Ads

Wednesday, May 15, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 032

**** BACK ****

Bagus Seto dan Retno Wilis yang sedang mengadakan perjalanan dan tiba di perbatasan daerah Blambangan segera mendengar cerita para penduduk dusun bahwa pasukan Blambangan sedang mengadakan pencarian terhadap telik sandi dari Panjalu dan banyak orang yang dicurigai sebagai pendatang baru dari luar daerah Blambangan ditangkapi.

"Ah, mereka tentu sedang mencari kita, kakangmas Bagus Seto. Tentu Adipati Blambangan telah mendengar tentang diri kita dari Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati ketika kita berada di kadipaten Nusabarung.”

"Kukira bukan hanya kedua orang wasi itu saja, diajeng. Akan tetapi Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah melapor pula ke sana. Agaknya, pusat penyebaran agama baru itu berasal dari Blambangan.”

"Kalau begitu bagaimana baiknya, kakang. Agaknya akan sukar untuk melakukan perjalanan ke dalam daerah Blambangan dan menyelidiki keadaan di sana.”

"Akan lebih mudah mereka ketahui kalau kita mengadakan perjalanan berdua. Sebaiknya kita berpencar saja dan masuk ke Blambangan. Kita saling bertemu di Blambangan. Bagaimana pendapatmu?”

"Begitu juga baik dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda.”

"Akan tetapi engkau harus dapat menahan diri, jangan menimbulkan keributan, Retno. Pertahankan perasaanmu agar tidak mudah terpancing untuk berkelahi karena hal itu akan mudah mengenal kita.”

"Sebaiknya kalau di luar pakaian kita yang putih, kita memakai pakaian lain yang berwarna sehingga tidak menarik perhatian. Dan jangan memakai nama Joko Wilis karena nama itu sudah dikenal baik oleh mereka.”

"Lalu aku harus memakai nama apa, kakang?”

"Kita menggunakan nama sederhana saja dan menyamar sebagai pemuda dusun. Aku akan memakai nama Joko Slamet dan engkau memakai nama Joko Waras.”

Retno Wilis tersenyum.
"Wah, nama yang mudah sekali diingat. Baiklah, kakang Slamet, mulai sekarang aku memakai nama Joko Waras.”

Setelah membeli beberapa potong pakaian dari penduduk dusun, Retno Wilis berdandan sebagai seorang pemuda dusun. Juga Bagus Seto mengenakan pakaian biasa berwarna biru untuk menutupi pakaiannya yang serba putih. Setelah selesai berdandan, Retno Wilis berdiri di depan kakaknya dan bertanya,

"Bagaimana pendapatmu, kakang? sudah pantaskah aku menjadi Joko Waras?”

Bagus Seto memandang wajah adiknya dan tersenyum.
"Engkau pandai sekali menyamar. Aku sendiri tentu akan pangling kalau tidak kauberitahu lebih dulu. Ingat, jangan mencari keributan, adikku, dan kita saling bertemu di Blambangan.”

"Akan tetapi, Blambangan itu besar. Di mana kita akan bertemu, kakang?”

"Pada hari Respati sore, datang saja ke alun-alun kadipaten dan aku akan berada di bawah pohon waringin yang berada di sana.”

Setelah mengingatkan kepada adiknya agar waspada dan sabar, tidak membiarkan diri terpancing ke dalam perkelahian, Bagus Seto lalu berpisah dari Retno Wilis, mengambil jalan masing-masing memasuki daerah Blambangan. Sebagai seorang pemuda remaja dusun yang lincah, tidak
ada orang yang mencurigai Joko Waras. Di mana-mana dia diterima dengan baik sebagai seorang perjaka yang ramah dan juga pandai membawa diri. Jika malam tiba dia bermalam di rumah penduduk yang hanya hidup berdua dengan isterinya sehingga dia mendapat tempat tidur tersendiri. Kalau siang Joko Waras melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Blambangan dan di sepanjang perjalanan dia mencari keterangan tentang keadaan kadipaten Blambangan.

Dalam perjalanannya ini, Joko Waras melihat bahwa di dusun-dusun yang dilewatinya, banyak dibangun candi-candi kecil yang baru, di mana hanya terdapat arca Shiwa-Durgo-Kala. Kalau teringat akan perbuatan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, rasanya ingin ia menghancurkan candi-candi itu. Akan tetapi ia teringat akan pesan kakaknya bahwa ia tidak boleh mencari keributan. Pula, apa salahnya candi-candi itu? Itu hanya tempat pemujaan, dan orang boleh memuja dewa mana saja asalkan dalam pemujaan itu tidak mengganggu orang lain.

Iapun beberapa kali melihat serombongan perajurit Blambangan menghadang dan memeriksa orang-orang yang berlalu lalang, menanyai mereka, ada pula yang menggeledah kalau-kalau mereka menyimpan senjata. Ia sendiri yang bersikap wajar seperti seorang pemuda dusun yang masih muda, lolos dari kecurigaan. Pernah pula dia ditanyai mereka seperti seorang pesakitan,

"Siapa namamu?”

"Namaku Joko Waras. Ketika masih bayi sakit-sakitan maka lalu namaku diubah menjadi Joko Waras dan sejak itu aku waras terus, tidak pernah sakit," katanya dengan suara lemah akan tetapi nadanya kasar seperti biasa sikap dan kata-kata seorang dusun yang tidak terpelajar.

"Apa pekerjaanmu?”

"Penggembala kerbau atau sapi. Aku sudah berpengalaman sejak kecil menggembala kerbau atau sapi. Kalau andika membutuhkan penggembala yang baik, aku bersedia.....”

"Sudah, sana! Jangan banyak cerewet!" hardik seorang penanya dan Joko Waras bergegas pergi sambil menyeringai.

Akan tetapi pada suatu pagi ketika dia tiba di suatu dusun yang sudah masuk perbatasan Blambangan, dusun yang cukup ramai, dia melihat banyak sekali orang berkumpul dan mereka itu sedang diperiksa oleh serombongan perajurit Blambangan yang dipimpin seorang senopati yang bertubuh tinggi kurus dengan pandang mata yang tajam bersinar-sinar.

Di antara banyak orang yang dihentikan perjalanan mereka itu terdapat tiga orang wanita muda yang cantik manis. Melihat tiga orang wanita itu, senopati yang tinggi kurus segera berkata,

"Biarkan aku yang memeriksa mereka. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang yang kita cari.”

Senopati itu adalah Kurdolangit, senopati Blambangan berusia limapuluh tahun yang terkenal sakti, akan tetapi juga terkenal mata keranjang. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, akan tetapi sepasang matanya menunjukkan kecerdikan dan kepandaiannya. Senopati Kurdolangit lalu duduk di atas bangku dan menggapai tiga orang gadis itu. Setelah menanyakan nama mereka, tempat tinggal mereka, dia lalu menggeledah tubuh tiga orang gadis itu, menggerayangi dengan jari-jari tangannya secara kasar dan kurang ajar sekali. Tentu saja tiga orang gadis dusun itu merintih dan menjerit kecil ketika diperlakukan seperti itu.

Tiga orang laki-laki setengah tua, ayah dari para gadis itu, melangkah maju mendekat dan mohon kepada Senopati Kurdolangit untuk melepaskan tiga orang puteri mereka. Mendengar permohonan ini, Kurdolangit menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan tiga kali tubuhnya bergerak, tiga orang laki-laki itu telah ditamparnya dan mereka terpelanting dan terbanting keras. Pipi mereka menjadi bengkak oleh tamparan tadi.

“Jangan mencampuri urusanku, atau kalian akan kuhukum mati! Aku sedang menjalankan tugas dan siapapun yang kucurigai akan kugeledah. Tak seorangpun boleh mencegahnya!" Dan kembali tangannya dengan nakal menggerayangi tubuh tiga orang gadis itu yang menggeliat-geliat sambil merintih.

Tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari rombongan orang dusun itu. Joko Waras melihat laki-laki itu masih muda, berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, pakaiannya sederhana akan tetapi wajahnya tampan dan terutama sekali matanya demikian terang dan mengandung wibawa. Pemuda tampan itu bukan lain adalah Jayawijaya, pemuda dari pegunungan Tengger itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini telah berpisah dari Endang Patibroto setelah dia ditolong oleh wanita sakti itu.

Pada pagi hari itu, perjalanannya sampai di tempat itu. Diapun mendengar bahwa di banyak tempat diadakan pencegatan dan pemeriksaan oleh pasukan Blambangan dan kadang pemeriksaan itu dilakukan dengan sewenang-wenang. Kini Jayawijaya melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan yang kurang ajar dari Kurdolangit terhadap tiga orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan segera menghampiri senopati Kurdolangit yang tinggi kurus bermuka seperti tengkorak itu.

"Begitukah cara memeriksa wanita? Sungguh tidak sopan dan kurang ajar sekali, tidak patut dilakukan seorang senopati, pantasnya dilakukan seorang anggauta perampok jahat!” Jayawijaya berkata demikian sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka senopati itu.

Kurdolangit terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia dimaki seorang pemuda di depan umum! Dia menghentikan pemeriksaannya, mendorong tiga orang gadis itu ke luar dari tempat pemeriksaan, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada Jayawijaya dengan mata melotot.

"Kau bilang apa?”

Agaknya Jayawijaya tidak tahu bahwa senopati itu marah sekali. Dia berkata dengan tegas.
"Aku bilang bahwa engkau melakukan pemeriksaan terhadap wanita secara kurang ajar dan tidak sopan sama sekali. Tidak tahu malu!”

"Jahanam, apakah engkau bosan hidup?" bentak Kurdolangit dengan muka berubah kemerahan seperti udang direbus.

Joko Waras melihat betapa senopati itu marah sekali dan dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pemuda tampan itu kelihatan pemberani bukan main dan tentu pemuda itu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan maka dia berani menegur seorang senopati seperti itu. Kurdolangit yang sudah tidak dapat menahan rasa malunya dimaki orang di depan umum, sudah menerjang maju dan kedua tangannya yang kurus panjang itu menyambar ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda ini agaknya tidak tahu bahwa dia diserang, dia berdiri tenang-tenang saja dan memandang senopati itu dengan matanya yang mencorong penuh wibawa dan kelembutan.

Kedua tangan itu menyambar ke arah kepala dengan tenaga yang dahsyat. Akan tetapi, tiba-tiba kedua tangan itu seperti bertemu dengan tenaga yang tidak tampak dan tubuh Kurdolangit terpelanting roboh!

Joko Waras terbelalak! Pemuda itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Kalau tadinya dia sudah bersiap untuk membantu agar pemuda yang pemberani itu tidak sampai celaka, kini diapun hanya menonton saja dengan terheran-heran. Pemuda itu seolah tidak pernah merobohkan orang dan berdiri dengan sikap masih tenang saja.

Kurdolangit yang merasa betapa pukulan kedua tangannya tadi seperti bertemu dengan tenaga dahsyat yang membuatnya terpelanting, menjadi semakin malu dan marah. Dia melompat bangkit kembali dan sudah mencabut sebatang kerisnya yang panjang dan dahsyat.

"Bocah kurang ajar! Engkau minta mati!" bentak Kurdolangit dan kini dia menggerakkan kerisnya dengan tangan kanan, menusuk ke arah dada Jayawijaya dengan keris yang besar panjang itu.

Joko Waras kini memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diserang itu. Dia melihat betapa pemuda itu tidak membuat gerakan menangkis atau menghindar, melainkan mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang hendak menyembah dan terjadilah keanehan yang kedua kalinya. Keris seperti bertemu dengan tangkisan kuat sekali dan membalik, melukai lengan kanan Kurdolangit sendiri, Senopati ini terhuyung mundur dan memegangi lengannya yang berdarah. Kurdolangit masih penasaran walaupun lengan kanannya sudah mengucurkan darah terkena kerisnya sendiri. Dia bangkit lagi dan menubruk dengan kerisnya, kini serangannya dilakukan dengan tenaga sepenuhnya sambil menggereng seperti seekor harimau terluka!

Joko Waras mengamati lagi dengan penuh kewaspadaan. ia melihat pemuda itu hanya membuat gerakan seperti mendorong ke depan dan tubuh senopati itu terpelanting seperti layang-layang putus talinya, terbanting jatuh dan bergulingan sampai jauh !

Kini tanpa malu-malu Ki Kurdolangit lalu memberi aba-aba kepada anak-buahnya yang belasan orang banyaknya untuk melakukan pengeroyokan kepada Jayawijaya. Melihat ini, Joko Waras menjadi marah dan dia-pun melompat dan tubuhnya berkelebatan ke sana ke mari, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga belasan orang anak buah Ki Kurdolangit itu jatuh bangun dan akhirnya tidak ada yang berani melawan lagi. Joko Waras yang merasa kagum dan heran kepada Jayawijaya segera memegang tangan pemuda itu dan menariknya, berkata,

"hayo kita cepat lari dari sini!"

Jayawijaya tadi melihat betapa pemuda dusun berpakaian sederhana, bertubuh ramping kecil namun tampan sekali itu mengamuk dan merobohkan para perajurit. Dia membiarkan dirinya ditarik dan ikut lari bersama Joko Waras. Joko Waras ingin menguji ilmu kepandaian Jayawijaya dan berlari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga kedua telapak kakinya seolah tidak menyentuh bumi. Akan tetapi, Jayawijaya tertinggal jauh dan ketika tangannya digandeng pemuda itu terseret-seret! Joko Waras menjadi semakin heran. Pemuda ini tidak mahir ilmu meringankan tubuh dan tidak memiliki aji berlari kencang. Dia lalu berlari biasa lagi sehingga Jayawijaya dapat mengimbanginya. Setelah melalui beberapa dusun, dengan terengah-engah Jayawijaya bertanya,

"Ki sanak, kenapa kita berlari terus? Sampai kapankah kita harus berlari seperti ini?”

Joko Waras tersenyum dan berhenti berlari. Mereka, tiba di luar sebuah dusun dan saat itu sudah menjelang senja,

"Kita harus melarikan diri dari pasukan tadi, ki sanak," katanya.

"Kenapa harus lari? Kita tidak bersalah," bantah Jayawijaya.

"Hemm, mungkin kita menganggap diri kita tidak bersalah. akan tetapi senopati itu dan anak buahnya tidak akan menganggap demikian. Kita tentu dianggap melawan dan memberontak.”

Mereka berjalan memasuki dusun itu. Di tepi dusun itu terdapat sebuah warung nasi yang ramai dikunjungi orang. Belasan orang pengunjung itu semua laki-laki dan kebanyakan masih muda. Dari cara mereka bercakap-cakap sambil tertawa menunjukkan bahwa mereka sedang bergembira. Joko Waras mengajak temannya untuk duduk di bangku paling ujung. Sekarang mengertilah Joko Waras mengapa para pengunjung itu semua laki-laki muda dan suasananya Nampak gembira. Kiranya penjaga warung nasi yang melayani mereka itu adalah seorang perawan dusun yang cantik manis. Biarpun dandanannya sederhana sekali namun gadis itu memang manis sekali dan memiliki daya tarik yang amat kuat.

"Ki sanak, siapakah nama andika?" tanya Joko Waras berbisik.

Jayawijaya menengok dan memandang Joko Waras sambil tersenyum. Mereka telah lari bersama dan tiba di tempat itu, memasuki warung itu bersama namun belum saling mengenal nama!

"Namaku Jayawijaya, dan siapa nama andika?”

"Aku Joko Waras dari dusun Selogiri di Gunung Kidul. Dan andika?”

"Aku dari Gunung Tengger.”

Pada saat kedua orang muda itu saling bercakap dengan berbisik, kini pelayan warung yang manis itu menunjukkan perhatiannya kepada mereka. Melihat dua orang muda yang demikian tampan, Saritem, demikian nama pemilik atau pelayan warung nasi itu, merasa kagum dan senang. Sikap kedua orang muda yang bicara dengan bisik-bisik dan sopan itu saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah dua orang muda dusun sembarangan.

"Ki sanak, andika berdua ingin makan dan minum apakah?" tanya Saritem kepada mereka sambil memandang wajah Joko Waras dengan penuh perhatian. Ketampanan pemuda ini sungguh menggerakkan hatinya.

"Oh, aku minta sepiring nasi sayur lodeh dan minum teh manis," kata Jayawijaya.

"Aku juga sama dengan permintaan kakang Jaya," kata Joko Waras sambil memandang kepada pelayan itu yang tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan indah.

"Kakang, yang jualan nasi ayu, ya?" kata Joko Waras.

Saritem tersipu dan kedua pipinya berubah kemerahan, lalu ia menyibukkan diri melayani mereka seolah tidak mendengar pujian itu. Padahal, jantungnya berdebar keras dan ia sendiri merasa heran. Sudah setiap hari ia mendengar pujian yang keluar dari mulut pria, akan tetapi mengapa pujian perjaka tampan ganteng ini membuatnya tersipu malu ?

"Hushh, adi Waras, jangan keras-keras memuji orang. Lihat, ia tersipu malu," tegur Jayawijaya lirih.

Retno Wilis memang seorang gadis yang lincah dan nakal. Sebagai Joko Waras, dia sengaja mengerlingkan matanya dan melirik tajam kepada Saritem, disertai senyum manis menawan dan ketika Saritem menjulurkan tangan menyerahkan piring nasi lodeh, dengan sengaja Joko Waras menerima piring itu dan menyentuhkan tangannya kepada tangan yang lunak lembut dan hangat itu. Saritem tidak marah, malah tersenyum dan tersipu menarik tangannya dengan lembut. Joko Waras tersenyum lebar dan ia melihat betapa Jayawijaya yang melihat perbuatannya itu mengerutkan alisnya. Seorang pemuda yang alim, pikirnya. Akan tetapi ia merasa seperti menghadapi teka-teki besar terhadap Jayawijaya. Sudah terbukti betapa pemuda itu dapat menghindarkan semua serangan yang berbahaya dari senopati yang mata keranjang itu. Akan tetapi ketika diajaknya berlari, pemuda itu sama sekali tidak mampu berlari kencang. Dan juga ketika menarik tangan pemuda itu, tenaganya biasa-biasa saja seperti tenaga orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Pemuda macam apakah ini, yang tampaknya tidak memiliki ilmu kepandaian akan tetapi yang berani menentang kejahatan yang dilalakukan belasan orang pasukan pemerintah yang dipimpin oleh seorang senopati yang digdaya? Dan sekarang, dalam menghadapi Saritem, Jayawijaya memperlihatkan sikap seorang pemuda yang alim dan tidak suka menggoda wanita cantik!

Selagi mereka berdua makan nasi sayur lodeh yang hangat dan gurih itu, perhatian Joko Waras tidak pernah terlepas dari keadaan sekelilingnya. Belasan orang laki-laki muda berada di warung itu, duduk berserakan di bangku-bangku di dalam dan luar warung. Sebagian besar telah selesai makan dan kini bercakap-cakap gembira sambil kadang mengerling ke arah Saritem. Tapi ada seorang pemuda yang tidak sedang makan dan yang duduk di sebelah dalam warung itu amat memperhatikan mereka berdua. Joko Waras, memperhatikan pemuda ini.

Dia seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun. Tampangnya ganteng dan tubuhnya juga tegap kokoh seperti Raden Gatutkaca. Kumis tipisnya menambah kejantanannya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam dan berwibawa. Sejak Saritem melayani Joko Waras dan Jayawijaya, pemuda itu terus mengamati mereka berdua, terutama sekali Joko Waras. Hal yang membuat Joko Waras diam-diam merasa jengkel karena tidak enak sekali selagi makan ditonton orang seperti itu. Seolah-olah setiap dia mengunyah makanan, laki-laki itu mengikuti setiap gerak mulutnya. Tidak enak sekali!

Karena hatinya mendongkol, setelah nasi itu dimakan habis dan melihat pemuda itu masih saja memperhatikan dia dan Jayawijaya, Joko Waras memandang kepadanya kemudian mengedipkan sebelah matanya seperti memberi isarat dengan kedip-kedipan. Melihat mata Joko Waras berkedip-kedip kepadanya, pemuda gagah itu terbelalak lalu alisnya berkerut dan matanya menyinarkan kemarahan. Akan tetapi Joko Waras hanya tersenyum kepadanya.

"Semua berapa, nimas ayu ?" tanya Joko Waras dan sengaja meninggikan suaranya sehingga terdengar semua orang.

Saritem yang disebut nimas ayu itu tersenyum semringah.
"Tidak ditambah tehnya, kakangmas?" tanya Saritem dengan suaranya yang merdu ditambah kerling tajam dan senyum memikat.

"Bagiku sudah cukup, nimas. Ah tehmu manis sekali, semanis penjualnya. Akan tetapi entah kalau kakang Jaya ingin minta tambah air tehnya.”

"Aku juga sudah cukup," kata Jayawijaya yang segera bangkit dan mengambil uang receh dari saku bajunya dan membayar harga makanan dan minuman.

"Aih, kakangmas bisa saja memuji orang. Air teh buatan dusun begini mana bisa lezat dan manis," kata Saritem agak genit sambil tersenyum.

"Sungguh mati, nasi lodehnya hangat pulen dan gurih, air tehnya hangat sedap dan manis. Andika bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga amat pandai memasak. Beruntunglah kelak orang yang menjadi suamimu, nimas ayu!" Joko Waras kembali memuji, kini agak berlebihan karena dia melihat betapa pemuda tadi memandangnya dengan mata mengandung kemarahan dan bahkan kini telah bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Ucapan Joko Waras itupun terdengar oleh para pemuda lainnya dan empat orang pemuda yang duduk di luar warung tertawa-tawa mendengar ini.
"Wah, Saritem tentu berkembang cuping hidungnya mendengar pujian setinggi langit itu!”

"Ha-ha, ia memang pantas mendapat pujian!”

"Siapa yang tidak akan memujinya? Ia cantik, manis dan dagangannya juga serba enak dan murah!”

"Aku sendiri kalau sehari saja tidak jajan di sini rasanya kangen sekali!”

Pemuda yang seperti Raden Gatutkaca itu melompat dari tempat duduknya dan sudah tiba di luar warung. Sekali dia menggerakkan kakinya, meja yang dihadapi empat orang itu terbang terlempar jauh.

"Babo-babo! Siapa berani main-main dengan Saritem? Apakah kalian berempat hendak menantangku? Majulah kalian berempat, keroyoklah aku, aku tidak takut menghadapi kalian untuk mempertahankan kehormatan Saritem kekasihku!”

Empat orang pemuda itu tampak ketakutan dan seorang diantara mereka berkata,
"Saptoko, kenapa engkau marah-marah? Bukankah kita semua adalah kawan-kawan sedusun? Kalau kami memuji-muji Saritem, hal itu bukan karena kami ingin kurang ajar, melainkan memuji dengan wajar. Siapa orangnya tidak memuji kecantikan Saritem?”

"Aku melarang kalian sembarangan memuji Saritem seperti hendak mempermainkannya. Kalian semua harus menghormatinya atau kalian boleh berantem melawan aku!" kata pemuda yang bernama Saptoko itu dengan bertolak pinggang, akan tetapi matanya kini menatap ke arah Joko Waras.

Seorang pemuda tinggi besar, seorang di antara empat orang pemuda tadi melangkah maju menghampiri Saptoko,
"Saptoko, jangan bersikap seperti itu. Saritem membuka warung nasi dan kami semua adalah langganannya yang baik, suka memuji-mujinya akan tetapi tidak ada yang pernah berkurang ajar kepadanya. Kenapa engkau marah-marah? Kalau tidak ingin Saritem dipuji orang, jangan perbolehkan ia membuka warung dan biarkan ia bersembunyi terus di dalam rumahnya.”

Saptoko maju dan sekali mendorong dengan tangan kanannya, pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat itu terdorong mundur sampai terjengkang.
"Pendeknya, aku melarang siapa saja yang berani main-main dengan Saritem, termasuk pemuda yang asing dan berdiri di sana itu!" katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Joko Waras.

Joko Waras terbelalak dan mengerutkan alisnya. Dengan lincahnya dia melompat dan menghampiri Saptoko.
"Eh, ki sanak. Kenapa engkau menuding-nuding aku? Apa salahku kepadamu, heh?"

Saptoko marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah Joko Waras.
"Andika tadi berani memuji-muji dan menyebut Saritem nimas ayu, berarti engkau menantangku!" Saptoko membuka kancing bajunya dan memperlihatkan dadanya yang kokoh dan bidang.

"Eh-eh, apa-apaan ini? Aku menyebut nimas ayu Saritem, sedangkan orangnya merasa senang dan tidak marah, kenapa engkau mencak-mencak seperti orang kebakaran kumis? Aku datang dan membeli makanan minuman, beramah-tamah dengan penjualnya, dengan sopan dan tidak melanggar kesusilaan, apa perdulimu?”

"Apa perduliku? Saritem adalah kekasihku, calon isteriku!" bentak Saptoko.

"Kalau engkau tidak ingin ia bicara dengan orang lain, kenapa memperbolehkan berjualan nasi? Suruh ia bersembunyi dikamarnya seperti kata saudara tadi."

"Kakang Saptoko, jangan begitu, kakang!" Saritem kini keluar dari warungnya dan berdiri di depan Saptoko dengan alis berkerut dan mulut cemberut. "Engkau ini ada apakah, tiada hujan tiada angin mengamuk seperti orang tidak waras?"

Orang tinggi besar yang tadi didorong jatuh, karena merasa tidak senang lalu berkata,
"Kalau saja Ki Blekok yang datang mengganggu, tentu dia tidak berani apa-apa.”

Saptoko menjadi semakin marah mendengar ini.
"Aku memang kalah oleh Ki Blekok, akan tetapi terhadap pemuda cilik ini, siapa takut? Kalau dia berani banyak cakap, akan kurobek mulutnya!" Marah benar Saptoko ini sehingga mengeluarkan ancaman yang demikian mengerikan.

Joko Waras juga menjadi marah. Siapa tidak akan marah mendengar mulutnya akan dirobek orang? Dia melompat lagi dan tiba di hadapan Saptoko.

”Apa kau bilang? Engkau mau merobek mulutku? Aku berani bertaruh bahwa sebelum engkau mampu menyentuh mulutmu yang akan lebih dulu robek!”

Saptoko menjadi semakin marah. Dia mengepal kedua tangannya dan bersikap hendak menyerang. Akan tetapi Saritem menghalanginya dan memegangi tangannya.

"Kakang Saptoko, jangan berkelahi. Aku akan bersedih kalau engkau seperti ini dan berkelahi dengan orang lain. Kakangmas ini sama sekali tidak bersalah, jangan pukul dia!"

Jayawijaya yang melihat Saptoko hendak menyerang Joko Waras, juga maju menghalangi.
"Ki sanak, bersabarlah. Adi Joko Waras ini tidak mempunyai niat buruk. Tenangkanlah hatimu.”

Akan tetapi Saptoko mengira bahwa Jayawijaya hendak mengeroyok, maka dia memegang tangan Jayawijaya dan menariknya dengan sentakan. Tubuh Jayawijaya terhuyung dan dia tentu akan tersungkur jatuh kalau Joko Waras tidak cepat memegang tangannya dan menahannya.

"Kakang Saptoko, aku akan marah kepadamu!" teriak Saritem.

"Aih, Saritem, setidaknya berilah kesempatan kepadaku untuk melindungimu dari godaan pria lain!”

Joko Waras sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Boleh jadi Saptoko bukan orang jahat, melainkan hanya seorang kekasih yang pencemburu, akan tetapi laki-laki kasar seperti itu pantas dihajar.

"Saptoko, masihkah engkau ada keberanian untuk bertanding dengan aku? Tanpa keroyokan?”

"Aku seorang laki-laki! Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan.”

"Kakang Saptoko …!"

“Saritem, berilah aku kesempatan untuk menandingi pemuda ini," pinta Saptoko kepada Saritem dengan suara minta dikasihani. Terhadap gadis itu suara pemuda gagah ini begitu lembut dan merayu.

Saritem kini menghadapi Joko Waras.
"Kakangmas, harap jangan layani Kakang Saptoko. Dia memang keras hati, akan tetapi hatinya baik sekali. Engkau akan kalah kalau melawan dia. Dia seorang kuat dan digdaya, kakangmas.”

Joko Waras tersenyum.
"Saritem, jangan khawatir. Aku tidak akan merobek mulut pemuda kasar ini, hanya akan membuktikan kepadanya bahwa di dunia ini masih terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada dia. Hayolah, Saptoko. Majulah dan lawanlah aku!" Joko Waras menantang.

"Baik, sambut seranganku ini!”

Saptoko lalu menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulannya itu dilakukan dengan mantap dan cepat menurut ilmu pencak silat yang baik. Namun, gerakan itu masih terlampau lamban bagi Joko Waras dan dengan gerakan indahnya dia menangkis sambil memutar tubuh dan tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 033 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment