Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 055

◄◄◄◄ Kembali

Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang tekun menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Dibyo Mamangkoro. Mari kita mengikuti perjalanan Jokowanengpati yang melarikan diri menunggang kuda menuju ke selatan. Melihat perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri, Jokowanengpati maklum bahwa perdamaian antara kedua pangeran tentu akan terjadi. Dan ia telah melihat musuh besarnya, orang-orang yang tentu tidak akan berhenti sebelum berhadapan muka dan mengadu nyawa dengannya. la melihat Pujo, Kartikosari, dan Roro Luhito, tiga orang yang menaruh dendam sedalam lautan kepadanya. Lebih dari semua itu, ia melihat Resi Bhargowo! Kaget seperti disambar petir ketika ia tadi melihat Resi Bhargowo di sebelah Sang Prabu Airlangga. Jelas bahwa Resi Bhargowo sudah ia hantam roboh dengan penggada milik Ki Krendoyakso. Ia ingat betul betapa ia mengerahkan tenaga sekuatnya ketika melakukan pemukulan curang itu dan ia tahu pula bahwa ruyung Wesi Ireng adalah senjata pusaka yang ampuh. Terasa oleh tangannya betapa kepala resi itu terkena pukulan yang telak sehingga resi itu roboh seketika. Bagaimana sekarang Resi Bhargowo bisa muncul dalam keadaan segar sehat di samping Sang Prabu Airlangga? Tentu saja ia tidak berani bertemu muka dengan bekas paman gurunya itu. Selain itu, juga ia melihat munculnya Empu Bharodo, gurunya!.

Setelah mereka itu muncul, bagaimana ia berani tinggal lebih lama lagi di kota raja? Dalam keadaan perang saudara, tentu saja ia dapat berlindung di belakang punggung Pangeran Anom. Akan tetapi setelah damai, tidak mungkin lagi. Lebih cepat pergi, lebih aman baginya. Lebih-lebih lagi kini setelah ia membunuh Wisangjiwo. Akan bertambah mereka yang benci dan mendendam kepadanya.

"Ha-ha-ha! TIdak seorangpun melihat aku pergi Mereka kini tentu sedang mencari-cari!"

Jokowanengpati terkekeh senang sambil membalapkan kudanya terus ke selatan. Setelah membalapkan kuda tiada hentinya selama dua hari dua malam, kudanya itu akhirnya roboh lemas dan mati di luar sebuah kampung. Jokowanengpati melompat turun dan menendang bangkai kuda yang telah membawanya lari selama itu.

"Huh, kuda sialan!"

Akan tetapi lega hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa ia telah melarikan diri jauh sekali dari kota raja. Ia sudah sampai di wilayah pantai selatan. Dari kampung itu ke Laut Selatan hanya tinggal perjalanan selama satu dua jam saja. Hatinya mulal gembira. la telah berada di tempat aman, jauh dari kota raja, dan tak seorangpun mengcnalnya di sini. Hari telah mendekati malam dan dengan senyum menghias bibirnya yang tampan, ia memasuki kampung itu meninggalkan bangkai kudanya tanpa menengok satu kalipun.

Manusia dengan watak seperti Jokowanengpati ini tidak mungkin dapat mengingat budi dan jasa seekor kuda. Jokowanengpati meraba-raba dadanya. Masih terasa sakit bekas pukulan Wisangjiwo. Ia tahu bahwa pukulan itu mengakibatkan luka dalam di dadanya. Akan tetapi, asal ia dapat beristirahat dan tidak mengeluarkan tenaga berat, ia akan sembuh kembali. Pikiran ini menenangkan hatinya. Ia boleh beristirahat di kampung ini, atau besok ia akan mencari tempat yang lebih aman. Di pinggir laut. Kemudian, dari pinggir laut ini ia akan terus mencari tempat kediaman Ni Nogogini yang katanya di pinggir laut sebelah timur. Asal ia menyusuri sepanjang pantai ke timur, akhirnya tentu akan ketemu. Akan tetapi, malam ini ia akan bermalam di dalam kampung. Perutnya lapar sekali. Ia harus mencari makanan. Tiba-tiba ia tersenyum lebar. Suara gamelan menyambut kedatangannya. Suara gamelan yang terdengar amat merdu dan indah. Kalau ada gamelan, berarti àda pesta dan kalau ada pesta, berarti ada makanan enak berlebihan!

Jokowanengpati tertawa terkekeh senang dan ia mempercepat langkahnya menuju ke arah suara gamelan. Dari jauh sudah tampak sinar lampu yang menerangi tempat pesta, juga suara banyak anak-anak di depan rumah yang berpesta. Memang tepat dugaannya. Ada orang mengadakan perayaan pesta perkawinan. Bukan lain adalah lurah kampong itu sendiri yang mengadakan pesta, untuk merayakan perkawinan puterinya! Tamu-tamu mulai berdatangan dan beberapa penari mulai mcnari sambil bersinden, diiringi suara gamelan meriah. Minuman dan hidangan dikeluarkan oleh pelayan-pelayan yang sibuk.

Jokowanengpati melangkah gagah memasuki ruangan. Biarpun ia tidak berganti pakaian, namun pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian perwira kerajaan, pakaian yang jauh lebih indah dan lebih gagah daripada pakaian semua orang yang hadir di situ, termasuk pengantin prianya sendiri!

Semua orang cingak (memandang kagum) ketika ia masuk, dan pak lurah sendiri tergopoh-gopoh menyambutnya. Tentu saja pak lurah agak bingung karena tidak mengenal tamunya ini, tamu yang tidak diundang, namun ia harus menghormat, melihat pakaian tamunya yang jelas membayangkan seorang "priyayi" dari kota raja. Sambil membongkok-bongkok tuan rumah ini menyambut Joko wanengpati. Tanpa malu atau sungkan sedikitpun, Jokowanengpati bekata,

"Maaf, paman. Aku adalah seorang pelancong dari kota raja. Kudaku sakit dan mati di luar kampung. Terpaksa aku mengganggu dan datang ke sini."

"Wah, malah kebetulan sekali, raden. Kami sedang mengadakan pesta perkawinan anak kami. Silahkan....... , raden."

"Aku hanya mengganggu saja."

"Tidak, sama sekali tidak. Malah kami merasa terhormat sekali dapat rnenyambut andika sebagai tamu kehormatan! Silahkan....... "

Sambil mengangkat dada Jokowanengpati mendapat tempat kehormatan, dekat pengantin! Dan tentu saja ia mendapat hidangan yang istimewa sehingga sebentar saja kenyanglah perutnya. Mulai terasa olehnya keletihan tubuh akibat pertempuran dan perjalanan jauh. Tanpa segan-segan lagi ia beberapa kali menguap sambil menutup mulut dengan kepalan tangan. Telinganya yang tajam menangkap suara ketawa wanita, ketawa ditahan, akan tetapi sangat merdu dalam pendengaran Jokowanengpati.

Ia melirik dan tahu bahwa yang menahan tawa itu tadi adalah si pengantin wanita! Puteri bapak lurah. Hemm, baru sekarang ia menaruh perhatian. Bentuk tubuh yang padat ramping. Kulit yang agak hitam, akan tetapi bersih dan halus. la melirik ke bawah. Dari bawah kain itu tampak tumit yang halus dan indah bentuknya, mata kaki dan ujung betis yang merit dengan lengkung sempurna. Kembali ia melirik ke atas. Sayang, pengantin wanita itu mukanya tertutup, tak dapat dilihat. Akan tetapi seorang wanita dengan perawakan seperti Itu tak mungkin buruk rupa. Apalagi puteri pak lurah yang wajahnya tampan.

Suara ketawa pengantin wanita itu menambah lamunan Jokowanengpati yang sudah mulai terpengaruh minuman tuwak (arak). Setelah sepasang pengantin diiring masuk kekamar, Jokowanengpati juga minta kcpada tuan rumah agar supaya malam itu ia diberi tempat untuk mengaso.

Bapak lurah menyambut permintaan ini dengan penuh hormat dan gembira. Makà diantarnyalah Jokowanengpati ke dalam sebuah kamar di ruang belakang kelurahan. Pesta berlangsung terus karena menjelang tengah malam dimulai pesta tayuban, di mana para tamu yang sudah agak mabok itu ikut pula menari bersama para penari yang cantik-cantik.

Gamelan dipukul makin keras, suasana makin meriah. Suasana yang riuh dan meriah di ruangan depan di mana pesta berlangsung inilah yang membuat semua orang tidak tahu betapa lewat tengah malam itu terdengar suara gaduh di dalam kamar pengantin. Tidak ada yang mendengar jerit tangis pengantin wanita, dan tidak ada yang tahu pula betapa sesaat kemudian pengantin pria terlempar dari pintu kamar, jatuh di atas lantai depan pintu tak bergerak lagi. Baik fihak tuan rumah maupun fihak tamu semua telah minum tuwak terlalu banyak.

Di ruangan depan, orang-orang bersenang dan bergembira melewati batas, tertawa, bersorak, menggoda penari yang kadang-kadang menjerit manja menyeling suara gamelan yang tak kunjung henti. Sedangkan di ruangan dalam, di kamar pengantin yang menyendiri dan sunyi, maut merajalela!

Dapat dibayangkan betapa kaget tuan rumah sekeluarga ketika pada pagi harinya mereka mendapatkan pengantin pria menggeletak di luar kamar pengantin dalam keadaan mengerikan, kepala pecah dan tak bernyawa lagi! Bapak lurah dan keluarganya menyerbu ke dalam kamar pengantin dan terbelalak memandang puterinya yang malam tadi menjadi pengantin, kini dalam keadaan teianjang bulat mati pula menggantung diri di dalam kamar pengantin!

Jerit tangis melengking dan Ibu lurah serta beberapa orang lain roboh pingsan. Gegerlah keadaan dalam kalurahan, kacau-balau dan panik. Bapak lurah dengan mata jelalatan melompat keluar dari kamar pengantin lalu lari ke belakang, menuju kamar tamu di mana malam tadi ia mengantar tamunya, priyayi dari kota raja. Pintu kamar itu masih tertutup, akan tetapi bapak lurah segera menyerbu masuk dan mendorong pintu kamar. Daun pintu terbuka dan....... tidak ada seorangpun dalam kamar itu !.

"Si keparat....... ! Manusia iblis.. ..... !!”

Bapak lurah makin beringas, lari menyambar tombaknya dari kamar dan ia jelilatan mencari-cari keluar masuk kelurahan. Namun bayangan tamunya itu tidak kelihatan lagi. Akhirnya ia menangisi jenasah puterinya yang sudah diturunkan orang.

Jokowanengpati berjalan secnaknya menuju ke selatan. Mulutnya tersenyum-scnyum, hatinya gembira. Ia bebas dari musuh-musuh besarnya yang berkumpul di kota raja.. Tiada satupun yang ia takuti di daerah pantai selatan ini. Puteri pak lurah itu benar manis tepat seperti dugaannya. Sungguh baik nasibnya. Kudanya mati di luar kampung, kebetulan kepala kampung mengadakan pesta sehingga ia mendapat hidangan sampai kenyang, mendapat tempat penginapan tanpa bayar, bahkan mendapat kawan puteri pak lurah yang manis !. Teringat akan ini, ia tertawa menyeringai. Terpaksa ia membunuh pengantin pria yang hendak melawan. Dan tadi ia meninggalkan pengantin wanita, pengantinnya yang manis, dalam keadaan banjir air mata.

Jokowanengpati berjalan tidak tergesa-gesa. Perduli apa orang-orang kampung itu. Kalau ada yang mengejarnyapun ia tidak takut. Masa depannya cerah. Ia akan bersembunyi di daerah pantai ini, mengunjungi dusun-dusun yang kaya akan gadis-gadis dusun yang manis-manis. Ia akan bersembunyi sambil menanti sampai keadaan di kota raja beres, sampai tiba saatnya dan terbuka kesempatan baginya untuk mengabdi kepada Pangeran Anom sehingga keselamatannya terlindung.

Kalau sudah bosan di daerah sunyi, kalau sudah tidak ada perawan dusun yang menarik perhatiannya, ia akan menyusuri pantai ke timur, mencari Ni Nogogini. Tuhan Maha Adil. Maha Kuasa. Kuasa memberkahi, kuasa pula menghukum. Perbuatan terkutuk yang dilakukan Jokowanengpati di dusun, berarti penundaan pelariannya sejak senja sampai pagi.

Hal ini berarti pula bahwa pelariannya terlambat sehingga memberi kesempatan kepada para pengejarnya untuk menebus kekalahan waktu. Andaikata Jokowanengpati tidak berhenti di dusun dan terus melanjutkan larinya dengan aji lari cepat, terus menyusuri pantai ke timur, tentu para pengejarnya akan kehilangan jejak dan takkan dapat menyusulnya. Akan tetapi, iblis telah menyelewengkannya ke dalam dusun itu, di mana ia melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap pengantin wanita sehingga mengakibatkan tewasnya pengantin pria dan matinya pengantin wanita karena bunuh diri.

Tidak seperti Jokowanengpati yang terus menekan dan memaksa kudanya sehingga mati kelelahan di luar dusun, Kartikosari dan Roro Luhito yang melakukan pengejaran, selalu berhenti memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk mengaso, makan rumput atau minum air. Karena inilah maka mereka ketinggalan jauh oleh Jokowanengpati. Akan tetapi dua orang wanita ini hanya berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka mengaso saja, dan mereka menggunakan kesempatan ini pula untuk melepas lelah sebentar. Setelah itu mereka berangkat lagi, tidak perduli panas terik siang hari dan dingin gelap malam hari. Inilah sebabnya maka ketika Jokowanengpati membuang waktu semalam untuk melakukan perbuatan terkutuk di kelurahan dusun itu, dua orang wanita pengejar ini telah dapat menebus kekalahan waktu ketinggalan.

Pada pagi itu, ketika kelurahan geger karena peristiwa terkutuk akibat perbuatan Jokowanengpati, Kartikosari dan Roro Luhito memasuki dusun itu. Mereka berdua memasuki dusun dan berdebar hati mereka melihat bangkai kuda di luar dusun. Besar dugaan mereka bahwa itulah kuda tunggangan Jokowanengpati, yang mati karena kelelahan di luar dusun. Kalau begitu, agaknya si keparat itu berada dalam dusun ini!

Akan tetapi mereka melihat keadaan yang geger dan kacau. Orang-orang dusun itu lari ke sana ke mari seperti orang mencari-cari, dengan mata jelilatan dan semua orang yang berada di jalan membawa senjata. Dua orang wanita ini terus menjalankan kuda ke arah pusat keributan, yaitu di
depan rumah yang besar dan yang terhias seperti ada perayaan di situ, dihias janur-janur kuning dan daun-daun waringin. Kartikosari dan Roro Luhito ialu melompat turun dari atas kuda masing-masing, siap hendak bertanya apa gerangan yang nerjadi, dan terutama sekali bertanya kalau-kalau penduduk di situ ada yang melihat seorang laki-laki asing, yaitu Jokowanengpati. Akan tetapi beium juga mereka membuka suara, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berlari keluar dari dalam rumah, tangannya memegang sebatang tombak. Begitu melihat dua orang wanita ini, laki-laki setengah tua itu segera membentak,

"Ini dia! Ini tentu teman-teman si keparat dari kota raja! Mereka tentu bukan orang baik-baik!"

Setelah membentak demikian, serta-merta ia menerjang dengan tombaknya. Karena Kartikosari berada di depan, maka wanita inilah yang langsung mendapat serangan bapak lurah, laki-laki setengah tua itu.

"Eh-eh, saber dulu, paman. Apakah yang terjadi?" seru Kartikosari sambil mengelak.

Àkàn tetapi, melihat betapa wanita itu dengan mudah mengelak serangan tombaknya, bapak lurah makin curiga dan segera berseru,

"Saudara-saudara, kepung mereka berdua inil Tentu mereka ini teman-teman si keparat itul"

Mendapat komando ini, orang-orang kampung segera mengepung dengan sikap mengancam. Melihat keadaan yang tidak baik ini, Roro Luhito yang cerdik berlaku sigap. Ia sudah meloncat maju ke arah bapak lurah yang kembali sudah menusukkan tombaknya. Roro Luhito tidak mengelak seperti Kartikosari tadi, melainkan ia miringkan tubuh sambil menyambar gagang tombak dan sekali betot ia sudah merampas tombak, mematahkannya menjadi dua kemudian sekali tangannya menjambak, ia sudah mencengkeram pundak bapak lurah. Pàk lurah meringis kesakitan. Pundaknya seperti dicengkeram kaitan baja Serasa akan remuk tulang pundaknya.

"Jangan main gila !" bentak Roro Luhito. "Hayo semua mundur, kalau tidak, aku akan menggunakan orang tua ini sebagai senjata melawan kalian!"

Berkata demikian, begitu kedua tangannya bergerak, benar saja, tubuh pàk lurah sudah ia putar-putar di atas kepala seperti kitiran angin! Tentu saja pàk lurah menjadi ketakutan dan berkaok-kaok, dan semua penduduk kampung melangkah mundur dengan muka jerih. Roro Luhito menurunkan lagi pàk lurah yang ketakutan itu, lalu menghardik,

"Hayo katakan! Àpà artinya semua ini? Kami berdua adalah orang baik-baik, mengapa baru saja datang hendak kalian keroyok dan bunuh?"

Saking takutnya, pàk lurah sampai sukar mengeluarkan kata-kata. Ia tetap menduga bahwa dua orang wanita yang sakti ini tentulah sahabat laki-laki keji yang telah menyebar maut di rumahnya. Bagaimana ia dapat menuturkan peristiwa itu dan memburukkan nama laki-laki keparat itu?. Namun Kartikosari sudah tertarik akan perintah-perintah pàk lurah tadi. la melangkah maju dan bertanya, suaranya tidak segalak Roro Luhito.

"Paman, kau tadi bilang bahwa kami tentu teman-teman si keparat. Siapakah si keparat itu? Apakah ia seorang laki-laki berusia tiga puluh enam tahun, pakaiannya seperti perwira kerajaan, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, datangnya ke kampung ini menunggang kuda?"

Makin jerih muka pàk lurah.
"Beb....... betul sekali....... !”

Kartikosari dan Roro Luhito terkejut dan girang sekali.
"Bagus! Kami datang untuk mencarinya, memang. Akan tetapi sama sekali bukan teman, bahkan musuh. Kami mengejar dan hendak membunuhnya. Àpa yang terjadi di slni? Di mana dia sekarang?"

Mendengar ini, pak lurah tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis! Juga para penduduk lenyap sikapnya bermusuhan, kini mendengar dan duduk di atas tanah mengelilingi mereka. Roro Luhito dan Kartikosari saling pandang, mengerutkan kening. Perbuatan laknat apa lagi yang dilakukan Jokowanengpati di sini?

"Sudahlah, jangan menangis seperti anak kecil!" Roro Luhito membentak, habis kesabarannya. "Lebih baik lekas ceritakan!"

Dengan suara terputus-putus pak lurah bereerita tentang peristiwa semalam sambil menangis. Tentu saja dua orang wanita itu menjadi marah bukan main, dan makin besar nafsu untuk dapat segera bectemu muka dan membalas dendam kepada laki-laki jahat dan keji itu.

"Di mana dia sekarang, paman? Mana keparat itu?" bentak Roro Luhito, suaranya nyaring, sikapnya mengancam, giginya berkerot.

"Dia sudah lari....... pagi tadi, entah ke mana....... !!”

Begitu mendengar jawaban ini, seperti diberi komando saja, Kartikosari dan Roro Luhito lari dan melompat ke atas kuda mereka, lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu, melakukan pengejaran. Mereka tadi memasuki kampung dari utara, maka agaknya si keparat Jokowanengpati itu tentu lari terus ke selatan, melanjutkan pelariannya, pikir mereka. Membalapkan kuda mereka keluar dari dusun ke jurusan selatan.

Jokowanengpati yang berjalan seenaknya, telah tiba di pantai Laut Selatan. Ia merasa aman dan gembira. Merasa tubuhnya lelah dan alangkah nikmatnya melepas lelah di pantai yang berpasir, menghadap ke selatan melihat ombak mengganas memecah di pantai. Angin laut sejuk bersih. Dadanya masih terasa sakit, bekas pukulan Wisangjiwo. Namun ia pereaya akan segera sembuh setelah ia beristirahat satu dua bulan. apalagi kalau kelak ia bertemu dengan Ni Nogogini, guru ilmu pukulan yang dipakai Wisangjiwo melukainya, tentu wanita sakti itu akan mampu menyembuhkannya dengan segera. Dan penyembuhan dengan cara bagaimana!

Jokowanengpati tertawa sendiri, tertawa bergelak mengingat akan hal itu. Betapapun juga, Ni Nogogini hanya umurnya saja yang tua, tubuh dan wajahnya sama sekali tidak tua! Bagaikan iblis, atau seorang yang miring otaknya, ia tertawa bergelak di antara suara ombak menderu.

"Iblis laknat! Tertawalah. sepuasmu selagi masih ada kesempatan terakhir!"

"Si keparat Jokowanengpati! Bersiaplah mampus di tanganku!"

Hampir Jokowanengpati tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Suara setankah itu yang terbawa angin bersama suara ombak menderu? Perlahan ia bangkit berdiri dan memutar tubuh. Ia menahan rasa terkejut dan cemas yang mencengkeram jantungnya ketika melihat dua orang wanita itu!

Deru ombak yang tiada berkeputusan telah memenuhi telinganya sehingga ia tadi tidak mendengar kedatangan mereka. Kini Kartikosari, cantik jelita, dengan sikap tenang dan mata penuh benci, memandang kepadanya. Di sampingnya berdiri Roro Luhito, denok ayu, sikap»nya mengancam, matanya yang jeli seperti memancarkan api yang hendak membakarnya. Angin laut membuat ujung kain dan rambut mereka berkibar-kibar, membuat mereka kelihatan seperti dua orang dewi laut yang cantik menarik rnenggirahkan.

Akan tetapi pada saat itu, sama sekali tidak timbui gairah dalam hati Jokowanengpati. Ia maklum sedalamnya betapa kedua orang wanita ini membencinya, membenci sampai ke tulang sumsum, dan bahwa kedua wanita ini datang dengan hanya satu hasrat, yaitu membalas dendam dan membunuhnya! Namun, Jokowanengpati bukah seorang penakut, bukan pula bodoh. Biarpun ia tahu bahwa dua orang ini adalah wanita-wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia telah tahu pula bahwa setelah menjadi murid si raja kera Resi Telomoyo kini ilmu kepandaian Roro Luhito sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun ia tidak memperlihatkan sikap takut. Malah ia segera tersenyum manis sambil memandang mereka,

"Duhai! Dewata Agung! Baru saja aku melamun, betapa akan senangnya di tempat seindah ini bertemu dengan orang-orang terkasih. Dan tanpa kusang-kusangka, kalian muncul di sini. Diajeng Kartikosari, engkau makin cantik jelita. Roro Luhito, kau makin manis merak ati !”

"Jananam keji, tutup mulutmu yang busuk!!" bentak Roro Luhito marah.

"Jokowanengpati, dosamu sudah bertumpuk. Kini tiba waktunya engkau menebus dosamu dengan nyawa!"

Kartikosari mengancam sambil menghunus keris, demikian puia Roro Luhito. Kedua orang wanita ini sudah siap menerjang, setiap urat dalam tubuh sudah menegang, nafsu membunuh membayang di mata. Namun Jokowanengpati masih tertawa. Setidaknya, aku harus membuat mereka ini gila oleh kemarahan lebih dulu, pikirnya. Dalam kemarahan meluap, gerakan akan menjadi kurang sempurna dan tenaga sakti akan banyak terbuang sia-sia.

"Ha-ha-ha, kedua adik yang manis. Mengapa mengancam? Mengapa kita harus bertempur? Kalian tidak akan menang. Sayang kalau sampai aku melukai kulit yang halus lunak itu, apalagi sampai membikin cacad wajah yang cantik. Aku amat sayang kepada kalian. Bukankah sudah kubuktikan kasih sayangku di dalam Guha Silurnan dahulu, diajeng Kartikosari? Dan engkau, Roro Luhito, lupakah akan kasih sayangku di dalam kamarmu dahulu? Marilah kita berdamai saja, mari kalian ikut bersamaku, hidup mulia di dalam keraton Pangeran Anom, menjadi isteriku yang tercinta dan....... "

"Keparat busuk!"

"Iblis laknat!"

Dua orang wanita itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan mereka sudah menerjang maju. Jokowanengpati sudah memperhitungkan hal ini. Cepat ia mengelak dan membalas dengan pukulan dan tendangan, kemudian iapun mencabut kerisnya ketika melihat betapa sepak terjang kedua orang lawannya itu amat hebat. Ketika melihat keris Kartikosari meluncur cepat menuju lambung, ia menggeser tubuh ke kanan lalu membalas dari samping dengan luncuran kerisnya mengarah leher kiri Kartikosari. Wanita perkasa ini menggunakan tangan kirinya menyabet dengan cengkeraman ke arah siku kanan lawan sambil mengelak dan sambaran kaki Jokowanengpati yang menendang sebagai lanjutan serangannya ia elakkan dengan loncatan menyamping.

Pada saat itu, Roro Luhito dengan gerakan secepat kilat sudah pula datang menyerang dengan tusukan keris diarahkan ke dada lawan. Ketika Jokowanengpati menangkis dengan kerisnya pula, dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Roro Luhito menarik kembaii kerisnya dengan
gerakan yang sedemikian cepat dan tak tersangka-sangka, kini dengan tangan kirinya menarnpar dari samping dan kaki kanannya menendang ke arah pusar. Benar-benar serangan yang hebat dan cepat tak tersangkasangka! Apalagi pada saat itu Kartikosari sudah menerjang lagi dengan tusukan keris dari belakang disusul dengan hantaman tangan kiri dengan pukulan Gelap Musti yang ampuh.

Jokowanengpati benar-benar terdesak. Ia sudah menangkis Kartikosari dan mengelak dari terjangan lain, namun dia kurang cepat dan sambaran tangan kiri Roro Luhito masih berhasil menyerempet pundak kanannya, membuat ia terhuyung-huyung ke belakang. Tamparan Roro Luhito memang tidaklah begitu hebat bagi tubuhnya yang kebal, akan tetapi karena dadanya masih menderita luka dalam, tamparan itu terasa juga. Baiknya ia cepat menggerakkan kerisnya dengan Ilmu Jonggring Saloko sehingga ujung keris di tangannya berubah menjadi belasan banyaknya, membuat dua orang lawannya tidak berani sembrono menerjang terlalu dekat.

Pertandingan itu makin lama makin seru dan mati-matian. Namun makin lama makin berat terasa oleh Jokowanengpati. Kartikosari hebat bukan main. Tiap kali keris mereka beradu, biarpun ia telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap saja ia merasa betapa tangannya tergetar saking hebatnya pertemuan itu, tanda bahwa Kartikosari kini memiliki tenaga dalam yang hebat! Roro Luhito tidaklah memiliki tenaga dalam yang terlalu besar, akan tetapi wanita ini cerdik bukan main dan memiliki gerakan yang tangkas dan aneh. Tak pernah Roro Luhito mau mengadu senjata dan selalu menarik kerisnya tiap kali ditangkis, untuk disusul dengan terjangan-terjangan yang aneh dan cepat.

Ketika merasa bahwa dadanya makin lama makin sakit karena ia harus mengerahkan tenaga dalam, Jokowanengpati maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya ia tentu roboh. Maka mulailah ia mencari kesempatan untuk lari. Ia mulai melakukan perlawanan sambil menjauhkan diri. Setiap kali ada kesempatan, ia meloncat jauh, akan tetapi celaka baginya, kedua wanita itu dalam hal kecepatan, tidak kalah olehnya. Andaikata ia tidak terluka di dalam dadanya, tentu ia dapat menggunakan Aji Bayu Sakti yang sampai saat itu merupakan aji keringanan tubuh yang tak terkalahkan, untuk melarikan diri.

Akan tetapi, dengan luka dalam di dadanya, ia tidak mampu menggunakan Aji Bayu Sakti sepenuhnya, dan karena kedua wanita itupun memiliki aji meringankan tubuh yang hebat, terutama sekali Roro Luhito, sukar baginya untuk dapat melarikan diri daripada kepungan mereka. Ñàãà yang dipergunakan Jokowanengpati untuk bertanding sambil berlompatan menjauh ini membuat tempat pertandingan berpindah-pindah. Makin lama karena loncatan-loncatan untuk berusaha lari ini, mereka bertempur tidak di atas pasir di pantai lagi melainkan berloncatan ke atas batu karang, makin lama makin tinggi sehingga akhirnya mereka bertanding di tebing karang yang curam!

JOKOWANENGPATI yang makin terdesak itu tiba-tiba menjadi nekat. la menggunakan kesempatan ketika Kartikosari terhuyung ke belakang oleh tangkisan kerisnya yang kuat, menggunakan kecepatan menerjang Roro Luhito yang lebih lemah kalau dibandingkan Kartikosari.

"Heeeiiit! Mampuslah!" la membentak, kerisnya menusuk dada, tangan kiri menggempur kepala!

Roro Luhito tidak menjadi gentar. Setelah ia menguasai ilmu Kapi Dibyo, ia memiliki gerakan otomatis yang amat gesit. Menghadapi terjangan ini, ia dapat membuang tubuh kebelakang, berjungkir balik cepat sekali dan di lain saat ia malah menyerang lawan dari kiri dengan tusukan cepat. Girang hati Roro Luhito melihat bahwa dalam keadaan posisi tubuh miring, Jokowanengpati kurang cepat bergerak sehingga keris yang ditusukkannya itu agaknya akan berhasil kali ini !.

Akan tetapi, siapa kira, kelambatan Jokowanengpati itu adalah pancingan belaka. Memang harus diakui bahwa dalam hal pertandingan, Jokowanengpati jauh lebih berpengalaman dan merripunyai banyak siasat licik. Bcgitu keris sudah dekat perutnya, tiba-tiba Jokowanengpati menggerakkan kerisnya dari atas ke bawah, menangkis disertai tenaga dalam sekuatnya.

"Cringgg...... !!”

"Aiiihhh!" Roro Luhito menjerit kaget ketika merasa tangannya sakit dan lumpuh sehingga keris yang dipegangnya terlepas, terlempar ke bawah tebing, masuk laut! Cepat ia menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi lawan.

Pada saat itu, melihat keadaan Roro Luhito, Kartikosari marah sekali. la menerjang dengan cepat dan dahsyat. Padahal saat itu, Jokowanengpati baru saja menangkis keris Roro Luhito dan tubuhnya masih setengah berputar. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis tusukan hebat itu dengan pengerahan tenaga dalam tanpa memperdulikan dadanya yang terasa sakit sekali.

"Trakkkl!"

Dua batang keris yang bertemu dengan tenaga dalam yang dahsyat itu menjadi patah! Dua batang keris itu adalah keris pusaka yang terbuat dari wesi aji (besi mulia) pilihan; Namun karena digetarkan oleh tenaga sakti, tidak dapat menahan dan patah-patah. Jokowanengpati menyumpah dan melempar gagang kerisnya. Juga Kartikosari membuang gagang kerisnya. Pertandingan dilanjutkan dengan tangan kosong.

"Kucekik lehermui" Jokowanengpati mendesis marah, matanya sudah merah dan mukanya penuh keringat, bukan hanya keringat lelah, melainkan lebih banyak keringat menahan sakit pada dadanya.

"Maut sudah di depan mata masih banyak lagak!"

Roro Luhito berseru dan tiba-tiba wanita ini menerjang maju dengan kedua kaki tangan bergerak sekaligus! Serangan ini adalah bagian dari Aji Sosro Satwo, mirip dengan serangan seekor garuda yang menggunakan sepasang kaki. Kartikosari juga tidak mau ketinggalan, menyerbu dengan dahsyat didorong kebencian yang mendalam.

Jokowanengpati berusaha mengelak, namun tetap saja pundaknya terkena hantaman tungkak kaki Roro Luhito. Tungkak yang berkulit halus berwarna kemerahan, lunak dan hangat. Akan tetapi karena dipergunakan untuk mendugang dan disertai tenaga keras, membuat tulang pundak serasa remuk! Jokowanengpati menggulingkan tubuhnya, akan tetapi begitu ia meloncat bangun, ia sudah menghadapi serbuan yang lebih hebat lagi !.

Diam-diam ia mengeluh. Dua orang wanita ini tanpa senjata malah lebih hebat ! la sudah berusaha membalas dengan pukulan yang tidak kepalang tanggung, yaitu dengan Aji Siyung Warak yang apabila mengenai sasaran tentu akan meremukkan kepala memecahkan rongga dada.
Namun kedua lawannya amat gesit dan saling bantu, sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya. Ia dapat membayangkan betapa sangat ngeri nasibnya apabila roboh di tangan kedua wanita ini. Masih lebih ringan jatuh ke tangan dua ekor harimau betina daripada terjatuh ke tangan dua orang wanita yang mabok dendam sakit hati! Apalagi ketika ia mendengar seruan-seruan mereka yang agaknya sudah membayangkan kemenangan, jantungnya serasa beku.

Lanjut ke Jilid 056 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment