Ads

Friday, May 10, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 026

**** BACK ****

Adipati Martimpang membuka persidangan itu, dihadap oleh para ponggawa, termasuk lima orang senopatinya yang digdaya, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati dan Ki Surodiro. Selain para ponggawa dan senopati, di-situ terdapat pula Wasi Surengpati, tokoh dari Guha Iblis itu yang kini oleh Adipati Martimpang diangkat menjadi seorang penasihat.

Mereka membicarakan tentang penyusunan kekuatan di Nusabarung dengan bertambahnya perajurit yang kini jumlahnya sudah mencapai tigaribu orang. Setengah jumlah itu dipusatkan di pantai daratan untuk menjaga pintu depan Nusabarung dan setengahnya lagi berada di pulau itu. Seorang penyelidik melaporkan bahwa di Jenggala atau Panjalu belum terlihat ada gerakan pasukan yang bergerak ke timur, bahkan pasukan Panjalu banyak yang dikerahkan ke selatan dan barat untuk menundukkan para raja muda dan adipati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu.

"Bagaimana dengan usaha para wasi untuk menyebarkan agama baru kalian itu? Sampai di mana perkembangan dan hasilnya, kakang Wasi Surengpati?" tanya Adipati Martimpang kepada penasihatnya.

Wasi Surengpati sekarang tidak lagi berpakaian kotor dekil seperti dulu. Pakaiannya serba indah dan baru, rambutnya yang mengkilat karena diminyaki dan disisir, matanya yang lebar itu bersinar-sinar dan hidungnya yang pesek tampak lebih pesek lagi ketika dia menyeringai.

"Ah, heh-heh-heh, sudah mendapat banyak kemajuan, Kanjeng Adipati. Banyak orang dusun yang sudah menjadi anggauta perkumpulan kami dan banyak candi didirikan orang. Mereka yang sudah menjadi anggauta agama kami itu merupakan kekuatan yang dengan mudah dapat kita pergunakan untuk menyerang musuh atau untuk mencetuskan pertentangan antara para pemeluk agama lain. Dengan demikian, maka keadaan di wilayah Jenggala dan Panjalu akan menjadi lemah."

"Bagus, kalau begitu. Apakah andika tidak menemui halangan?"

Wasi Surengpati menghela napas panjang.
"Wah, baru-baru ini memang ada beberapa orang di antara para penduduk dusun yang mencoba untuk menentang kami, akan tetapi dengan mudah kami singkirkan mereka. Hampir di setiap dusun yang termasuk wilayah Nusabarung sudah ada perwakilan agama kami, ha-ha-ha."

"Kalau begitu, kita harus cepat memberi kabar kepada Kadipaten Blambangan agar Wasi Karangwolo dan terutama Wasi Shiwamurti mengetahui bahwa gerakan kita di Nusabarung sudah berhasil."

"Harap jangan khawatir, Kanjeng Adipati. Saya sudah mengirim utusan ke sana, karena Kakang Wasi Shiwamurti perlu mengangkat kepala-kepala agama untuk memimpin mereka yang berada di dusun-dusun. Dan pengangkatan itu baru sah kalau dilakukan oleh Sang Wasi Shiwamurti."

Tiba-tiba seorang pengawal masuk ke ruangan itu. Melihat ini, Adipati Martimpang menegurnya,
"Heh, pengawal, mau apa engkau menghadap tanpa kami panggil?"

"Ampunkan hamba, Kanjeng Adipati. Di luar terdapat seorang wanita yang hendak menghadap paduka, dan ketika kami larang, ia mengamuk dan merobohkan banyak pengawal!"

"Kakang Wasi Surengpati, coba andika keluar dan lihat siapa wanita itu. Kalau ia hanya seorang pengacau, tangkap dan hajar." Adipati Martimpang memerintah dengan marah.

Wasi Surengpati lalu keluar sambil membawa tongkat ularnya. Langkahnya menunjukkan betapa ia sadar akan harga dirinya, dadanya dibusungkan dan langkahnya dibuat segagah mungkin. Seolah dia berteriak kepada semua orang agar melihat bahwa dia yang ditugaskan menangkap pengacau dan kalau dia turun tangan, semua tentu akan menjadi beres!

Siapakah wanita yang mengamuk di luar itu? Ia bukan lain adalah Endang Patibroto! Setelah dengan perahu ia tiba di pulau Nusabarung, ia langsung saja datang ke kadipaten. Kepada para pengawal yang berjaga di luar, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Adipati Martimpang. Akan tetapi para pengawal melarangnya karena tidak semua orang dapat menghadap sang adipati, apa lagi pada saat itu sang adipati sedang mengadakan persidangan. Karena itu, para pengawal melarangnya dan hal ini membuat Endang Patibroto menjadi marah sekali. Ia nekat untuk memasuki gedung kadipaten, akan tetapi para pengawal menghalanginya sehingga terjadilah perkelahian. Para pengawal itu dilempar-lemparkan, ditampar dan ditendang sehingga mereka berpelantingan dan seorang di antara mereka cepat melapor ke dalam.

Ketika Wasi Surengpati tiba di luar, Endang Patibroto sudah berhenti mengamuk karena para pengawal tidak ada yang berani maju lagi. Hampir semua dari belasan orang itu sudah berkenalan dengan tamparan dan tendangannya yang kuat. Wasi Surengpati memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang berpengalaman dapat melihat seorang wanita berusia limapuluhan yang masih amat cantik dan bertubuh ramping padat dan dari kilatan matanya dia dapat menduga bahwa wanita itu tentu saorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Teja-teja sulaksana! Andika siapakah dan mengapa pula membuat kacau di sini?" tanya Wasi Surengpati dan lagaknya angkuh, seolah dia yang menjadi adipati di situ. Apa lagi melihat wanita itu demikian cantik, dia lalu berulah dan bergaya.

Endang Patibroto tidak menganal siapa adanya laki-laki itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa bukan itu adipatinya karena pakaiannya, biarpun mewah, tidak seperti pakaian seorang adipati.

"Aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sang adipati Nusabarung. Biarkan aku masuk menghadapnya!" katanya merasa tidak senang dengan sikap kakek yang matanya lebar hidungnya pesek itu karena lagaknya demikian angkuh.

"Tidak mudah menghadap Sang Adipati kalau kami belum mengetahui apa yang menjadi kehendakmu. Karena itu, katakan dulu kepadaku siapa andika dan apa keperluan andika hendak menghadap Sang Adipati. Baru akan kami pertimbangkan apakah andika dapat diterima menghadap atau tidak!"

"Aku tidak mau bicara denganmu! Biarkan aku masuk kalau begitu!" kata Endang Patibroto dan iapun melangkah maju untuk memasuki kadipaten.

Wasi Surengpati memalangkan tongkat ularnya menghalangi Endang Patibroto.
"Hemm, tidak mudah masuk tanpa seijinku!” Bentaknya marah.

Pada saat itu muncul Adipati Martimpang sendiri. Dia tertarik mendengar ada wanita yang hendak memaksa bertemu dengannya maka diapun menyusul ke depan.

"Kakang Wasi, siapakah yang membikin ribut di sini?" tanyanya.

Melihat munculnya Sang Adipati, Wasi Surengpati menurunkan lagi tongkatnya.
"Ia belum mau mengaku siapa dirinya, Kanjeng Adipati," katanya menahan marah.

Adipati Martimpang maju selangkah lagi dan dia bertanya dengan suara lantang.
"Eh, wanita, siapakah andika dan apa maksud andika hendak menghadap kami?"

Endang Patibroto memandang adipati itu dengan penuh perhatian. Seorang laki-laki berusia limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar dengan muka hitam buruk.

"Apakah andika adipati Nusabarung ini?" Endang Patibroto balas bertanya.

"Benar, akulah Adipati Martimpang yang menguasai Nusabarung," kata sang adipati itu sambil memberi isyarat dengan matanya kepada lima orang senopatinya yang sudah menyusul keluar untuk bersiap-siap.

Lima orang senopati itu sudah tanggap dan mereka berdiri melindungi sang adipati.
"Bagus sekali kalau andika sudah keluar sendiri menemuiku, Sang Adipati. Para pengawalmu ini menjemukan sekali. Mereka menghalangi dan mengeroyok aku yang ingin bertemu dengan andika, maka terpaksa aku menghajar mereka."

"Maafkan mereka. Sekarang kita sudah berhadapan, katakanlah apa keperluanmu dengan kami?"

"Aku perlu bertanya kepadamu, Sang Adipati. Aku mempunyai seorang puteri yang sedang mengadakan perjalanan merantau. Apakah ia lewat di sini? Namanya adalah Retno Wilis. Ia melakukan perjalanan bersama seorang puteraku bernama Bagus Seto. Apakah mereka pernah singgah di pulau ini?"

Mendengar pertanyaan ini, Adipati Martimpang terbelalak, demikian pula para senopatinya. Wasi Surengpati bahkan mengeluarkan suara geraman marah.

"Ah, kalau begitu apakah andika yang bernama Endang Patibroto?" tanya sang Adipati dengan muka berubah kemerahan karena dia marah sekali teringat akan pengalamannya ketika dijadikan sandera oleh Retno Wilis yang melarikan diri.

"Benar, akulah Endang Patibroto! Apakah anak-anakku itu lewat di sini?"

"Bukan hanya lewat! Anakmu yang keparat itu telah menipu dan menghina kami!"

Endang Patibroto mengerutkan alisnya.
"Hemm, anakku bukan seorang penipu! Jangan andika berbohong kepadaku!"

"Bukan penipu? Ia menyamar sebagai pria dan mengikuti sayembara yang kami adakan dan memenangkan sayembara itu sehingga ia kami terima sebagai calon mantuku. Baru kemudian kami mengetahui bahwa ia seorang wanita dan ia lalu melarikan diri. Keparat gadis yang mengaku sebagai Joko Wilis itu!" Ketika mengucapkan kata-kata ini, sang adipati marah sekali.

Endang Patibroto tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa mendengar ulah Retno Wilis itu. Ia dapat membayangkan betapa anaknya itu telah membuat geger Nusabarung. Menyamar sebagai pria dan memenangkan sayembara untuk mendapatkan seorang puteri!

"He-he-heh-hi-hik, betapa lucunya! Apakah kalian semua telah menjadi buta tidak melihat bahwa ia seorang wanita?" Girang hatinya karena mendapat keterangan bahwa anaknya pernah berada di pulau ini. "Setelah dari sini, ia pergi kemanakah?"

"Siapa tahu? Kami tidak mengetahuinya."

"Kalau begitu, aku harus meninggalkan tempat ini untuk menyusulnya."

"Babo-babo, nanti dulu, Endang Patibroto! Setelah andika berani datang ke sini, kami tidak akan melepaskanmu begitu saja. Tinggalkan dulu kepalamu di sini, baru boleh engkau pergi!" kata Wasi Surengpati sambil melintangkan tongkat ularnya.

Lima orang senopati Nusabarung melihat Wasi Surengpati sudah siap menyerang Endang Patibroto, juga lalu mengepung wanita itu.

"Endang Patibroto, andika telah terkepung. Lebih baik menyerahkan diri untuk kami tawan!" kata Wasi Surengpati yang mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu menuding dengan tongkat ularnya ke arah muka Endang Patibroto dan dia membentak! "Endang Patibroto, berlututlah andika!"

Endang Patibroto merasa betapa ada kekuatan aneh yang seolah memaksanya untuk berlutut. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak dan ia lalu mengeluarkan teriakan melengking yang mengejutkan semua orang. Itulah pekik dengan aji Sardulo Bairowo. Suara melengking ini mengandung pengaruh yang amat hebat dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihir yang dikerahkan Wasi Surengpati. Setelah melihat kakek itu menggerakkan tongkat ular dan mengerahkan kekuatan sihir, baru Endang Patibroto teringat. Ketika ia menolong Jarot, putera Adipati Pasisiran yang hendak dibunuh dua orang kakak tirinya, pendeta inipun membantu kedua kakak tiri yang jahat itu! Ia melawan pendeta itu dan pendeta yang memegang tongkat ular ini melarikan diri. Kiranya pendeta itu kini muncul di Kadipaten Nusabarung dan berlagak sombong karena dia kini dibantu oleh banyak orang!

"Pendeta jahanam, kiranya engkau yang berlagak di sini!" bentaknya dan ia sudah menerjang ke depan untuk mengirim pukulan mautnya kepada pendeta itu.

Wasi Surengpati yang sudah pula teringat akan wanita perkasa yang dulu membantu Jarot itu, menjadi marah sekali.

"Kita basmi wanita jahat ini?" bentaknya seperti memberi isyarat kepada lima orang senopati yang sudah mengepung Endang Patibroto.

Ki Wisokolo, senopati pertama dari Nusabarung, agaknya dapat menduga bahwa wanita itu tentu berilmu tinggi, maka ia pun segera berteriak kepada anak buahnya untuk mengepung. Sedikitnya tigapuluh orang perajurit sudah mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Namun Endang Patibroto tidak gentar sedikitpun.

"Aku datang hanya hendak bertanya tentang kedua orang anakku, akan tetapi kalian menyambut dengan senjata terhunus. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memberi ampun kepadamu!" Begitu ia bergerak maju, empat orang perajurit telah menyambutnya dengan tombak. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan kiri menolak, empat batang tombak itu terpental dan tangan kanannya menampar ke depan. Empat orang itu berteriak dan terpelanting roboh, tak dapat bangkit kembali! Lima orang senopati itu kini menerjang ke depan dengan golok mereka, mengeroyok Endang Patibroto, sedangkan Wasi Surengpati sendiripun sudah menggerakkan tongkat ularnya. Pada saat terdengar seruan orang, nyaring sekali.

"Tahan semua senjata. Apakah orang-orang Nusabarung telah menjadi pengecut semua!”

Semua orang terkejut mendengar ucapan lantang ini dan untuk menghentikan pengeroyokan mereka sambil menoleh untuk memandang siapa yang mengeluarkan kata-kata itu. Mereka melihat seorang pemuda yang berpakaian sederhana telah berdiri disitu sambil mengangkat tangannya. Melihat pemuda itu, Wasi Surengpati menjadi marah.

"Orang muda lancang mulut. Apa maksudmu mengatakan kami pengecut?"

Pemuda itu bukan lain adalah Jayawijaya. Endang Patibroto terkejut dan diam-diam sesalkan kelancangan pemuda itu. Apakah dia tidak melihat bahwa kemunculannya dengan sikap seperti itu akan membahayakan dirinya sendiri?

"Kalian ini semua laki-laki yang gagah perkasa. Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu dan curang mengeroyok seorang wanita! Apakah hal itu tidak membuat kalian menjadi pengecut? Tidak malukah kalian?"

Wajah Wasi Surengpati berubah kemerahan.
"Tangkap pemuda lancang mulut itu!” bentaknya dan seorang perajurit lalu meringkus Jayawijaya.

Dengan mudahnya dia dapat menangkap pemuda itu dan mengikat kedua tangannya dengan tali kepada sebuah tiang rumah. Jayawijaya tidak mampu melawan dan menyerah saja ditelikung. Akan tetapi mulutnya masih mengeluarkan kata-kata lantang.

"Perbuatan kalian ini jahat dan ingat siapa yang jahat akhirnya akan kalah. Yang jahat tidak akan mendapatkan perlindungan Hyang Widhi! Kanjeng Bibi, larilah selagi ada kesempatan!" Diapun berseru kepada Endang Patibroto.

Pemuda itu lebih mengkhawatirkan Endang patibroto dari pada dirinya sendiri. Akan tetapi, Wasi Surengpati kembali sudah menggerakkan tongkat ularnya menyerang Endang Patibroto. Cepat sekali serangannya itu dan tahu-tahu ujung tongkat itu telah menyambar dan menusuk ke arah dada Endang Patibroto. Akan tetapi wanita perkasa ini tidak menjadi gugup dengan serangannya itu. Tangan kirinya ditekuk dan diputar untuk menangkis sehingga tongkat itu terpental. Pada saat itu, lima orang senopati juga sudah menyerangnya dengan golok mereka yang datang menyambar dari segala jurusan. Endang Patibroto mengetahui dari sambaran angin serangan golok itu bahwa lima orang senopati itu bukan merupakan lawan yang lemah. Gerakan golok mereka cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang kuat. Kini ia dikeroyok oleh enam orang yang merupakan lawan tangguh. Ia lalu mengerahkan aji Bayutantra yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung Srikatan cepatnya, berkelebatan di antara sinar golok dan tongkat. Ia tidak hanya mengelak saja, melainkan juga membalas serangan enam orang pengeroyoknya dengan tamparan jari tangan dengan Aji Petni Nogo.

Melihat betapa sambaran tangan wanita itu mengeluarkan suara angin berciutan enam pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka mengeroyok dengan hati-hati. Puluhan perajurit tidak berani maju mengeroyok setelah empat orang di antara mereka roboh tadi. Pula, pengeroyokan enam orang itu sudah rapat dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk ikut mengeroyok.

Pertandingan berlangsung seru bukan main. Enam orang itu dapat saling melindungi. Kalau Endang Patibroto membalas dengan tamparannya, tentu ada saja lawan yang mencoba untuk menangkis tamparan itu dengan senjata mereka. Dengan cara begini, sampai lewat limapuluh jurus, Endang Patibroto belum juga dapat merobohkan seorang di antara mereka. Bahkan ia terdesak oleh serangan bertubi-tubi dari enam orang pengeroyoknya itu.

Sementara itu, diam-diam Wasi Surengpati merasa kagum dan juga penasaran bukan main. Harus diakuinya bahwa kalau dia sendiri yang maju melawan Endang Patibroto, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan bantuan lima orang senopati yang terkenal sakti itupun dia masih belum mampu mengalahkan wanita itu.

Jayawijaya yang sudah diikat kepada tiang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi dia masih dapat bersuara lantang.

"Curang, pengecut curang! Kalau memang berani, hadapilah kanjeng bibi satu lawan satu! Heii, apakah kalian semua tidak tahu malu dan bukan laki-laki sejati?"

Melihat pemuda itu masih ribut terus, perajurit yang tadi menangkapnya dan kini menjaganya, lalu menampar mulutnya.

“Plak-plak!" Dua kali mulut Jayawijaya ditampar dan bibirnya mengeluarkan darah. Akan tetapi pemuda itu tidak menghentikan teriakan-teriakannya, bahkan dia berani mencela Sang Adipati yang sejak tadi sudah menyembunyikan diri agar jangan terulang lagi dirinya ditangkap dan dijadikan sandera, seperti yang terjadi ketika Retno Wilis dikeroyok dahulu itu.

"Hai, Sang Adipati Nusabarung! Kenapa andika mendiamkan saja orang-orang andika melakukan pengeroyokan seperti pengecut yang curang? Tidak malukah andika kalau hal ini terdengar oleh orang-orang di luar kadipaten ini?" demikian Jayawijaya berteriak lagi.

"Plak-plak-plak!" Kembali perajurit itu menampar mulutnya dan kini lebih banyak lagi darah yang keluar dari mulut pemuda itu.

Endang Patibroto mendengar teriakan-teriakan ini dan ia merasa khawatir kalau-kalu pemuda itu akan dibunuh orang. Ia sendiri juga menyadari bahwa tidak mungkin terus bertahan oleh pengeroyokan itu, maka ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo. Enam orang pengeroyoknya terkejut, bahkan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan Endang Patibroto untuk melompat ke arah Jayawijaya dan sekali sambar, perajurit yang menjaganya itu terpelanting dan terguling-guling. Cepat tangan Endang Patibroto bergerak membikin putus tali-tali pengikat, lalu memegang lengan Jayawijaya dan berkata,

"Mari kita pergi dari sini!"

Jayawijaya membiarkan dirinya ditarik oleh Endang Patibroto. Akan tetapi bagimana mungkin dia dapat lari secepat wanita sakti itu? Akhirnya, diapun diseret dan terangkat ke atas, dibawa lari Endang Patibroto seperti sebuah layang-layang. Jayawijaya memejamkan kedua matanya ketika melihat betapa cepatnya tubuhnya meluncur ke depan dan kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi!

Akhirnya mereka tiba di pantai di mana Endang Patibroto menyembunyikan perahunya. Ia melompat ke dalam perahunya sambil menarik tangan Jayawijaya dan di lain saat mereka sudah meluncurkan perahu ke tengah lautan. Para senopati dan anak buahnya melakukan pengejaran, akan tetapi lari mereka jauh kalah cepat sehingga ketika mereka tiba di pantai, perahu yang ditumpangi Endang Patibroto sudah pergi jauh sekali.

Sambil mendayung perahunya, Endang Patibroto mengomeli pemuda itu.
"Anak-mas Jayawijaya, mengapa andika begitu lancang datang ke sana dan membahayakan diri sendiri? Semestinya andika tidak menegur mereka karena itu sama saja dengan melakukan usaha bunuh diri."

"Eh, mengapa, kanjeng bibi? Apa salahnya kalau saya menegur mereka? Mereka memang bersikap curang dan pengecut, dan pantas untuk ditegur!"

“Akan tetapi dengan berbuat seperti itu, andika memanggil bahaya maut!"

"Saya tidak berpikir demikian. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki teguran saya itu akan ada gunanya bagi mereka. Saya hanya ingin agar mereka itu mengubah perbuatan mereka yang tidak benar, mengubah jalan hidup mereka yang sesat."

"Aduh, anakmas. Tidakkah andika melihat bahwa engkau memanggil bahaya maut? Kalau mereka itu menyerangmu, andika akan mampu berbuat apakah? Tadi, baru menghadapi seorang perajurit saja, andika tidak mampu membela diri dan dapat diikat. Apa lagi kalau kakek bertongkat ular itu yang maju menyerangmu!"

Jayawijaya tersenyum lebar.
"Saya tidak takut, kanjeng bibi."

"Akan tetapi andika seorang pemuda yang lemah."

"Saya memang lemah dan tidak biasa berkelahi, akan tetapi Hyang Widhi adalah maha sakti dan maha kuasa. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu melawanNya. Karena itu saya tidak takut karena saya yakin bahwa Hyang Widhi pasti akan melindungi saya dari marabahaya."

"Hemmm, aku ingin melihatnya!" kata Endang Patibroto yang merasa jengkel mendengar jawaban itu. "Kalau tadi tidak ada aku yang melepaskanmu dan menolongmu keluar dari sana, siapa yang akan dapat menyelamatkanmu?"

"Kanjeng Bibi, tidakkah andika melihat kekuasaan Hyang Widhi tadi telah bekerja? Hyang Widhi sudah menolong saya, melalui tangan kanjeng bibi! Tidakkah kanjeng bibi merasa bahwa Sang Hyang Widhi yang telah mempergunakan kanjeng bibi untuk menyelamatkan saya?"

Endang Patibroto tertegun mendengar ini. Ia teringat akan kata-kata suaminya bahwa manusia adalah mahluk yang selemah-lemahnya dan bahwa tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia ini tidak berdaya dalam hidupnya. Teringatlah pula ia akan keterangan suaminya bahwa semua ilmu kadigdayaan yang dikuasainya adalah anugerah dari Hyang Widhi. Kalau begitu, betapa tepat ucapan Jayawijaya bahwa ia telah dipergunakan oleh Hyang Widhi untuk bergerak menolong pemuda itu. Bukan ia yang menolong, melainkan Hyang Widhi! Betapa penuh kerendahan hati terhadap Hyang Widhi, betapa penuh dan lengkapnya iman kepercayaan kepada Hyang Widhi.

"Wah andika benar, anakmas. Aku yang telah terlupa. Agaknya seorang manusia seperti andika ini selamanya akan mendapat perlindungan Hyang Widhi. Akan tetapi setelah tiba di pantai daratan nanti, terpaksa kita harus berpisah dan aku hanya memperingatkan andika agar lebih berhati-hati. Ingatlah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat manusia yang jahat seperti iblis, yang tidak segan-segan untuk mengganggu seorang pemuda tidak berdosa seperti anakmas."

"Saya tahu, kanjeng bibi. Karena itu, sayapun harus lebih giat memperingatkan dan menasihati mereka."

Endang Patibroto menghela napas dan mempercepat gerakan dayungnya sehingga perahu itu meluncur dengan cepatnya menuju ke daratan yang sudah tampak dari situ. Setelah tiba di daratan, Endang Patibroto berkata,

"Sekarang aku harus meninggalkan andika untuk mencari jejak kedua orang anakku. Selamat tinggal, anakmas Jayawiya. Semoga kita akan bertemu lagi kelak."

"Selamat jalan, kanjeng bibi Endang Patibroto."

Endang Patibroto menggerakan kedua kakinya dan lenyap dari depan pemuda itu karena ia menggunakan aji Bayutantra. Melihat ini, Jayawijaya menarik napas panjang dan berkata seorang diri.

"Kalau saja semua orang yang memiliki kesaktian bersikap seperti kanjeng bibi Endang Patibroto, alangkah tenteramnya dunia ini." Diapun melangkah dan melanjutkan perjalanannya, tanpa tujuan tertentu, hanya menurutkan kata hati dan langkah kakinya saja.

**** 026 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 027 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment