Ads

Tuesday, December 25, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 032

◄◄◄◄ Kembali

"Kakangmas Pujo ..... !"

Pujo yang sedang duduk termenung di depan pondoknya, terkejut. Pikirannya sedang sibuk, hatinya gelisah. Pertemuannya dengan Kartikosari beberapa hari yang lalu mendatangkan bermacam perasaan kepadanya. Rasa cinta, sesal, duka, dan kecewa, namun ada juga harapan yang membuatnya gembira. Isterinya masih hidup, masih mencintanya. Hal ini mudah saja ia duga, karena bukankah cinta kasih itu terpancar jelas dari pandang matanya? Namun kegembiraan dan harapan untuk kelak dapat bersatu dengan isterinya terganggu bermacam-macam kenyataan.

Musuh besar mereka, si laknat yang melakukan perbuatan terkutuk terhadap isterinya di malam jahanam di Guha Siluman itu, belum terbalas. Bahkan mengetahuinya siapapun belum! Bukan Wisangjiwo Inilah yang membikin hatinya risau dan gelisah. Kalau bukan Wisangjiwo, berarti dosa putera adipati itu tidaklah sebesar yang disangka sebelumnya. Dan dia sudah membalas dengan hebat! Sudah menculik puteranya, dan membuat isterinya gila Diam-diam rasa sesal menyusupi perasaan hati Pujo. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sudah sepekan ini Joko Wandiro yang ia suruh mencari kuda di dusun belum juga datang! Ia merasa gelisah dan mengambil keputusan untuk menyusul dan mencarinya kalau hari ini belum juga pulang anak itu. Anak Wisaigjiwo yang diculiknya, akan tetapi anak yang ia sayang sebagai murid, bahkan seperti telah menjadi puteranya sendiri. Suara wanita memanggilnya itu benar-benar mengejutkannya, akan tetapi juga sejenak wajahnya berseri karena timbul harapannya bahwa Kartikosari akhirnya datang kepadanya!

Akan tetapi setelah menengok, ia cepat bangkit berdiri dengan wajah terheran-heran. Wanita memang yang memanggilnya tadi, seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sama sekali bukanlah isterinya. Bukan Kartikosari! Usianya memang sebaya, mungkin hanya dua tiga tahun lebih muda daripada Kartikosari. Wajahnya manis, pandang matanya tajam, tubuhnya ramping padat, akan tetapi pada saat itu air mata turun mengalir di sepanjang kedua pipinya.

"Anda siapakah ..... ?" Akhirnya Pujo dapat bertanya sambil melangkah maju.

Wanita itu terisak, mengusap air mata dengan tangan kirinya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia sudah dapat menguasai perasaannya kembali. Air matanya tidak mengucur lagi ketika ia mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menatap wajah Pujo dengan pandang mata tajam.

"Kakangmas Pujo, sepuluh tahun lamanya aku mencari-carimu. Setelah kini bertemu engkau tidak mengenalku lagi! Alangkah pahitnya kenyataan ini! Kakangmas Pujo, kelirukah penilaianku dalam hati tentang dirimu? Bukankah engkau seorang laki-laki jantan yang tidak akan mengingkari semua perbuatanmu, seorang satria yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya? Kakangmas, lupakah kau kepadaku, kepada ..... Roro Luhito ..... ?"

Ia terisak lagi dan beberapa butir air mata bertitik ke atas pipi. Pujo teringat. Pantas saja tadi serasa pernah ia melihat wanita ini! Akan tetapi mengapa seperti itu sikapnya dan seperti itu pula bicaranya? Pujo mengerutkan kening dan menduga-duga akan tetapi tetap tidak dapat mengerti. Ia mengangguk dan berkata,

"Ah, teringat aku sekarang. Engkau Roro Luhito puteri sang adipati di Selopenangkep yang dulu ikut pula mengepungku, bukan? Akan tetapi apa artinya semua ucapanmu tadi?"

Seketika berhenti tangis wanita itu. Kedua matanya yang masih berkaca-kaca (membasah) itu terbelalak memandang. Mata yang indah dan bening. Mulut yang mungil itu bergerak-gerak ketika giginya menggigit-gigit bibir bawah. Bibir yang berkulit tipis, merah dan penuh. Kedua tangan diangkat ke pinggang, mengepal dan jarinya meremas remas. Jari-jari kecil meruncing.

"KAU....... kau pura-pura tidak tahu... ? Pura-pura lupa ? Serendah inikah budimu? Benarkah engkau begini....... begini....... pengecut??"

Pujo menjadi makin heran, akan tetapi lapun merasa tak senang disebut pengecut dan rendah budi.

"Roro Luhito! Hati-hatilah engkau dengan kata-katamu! Aku tidak akan mengingkari semua perbuatanku dan aku sama sekali bukanlah seorang pengecut yang rendah budi. Memang benar, sepuluh tahun yang lalu aku telah menyerbu gedung ayahmu, melukai ayahmu dan membunuh beberapa orang pengawal. Kemudian aku telah menculik isteri dan putera kakakmu! Tidak kusangkal bahwa aku kemudian telah meninggalkan isteri kakakmu di Guha Siluman dan membawa lari putera kakakmu! Nah, aku tidak menyangkal semua perbuatanku. Habis, kau mau apa? Hendak membalas dendam?"

Akan tetapi pengakuan Pujo ini sama sekali tidak memuaskan hati Roro Luhito, bahkan membuat ia makin marah. Hampir berteriak ia ketika berkata,

"Bagus! Hanya itukah yang kaulakukan? Mengapa engkau tidak menyebut-nyebut perbuatan yang kaulakukan terhadap aku?"

"Perbuatan yang kulakukan terhadapmu?" Pujo mengingat-ingat, lalu tertawa. "Ahh, ketika engkau ikut mengeroyokku? Dan kau terguling roboh? Hanya untuk perbuatan itu saja engkau mencari-cariku sampai sepuluh tahun?"

Pujo makin terheran-heran, apalagi ketika teringat betapa sikap wanita ini tadi amat mesra memanggilnya, sama sekali bukan sikap seorang yang hendak menuntut balas atas kekalahannya dahulu. Kini pandang mata Roro Luhito seperti mengeluarkan api saking marahnya.

"Pujo! Engkau tidak mengaku tentang perbuatanmu dalam....... dalam ....... bilikku .......?"

Pujo tertegun. Wanita ini tidak main-main agaknya. Akan tetapi, ia tak pernah merasa melakukan sesuatu dalam biliknya! Ia mengingat-ingat keras akan tetapi tidak menemui jawaban. Gilakah wanita ini? Sayang kalau gila, wanita begini manis. Ia menggeleng kepala.

"Aku tidak....... penah memasuki bilikmu "

"Keparat! Kalau kau menyangkal, berarti kau harus mampus di tanganku!"

Roro Luhito mengeluarkan pekik menyeramkan, seperti bukan pekik seorang manusia, lebih mirip pekik seekor monyet betina. Akan tetapi terjangannya hebat sekali, tubuhnya sudah menyerbu ke depan, kedua tangan mencengkeram, kedua kaki menendang, cepat dan dahsyat seperti topan mengamuk!

"Haaaiiittt!!"

Pujo terkejut sekali dan mengeluarkan teriakan ini sambil cepat mengelak dan menggunakan tangannya menangkis. Alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan Roro Luhito, ia merasa hawa panas menyambar dari tangan itu. Serangan wanita ini tak boleh dipandang ringan. Di lain fihak Roro Luhito juga terkejut karena tubuhnya terpental ke belakang ketika lengannya ditangkis. Memang Roro Luhito yang sekarang berbeda dengan puteri Adipati Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu. Ia telah digembleng oleh gurunya, Resi Telomoyo dan menerima banyak ilmu. Bukan sembarang ilmu. Aji Sosro Satwo (Seribu Binatang) dan Kapi Dibyo membuat ia menjadi kuat dan tangkas, memiliki tenaga mujijat yang timbul dari hawa sakti di dalam tubuh yang sudah dapat dihimpunnya. Namun, menghadapi Pujo ia kalah latihan dan kalah tenaga. Melihat dengan gerakan yang amat sigap dan cepat wanita itu sudah hendak menerjangnya lagi, Pujo cepat mengangkat tangan dan berkata,

"E-ehh ......... setop! Setop dulu!"

"Mau bicara apa lagi?" Roro Luhito membentak marah, akan tetapi sepasang matanya yang bening berair.

"Roro Luhito, sikapmu membuat orang penasaran dan tidak mengerti. Kalau kau marah dan hendak membalasku karena perbuatanku seperti yang telah kuceritakan tadi, yaitu menculik keponakanmu, melukai ayahmu, mengalahkan kau dan membunuh beberapa orang pengawal ketika aku menyerbu Selopenangkep, aku dapat menerimanya dan tidak akan menjadi penasaran. Akan tetapi, kau menuduhku melakukan sesuatu terhadapmu di dalam bilikmu! Nanti dulu!" Pujo menghindar dari sebuah serangan kilat. "Dengarkan dulu! Sungguh mati aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan! Perbuatan apakah itu?"

Tentu saja amat sukar bagi seorang gadis seperti Roro Luhito untuk menceritakan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, pada malam hari di dalam biliknya yang gelap Ia menganggap bahwa Pujo ini berpura-pura saja, atau agaknya sengaja hendak membikin dia malu dan hendak memaksa dia yang mengadakan pengakuan. Hal ini membuat kemarahannya meluap-luap dan ia segera menerjang setelah membentak,

"Boleh saja kau pura-pura tidak tahu! Akan tetapi engkau atau aku harus mati untuk menebus peristiwa jahanam itu!"

Kembali tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bicara, Roro Luhito sudah menerjang lagi dengan gerakan yang amat cepat, secepat monyet melompat, dan bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram ke arah muka lawan mengarah kedua mata, akan tetapi juga tangan kanannya yang sudah mencabut cundrik itu menghantam ke arah dada dengan tusukan kilat. Bukan main hebatnya serangan ini, dilakukan selagi tubuhnya masih mencelat di atas udara!

Pujo benar-benar kaget. Sepuluh tahun yang lalu pernah ia menghadapi gadis ini ketika ia dikeroyok di Kadipaten Selopenangkep, akan tetapi tidaklah sehebat ini gerakan gadis itu. Gerakannya sekarang selain tangkas dan kuat, juga amat aneh, sepertj gerakan seekor binatang buas. Dalam keheranannya, Pujo berlaku hati-hati. Cepat ia menggerakkan tubuh miring ke kanan untuk menghindarkan diri daripada cengkeraman tangan lawan. Adapun tusukan cundrik itu terpaksa ia tangkis dengan tamparan jari-jari yang menggunakan Aji Pethit Nogo.

"Plakk!"

"Aduh ......... !"

Cundrik itu terlepas dari tangan Roro Luhito yang merasa betapa tangan kanannya seakan-akan remuk semua tulangnya dan menjadi lumpuh. Ia terguling roboh ke atas pasir, akan tetapi cepat sekali ia sudah meloncat dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar. Pujo berusaha mengelak akan tetapi karena serangan wanita yang sudah ia robohkan itu benar-benar sama sekali tidak pernah diduganya, sebagian dari pasir yang disebarkan oleh Roro Luhito itu mengenai matanya. Pujo mengeluh, kedua matanya pedas dipejamkan dan ia terhuyung ke belakang. Roro Luhito tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan kakinya menendang, tepat mengenai dada Pujo yang terjengkang ke belakang dan jatuh terbanting ke atas pasir. Roro Luhito yang sudah meluap kemarahannya itu menubruk, dengan maksud menghabiskan nyawa lawannya dengan pukulan-pukulan maut. Tentu saja Pujo juga maklum akan bahaya ini, biarpun kedua matanya untuk sementara tak dapat ia buka, namun telinganya dapat menangkap sambaran tubuh dan tangan Roro Luhito yang menubruknya. Ia menggulingkan tubuh ke kiri sehingga tubrukan Roro Luhito mengenai tempat kosong dan Pujo yang tahu bahaya ini dengan mata masih terpejam cepat meringkusnya dan memegang kedua tangannya.

"Lepaskan! Setan keparat........ lepaskan.......!"

Roro Luhito menjerit-jerit dan bergumullah kedua orang itu di atas pasir yang halus. Karena kemarahannya Roro Luhito menjadi ganas dan buas dan dalam usahanya membebaskan kedua pergelangan tangannya yang terpegang erat-erat oleh tangan Pujo, ia meronta-ronta, bahkan lalu menggigit! Karena Pujo masih meram dan mereka bergumul tak teratur dalam ilmu perkelahian lagi, maka pipi kiri Pujo tergigit .

"Aduhhhhh !! Adu-du-duhhh lepaskan! Eh, kok mengigit.......... !"

Saking sakitnya Pujo mengaduh-aduh dan cepat ia mengerahkan tenaganya melemparkan tubuh Roro Luhito ke depan, lalu cepat meloncat berdiri. Untung, rasa pedas pada matanya membuat air matanya bercucuran dan air mata inilah yang mencuci dan membawa keluar pasir yang memasuki matanya sehingga pada saat itu Pujo sudah mampu membuka mata kirinya.

"Brukkk!"

Tubuh Roro Luhito terlempar dan terbanting keras. Untung bahwa tempat itu adalah pesisir laut yang banyak pasirnya sehingga terbanting sekeras itu hanya terasa pedas dan agak njarem bagian pinggulnya. Roro Luhito menyumpah-nyumpah ketika bangkit sambil mengelus pinggulnya. Juga Pujo menyumpah-nyumpah ketika meraba pipi kirinya yang berdarah. Kini ia berhasil pula membuka mata kanannya. Kedua matanya merah dan masih berair, akan tetapi sudah terbebas dari pasir. Mereka kini berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang, penuh kemarahan.

"Kau ......... perempuan liar!" Pujo memaki, timbul kemarahannya.

"Dan kau ......... laki-laki pengecut !"

Roro Luhito balas memaki, juga marah sekali karena hatinya telah dikecewakan. Sama sekali tak disangkanya bahwa Pujo menyangkal perbuatannya sepuluh tahun yang lalu, perbuatan yang disangkanya benar-benar berlandaskan cinta kasih seperti yang dibisikkannya sepuluh tahun yang lalu. Betapa kecewa hatinya kini. Sepuluh tahun ia mengharap-harapkan pertemuan ini, mengharapkan penerimaan Pujo dengan hati gembira dan perasaan bahagia, mengharapkan dapat menjadi isteri Pujo, selain untuk menebus aib juga untuk melaksanakan hasrat hatinya yang mencinta. Siapa kira, Pujo selain menyangkal, juga memakinya dan kini bahkan melawan dan mengalahkannya. Rasa kecewa membuat ia menjadi nekad dan kini hanya ada satu harapan di hatinya, yaitu membunuh laki-laki yang ia cinta dan yang mengecewakan hatinya ini, kemudian membunuh diri sendiri!.

Roro Luhito yang sudah nekat Itu lalu menerjang maju lagi sambil mengeluarkan pekik yang melengking tinggi seperti pekik tantangan marah seekor monyet betina yang diganggu anaknya. Ia telah mengeluarkan semua ajinya yang ia peroleh dari gurunya, Resi Telomoyo. Mendengar pekik yang mengiringi Aji Sosro Satwo ini, semua binatang buas di dalam hutan tentu akan lari tunggang-langgang. Seekor harimau yang liar sekalipun akan lari bersembunyi mendengar pekik ini! Tubuh Roro Luhito melompat ke depan, kaki tangannya melakukan serangan bertubi-tubi yang sifatnya liar ganas, namun juga amat berbahaya.

Pujo maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan, maka iapun lalu mengerahkan ajinya, Aji Bayu Tantra yang membuat tubuhnya ringan laksana kapas gesit laksana burung srikatan, juga ia mengerahkan Aji Pethit Npgo ke dalam sepuluh jari tangannya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat membunuh wanita ini, namun tanpa Aji Pethit Nogo, agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengatasi kedahsyatan serangan Roro Luhito.

Bukan main cepatnya gerakan kedua orang itu. Ketika Roro Luhito menerjang dan menyerang bertubi-tubi dan Pujo mengelak ke sana ke mari mengandalkan ilmunya Bayu Tantra, lenyaplah kedua orang itu, yang tampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan kadang-kadang bergumul menjadi satu. Ketika mendapat kesempatan menangkis, Pujo mempergunakan jari tangannya untuk dikipatkan ke arah lengan Roro Luhito. Akan tetapi wanita inipun bukanlah seorang wanita biasa. Ia cukup cerdik dan maklum bahwa lawannya memiliki jari-jari tangan yang kuat dan mengeluarkan hawa panas yang bukan main, maka setiap kali Pujo menangkis, ia selalu menarik kembali tangannya untuk diganti dengan pukulan lain yang lebih berbahaya dan yang kecepatannya tak mungkin dapat ditangkis kecuali hanya dielakkan secara cepat pula.

Lanjut ke Jilid 033 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment