Ads

Tuesday, December 25, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 033

◄◄◄◄ Kembali

Gerakan Roro Luhito selain cepat juga aneh dan bertubi-tubi. Kadang-kadang kelihatan seperti gesitnya seekor Kera, kadang-kadang seperti menyambarnya seekor burung elang, atau seperti ganasnya harimau menerkam. Memang Ilmu Silat Sosro Satwo ini, sesuai dengan namanya yang berarti Seribu Binatang, mengambil inti sari daripada gerakan bermacam-macam binatang hutan.

Repot juga Pujo menghadapi ilmu silat yang aneh itu. Untung ia menang kuat dan tubuhnya kebal, kalau tidak, ia bisa kalah oleh lawannya. Belum pernah ia berhasil menangkis, malah sudah tiga kali ia kena tendangan dan pukulan yang cukup membuat matanya berkunang, akan tetapi tidak cukup kuat untuk membuatnya roboh. Kembali karena bingung menghadapi serangan Roro Luhito yang gayanya berputaran seperti lagak seekor ayam jago, lambung kirinya kena di "jalu", yaitu ditendang dengan gaya seperti seekor ayam jago meneladung (menendang).

"Ngekkk!"

Terasa juga kali ini. Lambungnya kena digajul keras sekali. Sejenak Pujo terengah, akan tetapi gerakan Roro Luhito yang menendang sambil meloncat itu membuat rambutnya yang panjang terurai ke depan. Pujo tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tangan kirinya meraih dan rambut panjang itu dapat dijambaknya dan ditarik sehingga tubuh Roro Luhito terhuyung .

"Athooooouu!" Ia menjerit-jerit kesakitan. "Lepaskan! Curang kau !" .

Akan tetapi Pujo yang masih mulas perutnya karena lambungnya digajul tadi, sudah menampar dengan tangannya, ke arah tengkuk.

"Plakkk!"

Tidak keras tamparan itu, namun karena jari tangannya masih mengandung hawa sakti Aji Pethit Nogo, cukup membuat tubuh Roro Luhito terpelanting dan tak dapat bangun kembali. Wanita itu merintih-rintih dan memegangi tengkuknya yang rasanya seperti patah-patah!

"Heh si keparat Pujo! Kau tidak menerimanya dengan baik-baik malah berani merobohkannya? Aku tidak terima!"

Terdengar suara keras, sesosok bayangan melesat dan menyambar ke arah kepala Pujo dari atas. Pujo terkejut sekali, cepat ia menggerakkan kaki, tubuh ditekuk ke bawah sehingga kakinya lurus dengan tanah. Cepat sekali gerakannya mengelak ini, karena ia tahu akan kehebatan serangan dari atas maka ia menggunakan jurus kelit Kemul Bantolo (Berselimut Tanah). Akan tetapi sungguh tak disangkanya dan amat mengejutkan hatinya karena sungguhpun serangan pertama itu dapat ia elakkan, akan tetapi secara aneh sekali kaki penyerang itu dapat menyeleweng dan mendupak (menendang) pundaknya dengan kecepatan yang tak mungkin ia elakkan lagi! Selain terkejut, juga Pujo merasa nyeri pundaknya.

Tendangan itu tidak mengenai secara tepat, namun cukup membikin nyeri, tanda bahwa ini telah menggunakan tenaga hebat yang keluar dari hawa sakti! . Pujo membanting diri ke kiri terus bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan susulan, kemudian ia melompat dan membalikkan tubuh dengar sigap dan siap dengan kuda-kuda yanj kuat. Baru sekarang ia dapat melihal lawannya. Kiranya lawannya adalah seorang kakek yang sudah putih semua rambutnya, akan tetapi kakek itu mukanya buruk sekali, dahinya nonong, matanya cekung, hidungnya pesek, dagunya menonjol ke depan. Muka seekor monyet! Dan sungguhpun kaki dan tangannya tidak berbulu seperti seekor monyet, akan tetapi karena kulitnya agak putih dan rambutnya sudah putih semua, kakek ini benar-benar mirip dengan seekor kera putih berpakaian! Kakek yang aneh ini dengar gerakan yang aneh sekali telah menghampiri Roro Luhito dan beberapa kali mengurut-urut tengkuk gadis itu dan seketika Roro Luhito dapat bangkit kembali.

"Bapa resi, dia menyangkal, malah menyerangku!" kata Roro Luhito dengan sikap dan suara manja. "Harap bapa resi suka membunuh dia untuk membalas sakit yang ia datangkan kepada diriku!"

"Jangan khawatir, muridku yang denok. Heh, Pujo, kau laki-laki pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! Kau telah memperkosa muridku, akan tetapi dia bersedia memaafkan perbuatanmu bahkan ingin bersuwita (menghamba) kepadamu, menerima sekalipun menjadi isterimu yang ke dua. Akan tetapi engkau tidak hanya menyangkal perbuatanmu yang rendah, malah telah merobohkannya. Aku Resi Telomoyo tidak suka bermusuhan dengan orang muda, akan tetapi sekali ini apa boleh buat, karena mertuamu Resi Bhargowo tidak ada, aku sendirilah vang akan memberi hajaran kepadamu!"

Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang gawat dan berbahaya, juga kalau saja Pujo tidak sedemikian terkejutnya mendengar ia didakwa memperkosa Roro Luhito, tentu Pujo takkan dapat menahan ketawanya menyaksikan sikap kakek itu yang sambil bicara panjang lebar tiada hentinya menggaruk-garuk kepala, punggung atau bebokongnya, persis tingkah laku seekor monyet! Akan tetapi ia terlampau kaget dan dengan muka merah ia berkata,

"Resi adalah gelar bagi seorang pertapa yang sidik paninggal (tajam pandangan) dan tidak hanya mendengarkan fitnah sepihak! Aku tidak pernah merasa melakukan perbuatan serendah itu, bagaimana aku dapat mempertanggung jawabkannya?"

"Jahanam keparat! Kalau kau tidak melakukan kekejian itu, apa perlunya aku mencarimu sampai sepuluh tahun? Apa perlunya aku minggat dari kadipaten? Kau memang manusia rendah, pengecut yang selain mendatangkan aib dengan keji juga telah menculik kakak ipar dan keponakanku!"

Saking marahnya Pujo sampai tak dapat menjawab dan saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo yang memang wataknya keras itu untuk menerjangnya lagi. Seperti juga Roro Luhito tadi, dalam penyerangannya ini kakek itu mengeluarkan suara geraman seperti seekor monyet jantan. Akan tetapi sepak terjangnya jauh berbeda dengan muridnya. Kakek ini jauh lebih ampuh gerakannya dan kedua tangan kakinya mendatangkan angin bersiutan tanda bahwa tenaga yang ia keluarkan mengandung hawa sakti yang dahsyat.

Pujo juga marah, menganggap kakek ini keterlaluan, menjatuhkan tangan besi tanpa pemeriksaan lebih dulu. Ia bergerak dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia bergerak sampai tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebatan, dan dengan pengerahan tenaga ia menerjang, kadang-kadang dengan Aji Gelap Musti, kadang-kadang dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh.

"Wah-wah, kau hebat, orang muda!"

Kakek itu sambil menghindar ke sana ke mari dengan sigapnya memuji. Dengan kecepatan dan gerakan aneh, kakek itu meloncat-loncat dan membingungkan Pujo. Tadi menghadapi Roro Luhito saja ia sudah bingung dan beberapa kali kena dipukul. Apalagi sekarang. Hanya bedanya, kalau tadi menghadapi Roro Luhito ia segan menurunkan pukulan maut, kini menghadapi kakek yang ia tahu amat sakti itu ia tidak segan-segan mengeluarkan semua ajiannya, bahkan mengerahkan tenaga mujijat yang ia latih selama ini melawan gelombang Laut Selatan.

"Luar biasa!" seru Resi Telomoyo sambil menggulingkan diri di atas pasir ketika jari-jari tangan Pujo menyambar dengan Aji Pethit Nogo sehingga mengeluarkan suara nyaring seperti cambuk menyambar. Sambil bergulingan kakek ini menggunakan tipu seperti yang dipergunakan Roro Luhito. Pasir berhamburan menyambar ke muka Pujo. Baiknya Pujo tadi sudah mengalami akibat tipu ini sehingga ia sudah waspada dan melihat bayangan pasir menyambar, ia sudah menutup mata dan mengelak. Namun pasir yang hanya merupakan butir-butiran kecil itu ketika mengenai kulit muka dan leher, terasa seperti jarum-jarum yang runcing menusuk-nusuk! Ia kaget sekali dan baiknya Pujo dapat menyalurkan hawa sakti ke bagian yang terserang sehingga kulitnya hanya lecet-lecet saja akan tetapi pasir tidak dapat menembus.

Dari ini saja sudah dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dalam kakek seperti monyet itu. Orang biasa saja terkena sambaran pasir ini tentu akan tewas karena pasir itu akan terus menembus kulit daging, bahkan mungkin dapat menembus tulang, tiada ubahnya seperti peluru-peluru baja!

"Wah-wah, tidak kecewa kau menjadi murid Resi Bhargowo!" Kembali kakek itu bicara sambil menerjang terus. "Sayang kau mata keranjang dan pengecut!"

Makin marahlah Pujo. Ia mencelat ke belakang agak jauh dan tahu-tahu ia sudah mencabut kerisnya, yaitu pusaka Banuwilis yang mengeluarkan cahaya hijau. Keris berlekuk sembilan ini mencorong dan hawanya seperti seekor ular hijau berbisa. Namun Resi Telomoyo tidak gentar, hanya tersenyum mengejek.

"Ha-ha! Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, sudah mengeluarkan pusaka! Ha-ha-ha!"

"Resi Telomoyo! Entah perbuatan kita yang mana dan kapan yang menghasilkan akibat saat ini. Aku tidak pernah memusuhi anda dan murid anda, akan tetapi andika agaknya menghendaki kematianku! Apa boleh buat, kalau memang hendak mengadu nyawa, silakan!"

Pujo memasang kuda-kuda dengan keris pusaka di tangannya, siap untuk membunuh atau dibunuh! .

"Ha-ha-ha! Mengakui dan menyesali perbuatan sendiri memang merupakan perkara yang paling sulit dilakukan di dunia ini! Betapapun buruk perbuatan sendiri, selalu dipandang dan dicari segi-segi kebaikannya. Aku tidak ingin membunuhmu, hanya ingin memaksamu mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap muridku. Hayo, kau boleh gunakan pusakamu, orang muda. Murid sama dengan anak, kalau guru tidak membela muridnya, orang tua tidak membela anaknya, habis apa gunanya menjadi guru atau orang tua? Kerahkan semua tenagamu, keluarkan semua aji kesaktianmu kalau kau mau mengenal Resi Telomoyo!"

Pujo makin mendongkol hatinya. Agaknya percuma saja bicara dengan dua orang itu. Menyangkalpun tidak akan ada gunanya karena tidak dipercaya Maka ia lalu berseru,

"Baik, hati-hatilah, sang resi. Awas pusakaku!"

Ia menubruk maju dan menerjang dengan hebat. Bukan main hebatnya serangan Pujo ini. Kerisnya menyambarnyambar, lenyap ujudnya berubah menjadi segulung sinar hijau. Sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga dalam mengimbangi terjangan kerisnya dengan pukulanpukulan jari Pethit Nogo! .

Baiknya Resi Telomoyo adalah seorang pertapa sakti yang sudah tinggi sekali tingkat ilmunya. Ia seorang pemuja dan penyembah tokoh pewayangan Hanuman (Anoman), kera putih yang terkenal sakti mandraguna di jaman Ramayana, kera putih yang menjadi senopati dan yang seorang diri berani menyerbu Kerajaan Alengka, mempermainkan raja denawa Prabu Dasamuka beserta semua perajuritnya. Resi Telomoyo memiliki aji yang membuat tubuhnya dapat bergerak laksana terbang, ringan seperti kapas, cepat seperti halilintar menyambar, dan hawa sakti di tubuhnya sudah mencapai tingkat yang amat tinggi karena ia gentur tapa (tekun bertapa), waspada dan sakti mandraguna. Hanya sayangnya, yang ia puja adalah seorang tokoh bertubuh monyet, dan agaknya karena memang ia lebih menyayang monyet daripada manusia, maka kekasaran, kenakalan, dan kelucuan seekor monyet menular kepada nya.

Ia suka main-main, kadang-kadang kasar dan nakal. Pandang matanya yang waspada sebetulnya menyadarkan perasaannya bahwa Pujo adalah seorang laki-laki yang baik dan agaknya tidak melakukan perbuatan hina terhadap muridnya. Akan tetapi ia juga merasa yakin bahwa muridnya tidak membohong kepadanya. Kalau disuruh memilih, percaya yang mana, tentu saja tanpa ragu-ragu lagi ia lebih percaya muridnya! Pula, melihat orang muda itu memiliki kesaktian tinggi juga, timbul keinginan hatinya untuk melawan dan mengalahkannya!.

Pertandingan berlangsung seru. Baru sekarang Roro Luhito melihat dengan mata sendiri betapa saktinya Pujo! Tahulah ia kini bahwa tadi Pujo sengaja banyak mengalah terhadapnya. Kalau tadi Pujo seperti sekarang ini sepak terjangnya, ia harus mengakui bahwa ia takkan kuat menghadapi Pujo lebih dari dua puluh jurus. Gurunya memang hebat. Akan tetapi agaknya mengalahkan Pujo yang memegang keris pusaka, bukan merupakan hal yang mudah. Diam-diam ia merasa kagum kepada Pujo dan mau tidak mau ia harus mengakui bahwa cinta kasih yang terpendam di hatinya bukan lenyap oleh kemarahannya, bahkan makin menjadi.

Ia menghela napas berulang-ulang saking pedih hatinya oleh penolakan dan penyangkalan Pujo. Bisikan-bisikan Pujo di dalam bilik dahulu! Pernyataan cintanya! Masih terngiang di telinganya bisikan pada peristiwa di malam hari itu, sepuluh tahun yang lalu. Masih terasa kehangatan lengan yang merangkulnya dan masih bergema bisikan halus,

"Luhito, aku Pujo, aku tahu, engkau suka kepadaku seperti aku mencintaimu ......... "

Dan sekarang Pujo menyangkal perbuatannya itu! Berpikir begini, panas lagi hatinya, panas dan kecewa, maka menangislah ia terisak-isak sambil mendeprok (terduduk) di atas pasir. Pandang mata Resi Telomoyo amat tajam. Biarpun ia sedang bertanding seru dengan Pujo, akan tetapi ia dapat melihat muridnya yang menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak dengan sedihnya. Melihat ini, kemarahannya meluap. Ia harus merobohkan pemuda ini dan memaksanya menerima muridnya sebagai isteri!

Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik yang disertai hawa sakti sedemikian hebatnya sehingga Pujo sendiri hampir tergetar tubuhnya, dan menggigil tangan yang memegang keris. Saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo untuk menendang pergelangan tangan yang memegang keris. Tendangan yang amat keras sehingga terlepaslah sambungan pergelangan tangan Pujo. Keris pusakanya terlempar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah terangkat dan terbanting di atas pasir. Matanya berkunang, kepalanya pening dan sejenak Pujo tidak mampu bangun.

"Kakangmas Pujo ......... !"

Jerit ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu seorang wanita cantik muncul di depan Resi Telomoyo. Dia ini bukan lain adalah Kartikosari. Melihat suaminya menggeletak tak berdaya dan kakek yang wajahnya buruk menyeramkan berdiri di situ sedangkan seorang wanita cantik menangis tak jauh dari situ, Kartikosari langsung menerjang Resi Telomoyo. Resi ini tadinya terkesima karena tidak mengenal siapa wanita yang luar biasa cantiknya ini sehingga ia memandang rendah. Pukulan dari Kartikosari adalah pukulan dengan Aji Gelap Musti, dilakukan cepat sekali karena selama waktu sepuluh tahun ini Kartikosari memperdalam ilmunya dan berhasil menciptakan gerakan yang diambil dari gerakan burung camar di tepi laut.

"Plak! Desssssss!!"

Resi Telomoyo yang tidak menyangka-nyangka wanita itu sedemikian hebatnya, kena ditampar lehernya dan ditonjok perutnya. Ia gelayaran (sempoyongan), jatuh terduduk dan melongo saking herannya.

"Waduh, galak dan tangkas !" Ia memuji.

Kartikosari sejenak melongo juga. Pukulannya tadi adalah pukulan Gelap Musti dan jangankan perut seorang manusia kalau tidak pecah atau remuk isinya, batu karang sekalipun terkena hantamannya tadi akan remuk! Akan tetapi kakek aneh itu hanya jatuh terduduk, dan matanya kethap-kethip seperti orang terheran saja, sama sekali tidak seperti orang habis dipukul. Maklumlah ia bahwa kakek ini seorang sakti, maka cepat ia berlutut dekat suaminya yang sudah dapat bangun duduk.

Lanjut ke Jilid 034 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment