan yang menunjukkan berkobarnya nafsu. Para wanitanya tanpa sungkan dan malu menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil tertawa-tawa dan merekapun mendapatkan pasangan masing-masing. Ni Dewi Durgomala bangkit dari kursinya, menghampiri Harjadenta dan menjulurkan tangan sambil berkata,

"Harjadenta, mari kita bersenang-senang. Mari menari dengan aku!"

Harjadenta merasa heran sendiri ketika melihat betapa dia tidak mempunyai tenaga untuk menolak sama sekali. Bahkan hatinya merasa ikut bergembira dan kegembiraan yang meluap ini dapat disalurkan melalui tarian. Dia melihat Ni Dewi sudah menari di depannya, tariannya liar dan bernapsu, tubuhnya yang montok itu berlenggang-lenggok, pinggulnya bergoyang-goyang dankedua tangannya seperti mengajak Harjadenta. Tanpa dapat ditahannya lagi Harjadenta pun mulai ikut menari menurutkan irama gamelan yang panas! Ki Shiwananda juga sudah memperoleh pasangan seorang gadis yang cantik dan agaknya ia adalah seorang anggauta yang sudah lama. Ia tidak canggung lagi menari-nari bersama raksasa itu sambil tertawa-tawa genit.

Makin malam, pesta tari-tarian itu semakin panas memuncak dan akhirnya mereka berpasang-pasangan meninggalkan panggung. Ki Shiwananda juga sudah menggandeng pasangannya menghilang dari panggung. Ni dewi Durgomala sambil tertawa-tawa menggandeng tangan Harjadenta menuruni panggung dan menuju ke belakang candi. Harjadenta bagaikan seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan, hanya menurut saja. Dia bagaikan sedang mimpi dan sama sekali tidak menolak ketika ditarik memasuki sebuah kamar di belakang candi. Ketika pintu kamar itu dibuka dan Ni Dewi Durgomala menarik tangan Harjadenta untuk masuk, tiba-tiba saja ada sinar putih menyambar dan benda putih itu mengenai muka Harjadenta. Harjadenta terkejut dan merasa seperti kepalanya disiram air dingin yang membuat dia seketika menyadari keadaannya, benda putih itu ternyata setangkai kembang cempaka yang kini menyusup ke rambutnya.

"Ah, tidak ... !!" Dia meronta dan melepaskan diri dari pegangan tangan Ni Dewi Durgomala. Wanita inipun terkejut dan memandang pemuda itu dengan matanya yang berapi penuh nafsu.

"Harjadenta, wong bagus, mari kita bersenang-senang,” katanya dan ia hendak meraih untuk menangkap lagi tangan pemuda itu. Akan tetapi kini Harjadenta sudah sadar sama sekali akan keadaannya yang luar biasa, bahkan dia teringat betapa tadi dia ikut menari-nari seperti orang gila, tahu pula bahwa semua ini akibat pengaruh wanita yang kini berada di depannya.

"Iblis betina, engkau tidak bisa memaksaku!" katanya lagi dan dia mengelak dari sambaran tangan Ni Dewi Durgomala dan melompat keluar dari kamar itu. Ni Dewi Durgomala menjadi marah dan juga heran sekali. Bagaimana mungkin pemuda itu sudah terlepas dari pengaruh sihirnya? Ia lalu mengerahkan tenaga sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke arah muka Harjadenta dan ia membentak dengan suara yang mengandung penuh wibawa,

"Harjadenta, ke sini kau! Engkau menurut atas segala kehendakku! Engkau telah menjadi anggauta perkumpulan agamaku, dan engkau telah menjadi budakku. Kesinilah!"

Harjadenta merasakan ada tarikan yang amat kuat mencengkeram dirinya dan seperti memaksa dirinya untuk masuk ke kamar itu dan berlutut menyembah wanita itu. Akan tetapi ada kekuasaan lain di belakangnya dan terdengar bisikan.

"Adimas Harjadenta. Tolak pengaruh iblis itu!" Bisikan itu amat lembut namun mengandung kekuatan yang demikian hebatnya sehingga mengalahkan daya tarik dari wanita itu.

"Iblis betina, aku tidak akan tunduk ke padamu!"

Harjadenta berkata sambil melangkah mundur menjauhi pintu kamar itu. Bukan main marahnya Ni Dewi Durgomala mendengar dan melihat sikap ini. Dengan teriakan marah ia melompat keluar dan sudah tiba di depan Harjadenta.

"Keparat! Kalau begitu, apakah engkau lebih memilih mati dari pada menaati perintahku?"

"Ah, Ni Dewi Durgomala, beginikah engkau telah membunuh Sularko?" Harjadenta balas membentak.

Ni Dewi Durgomala terkejut bukan main mendengar ucapan itu dan tanpa banyak cakap tubuhnya sudah meluncur ke depan, tangan kirinya menampar ke arah kepala Harjadenta. Pemuda yang pernah menerima gemblengan ilmu kanuragan dari Empu Gandawijaya, cepat menangkis dengan memutar lengan kanannya.

''Dukkk ... !" Harjadenta yang menangkis pukulan itu terpental dan terhuyung ke belakang sampai beberapa langkah.

"Mampuslah!" Ni Dewi Durgomala yang sudah marah sekali, melompat dan mengirim pukulan susulan yang sangat dahsyat dan cepat sehingga agaknya pukulan ini tidak akan dapat dihindarkan lagi oleh Harjadenta.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 021 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment