Ads

Friday, May 10, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 030

**** BACK ****

Gadis ini menyimpan pedangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk memukul dengan Aji Wisolangking. Akan tetapi asap itu hanya membuyar dan tetap menyerbu ke arahnya.

''Diajeng, mundurlah!" seru Bagus Seto dan Retno Wilis menaati perintah kakaknya. Tubuhnya mencelat ke arah Bagus Seto dan sudah berdiri di samping kakaknya.

Bagus Seto melompat ke depan menghadapi Ki Bajramusti yang menggunakan sihir itu. Ketika gulungan asap itu menyelubunginya, Bagus Seto mengambil setangkai bunga cempaka putih dan mengangkatnya ke atas. Seketika asap hitam itu membalik dan bergulung-gulung seperti melarikan diri kembali ke arah kedua tangan Ki Bajramusti! Kakek ini terkejut bukan main dan memandang kepada Bagus Seto dengan mata mencorong.

"Siapakah andika?" bentaknya marah.

"Namaku Bagus Seto dan karena andika menggunakan ilmu hitam, akulah yang mewakili adikku menghadapimu," kata Bagus Seto dengan lembut. "Lebih baik andika pergi saja dari sini dan bawa semua anak buahmu, Ki Bajramusti. Tempatmu di lautan, bukan di daratan yang menjadi wilayah Jambuko Cemeng.”

Ki Bajramusti merasa penasaran bukan main. Tadi dalam pertandingan tangan kosong maupun dengan senjata dia telah dikalahkan seorang gadis muda! Dan sekarang dia mengandalkan ilmu sihirnya, dia bertemu dengan seorang pemuda yang dapat menandinginya. Dia masih merasa penasaran dan ingin mengeluarkan ilmunya yang terakhir dan yang diandalkannya.

"Bagus Seto, lihat baik-baik siapa yang kaulawan. Aku adalah Rajanya segala harimau!" Setelah berkata demikian, Ki Bajramusti melompat jungkir balik tiga kali dan berubahlah dia menjadi seekor harimau yang amat besar, harimau jadi-jadian itu besarnya hampir seperti seekor lembu! Sambil mengeluarkan suara gerengan, harimau itu membuka mulutnya dan mengancam Bagus Seto.

Semua orang yang melihat ini menjadi miris hatinya, kecuali tentu saja Retno Wilis. Gadis ini hanya tersenyum karena maklum bahwa dalam menghadapi ilmu sihir, tidak ada orang yang lebih tangguh dari pada kakaknya. Dengan gerengan yang menggetarkan seluruh perkampungan itu, harimau jadi-jadian itu kini menubruk ke arah Bagus Seto yang kelihatan diam saja, tidak mengelak maupun menangkis. Semua orang melihat betapa harimau besar itu menerkam Bagus Seto.

Sarmini sampai menjerit saking ngerinya melihat pemuda yang dikagumi itu diterkam harimau besar. Juga semua orang memandang kaget dan cemas. Akan tetapi ketika harimau itu menerkam dan berusaha menggigit dan merobek-robek tubuh itu, ternyata bahwa yang diterkamnya tadi adalah sebuah batu yang keras! Dan semua orang melihat Bagus Seto sudah berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, tak jauh dari situ.

Harimau jadi-jadian agaknya baru sadar bahwa yang diterkamnya adalah batu setelah taring dan cakarnya menyerang benda keras. Dia menggereng dan memutar tubuh, melihat Bagus Seto yang sudah berdiri di belakangnya. Kembali dia menerjang, menubruk dan menerkam dibarengi auman yang menggetarkan hati. Kembali dia telah menerkam Bagus Seto seperti tadi, akan tetapi setelah yang diterkamnya roboh di atas tanah dan dicakarnya, pemuda itu berubah menjadi batu. Setelah mempermainkan harimau jadi-jadian itu beberapa kali, Bagus Seto lalu mengeluarkan setangkai bunga cempaka putih dan begitu harimau itu untuk sekian kalinya menubruk, dia memukulkan bunga cempaka pulih itu ke kepala harimau.

"Dar..........!" terdengar ledakan dan harimau itupun lenyap, berubah menjadi Ki Bajramusti yang mendekam di atas tanah sambil mengeluh.

"Aduh, tobaaatt.......!" Dia memegangi kepalanya yang rasanya seperti remuk.

"Benarkah andika telah bertobat, Ki Bajramusti?" Tanya Bagus Seto dengan lembut.

"Aku sudah menerima kalah, denmas. Aku sudah bertobat dan hendak menaati semua perintah andika. Aduhaduhhh......!”

Bagus Seto lalu berkata,
"Kalau begitu berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengganggu penduduk pantai, menghentikan perbuatanmu yang jahat dan engkau berjanjilah untuk membantu Panjalu jika saatnya tiba.”

"Baik, denmas.....aku berjanji.....”

Bagus Seto menyentuh kepalanya dengan bunga cempaka putih sambil berkata,
"Kalau begitu, sembuhlah dan pergilah membawa anak buahmu kembali ke lautan.”

Terkena sentuhan bunga itu, seketika Ki Bajramusti sembuh dan dia segera bangkit berdiri. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan kegarangannya. Dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang berdiri di samping kakaknya dengan sikap hormat.

"Aduh, paduka berdua telah mengalahkan aku. Sebetulnya siapakah paduka berdua dan mengapa pula menyuruh aku kelak membantu Panjalu?" tanyanya dengan suara tetap kasar akan tetapi dengan sikap menghormat. Memang seorang seperti dia mana dapat berbicara halus?

"Namaku Bagus Seto dan ini adikku Retno Wilis. Kami adalah putera Kanjeng Patih Tejolaksono di Panjalu.”

"Ah, maafkan aku yang telah berani melawan paduka. Baiklah, aku akan menaati segala perintah paduka. Hayo kawan-kawan, kita kembali ke lautan!" Dia lalu memutar tubuhnya dan diiringkan semua anak buahnya meninggalkan tempat itu.

Ki Haryosakti juga membubarkan semua anak buahnya. Ketika tinggal dia sendiri bersama Saroji dan Sarmini, sambil membungkuk hormat kepada kedua orang muda itu dia berkata,

"Mari silakan, anakmas berdua, kita bicara di dalam.”

Bagus Seto saling pandang dengan Retno Wilis dan mereka tanpa berkata apa-apa ikut masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Setelah tiba di dalam, Ki Haryosakti lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.

"Mata saya seperti telah buta dan tidak melihat bahwa paduka berdua adalah orang-orang yang sakti mandraguna. Saya mohon ampun atas semua perbuatan saya terhadap denajeng.”

Bagus Seto cepat membangunkan ketua Jambuko Cemeng itu dan berkata,
"Sudahlah, paman, adalah baik sekali kalau paman sudah menyadari kesalahan dan tidak akan berbuat lagi. Silakan berdiri.”

Ki Haryosakti bangkit berdiri dan mempersilakan kedua orang muda itu untuk duduk. Saroji dan Sarmini juga duduk dan mereka memandang kepada kedua orang muda itu dengan takjub.

"Saya telah berbuat salah besar. Saya sungguh tidak tahu diri, akan tetapi sekarangpun saya masih mengharapkan agar paduka berdua suka menerima permohonan saya.”

Bagus Seto tersenyum.
"Permintaan apakah itu, paman? Kalau memang permintaan itu pantas dan kami berdua dapat melakukannya, tentu kami tidak akan keberatan untuk memenuhinya.”

"Ah, sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih, denmas. Akan tetapi harap paduka berdua sudi memaafkan kalau apa yang hendak saya kemukakan itu dianggap lancang.”

"Katakan sajalah, paman, jangan sungkan-sungkan. Memang sebaiknya kalau ada penguneg-uneg di hati dikeluarkan dari pada disimpan menjadi dendam.”

"Karena sekarang ini paduka berdua berada di sini dan saya memperoleh kesempatan yang amat baik, kapan lagi saya kemukakan niat saya ini kalau tidak sekarang karena mungkin saya tidak akan dapat bertemu dengan paduka berdua lagi.”

"Paman Haryosakti, kenapa bicara berputar-putar? Katakanlah apa yang kaukehendaki!" kata Retno Wilis yang merasa tidak sabar lagi mendengar kata-kata yang melingkar lingkar itu.

Mendapat bentakan dari Retno Wilis, ketua Jambuko Cemeng yang biasanya bersikap gagah itu menjadi pucat wajahnya. Kemudian dia memberanikan diri berkata,
"Niat saya inipun untuk menebus dosa saya terhadap denajeng ..... kalau paduka berdua sudi menerimanya, saya.....saya ingin sekali menjodohkan anak saya Saroji dengan denajeng Retno Wilis, dan saya ingin menyerahkan anak saya Sarmini menjadi jodoh denmas Bagus Seto. Nah, legalah hati saya sudah mengeluarkan isi hati saya ini dan terserah kepada paduka berdua.”

Kakak beradik itu saling pandang, seperti juga Saroji dan Sarmini saling pandang. Akan tetapi kalau Sarmini memandang kakaknya lalu tersipu malu dan Saroji juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, Retno Wilis memandang kepada kakaknya dengan alis berkerut dan muka berubah merah.

Melihat sinar mata adiknya yang marah itu, Bagus Seto menggelengkan kepalanya kepada adiknya sehingga Retno Wilis terpaksa menelan lagi ucapan bernada keras yang hendak dilontarkan dari mulutnya. Bagus Seto tersenyum memandang pada Ki Haryosakti lalu berkata dengan suara lembut,

"Permintaan paman untuk menjodohkan kami berdua dengan putera puteri paman adalah permintaan yang pantas. Akan tetapi terus terang saja kami tidak dapat memenuhi permintaan itu, paman. Bukan sekali-kali kami menolak karena tidak suka. Putera dan puteri paman adalah dua orang pemuda dan gadis yang elok dan juga gagah. Akan tetapi kami terpaksa menolak karena pada saat ini kami berdua sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh. Kami masih ingin hidup sendiri dan melanjutkan perantauan kami. Karena itu harap paman maafkan dan kami percaya bahwa adimas Saroji dan diajeng Sarmini dapat mengerti alasan kami dan tidak menjadi kecil hati dan merasa ditolak.”

Biarpun merupakan penolakan, namun kalau dikeluarkan dengan kata-kata halus dan sopan seperti itu, bagaimana Ki Haryosakti dan kedua anaknya dapat merasa tersinggung dan tidak senang hati? Mereka memang merasa kecewa, akan tetapi dapat memaklumi alasan kedua orang muda sakti itu. Pada hari itu juga, Bagus Seto dan Retno Wilis berpamit kepada Ki Haryosakti. Bagus Seto berkata,

"Paman Haryosakti, kami berdua mohon pamit hendak melanjutkan perantauan kami. Hanya ada satu harapan dari kami, mudah-mudahan saja paman akan dapat memenuhi harapan kami itu.”

"Apakah itu, denmas? Katakan, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapan itu."

"Nanti kalau sudah tiba waktunya Panjalu dan Jenggala menggerakkan pasukan untuk menundukkan kembali daerah-daerah yang bergolak, maukah paman membawa anggauta Jambuko Cemeng membantu Panjalu?”

"Ah, tentu saja, denmas. Harap jangan khawatir. Biarpun bagaimana juga, kami bukan pemberontak dan masih mengakui kekuasaan Jenggala dan Panjalu. Kalau kelak tiba saatnya, tentu kami akan membantu dengan senang hati.”

"Terima kasih, paman.”

Setelah berpamit kepada Saroji dan Sarmini, kedua kakak beradik itu lalu meninggalkan perkampungan Jambuko Cemeng, diantar oleh keluarga pimpinan Jambuko Cemeng itu sampai keluar perkampungan. Saroji dan Sarmini berdiri bagaikan patung memandang dua bayangan yang semakin jauh itu dan merasa seolah-olah semangat mereka ikut terbawa pergi. Diam-diam Saroji jatuh cinta kepada Retno Wilis dan Sarmini juga kagum sekali kepada Bagus Seto. Akan tetapi mereka merasa seperti pungguk merindukan bulan.

Cinta asmara memang menjadi sumber kesedihan kalau hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan itu diderita Saroji dan Sarmini. Mereka merasa betapa hidup ini menjadi sunyi dengan perginya orang yang mereka cinta, dan hati terasa perih sekali mengingat bahwa cinta mereka tidak dibalas.

Ki Haryosakti juga menyadari akan semua kesalahannya dan semenjak peristiwa itu wataknya berubah, tidak selalu hendak memaksakan kehendaknya seperti yang sudah-sudah.

**** 030 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 031 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment