Ads

Sunday, March 31, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 102

<<== Kembali <<==

Dengan sikap yang amat gagah, Retna Wilis berdiri di tempat yang menonjol tinggi. Di bagian bawah, memenuhi lereng sekitar puncak, berkumpullah ribuan orang perajurit Wilis yang sudah bergabung dengan sebagian rakyat dari daerah-daerah yang sudah ditaklukkan.

"Para perajuritku yang setia!" Suara dara itu melengking tinggi dan dapat terdengar sampai jauh sehingga perajurit yang berdiri paling belakang dapat mendengar dengan jelas. "Karena Ponorogo menentang kekuasaan kerajaan kita, kini tiba saatnya bagi kita untuk menggempur Ponorogo! Kita harus dapat membuktikan bahwa Kerajaan Wilis adalah kerajaan terbesar di seluruh jagat!"

Sorak-sorai gegap-gempita, menyambut ucapan Retna Wilis ini. Setelah semua persiapan dilakukan, berangkatlah barisan besar ini turun dari lereng Wilis, dipimpin oleh Retna Wilis yang didampingi oleh Patih Adiwijaya. Biarpun kehilangan pembantu-pembantu yang pandai, yaitu Ki Walangkoro yang tewas di tangan Endang Patibroto, juga Lembuwilis dan kedua orang adiknya yang tidak kembali ke Wilis ketika mengantar Endang Patibroto turun dari puncak, namun sedikit pun Retna Wilis tidak menjadi gentar.

Melihat sikap dara ini, Adiwijaya yang tadinya merasa ragu-ragu apakah mereka akan dapat menundukkan Ponorogo yang terkenal memiliki barisan kuat dan banyak orang sakti, menjadi besar hati dan yakin bahwa di bawah pimpinan seorang seperti Retna Wilis, mereka akan dapat mengalahkan Ponorogo.

Mula-mula Retna Wilis tidak mau menunggang kuda. Semenjak kecil ia belum pernah naik kuda dan ketika menjadi murid Nini Bumigarba di pantai Taut, yang biasa dijadikan binatang tunggangan hanyalah seekor kura-kura raksasa! Akan tetapi Adiwijaya menasehatinya,

"Paduka pada saat seperti ini merupakan panglima besar barisan Wilis. Bagaimanakah seorang panglima memimpin bala tentaranya dengan berjalan kaki. Hal ini akan merendahkan nama Paduka, Gusti." Karena nasehat ini, terpaksalah Retna Wilis menunggang seekor kuda putih dan biarpun ia tampak makin gagah mengagumkan, namun sesungguhnya ia merasa kurang leluasa harus menunggang kuda. Akan tetapi
setelah menunggang sehari lamanya, ia mulai terbiasa dan merasa lebih enak, sungguhpun ia akan seribu kali memilih jalan kaki dalam menghadapi lawan daripada di punggung seekor kuda.

Sementara itu, Kadipaten Ponorogo yang tentu saja tidak sudi tunduk terhadap perintah Retna Wilis yang amat hina, sudah pula melakukan persiapan untuk berperang. Barisan-barisan telah disiapkan, bala bantuan sudah datang, hanya bantuan dari Panjalu yang belum datang karena Ki Patih Tejolaksono menahan pengiriman bantuan pasukan ke Ponorogo, menanti kembalinya Endang Patibroto yang hendak mencegah puterinya melakukan penyerbuan-penyerbuan yang merupakan pemberontakan itu.

Di Ponorogo telah berkumpul orang-orang sakti untuk membantu perjuangan kadipaten ini menghadapi ancaman Kerajaan Wilis yang baru sekali itu mereka dengar. Akan tetapi para orang sakti ini tidak lagi berani memandang rendah dara remaja yang kabarnya menjadi ratu di Wilis ketika mereka mendengar sendiri dari mulut Panembahan Ki Ageng Kelud betapa saktinya dara itu di waktu masih kecil dahulu. Apalagi ketika mendengar bahwa dara itu adalah murid Nini Bumigarba, tengkuk mereka meremang dan tahulah mereka bahwa bukan hanya Ponorogo yang terancam, juga nyawa mereka sendiri. Akan tetapi, sebagai orang-orang berilmu yang membela kebenaran, mereka tidak merasa gentar dan siap menghadapi lawan.

Bentrokan pertama antara kedua pasukan Ponorogo dan Wilis terjadi di tapal batas. Ternyata oleh barisan Wilis bahwa ketenaran nama barisan Ponorogo memang tidak kosong belaka. Semenjak bentrokan pertama, pasukan-pasukan Ponorogo mengadakan perlawanan sengit dan mereka itu selain memiliki anak buah yang kuat-kuat dan pantang mundur, juga dipimpin oleh perwira-perwira yang berpengalaman dan pandai mengatur barisan.

Untung bagi bala tentara Wilis bahwa di pihak mereka ada Ki Patih Adiwijaya. Seperti telah diketahui, patih ini adalah seorang perajurit kawakan yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam perang. Pernah menjadi perwira Jenggala, menjadi panglima Blambangan, kemudian menjadi patih di Jenggala pula. Maka Patih Adiwijaya dapat mengimbangi siasat perang pihak lawan. Adapun untuk pertandingan perang campuh itu sendiri, semua perajurit Wilis menjadi besar hatinya menyaksikan sepak terjang ratu mereka, Retna Wilis.

Dara ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia mengajukan kudanya, pasti barisan lawan cerai-berai dan korban jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk!

HAL ini banyak sekali pengaruhnya, terhadap lawan dan anak buah sendiri. Fihak lawan menjadi gentar sekali dan fihak anak buah menjadi besar hati. Karena sepak terjang Retna Wilis yang selain mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah fihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis dan para pasukannya.

Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biarpun semangat tempur para perajurit masih tinggi, namun para perwira
yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan-pasukannya untuk mundur.

Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan baru, namun mereka maju terus sehingga tubuh semua perajurit berlumuran darah lawan. Mereka bergerak seperti kemasukan iblis, tertawa-tawa dan bersorak-sorak, apalagi karena sepak-terjang Retna Wilis makin buas dan ganas.

Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, sekali disambitkan dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasirsekti. Masih baik bagi para perajurit Ponorogo bahwa gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andaikata dia mengamuk tanpa menunggang kuda, tentu akan lebih mengerikan lagi akibatnya.

Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak pernah turun dari punggung kudanya. Makin dekat serbuan para perajurit Wilis ke kadipaten, makin kuatlah perlawanan perajurit-perajurit Ponorogo, bahkan kini orang-orang sakti di fihak barisan Ponorogo sudah mulai membantu pula. Begitu orang-orang sakti yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu, barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan merobohkan banyak korban.

Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah Sang Ratu Wilis sendiri.

Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan, membuka jalan berdarah merobohkan setiap lawan yang menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!

"Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya, Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari maut di tanganku!" kata Retna Wilis sambil menudingkan cambuk di tangan kirinya. Semenjak mengamuk tadi, Retna Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.

"Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis! Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi, sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!" Ki Warok Surobledug membentak.

"Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa kami turun tangan!" Panembahan Ki Ageng Kelud juga berkata sambil menudingkan tongkatnya.

Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek, membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik. Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!

Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling. Retna Wilis kaget dan marah. Kudanya telah menjadi korban anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dan tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh kudanya yang berkelojotan.

Pada saat itu, Patih Adiwijaya meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri, menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang dipimpin Ki Warok Surobledug menerjang dengan senjata mereka.

Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan tetapi ia merupakan perisai dan biarpun Retna Wilis yang melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti, tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak Adiwijaya!

"Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku? Engkau terluka sendiri .......”. Retna Wilis berkata penuh sesal. Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan apa-apa
baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu menolong diri sendiri.

Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung racun!

"Cepat mundurlah dan obati lukamu!" kemudian sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.

Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke depan, disambut oleh rombongan warok. Kini dara itu tidak lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar pedang Sapudenta!

"Sungguh kejam ........ !" Ki Ageng Kelud berseru dan menerjang maju dengan gerakannya yang seperti garuda melayang. Serangannya hebat sekali dan kali ini kakek itu menggerakkan sebatang tongkat akar cendana yang menyambar ke arah kepala Retna Wilis. Selain hantaman tongkat di tangan Ki Ageng Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang warok sakti lainnya.

Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis, mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan. Melihat datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya menyambut tongkat Ki Ageng Kelud. Tangan kirinya bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan ........ darah muncrat dari dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke punggung.

Biarpun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan leher Retna Wilis!

Dara perkasa ini berseru kagum, tidak memperdulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terus membelit kaki dan pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan Aji Wisalangking. Pukulannya cepat sekali, membuat kedua tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu dalam keadaan hangus bagian mukanya!

Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud yang ia tahu amat sakti, tidak memperdulikan hantaman empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti. Biarpun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang
dan menumbangkan pohon jati sebesar orang! Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor lalat yang hinggap di tubuh.

Melihat dara itu menusuk dada Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi marah dan penasaran. Kolor mereka yang tadi memukul tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu, kemudian mereka mengerahkan seluruh tenaga dan bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh dara itu terguling. Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!

Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah berakar di bumi! Empat orang warok itu mendengus-dengus mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!

Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang sudah tidak berkepala lagi itu. Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata berupa apapun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.

Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak, Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-pasukan musuh. Karena pihak Ponorogo melihat betapa para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke Panjalu.

Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan dia roboh pingsan.

Retna Wilis cepat memerintahkan beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka patihnya yang setia itu. Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.

"Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biarpun jatuh, Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh. Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya, memang hamba bodoh sekali ........ " katanya, hatinya merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di pundaknya, memberi obat dan membalutnya.

"Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan? Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun. Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi besar."

"Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima perang seperti Paduka"

Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran. Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan-perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga kehormatan-kehormatan wanita cantik.

Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat yang tinggal di sekitar Ponorogo.

**** 102 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 103 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment