Ads

Friday, May 10, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 027

**** BACK ****

Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang berpisah dari Jayawijaya pemuda luar biasa itu, dan mari kita ikuti perjalanan Bagus Seto dan Retno Wilis yang telah berpisah dari Harjadenta yang kembali ke pegunungan Raung. Kedua orang kakak beradik itu kembali menyusuri sepanjang pantai Laut Kidul menuju ke timur. Mereka berjalan seenaknya, santai dan tidak tergesa-gesa, sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah di sepanjang pantai Laut Kidul. Pantai itu kadang merupakan tanah yang landai ditutup pasir putih yang kemilauan terkena cahaya matahari.

Pantai pasir putih itu amat luas dan merupakan pemandangan alam yang amat indahnya. Akan tetapi kadang pantai itu berupa bukit-bukit yang menjulang tinggi dan ombak samudera terhempas pada dinding karang yang kokoh kuat. Ombak yang menghantam dinding ini menimbulkan suara dahsyat dan air pecah muncrat ke atas menimbulkan uap air yang tebal. Pemandangan ini juga teramat indahnya dan memperlihatkan kebuasan dan kedahsyatan air laut, berbeda kalau pantainya datar seperti pantai pasir putih di mana air laut menjadi menipis mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti air mendidih.

Ketika mereka tiba di ujung pantai pasir putih, mereka berhadapan dengan sebuah hutan di tepi pantai yang amat lebat. Pantai berhutan itu merupakan perbukitan, akan tetapi hutannya amat lebat dan gelap menyeramkan.

"Kita sekarang akan melalui jalan pendakian yang sukar karena hutannya amat lebat, diajeng. Kita harus berhati-hati karena agaknya hutan ini mengandung hawa yang angker."

Retno Wilis, gadis yang tidak pernah mengenal rasa takut itu, tersenyum.
"Angker? Kaumaksudkan hutan ini ada setannya kakang?"

"Setan yang masih gentayangan tidak perlu kita takuti, akan tetapi kita harus waspada terhadap setan yang sudah masuk ke dalam diri manusia. Manusia yang sudah kesetanan itu dapat melakukan perbuatan amat jahat dan keji, adikku. Karena itu kita perlu waspada dan hati-hati."

Mereka masuk menyusup-nyusup di antara pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar. Bagus Seto meminjam pedang Sapudenta milik adiknya untuk membabat semak yang merintangi jalan mereka. Dia berjalan di depan membabati semak sedangkan Retno Wilis berjalan di belakangnya. Hutan itu demikian lebatnya sehingga sinar matahari tidak banyak yang menerobos masuk, membuat hutan itu gelap.

Retno Wilis yang berjalan di belakang kakaknya memandang ke kanan kiri dengan penuh kewaspadaan. Ia juga dapat merasakan keadaan hutan yang angker seolah di situ terdapat banyak bahaya yang mengintai mereka. Tiba-tiba ia memegang lengan kakaknya.

"Ada apa?" tanya Bagus Seto ketika merasa betapa kuatnya cengkeraman tangan adiknya.

"Sssttt, kakang, aku merasa ada orang-orang atau entah mahluk apa mengintai kita."

"Di mana?"

"Entahlah, aku tadi seperti melihat banyak pasang mata mengintai dari balik semak belukar akan tetapi sekarang sudah lenyap lagi. Kakang, aku merasa ngeri juga."

Bagus Seto tersenyum.
"Jangan katakan bahwa engkau takut, diajeng."

Retno Wilis membusungkan dadanya.
"Takut? Aku tidak takut, akan tetapi bicaramu tentang setan tadi membuat aku merasa ngeri. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

Mereka melanjutkan perjalanan. Bagus Seto tetap membabati semak yang menghalangi perjalanan mereka, sedangkan Retno Wilis mengikuti dari belakang. Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar, terdengar suara dari atas.

"Kaaak-kaak ... !"

Otomatis Bagus Seto dan Retno Wilis memandang ke atas dan mata mereka terbelalak lebar ketika melihat seekor ular yang amat besar bergantung dengan ekornya pada sebatang cabang pohon dan kepalanya tergantung di bawah. Kepala itu kini dengan moncong terbuka lebar menyambar ke bawah menyerang mereka. Bagus Seto yang berada di depan cepat menangkis dengan bacokan pedangnya.

"Wuuuttt … crak … !" leher ular itu putus, kepalanya menggelinding ke bawah dan tubuhnya melepaskan lilitan pada cabang pohon dan jatuh berdebuk di atas tanah.

"Shanti-shanti-shanti ... !" Bagus Seto berkata dengan penuh penyesalan. "Terpaksa aku harus membunuhmu, ular, karena engkau membahayakan keselamatan kami!"

"Kakang, kenapa engkau menyesal membunuh ular jahat itu?"

"Ia tidak jahat, diajeng."

"Tidak jahat? Kalau engkau tidak membunuhnya, tentu kita sudah ditelannya bulat-bulat! Ia buas dan liar, jahat sekali, dan kejam. Ia makan hewan yang tidak mampu melawannya, menelannya bulat-bulat, apakah itu tidak jahat dan kejam namanya?"

"Sama sekali tidak, adikku. Sudah ditakdirkan oleh Hyang Widhi bahwa ular hanya makan binatang lain yang lebih kecil. Ia tidak dapat makan daun atau rumput. Kalau ia tidak makan binatang yang lebih kecil, ia akan mati kelaparan, ia tadi menyerang kita juga untuk mengisi perutnya yang kosong. Ia tidak buas, melainkan bergerak menurut naluri dan kebutuhan badannya."

"Kalau begitu, mengapa engkau membunuhnya, kakang?" bantah Retno Wilis penasaran.

"Aku terpaksa membunuhnya untuk membela diri. Aku harus membunuhnya tadi, kalau tidak tentu seorang di antara kita menjadi mangsanya. Akan tetapi aku menyesal harus membunuhnya. Mari kita lanjutkan perjalanan ini."

Mereka bergerak maju lagi dan baru belasan langkah, mereka berhenti lagi karena terdengar suara aneh seperti raung anjing. Raung itu berkepanjangan terdengar seperti keluhan dan terdengar dari segala penjuru seolah mengepung mereka.

"Kakang, suara apakah itu?" tanya Retno Wilis. Betapapun tabahnya, ia merinding juga mendengar suara aneh itu.

"Hemm, aku tidak tahu. Agaknya seperti suara anjing meraung, atau mungkin srigala. Mari kita maju terus, mencari tempat yang lebih lapang. Kalau berada di tengah semak semak begini, akan sukar bagi kita untuk membela diri kalau muncul bahaya."

Mereka maju terus, tidak memperdulikan suara itu dan akhirnya mereka tiba di tempat terbuka. Pohon-pohon agak jarang dan tidak terdapat semak belukar. Tanahnya penuh rumput dan petak rumput ini cukup luas. Di tempat terbuka ini Retno Wilis mendapatkan kembali ketabahannya dan kembali membusungkan dadanya ia menantang dengan suara lantang.

"Heii, kalian anjing-anjing liar atau srigala atau iblis setan bekasakan! Keluarlah dan tandingilah kami, jangan hanya mengeluarkan suara seperti pengecut hendak menakut-nakuti orang! Keluarlah kalian!"

Tidak terdengar jawaban, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berkerosakan di sekeliling mereka seolah-olah banyak binatang hutan bergerak ke arah mereka. Dua orang kakak beradik itu siap siaga dan Bagus Seto masih memegang pedang pusaka Sapudenta milik Retno Wilis. Mereka berdiri, saling membelakangi untuk saling melindungi. Akan tetapi yang muncul bukan anjing atau srigala, melainkan duapuluh orang lebih yang berpakaian serba hitam! Muka mereka semua memakai topeng srigala hitam dan yang tampak hanya sepasang mata mereka yang mencorong seperti mata srigala. Mereka mengeluarkan suara seperti srigala menggereng-gereng.

Retno Wilis dan Bagus Seto memandang dengan heran. Siapakah orang-orang bertopeng ini? Mereka memiliki tubuh yang kokoh kuat dan mereka kini telah mengepung kakak beradik itu.

"Siapakah kalian? Mau apa mengepung kami?" tanya Retno Wilis yang sudah siap untuk mengamuk.

"Kami kakak beradik kebetulan lewat di sini, kami tidak bermusuhan dengan kalian!" Kata pula Bagus Seto yang sudah menyelipkan pedang Sapudenta di ikat pinggangnya agar mereka ketahui bahwa dia tidak berniat untuk berkelahi.

Akan tetapi duapuluh lebih orang bertopeng itu mengepung semakin rapat dan tiba-tiba mereka semua mengeluarkan sebuah kantung hitam, merogoh ke dalam kantung dan mereka menyambitkan bubuk hitam ke arah Bagus Seto dan Retno Wilis! Dua orang kakak beradik ini tidak dapat mengelak karena dari sekeliling mereka menyambar bubuk hitam itu. Mereka menahan napas dan memejamkan mata sambil menggerakkan tangan untuk menangkis serangan. Akan tetapi tiba-tiba sebuah jala hitam menimpa dan menutup mereka! Para pengepung itu mengeluarkan teriakan-teriakan girang melihat betapa dua orang itu telah kena terjaring. Bagus Seto berkata lirih kepada adiknya.

"Kita menyerah, lihat perkembangan!"

Retno Wilis tidak membantah dan iapun tidak meronta ketika ada tangan menelikung kedua lengannya dari luar jaring. Bagus Seto menyuruh adiknya menyerah karena dia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap diri mereka berdua. Orang-orang ini berusaha menangkap mereka, bukannya membunuh. Dia ingin tahu mereka itu orang apa dan apa pula maksud mereka menawan dia dan adiknya.

Setelah mengikat kedua tangan BagusSeto dan Retno Wilis ke belakang punggung, orang-orang bertopeng itu lalu membuka jaring dan mendorong kedua orang tawanan itu untuk melangkah maju mengikuti beberapa orang yang berjalan di depan. Dengan kedua tangan terbelenggu, kakak beradik itupun melangkah mengikuti mereka.

"Kenapa, kakang?" tanya Retno Wilis lirih kepada kakaknya yang berjalan di sampingnya. Ia merasa heran mengapa kakaknya minta agar ia menyerah.

"Kita lihat mereka mau apa?” bisik Bagus Seto kembali.

"Diam kalian!" terdengar bentakan dari belakang dan tahulah kedua orang kakak beradik itu bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa yang memakai topeng dan berpakaian hitam, mungkin ini menunjukkan bahwa mereka adalah anggauta-anggauta sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bersarang di hutan lebat itu.

Kini mereka tiba di tengah hutan dan jalannya mendaki. Kemudian, di tengah-tengah hutan pegunungan tepi laut itu tampak sebuah perkampungan. Ada puluhan rumah di situ, rumah-rumah sederhana dan kecil yang mengelilingi sebuah rumah besar. Penduduk perkampungan itu semua berpakaian serba hitam, akan tetapi muka mereka tidak memakai topeng. Ada kanak-kanak, ada pula wanita, tidak berbeda dengan perkampungan biasa. Hanya yang menyolok adalah pakaian mereka, semua mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang yang tadi menangkap Bagus Seto dan Retno Wilis, setelah tiba di perkampungan itu, segera melepaskan topeng mereka dan mengantongi topeng itu. Agaknya topeng itu hanya dipakai kalau mereka keluar dari perkampungan mereka. Banyak orang menyambut kedatangan duapuluh lebih orang yang membawa dua tawanan itu. Mereka yang menyambut itu mengeluarkan suara pujian akan kecantikan Retno Wilis dan ketampanan Bagus Seto dan sikap mereka seperti penduduk kampung biasa, tidak seperti penjahat.

Dua orang tawanan itu dibawa masuk ke rumah besar dan di sebuah ruangan yang luas, mereka dihadapkan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah. Empat orang anggauta yang tadi membawa Bagus Seto dan Retno Wilis masuk memberi hormat dengan sembah kepada laki-laki berpakaian hitam akan tetapi mewah itu. Kedua lengannya yang kokoh memakai gelang emas, lehernya juga mengenakan rantai besar dari emas, pakaiannya yang hitam juga terbuat dari kain yang halus.

"Denmas Haryosakti, kami mendapatkan kedua orang ini melanggar hutan wilayah kekuasaan kita, maka kami menangkap mereka dan membawa mereka menghadap paduka untuk mendapat keputuan." Seorang diantara empat orang itu melapor.

Orang yang disebut Denmas Haryosakti itu memandang kepada Bagus Seto, kemudian memandang kepada Retno Wilis dan dia tertawa bergelak sambil memuntir kumisnya yang mencuat ke kanan kiri. Dia melirik ke arah seorang wanita yang sebaya dengannya, wanita yang cantik dan berpakaian hitam tapi mewah. Belum habis dia tertawa, muncullah dua orang dari arah belakang. Mereka adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun lebih yang tampan dan gagah perkasa, dan seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun yang cantik jelita. Mereka segera mengambil tempat duduk di kanan kiri orang tua mereka.

Retno Wilis menduga, bahwa kedua orang ini tentu putera puteri ketua gerombolan itu. Dan melihat wajah mereka yang elok, ia tahu bahwa mereka menuruni wajah ibu mereka yang cantik.

"Ayah, siapakah kedua orang asing ini?" tanya si pemuda kepada kepala gerombolan itu.

"Kenapa mereka dibelenggu, ayah?"tanya si gadis cantik.

"Kasihan kalau mereka dibelenggu, sebaiknya belenggu mereka itu dibuka saja ayah."

"Ha-ha-ha, engkau benar, Sarmini. Hai, Blendong, bukakan tali pengikat tangan mereka, kemudian keluarlah kalian dari sini."

Seorang di antara empat anggauta itu bangkit, lalu menghampiri Bagus Seto dan Retno Wilis dan membuka pengikat tangan mereka. Blendong, pemimpin rombongan yang menangkap kedua orang muda itu, lalu menyerahkan sebatang pedang, yaitu pedang Sapudenta yang tadi dia rampas dari ikat pinggang Bagus Seto.

"Ini adalah pedang yang tadinya dibawa pemuda ini. Denmas." katanya.

Kepala gerombolan yang bernama Haryosakti itu menerima pedang dan memberi isarat kepada empat orang itu untuk keluar. Dia mengamati pedang yang sudan dihunusnya itu dan tampak kaget.

"Ah, pedang pusaka yang ampuh sekali!" katanya lalu meletakkan pedang bersarung itu ke atas meja di depannya. Setelah itu, dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang masih berdiri di hadapannya. "Silakan kalian berdua duduk. Kalian tidak kami anggap sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Maafkan kekasaran anak buah kami, karena kalian telah melanggar wilayah kami." kata Haryosakti dengan suaranya yang dalam dan nyaring.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kami juga bersalah telah melanggar wilayah andika tanpa kami ketahui." jawab Bagus Seto.

"Kisanak, siapakah namamu dan dari mana andika datang?"

"Nama saya Bagus Seto dan saya datang dari Panjalu."

"Dari Panjalu? Pantas andika demikian tampan. Orang-orang Panjalu terkenal tampan dan cantik. Dan gadis cantik ini apamu?"

"Ia bernama Retno Wilis dan ia adalah adik saya." Kata Bagus Seto terus terang.

"Ha-ha-ha, adikmu? Bagus, bagus sekali. Tadinya kusangka ia ini isterimu. Adikmu, ya? Bagus sekali, ia cantik dan menarik." Dia lalu menoleh kepada isterinya dan bertanya,

"Ibune, tidakkah pantas kalau ia menjadi madumu?"

Isterinya tidak menjawab, akan tetapi pemuda dan gadis itu tampak terkejut dan dengan berbareng mereka berseru,

"Kanjeng rama.!"

Akan tetapi Ki Haryosakti melambaikan tangan ke arah kedua orang anaknya dan membentak,
"Diam kalian!" Setelah itu dia kembali memandang Bagus Seto dan berkata.

"Anakmas Bagus Seto, sekali lagi maafkan anak buah kami tadi yang telah bersikap kasar kepada kalian. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang perkumpulan Jambuko Cemeng (Srigala Hitam) dan aku adalah pemimpin mereka, namaku Ki Haryosakti. Sekarang kalian berdua menjadi tamu kehormatan kami dan untuk menghormati kedatangan kalian, kami akan menyambutnya dengan sedikit pesta." Ki Haryosakti lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan hidangan untuk pesta mereka.

Tentu saja Retno Wilis dan Bagus Seto juga mendengar ketika Ki Haryosakti tadi bertanya kepada isterinya apakah tidak sudah pantas kalau Retno Wilis menjadi madunya. Akan tetapi karena Retno Wilis melihat kakaknya diam dan tenang saja, iapun pura-pura tidak tahu. Bagus Seto memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kepala gerombolan itu kepada dia dan adiknya. Diapun dapat menduga bahwa Ki Haryosakti itu tentulah seorang yang sakti. Sinar matanya saja mencorong penuh wibawa. Dan mengingat betapa anak buahnya juga rata-rata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, maka dapat dipastikan bahwa pemimpin mereka ini memiliki kesaktian. Dia lalu mengajak Bagus Seto dan Retno Wilis bercakap-cakap. Dia bertanya tentang Panjalu, siapa yang menjadi rajanya, dan siapa pula patihnya.

"Patih Panjalu adalah Ki Patih Tejalaksono, yaitu ayah kandung kami!" kata Retno Wilis sambil meninggikan suaranya.

Mendengar ini, Ki Haryosakti memandang dengan mata terbelalak dan terkejut.
"Ah, jadi andika berdua ini putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang amat terkenal itu. Sungguh kebetulan sekali, kalau begitu kami tahu siapa adanya dua orang tamu agung kami."

Pada saat itu, seorang anggauta datang menghadap.
"Hei, mau apa kamu menghadap tanpa diperintah?" Ki Haryosakti membentak dan mengerutkan alisnya.

"Ampun, denmas." kata orang itu sambil menyembah. "Saya akan melaporkan bahwa lima orang anggauta bajak laut Bala Cucut telah dapat menerobos penjagaan kami dan sekarang mereka mangamuk di depan pintu gerbang."

"Bodoh! Hanya menghadapi lima orang saja kalian tidak mampu menundukkan mereka?"

"Mereka tangguh sekali, denmas. Banyak anggauta kita yang sudah tewas melawan mereka."

"Babo-babo, iblis laknat! Pergilah dan aku sendiri yang akan menandingi mereka!"

Anggauta itu bergegas pergi dan Ki Haryosakti sudah bangkit dari tempat duduknya. Dia berkata kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.

"Kebetulan sekali ada pengacau mengganggu kesenangan kita, mari andika berdua menyaksikan bagaimana kami memberi hajaran kepada para pengacau."

Bagus Seto dan Retno Wilis ingin tahu apa yang telah terjadi maka mereka juga bangkit dan mengikuti Ki Haryosakti yang melangkah keluar dari rumah besar itu dengan langkah lebar. Setelah tiba diluar rumah, mereka melihat penduduk pedusunan itu seperti dalam keadaan panik, dan Ki Haryosakti terus berjalan menuju ke pintu gerbang pedusunan yang menjadi sarangnya itu. Dari jauh sudah terdengar pertempuran itu. Orang-orang dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang jumlahnya belasan orang sedang bertempur melawan lima orang yang gerakannya gesit dan sepak terjang mereka membuat para pengepung itu kocar kacir. Lima orang itu terdiri dari lima orang laki-laki yang tinggi besar dan kelimanya bersenjatakan golok besar yang mereka mainkan dengan hebat. Mudah dilihat betapa amukan lima orang itu membuat para pengeroyok terdesak dan di antara mereka sudah banyak yang roboh malang melintang. Sedikitnya ada tujuh orang anggauta Jambuko Cemeng yang roboh dan terluka hebat atau mungkin tewas.

"Tahan semua senjata dan mundur!" Ki Haryosakti membentak dengan suara nyaring.

Mendengar bentakan suara yang amat dikenalnya itu semua pengeroyok menahan senjata mereka dan berloncatan mundur dengan hati lega. Ketua mereka sudah tiba sehingga mereka terbebas dari ancaman lima golok dari pihak musuh yang amat tangguh itu.

Bagus Seto dan Retno Wilis juga melihat betapa ilmu golok lima orang itu memang hebat dan tangguh sekali. Lima orang itu setelah melihat para pengeroyok mundur juga menahan golok mereka dan menghadapi Ki Haryosakti dengan golok melintang di dada dan sikap mereka menantang sekali.

"Babo-babo, kalian orang-orang Bala Cucut mengapa mengamuk dan membikin kacau di sini?" bentak Ki Haryosakti. "Siapakah kalian yang telah berani memasuki perkampungan kami?"

Seorang di antara lima orang itu yang matanya lebar dan rambut kepalanya diikat dengan kain merah, melangkah maju dan menjawab dengan suara lantang,

"Kami adalah Lima Naga dari perkumpulan Bala Cucut. Kami hendak membikin perhitungan karena sebulan yang lalu, beberapa orang anak buah kami telah dilukai oleh orang-orang Jambuka Cemeng. Kami tidak terima!"

"Hemmm!" kata Ki Haryosakti. "Pihak Bala Cucut yang bersalah, kini bahkan hendak menuntut kami! Ketahuilah, pada waktu itu belasan orang anak buah Bala Cucut telah merampok penduduk dusun di tepi pantai. Dusun itu termasuk wilayah kekuasaan kami. Tentu saja kami turun tangan menghajar para bajak yang merampok itu. Bukankah Bala Cucut biasanya bertindak di lautan? Kenapa menyerang dusun di pantai?"

"Kami mencari rejeki di lautan atau di darat, apa hubungannya dengan Jambuko Cemeng? Belasan anak buah kami luka, bahkan ada tiga orang yang tewas, maka hari ini kami Lima Naga dari Bala Cucut datang menagih hutang kalian. Sekarang andika keluar, apakah andika yang menjadi ketuanya?"

"Benar, akulah Ki Haryosakli, ketua Jambuko Cemeng!"

"Kalau begitu, berlututlah dan menyembah kepada kami untuk minta maaf, dan baru kami akan menghabisi permusuhan ini. Juga sediakan upeti untuk kami bawa kepada ketua kami, atau kalau andika menolak, kami akan membuat perkampungan Jambuko Cemeng ini menjadi lautan api dan kami tumpas semua anggautanya!"

"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat mengeringkan lautan meruntuhkan gunung! Kita sama lihat saja siapa yang berlutut dan menyembah minta ampun!" kata Ki Haryosakti dan mendadak dia mengangkat kedua tangannya ke atas membentuk cakar setan dan dia mengeluarkan suara yang demikian gemuruh dan menggetarkan semua orang yang berada di situ.

"Lima Naga perkumpulan Bala Cucut, kuperintankan kalian untuk berlutut dan menyembah kepada kami. Hayo berlutut!!"

Bentakan itu mempunyai wibawa yang Kuat sekali dan hal ini terasa oleh Bagus Seto dan Retno Wilis yang mengerahkan tenaga sakti mereka agar mereka tidak terpengaruh. Akan tetapi lima orang jagoan dari perkumpulan bajak laut Bala Cucut itu tampak gemetaran seluruh tubuh mereka. Agaknya mereka hendak melawan pula akan tetapi kalah kuat dan dengan serentak mereka berlima menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Haryosakti! Melihat ini, Ki
Haryosakti tertawa bergelak dan semua anak buahnya ikut pula tertawa.

Setelah mereka semua tertawa, agaknya pengaruh ilmu sihir itupun membuyar dan Lima Naga dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu kelihatan seperti orang terkejut dan heran melihat diri sendiri berlutut menyembah-nyembah. Mereka berloncatan berdiri dan mengayun-ayun golok di atas kepala.

"Ki Haryosakti jahanam! Jangan pergunakan ilmu setanmu, kalau memang andika gagah, majulah dan lawan kami dengan menggunakan aji kanuragan!" tantang orang yang bermata lebar dan agaknya menjadi pimpinan lima orang itu.

"Kalian berlima hendak melawan aku? Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup. Hayo majulah, tidak usah satu-satu, majulah kalian berlima mengeroyok aku!" kata Ki Haryosakti dan dia sudah menyambar tombaknya yang dibawakan oleh seorang pengawalnya dari dalam.

Tombak itu matanya mencorong dan mengandung hawa yang menggiriskan. Retno Wilis dan Bagus Seto maklum bahwa tombak itu merupakan pusaka yang ampuh. Mereka berdua menghadapi dua pihak yang bermusuhan dan tidak ingin mencampuri walaupun Retno Wilis merasa khawatir kalau pihak tuan rumah yang akan dikeroyok lima itu akan kalah. Ia tadi sudah melihat gerakan lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu yang cukup tangguh dan gerakan golok mereka berbahaya sekali.

Setelah menyambar tombaknya, Ki Haryosakti menghadapi lima orang lawannya. Akan tetapi pada saat itu, dua orang anaknya, pemuda tampan yang bernama Saroji dan gadis cantik yang bernama Sarmini, sudah dengan tangkasnya melompat ke depan ayahnya.

"Ayah, ini tidak adil namanya. Masa lima orang mengeroyok ayah seorang? Kalau mau main keroyokan, kita bias mengerahkan seluruh anak buah kita! Tidak, ayah. Kalau hendak mengadakan pertandingan, biar maju satu demi satu. Aku sendiri akan melawan seorang di antara mereka!" kata Sarmini dengan lembut namun gagah dan ia menghadapi lima orang itu tanpa rasa gentar sedikitpun.

"Sarmini berkata benar, ayah. Akupun ingin menghadapi seorang di antara mereka, baru nanti selebihnya ayah yang menandinginya."

Ki Haryosakti tertawa bergelak, agaknya merasa bangga sekali dengan penampilan kedua orang anaknya.

"Ha-ha-ha, Lima Naga, kalian sudah mendengar sendiri usul kedua orang anakku. Nah, sekarang puteriku Sarmini yang akan maju lebih dulu. Siapa diantara kalian berlima yang sanggup melawannya?" Tentu saja Ki Haryosakti sudah pula mengukur kepandaian lima orang itu ketika mengamuk tadi dan dia yakin bahwa puterinya akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka.

Orang termuda dari Lima Naga itu lalu melangkah ke depan.
"Aku yang akan menandinginya!" Setelah berkata demikian dia mengayun goloknya di atas kepala hendak menakut-nakuti gadis cantik itu dengan sikapnya yang bengis. Sarmini melangkah ke depan menghadapi orang itu. Sambil menatap wajah orang itu dengan tajam, ia bertanya,

"Engkau hendak bertanding menggunakan senjata atau tangan kosong?"

Retno Wilis tersenyum dan kagum juga akan ketenangan gadis itu. Melihat sikapnya yang demikian tenang sudah dapat ia menduga bahwa gadis itu bukan sekedar berlagak, melainkan memiliki aji kanuragan yang boleh diandalkan. Orang ke lima dari Lima Naga itu adalah seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang memiliki watak mata keranjang. Karena watak inilah maka ketika gadis cantik itu maju menantang, dia segera maju menghadapinya. Sekarang mendengar pertanyaan gadis itu, dia pikir kalau bertanding dengan tangan kosong, lebih banyak kesempatan baginya untuk beradu lengan, mencolek atau mengusap gadis yang berwajah cantik dan bertubuh sintal itu.

"Ha-ha-ha, melawan seorang gadis cilik seperti andika tidak perlu menggunakan golok," katanya sambil menyelipkan goloknya di punggung. "Mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!"

"Bagus! Mari kita mulai pertandingan ini!" kata Sarmini dan iapun sudah memasang kuda-kuda yang indah dan gagah sekali. Kaki kanan di depan dengan lutut agak di bengkokan, kaki kiri di belakang, tangan kanan yang dikepal ditaruh di pinggang sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka di depan dada!

Melihat kuda-kuda yang dipasang gadis itu, orang ke lima dari Lima Naga yang memelihara jenggot seperti kambing tertawa dan memandang rendah.

"Engkau maju dan mulailah dulu, aku akan melayanimu!" katanya sambil tersenyum dan berlagak.

"Lihat serangan!" tiba-tiba Sarmini membentak dan tubuhnya sudah cepat bergerak maju menyerang. Kaki kirinya dilangkahkan ke depan dan tangan kirinya membuat gerakan mencengkeram ke arah mata lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul dengan pukulan ke arah perut! Serangan ini cepat dan dari sambaran anginnya dapat diketahui bahwa pukulan-pukulan itu mengandung tenaga yang kuat.

"Haiiiit ... !" Dengan berlagak si jenggot kambing itu memutar tubuh menghindari cengkeraman ke arah matanya dan tangan kirinya digerakkan dari samping untuk menangkis dan sekaligus menangkap tangan kanan gadis itu yang memukul ke arah perutnya.

Namun Sarmini gesit sekali. Ia sudah menarik kembali tangan kanannya yang hendak ditangkap itu, kemudian ia mengirim tendangan dengan kaki kiri. Kakinya mencuat tinggi menuju dada lawan.

"Eeh ... ?" Si Jenggot kambing terkejut sekali karena hampir saja ulu hatinya tercium ujung kaki. Terpaksa dia melompat ke belakang, lalu membalas serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Namun Sarmini amat gesitnya dan selalu dapat menghindarkan diri dari serangan balasan itu dengan jalan mengelak.

Pertandingan sudah berlangsung empatpuluh jurus dan keadaan mereka seimbang. Si Jenggot kambing itu memiliki pukulan yang lebih mantap akan tetapi Sarrnini jelas lebih cepat gerakannya sehingga ia yang lebih banyak menekan dan mendesak. Tiba-tiba Sarmini menerjang lagi dan sekali ini ia bergerak sambil, mengeluarkan teriakan melengking tinggi.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 028 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment