Ads

Wednesday, February 6, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 026

<<== Kembali <<==

"Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan kami lagi! Tidak patut menjadi Adipati Selopenangkep. Lihat saja, sebentar lagi engkau tentu akan dlhentikan menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar! Siapa yang tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto yang telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu? Dan engkau malah menjadi suaminya! Hahaha, tak perlu kau membohongi rakyatmu. Hai, kawan-kawan, mari kepung dan tangkap si laknat ini. Isteriku telah dibunuhnyal"

"Bohong ............ !!" Tejolaksono hanya mampu mengeluarkan ucapan ini karena ia terlalu terheran-heran. Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas perajurit Panjalu kawakan yang setia. Benar-benarkah itu Ki Sentana? Orangnya memang itu, juga suaranya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat jauh berbeda. Apakah karena pengaruh Sariwuni? Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang menerobos masuk dan tak lama kemudian mereka keluar sambil berteriak-teriak,

"Benar, dia pembunuh jahat! Nyi Sentana telah dibunuhnya Hayo tangkap! Kepung!"

Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu, percuma saja berdebat dengan kata-kata. Paling perlu menawan Ki Sentana untuk mengorek rahasia para penjahat itu dan juga menawan atau membunuh Sariwuni yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini.

Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun bagaikan seekor burung garuda melayang. Para penduduk dusun Sumber ternganga dan kesima menyaksikan ini. Baru sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor burung saja! Mereka menjadi gentar dan lupa untuk menyerang! Akan tetapi ada beberapa orang yang menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana.

Dua orang itu bersenjata pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima orang penduduk lain, mereka menyambut turunnya tubuh Tejolaksono. Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima orang penduduk itu terpental mundur dan tombak mereka terlepas dari pegangan kena gempuran hawa sakti yang keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh dorongannya dan terus menerjang dengan babatan pedang mereka yang mengeluarkan angin saking kuat dan cepatnya.

"Hemm ............ !" Ia mendengus dan tubuhnya cepat menyelinap ke kanan, kemudian begitu dua batang pedang itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya doyong pula ke depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak, tahu-tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini tidak aneh karena sang adipati yang perkasa telah menggunakan aji pukulan Kukilo Sakti sehingga gerakan kedua tangannya seperti dua buah kepala burung yang mematuk amat cepatnya!

"Singgg ............ siuuuuttt............ !!”

Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya sehingga pukulan Kukilo Sakti itu hanyalah mengenai dada kedua orang lawan dengan seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya menyambar sebatang pedang yang hebat gerakannya dan tusukan sebatang tombak. Namun ia tahu bahwa pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang sakti. Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi besar itu hanya terhuyung mundur empat langkah saja dan terus maju lagi! Ah, kiranya di sini banyak orang sakti, pikirnya. Tentu dua orang ini merupakan kawan-kawan Sariwuni!

Betapapun juga, ia terpaksa membalikkan tubuh menghadapi serangan dari belakang tadi. Pedang yang menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Tombak di tangan Ki Sentana yang menyambar ia biarkan lewat di dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah mengempit tubuh Ki Sentana yang tua Itu sehingga tak dapat berkutik lagi!

Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana, Tejolaksono membalikkan tubuh, tangan kanannya siap untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan tetapi ternyata wanita itu telah Ienyap. Demikian pula dua orang laki-laki tinggi besar tadi, dan kini para penduduk Sumber mengeroyoknya seperti rombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.

"Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!" bentak Tejolaksono dengan gemas, akan tetapi tentu saja ia tidak mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka sekali mengenjot kedua kakinya dengan Aji Bayu Sakti ia meloncat tinggi melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.

Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni menyerangnya dengan pedang yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu, tubuh Tejolaksono maslh meloncat, maka cepat-cepat ia menggunakan tangannya yang kanan menyampok dengan jari-jari tangannya yang tepat mengenai pergeIangan tangan wanita itu. Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke mana dan pergelangan tangannya menjadi lumpuh. Tak kuat ia menahan benturan jari tangan Tejolaksono yang mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang terhuyung ke belakang, juga Ki Sentana memekik.

Kagetlah Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki Sentana terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis Itu tadi menyerangnya dengan pedang dan berbareng menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan kiri! Karena ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apalagi melihat betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia tidak mau melayani lagi. Musuhnya hanyalah Sarlwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan kini wanita itupun sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga melompat terus berlari menghilang dl dalam kegelapan malam sambil mengempit tubuh Ki Sentana.

Setelah larl jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia melihat betapa muka Ki Sentana kini telah berubah hitam yang menjalar sampai ke leher dan kulit muka dan leher itu telah mulal rusak dan membusuk!

Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis betina itu. Inilah agaknya ilmu hitam yang disebut aji pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun). Hawa beracun disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar sampai ke dalam jalan darah seperti gigitan ular yang paling berbisa! .

Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi. Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan penjahat yang amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang sudah tua ini dipikat dengan kecantikan Sariwuni dan ia tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai jatuh hatinya. Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian, melihat keadaan yang tidak wajar, tentu Ki Sentana ini jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam sehingga keadaannya seperti orang yang kehilangan kesadaran atau pikiran. Dua orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas dan kini dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak menghendaki ia membuka rahasia, ditewaskan pula. Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu dilakukan dengan amat halus dan cerdiknya sehingga rakyat bahkan membela mereka!

Benar-benar amat luar biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan ke daerah Panjalu. Bukan dengan kekerasan merampoki dusun-dusun seperti yang dilakuka gerombolan Gagak Serayu, melainkan dengan halus, yaitu mempengaruhi, menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di setiap dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang tidak tunduk diculik dan lenyap, diganti orang-orang yang mau bersekutu, kemudian melalui tokoh-tokoh yang menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan dibelokkan kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh agama baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga, tentulah perbuatan kaki tangan Kerajaan Cola dan Sriwijaya!

Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan pendeta-pendeta Agama Buddha dan Shiwa dahulu itu dan cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati! Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak dengan perang, akan tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang. Dan mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup menahan pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik. Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang datangnya dari barat dan utara, yang datang bagaikan air banjir seperti yang ia lihat dalam samadhinya malam itu di Kadipaten Selopenangkep.

Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak kaget. Musuh amat banyak, juga amat pandai dan sakti. Perjalanannya meninggalkan kadipaten sudah diketahui musuh. Buktinya Sariwuni dapat tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya. Bagaimana kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada? Seperti yang dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu? Tejolaksono cepat menggali lubang dan mengubur jenazah Ki Sentana. Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.

Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak sunyi, akan tetapi hatinya lega dan kagum menyaksikan penjagaan yang rapi dan kuat. Benar-benar bibi Roro Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu bahwa bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini. Heran, apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar sehingga Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam keadaan perang. Ataukah Mundingyudo sudah kembali dari penyelidikannya?

Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep dan kembali la girang dan kagum sekali ketika ia baru saja meloncati tembok pintu gerbang dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak menghadangnya, dilkuti bentakan keras,

"Berhentil"

Akan tetapi para perajurit Itu terkejut dan girang mendapat kenyataan bahwa yang bayangannya berkelebat mencurigakan itu ternyata adalah sang adipati sendiri. Mereka lalu memberi hormat.

"Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada." Sang adipatl memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke gedung kadipaten.

Kalau para penjaga itu dapat melihat kedatangannya, berarti bahwa kadipaten tidak akan mudah kebobolan. Memang baris pendam penting sekali untuk menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi.

Biarpun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito, Ayu Candra, dan Pusporini menyambutnya dengan pakaian ringkas dan dalam keadaan siap siaga, senjata tidak terlepas dari tangan. Jelas nampak terbayang pada wajah tiga orang wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang dan lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.

Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan pengalamannya dan tiga orang wanita itu mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka maklum akan besarnya bahaya yang mengancam.

"Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan Mundingyudo," kata Roro Luhito. "Biarpun pasukan-pasukan asing Itu tidak melakukan penyerbuan, akan tetapi mereka amat banyak dan melakukan gerakan mengurung Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan sekuat-kuatnya."

"Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi," kata Tejolaksono yang segera menyuruh panggil Mundingyudo menghadap. Kepala pengawal Selopenangkep ini segera datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.

"Hamba melihat banyak sekall pasukan campuran yang datang dari barat dan utara," demikian antara lain laporan Mundingyudo. "Biarpun mereka itu tidak pernah menyerbu sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan. Bahkan menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula orang-orang bekas gerombolan Gagak Serayu, para penjahat dari Lembah Serayu, di antara pasukan. Pimpinan mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda (pendeta Buddha) dan yang dan barat adalah pendeta-pendeta Agama Shiwa. Pasukan-pasukan kita tidak menemui tentangan, akan tetapi mereka itu makin mendekati Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak mengurung. Hamba mohon keputusan paduka."

Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan Selopenangkep, yang lebih ia khawatirkan adalah keselamatan Kerajaan Panjalu.

"Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau berangkatlah ke Kerajaan Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu menghaturkan surat laporanku. Agar engkau tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa pasukan-pasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak meleset kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan Sriwijaya dan Kerajaan Cola yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biarpun mereka tidak melakukan gerakan menyerang, namun perlu mereka itu disapu dari wilayah Panjalu karena mereka telah melanggar perbatasan. Agar jangan sampai terlambat, sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan barisan dan melakukan pembersihan. Demikian isi laporanku, Kakang."

Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya kepada pembantunya itu, berangkatlah Mundingyudo malam itu juga menuju ke Panjalu. Kemudian Adipati Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti oleh isterinya.

**** 026 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 027 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment