Ads

Friday, May 10, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 021

**** BACK ****

"Wuuuuuttt ... plakkkk!!" Kini tubuh Ni Dewi Durgomala yang terhuyung ke belakang. Ternyata pukulannya tadi ada yang menangkis, seorang yang muncul dari belakang Harjadenta, seorang pemuda yang berpakaian serba putih dan bersikap sederhana. Ketika tadi menangkis pukulan Ni Dewi Durgomala, diapun tampak tenang dan menangkis sembarangan saja, akan tetapi ternyata telah membuat Ni Dewi Durgomala terhuyung ke belakang.

Ni Dewi Durgomala tertegun dan bukan main kagumnya melihat seorang pemuda yang demikian tenang dan tampan, seperti Sang Harjuna saja! Jantungnya berdebar keras dan biarpun ia tadi ditangkis sampai terhuyung, ia tidak marah kepada pemuda itu, bahkan kini ia mengerling dan tersenyum manis sekali. Ia sendiri ketika itu sedang dilanda nafsu berahi yang memuncak, maka begitu melihat Bagus Seto yang demikian tampan, ia segera mengerahkan aji pengasihan untuk mengguna-gunai dan menarik hati perjaka yang tampan ini.

"Teja-teja sulaksana tejanya orang yang baru tampak! Satria bagus, siapakah andika, wong ganteng?" Ia bertanya sambil tersenyum.

Saking kuatnya aji pengasihan yang ia kerahkan, bahkan Harjadenta yang sudah terlepas dari pengaruh sihirnya, kini memandang terlongong penuh kagum kepada Ni Dewi Durgomala yang mendadak kelihatan demikian cantik jelita dan menarik seperti seorang dewi yang baru turun dari kahyangan!

Akan tetapi Bagus Seto tersenyum tenang. Sebelum dia menjawab, terdengar suara ribut-ribut di kamar sebelah dan Retno Wilis yang berpakaian serba putih itu melompat keluar dari kamar itu dikejar oleh Ki Shiwananda! Apakah yang terjadi di kamar itu? Ternyata Retno Wilis membagi tugas dengan kakaknya. Bagus Seto membayangi Ni Dewi Durgomala dan Retno Wilis membayangi Ki Shiwananda. Gadis perkasa ini tadi mengintai pesta liar di atas panggung dan ia pun teringat akan pengalamannya dahulu. Pernah ia terlibat dalam pesta seperti itu di bawah pengaruh orang-orang sesat yang menggunakan sihir kepadanya, ia merasa ngeri dan juga marah bukan main. Ia melihat pula betapa Harjadenta terpengaruh sihir dan ikut menari-nari liar, akan tetapi karena Bagus Seto yang akan mengawasinya, maka ia terus mengamati Ki Shiwananda yang kemudian menarik tangan seorang gadis yang tadi menjadi pasangannya menari menuju ke belakang candi dan memasuki sebuah kamar!

Retno Wilis merasa malu untuk ikut masuk kamar itu, maka ia mengambil jalan memutar dan tiba di luar jendela kamar itu. Dengan tenaga Argoselo, ia menggunakan tangan kanannya untuk mendorong daun jendela kamar itu. Jendela itu jebol dan Retno Wilis meloncat masuk dengan maksud untuk menghajar laki-laki raksasa itu sambil membentak,

"Jahanam busuk, apa yang telah kau lakukan terhadap Sawitri?"

Ki Shiwananda terkejut bukan main ketika jendela jebol dan ia melihat berkelebatnya bayangan putih memasuki kamar, apalagi mendengar bentakan yang menanyakan tentang Sawitri itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita yang masuk kamarnya itu tentu seorang yang sakti, maka untuk menyelamatkan diri, dia sudah merangkul gadis pasangannya tadi dengan tangan kiri dan memasangnya di depan tubuh seperti perisai! Melihat ini, tentu saja Retno Wilis terkejut dan tidak jadi menyerang. Ia melihat betapa sarunya kalau dilihat orang ia berada di kamar seorang pria, maka ia lalu mendorong daun pintu dan melompat keluar.

Ki Shiwananda yang sudah terhindar dari serangan mendadak itupun timbul keberaniannya dan diapun lompat mengejar. Ketika tiba di luar, Retno Wilis melihat bahwa kakaknya bersama Harjadenta juga sudah berhadapan dengan wanita cantik itu, maka ia mengulang pertanyaannya kepada Ki Shiwananda.

"Shiwananda, engkau tentu telah membunuh Sawitri, bukan? Engkau jahanam busuk, pendiri agama yang sesat! Setelah bertemu dengan Retno Wilis, jangan harap engkau akan dapat melarikan diri!"

Mendengar gadis berpakaian putih itu menyebut namanya, Ki Shiwananda terkejut bukan main, bahkan juga Ni Dewi Durgomala terkejut sekali. Ni Dewi Durgomala telah mendengar bahwa rekannya yang bernama Ni Dewi Nilamanik dahulu juga tewas secara mengerikan di tangan seorang dara yang bernama Retno Wilis! Dan gadis ini menurut penuturan Wasi Karangwolo dan Surengpati, gadis ini adalah puteri dari KiPatih Tejolaksono dan Puteri Endang Patibroto yang terkenal sakti. Sementara itu, Bagus Seto menjawab pertanyaan Ni Dewi Durgomala yang tadi diajukan kepadanya,

"Ni Dewi Durgomala, aku bernama Bagus Seto. Katakanlah, apa yang kalian lakukan terhadap Sularko dan Sawitri?"

Melihat betapa Bagus Seto sama sekali tidak terpengaruh oleh aji pengasihannya, Ni Dewi Durgomala maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna, tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi ia masih hendak mencoba dan mulutnya berkemak-kemik, lalu ia membungkuk, mengambil segenggam pasir dan menaburkan pasir itu ke atas dan mendadak saja pemandangan menjadi gelap. Entah dari mana datangnya, ada asap hitam menutupi sinar bulan dan Hartjadenta sendiri terkejut dan merasa jerih. Akan tetapi Retno Wilis segera mengeluarkan lengkingan panjang, dan Bagus Seto berkata dengan lembut,

"Ni Dewi Durgomala, simpan saja ilmu setanmu yang hanya dapat dipakai menakut-nakuti anak kecil!" Bagus Seto menggerakkan tangan kirinya ke arah asap hitam itu menjadi buyar dan lenyap dan keadaan menjadi terang kembali.

"Augghhh ... !!" Ki Shiwananda telah mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang dan tubuhnya sudah menerjang maju, menyerang ke arah Retno Wilis. Namun gadis itu dengan tangkasnya sudah mengelak sehingga lawannya hanya menubruk angin kosong. Segera terjadi pertandingan yang amat seru di antara mereka. Ki Shiwananda adalah murid Wasi Shiwamurti yang tercinta, bahkan diangkat menjadi anaknya, maka ilmu kepandaiannya amat tinggi. Bahkan dia lebih tangguh dibanding Ni Dewi Durgomala, hanya bedanya wanita ini menguasai segala macam ilmu sihir dan guna-guna. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Retno Wilis, maka terjadilah perkelahian yang amat dahsyat.

Sementara itu, Ni Dewi Durgomala menjadi pucat wajahnya ketika ilmu sihirnya demikian mudah dipunahkan oleh bagus Seto. Maka ia tidak mau mencoba lagi ilmu sihirnya dan secepat kilat ia mencabut senjatanya, sebatang keris dan menubruk Bagus Seto mengirim serangan maut.

"Kakangmas, itu Ki Carubuk yang dipegangnya!" Harjadenta berteriak ketika mengenal keris yang berada di tangan Ni Dewi Durgomala.

Jelaslah bahwa yang mencuri Ki Carubuk adalah wanita iblis itu. Mendengar seruan ini, Ni Dewi Durgomala tidak perduli dan menyerang terus. Kerisnya seperti berubah menjadi seekor naga yang menyambar-nyambar, mengeluarkan hawa panas yang terasa oleh Harjadenta yang berdiri di pinggir. Namun tubuh Bagus Seto bagaikan telah berubah menjadi bayangan, selalu menghindar dengan lembut dan cepat sekali, terbebas dari semua tusukan keris.

Harjadenta hanya menonton perkelahian itu. Dia maklum bahwa ilmu kepandaiannya belum cukup untuk menandingi seorang lawan seperti Ni Dewi Durgomala atau Ki Shiwananda. Maka dia hanya menonton dengan hati tertarik. Pada saat itu, muncul puluhan anak buah atau anggauta kumpulan agama itu dan melihat betapa Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda berkelahi dengan seorang pemuda dan seorang gadis, mereka beramai-ramai segera maju untuk mengeroyok Bagus Seto dan Retno Wilis.

Harjadenta merasa mendapat tugas. Dia melompat ke depan dan mengamuk di antara para anggauta agama itu. Akan tetapi karena dia tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak bersalah, hanya ikut-ikutan saja dan terdiri dari orang-orang dusun yang lugu, maka dia tidak mau menggunakan senjata, hanya membagi-bagi pukulan dan tendangan saja untuk mencegah mereka mengeroyok Retno Wilis atau Bagus Seto.

Pertandingan antara Bagus Seto dan Ni Dewi Durgomala seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus saja. Bagus Seto hanya mengelak dan ketika keris itu menyambar lagi ke arah dadanya, dia berkata,

"Keris ini harus dikembalikan kepada pemiliknya!" Setelah berkata demikian, dia menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap Keris itu dan sekali renggut, keris itu telah terlepas dari tangan Ni Dewi Durgomala.

Wanita ini terkejut bukan main. Hampir tidak percaya bahwa ada orang berani menangkap keris pusaka ampuh itu dengan tangannya begitu saja dan merenggutnya lepas dari tangannya, ia marah akan tetapi juga jerih, maklum bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian serba putih itu. Sambil berteriak ia lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu hitam yang tadi terselip di pinggangnya.

"Haittt ... tar-tar!" Kebutan itu digerakkan sedemikian rupa sehingga ujung bulu-bulunya dapat meledak di atas kepala Bagus Seto. Namun pemuda itu tenang-tenang saja dan ketika ia menangkis ke atas, beberapa helai bulu kebutan putus! Ni Dewi Durgomala kini hanya berputar-putar dan menyerangkan kebutannya ke arah muka Bagus Seto dan selalu dielakkan oleh pemuda itu.

Sementara itu, pertandingan antara Retno Wilis melawan Ki Shiwananda berjalan seimbang. Ki Shiwananda memang tangguh sekali. Raksasa ini selain memiliki tenaga yang tidak lumrah manusia, juga dapat bercorak cepat biarpun tubuhnya demikian besarnya. Sepak terjangnya seperti seorang raksasa saja, kasar dan keras. Kadang dia bergulingan dan menyerang lawan dari bawah. Kedua lengannya yang panjang besar itu mencuat dan menyambar-nyambar ke arah segala bagian tubuh Relno Wilis. Namun, Retno Wilis segera mainkan ilmu silat Pancaroba dan tubuhnya berkelebat melebihi burung walet cepatnya, sukar diraih tangan yang besar itu. Akan tetapi, Retno Wilis juga mengalami kesukaran untuk dapat merobohkan lawannya. Sudah dua kali tangan dan kakinya mengenai tubuh lawan, akan tetapi hanya membuat lawan terhuyung saja, tidak merobohkannya. Kiranya raksasa itupun memiliki tubuh yang kebal sekali.

Karena kesal sampai sekian lamanya tidak mampu merobohkan lawannya, Retno Wilis mencabut pedang pusakanya, yaitu pedang Sapudenta! Tampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika pedang itu berada di tangan kanannya.

"Babo-babo keparat, belum lecet kulitmu sudah mengeluarkan pusaka!" bentak Ki Shiwananda dan diapun mengeluarkan senjatanya yang berat, yaitu sebatang ruyung yang tadi tergantung di pinggangnya. Ruyung ini terbuat dari baja hitam, berat dan kuatnya bukan main. Sebongkah batu
besar-pun akan pecah berantakan kalau sekali kena pukulannya dengan ruyung ini, apa lagi kalau mengenai kepala manusia!

Akan tetapi begitu dia menggerakkan ruyungnya, Retno Wilis telah mengerahkan aji Wisolangking di tangan kirinya. Aji Wisolangking ini membuat tangan kirinya panas sekali dan kalau mengenai tubuh lawan dapat menghanguskan bagian yang terkena pukulan!

Melihat sepak terjang adiknya yang begitu menggiriskan, Bagus Seto lalu menyambut serangan Ni Dewi Durgomala. Ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, ia menyambut dengan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia telah berhasil merampas kebutan dari tangan Ni Dewi Durgomala! Wanita ini memekik marah dan juga gentar.

"Ki Shiwananda, sudah saatnya kita pergi!" bentaknya kepada raksasa itu yang sedang bertanding seru melawan Retno Wilis.

Bagus Seto juga melompat ke dekat adiknya.
"Diajeng, hati-hati dengan pusakamu!" Dia menggerakkan tangan menahan ruyung Ki Shiwananda yang dihantamkan.

"Plakkkkk!" Ki Shiwananda merasa betapa tenaga pada tangan kanannya seperti tenggelam dan lenyap. Dia terkejut sekali. Menarik kembali ruyungnya dan maklumlah dia bahwa seruan Ni Dewi Durgomala tadi benar. Baru melawan Retno Wilis saja dia kerepotan dan tidak mampu menang, apa lagi kalau Bagus Seto maju. Tangan pemuda itu dapat menyambut ruyungnya! Dia merasa gentar dan segera mengayun dan memutar ruyungnya. Ketika Bagus Seto dan Retno Wilis mundur, mereka berdua melompat dan lenyap di kegelapan malam.

Harjadenta masih mengamuk, merobohkan para pengeroyok. Melihat ini, Bagus Seto lalu melompat ke atas atap candi dari berseru,

"Saudara sekalian, hentikan pengeroyokan itu!" Lalu dia melayang ke bawah.

Melihat ini, apa lagi melihat betapa dua orang pemimpin mereka telah melarikan diri, merekapun menghentikan pengeroyokan dan berdiri bingung seperti sekawanan domba kehilangan penggembalanya. Harjadenta juga berhenti mengamuk dan melompat kebelakang, dekat Bagus Seto dan Retno Wilis. Dia menjadi semakin kagum kepada dua orang kakak beradik ini, yang demikian mudah mengalahkan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda sehingga dua orang sakti itu melarikan diri. Dan dia girang bukan main ketika Bagus Seto menyerahkan keris pusaka Ki Carubuk kepadanya.

"Ini keris gurumu, kembalikanlah kepadanya," kata Bagus Seto.

"Terima kasih banyak, kakangmas Bagus Seto," katanya sambil menerima dan menyelipkan keris pusaka itu di pinggangnya.

"Kakang, kenapa kita tidak basmi saja perkumpulan agama ini?" kata Retno Wilis sambil memandang kepada para anggauta agama baru itu dengan alis berkerut.

"Jangan, diajeng. Agama mereka itu samasekali tidak bersalah. Sang Hyang Bathara Shiwa yang mereka sembah adalah Yang Kuasa Membasmi di alam mayapada ini, dan sudah selayaknya kalau disembah dan dipuja. Adapun Bathari Durgo adalah isterinya dan Bathara Kala adalah puteranya. Tidak ada salahnya dengan mereka yang disembah-sembah. Semua kesalahan terletak kepada manusianya yang menyelewengkan pelajaran agama itu untuk tujuan buruk. Mereka bebas menentukan agama mereka sendiri. Kita tidak boleh menentangnya dan mereka boleh mendirikan candi seperti yang mereka kehendaki. Yang kita tentang adalah manusianya yang melakukan tindakan menyeleweng dan jahat. Para anggauta agama ini tidak bersalah. Mereka bahkan menjadi korban, korban penyelewengan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Setelah kekalahan mereka malam ini, kurasa mereka tidak akan berani lagi melakukan kejahatan mereka di antara penduduk Bulumanik."

Harjadenta yang mendengarkan ucapan Bagus Seto ini, menjadi semakin kagum.
"Saya rasa apa yang diucapkan kakangmas Bagus Seto itu benar, diajeng Retno. Orang-orang itu tidak berdosa. Mereka melakukan segala itu karena mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan jahat. Mereka seperti mabuk atau terbius, seperti yang kualami tadi. Aku sendiri tidak sadar bahwa aku ikut menari-nari seperti orang yang gila. Mereka tidak salah bahkan patut dikasihani."

"Kalau begitu kesalahan ini selain terletak pada pundak kedua orang pimpinan agama itu, juga terletak di pundak Demang Kebolinggo. Sebagai seorang kepala daerah, dia tidak seharusnya memberi ijin kepada orang-orang seperti Ni Dewi Durgomala dan Ki Suwananda itu untuk membangun candi dan mempengaruhi penduduk. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu apa yang telah terjadi di candi ini," kata pula Retno Wilis dengan gemas. "Orang seperti dia tidak patut menjadi pemimpin dan harus mendapat peringatan keras!"

Bagus Seto mengangguk-angguk.
"Pendapatmu itu ada benarnya, diajeng. Silakan saja kalau engkau ingin memperingatkan dia, akan tetapi ingat, jangan menggunakan kekerasan, apa lagi membunuhi orang."

"Diajeng Retno Wilis memang benar, dan kalau boleh, aku akan senang kalau menemanimu pergi ke rumah demang dan memberi peringatan kepadanya."

"Kalau begitu lebih baik lagi agar Demang Kebolinggo lebih terkesan dan menaati nasihat kalian," kata Bagus Seto.

RetnoWilis terpaksa tidak dapat menolak permintaan Harjadenta. Ia sendiri memang kagum juga kepada pemuda yang berani dan telah membantu ia dan kakaknya menghadapi pimpinan agama baru itu.

"Baiklah, dan sebaiknya kita lakukan itu malam ini juga," kata Retno Wilis.

"Pergilah kalian, aku akan lebih dulu pulang ke pondokan Mbok Rondo Gati."

Tiga orang itu lalu berpisah. Retno Wilis dan Harjadenta pergi meninggalkan Bagus Seto dan mencari rumah Demang Kebolinggo, penguasa di Bulumanik. Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan rumah yang paling besar di Bulumanik itu. Mereka berdua melihat bahwa ada tujuh orang penjaga di gardu penjagaan depan gedung itu. Akan tetapi Retno Wilis dan Harjadenta tidak mengganggu mereka. Mereka lalu mengambil jalan dari belakang rumah besar itu. Dengan mudah mereka melompat pagar tembok yang mengitari rumah itu dan menyusup ke arah gedung melalui taman bunga yang berada di bagian belakang. Malam telah larut dan suasana sunyi sekali. Agaknya semua penghuni gedung itu sudah tidur nyenyak. Akan tetapi mereka menemui kesulitan untuk mencari di mana kamar tidur sang demang.

"Biar aku yang mencari keterangan," bisik Harjadenta kepada Retno Wilis.

Gadis itu mengangguk. Harjadenta mengintai dari lubang di jendela sebuah kamar dan melihat seorang laki-laki tidur dalam kamar itu. Melihat kamar itu hanya kecil dan sederhana, maka dia dapat menduga bahwa laki-laki yang berada di dalam kamar seorang diri itu tentulah hanya seorang pelayan. Dengan mudah dia dapat membuka jendela itu dan melompat ke dalam. Retno Wilis hanya menanti di luar kamar, bersembunyi di balik tikungan dinding. Setelah berada di dekat pembaringan laki-laki setengah tua itu, Harjadenta lalu mengguncang tubuhnya. Laki-laki itu terbangun dan sebelum dia dapat membuka mulut, Harjadenta telah menempelkan keris pusaka Ki Mengeng di leher orang itu.

“Jangan bergerak dan jangan berteriak kalau engkau sayang nyawamu!" bisiknya.

Laki-laki itu ketakutan dan membelalakkan matanya, menggeleng kepala menyatakan bahwa dia tidak akan berteriak atau bergerak.

"Aku hanya ingin engkau menunjukkan di mana kamar Sang Demang Kebolinggo!" kembali Harjadenta menggertak, dan menempelkan kerisnya lebih ketat ke leher orang itu.

"Ampunkan saya ... kamar ... kamarnya berada di ruangan tengah ... jangan bunuh saya ... ” kata orang itu dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.

"Hayo turun dan tunjukkan aku kamar itu!" kembali Harjadenta berkata, dan dengan tubuh gemetar ketakutan orang itu lalu turun dari pembaringannya. Dia didorong ke pintu oleh Harjadenta, membuka pintu dan mereka keluar.

Retno Wilis melihat mereka, lalu ia mengikuti dari belakang. Setelah tiba di ruangan tengah dan orang itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pintu kamar yang besar, tiba-tiba Harjadenta mengetuk tengkuknya dengan tangan kiri. Orang itu mengeluh lirih dan roboh pingsan.

"Sekarang giliranku untuk memasuki kamar sang demang lebih dulu," kata RetnoWilis dan Harjadenta mengangguk.

Dengan mudah sekali Retno Wilis juga membuka daun jendela kamar itu dan bagaikan seekor kucing saja ia melompat ke dalam tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Kamar itu remang-remang karena hanya diterangi sebuah lampu gantung yang kecil. Akan tetapi penglihatan Retno Wilis yang tajam dapat melihat sesosok tubuh yang tinggi kurus rebah seorang diri di atas sebuah pembaringan yang lebar dan berukir indah. Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dia tidur telentang dan mendengkur.

Retno Wilis menghampiri pembaringan itu dan dengan kakinya ia mendorong pembaringan itu, sehingga pembaringan terguncang keras. Sang demang terkejut dan terbangun dari tidurnya. Dia menggosok matanya dengan punggung tangan dan bangkit duduk, akan tetapi tiba-tiba saja ada sebatang pedang ditodongkan pada dadanya. Dia terbelalak memandang dan melihat bahwa yang menodong dadanya dengan pedang adalah seorang wanita yang cantik jelita akan tetapi matanya mencorong menakutkan.

"Apa ... ada apa ini ... siapa andika?" tanya sang demang.

"Jangan mencoba untuk berteriak karena pedang ini tentu akan menembus dadamu!" Retno Wilis mengancam.

Kini Demang Kebolinggo sudah sadar sepenuhnya bahwa kamarnya kemasukan maling wanita yang mangancamnya. Dia adalah seorang laki-laki yang sedikit banyak memiliki ilmu bela diri. Dia menganggap bahwa wanita itu berani karena memegang pedang. Tiba-tiba dia membuang tubuh ke kiri sehingga terlepas dari todongan lalu kakinya menendang ke arah tangan Retno Wilis yang memegang pedang. Retno Wilis terkejut, tidak mengira bahwa demang itu akan melakukan perlawanan. Maka ia lalu menarik pedangnya dan ketika melihat kaki demang itu mencuat dalam tendangan, ia mengetuk kaki itu dengan tangan kiri yang dimiringkan.

"Dukk ... !" Kaki itu terpental kembali dan Demang Kebolinggo mengeluh kesakitan. Kakinya terasa seperti patah. Namun dia masih belum mau mengalah. Setelah melompat turun dari pembaringan, dia lalu menubruk dan memukul dengan tangannya. Dengan cepat Retno Wilis menghindar dan tangan kirinya menampar, mengenai leher demang itu dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh demang itu terpelanting roboh.

"Hemm, apakah engkau ingin kubunuh dengan pedang ini?" bentak Retno Wilis, sambil menodongkan pedangnya di dada Demang Kebolinggo yang sudah bangkit duduk sambil menggosok-gosok lehernya yang terasa nyeri sekali. Baru sekarang dia maklum bahwa wanita itu adalah seorang yang digdaya. Diapun tahu bahwa wanita itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu dia sudah mati sekarang. Wanita itu hanya merobohkannya dengan tangan saja, bukan menyerang dengan pedang.

Pada saat itu, Harjadenta yang mendengar suara gedebukan dalam kamar, merasa khawatir dan diapun melompat masuk melalui jendela. Hati Demang Kebolinggo menjadi lebih gentar lagi melihat masuknya seorang pemuda ke dalam kamarnya. Dia tahu bahwa dia telah kalah dan harus menurut apa yang dikehendaki mereka.

"Ada apakah?" tanya Harjadenta kepada Retno Wilis.

"Dia mencoba untuk melawanku," jawab Retno Wilis sambil tetap menodongkan pedangnya ke dada Demang Kebolinggo.

Melihat munculnya seorang pemuda membuat Demang Kebolinggo merasa semakin tidak berdaya. Akan tetapi dia merasa bahwa selama ini dia tidak melakukan kesalahan apapun, maka dengan tabah dia lalu menegur,

"Andika berdua ini orang-orang muda mempunyai keperluan apakah? Mengapa masuk ke rumahku dan memaksaku seperti dua orang maling?"

"Hemm, andika sudah berbuat kesalahan besar masih berpura-pura bersih dan menggertak kami?” bentak Retno Wilis.

"Kesalahan besar apakah yang kulakukan? Aku selama menjadi demang bersikap bijaksana dan adil terhadap rakyatku."

"Bagus! Sekarang aku hendak bertanya, apakah engkau mendukung pendirian candi baru para penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala di ujung padukuhan ini?"

"Benar, aku mendukungnya, akan tetapi kenapa? Mereka mendirikan agama baru, bukan melakukan kejahatan dan pendirian mereka itu telah mendapat restu pula dari Sang Adipati di Nusabarung." Demang Kebolinggo membantah.

"Bukan pendirian candi itu yang kumaksudkan, melainkan tindakan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda terhadap para muda mudi di Bulumanik!"

"Mereka berdua hanya memimpin pembangunan candi! Tindakan apa yang mereka lakukan?"

"Andika tidak mendengar apakah telingamu yang tuli, tidak melihat ataukah matamu yang buta. Setiap malam Respati mereka mengadakan pesta cabul di candi itu dan mengorbankan banyak pemuda dan gadis yang bodoh sehingga mereka menurut saja kehendak dua pimpinan yang cabul itu. Mustahil kalau andika tidak mengetahui hal itu!" Retno Wilis menghardik.

Wajah ki demang menjadi merah dan dia menundukkan mukanya.
"Mereka mengadakan pesta itu ... kukira itu adalah upacara keagamaan mereka ... dan tentang para muda itu, mereka tidak dipaksa, mereka malakukan dengan sukarela. Apa yang dapat kuperbuat?"

"Andika bodoh dan tidak patut menjadi pemimpin rakyat. Mereka melakukan kecabulan itu bukan dengan sukarela, melainkan karena bujukan dan kekuatan sihir. Relakah andika melihat para warga Bulumanik diseret ke dalam kesesatan seperti itu? Dua orang pimpinan pembangunan candi itu adalah manusia-manusia iblis yang sesat dan cabul, yang membawa para muda itu ke dalam kesesatan pula. Apakah hal demikian itu akan andika biarkan saja?"

"Habis, apakah yang harus kami lakukan? Kalau aku melarang pembangunan candi baru itu, berarti aku menentang perintah Kanjeng Adipati di Nusabarung!" Ki Demang itu membantah.

"Bukan melarang pembangunan candi, melainkan melarang diadakannya pesta cabul itu. Kalau andika tidak melarang, berarti andika ikut menjerumuskan para muda di sini untuk menjadi sesat dan jahat. Dan kalau demikian halnya, percuma andika menjadi demang di sini, lebih baik andika dibunuh saja!" gertak Retno Wilis dan kini dara perkasa itu menempelkan pedang Sapudenta di leher Ki Demang Kebolinggo.

"Ampunkan aku. Baik, aku akan melarang pesta gila-gilaan itu."

"Bagus! Andika telah berjanji. Untuk sementara kutitipkan kepalamu kepadamu, akan tetapi kalau lain hari kami lewat disini dan melihat bahwa pesta cabul itu masih diadakan, aku akan mengambil kepalamu!" Retno Wilis menggerakkan pedangnya.

"Wirrr ... sratt ... !" Sebagian rambut kepala Ki Demang Kebolinggo putus dan berhamburan ke bawah. Wajah demang itu menjadi pucat sekali.

"Aku akan mengadakan pemeriksaan, kalau benar mereka merusak para muda di Bulumanik, tentu akan kularang dan kulaporkan kepada Sang Adipati di Nusabarung." Ucapan Ki Demang Kebolinggo ini bukan hanya karena dia diancam, akan tetapi memang keluar dari hatinya. Kalau tadinya dia mendiamkan saja orang-orang itu mengadakan pesta pora di candi, hal itu adalah karena dia tidak mau mencampuri urusan agama baru dan merasa tidak berhak. Akan tetapi kalau
mereka itu merusak para pemuda dan gadis daerah kekuasaannya, bagaimanapun juga dia harus bertindak dan kalau perlu melarang kegiatan cabul itu.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 022 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment