Ads

Friday, May 10, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 029

**** BACK ****

Perayaan itu diadakan pada senja hari. Yang menghadiri adalah seluruh penduduk perkampungan itu dan mereka semua mengenakan pakaian baru serba hitam. Semua penduduk bergembira mendengar ketua mereka hendak menikah dengan gadis jelita yang menjadi tamu agung di perkampungan itu.

Retno Wilis dibawa oleh isteri Ki Haryosakti ke dalam kamar pengantin dan di situ Retno Wilis didandani dengan pakaian pengantin. Selain seorang wanita yang biasa mendadani pengantin, di situ hadir pula Sarmini dan ibunya. Isteri KiHaryosakti ini agaknya menerima nasib, tidak tampak berduka walaupun suaminya hendak menikah lagi. Semua orang sibuk berlalu lalang untuk membantu persiapan pesta. Tiga ekor sapi dipotong dan entah berapa puluh ekor ayam.

Di dapur, para wanita sibuk memasak dan para pria masih ada yang sibuk menghias ruangan depan yang akan dipakai sebagai tempat pertemuan sepasang mempelai dan tempat duduk para anggauta Jambuka Cemeng. Karena kini akan menjadi isteri ketua Jambuko Cemang, Retno Wilis juga diharuskan memakai pakaian pengantin yang terbuat dari kain sutera berwarna hitam! Mukanya memakai kerudung hitam pula sehingga hanya Nampak sedikit dari balik cadar hitam itu. Bagus Seto sejak tadi tidak tampak akan tetapi hal ini tidak dipedulikan orang.

Gamelan yang berada di ruangan depan sudah dipukul orang sejak sore tadi. Anak-anak dengan gembira bermain-main di dekat situ sambil menonton gamelan yang mengiringi suara merdu tiga orang penyanyi. Tempat upacara pertemuan pengantin dan tempat duduk para tamu sudah dirias dengan janur-janur dan kain warna-warni.

Setelah waktunya tiba, pengantin wanita yang memakai cadar itu dibawa keluar kamar pengantin dan dipertemukan dengan pengantin pria sebagaimana mestinya diiringi suara gamelan yang memainkan lagu-lagu pertemuan pengantin, disaksikan oleh semua anggauta Jambuka Cemeng. Beberapa orang pini sepuh dari perkampungan itu yang melakukan upacara pernikahan itu semua orang mengikuti dengan gembira. Akhirnya, sepasang pengantin duduk bersanding dan semua tahu mulai berpesta makan minum dengan penuh kegembiraan.

Saroji menghampiri adiknya.
"Eh, kemana perginya kakangmas Bagus Seto? Sejak sore tadi aku tidak melihatnya."

Sarmini mengerutkan alisnya.
"Sejak tadi aku juga mencarinya, akan tetapi dia tidak ada. Jangan-jangan dia pergi meninggalkan tempat ini dengan diam-diam?"

"Mana mungkin?" Saroji menoleh ke arah pengantin wanita yang duduk dekat ayahnya dengan pandang mata penasaran.

"Tidak mungkin dia meninggalkan adiknya."

"Eh, kakang Saroji, apakah engkau melihat ibu?"

"Tidak, apakah tadi tidak bersama kita?"

"Memang tadi bersama kita semua, ikut membawa pengantin keluar kamar, akan tetapi setelah itu ia tidak tampak lagi. Jangan-jangan ibu menyembunyikan diri untuk melampiaskan kedukaannya, kakang!"

"Selama beberapa hari ini ibu tidak ada perubahan. Ibu telah menerima kenyataan itu dengan sabar. Sungguh mengherankan, kenapa ibu tidak tampak dan kakangmas Bagus Seto juga tidak tampak."

"Mari kita berdua mencari kakangmas Bagus Seto!" Ajak Sarmini. "Bagaimanapun juga, dia harus ikut merayakan pesta ini."

Kakak beradik itu lalu keluar dari tempat pesta. Di luar sunyi, perkampungan itu sunyi karena semua orang pergi ke tempat pesta. Mereka mencari ke mana-mana namun percuma. Mereka tidak dapat menemukan Bagus Seto juga tidak tampak ibu mereka di mana-mana. Tentu saja hal ini membuat mereka berdua terheran-heran dan terpaksa mereka kembali ke tempat pesta yang sudah mulai bubaran karena pesta makan minum sudah selesai.

Sepasang mempelai memasuki kamar mereka dan karena ibunya tidak ada, Sarmini mewakili ibunya mengantar sepasang mempelai ke kamar mereka. Setelah pintu kamar ditutup, Sarmini masih berdiri termangu di depan kamar itu, pikirannya kacau dan gelisah karena ia tidak melihat ibunya.

Kemana perginya orang tua itu? Dan mengapa pula Bagus Seto tidak menghadiri pesta perayaan pernikahan adiknya? Ia teringat akan pembicaraan kakaknya dengan Bagus Seto dan Retno Wilis. Bagus Seto menyatakan bahwa ia dan kakaknya tidak mengerti, dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengurusnya agar pernikahan itu tidak sampai terjadi, bahkan pemuda itu berjanji akan menyadarkan ayahnya. Akan tetapi seteiah tiba saatnya, pemuda itu pemuda yang amat dikaguminya, ternyata tidak muncul. Betapa kecewa hatinya! Tiba-tiba terdengar ayahnya berteriak-teriak dan suara ibunya menangis dari dalam kamar pengantin itu.

"Jahanam, aku telah tertipu! Keluar kau, cari di mana ia!" terdengar ayahnya berteriak dan pintu kamar itu terbuka.

Ibunya keluar dan Sarmini terbelalak. Wanita yang bercadar, berpakaian pengantin itu, adalah ibunya! Pengantin wanitanya adalah ibunya! Kemudian Ki Haryosakti meloncat keluar dan melihat Sarmini, dia lalu merangkulnya.

"Ah, kiranya engkau di sini, diajeng Retno Wilis!" Sarmini hendak dipondongnya.

Sarmini meronta.
"Ayah, ini aku, Sarmini! Lepaskan aku!"

Ki Haryosakti juga terbelalak dan bagaikan baru habis mimpi, dia menggosok-gosok kedua matanya.
"Permainan apakah ini? Tiba-tiba ibumu yang menjadi pengantin wanita, dan engkau tadi kulihat seperti Retno Wilis! Siapa yang bermain-main seperti ini?" Karena dia sendiri seorang yang ahli dalam ilmu sihir, tahulah dia bahwa dia menjadi permainan sihir yang amat kuat.

"Aku tidak tahu ... tadi tahu-tahu mereka merias aku, dan aku sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara ... " Isteri Ki Haryosakti menangis dengan sedih.

"Apa engkau melihat Retno Wilis?" tanya suaminya.

"Tidak, aku sama sekali tidak melihatnya. Tahu-tahu ia telah lenyap dari dalam kamar pengantin dan kulihat hanya Bagus Seto, itupun hanya sebentar. Dia berdiri di luar pintu dan memandangku dengan sinar mata aneh."

"Huh, jangan-jangan ini permainan mereka! Mereka telah mempermainkan aku, jahanam!"

Pada saat itu terdengar sorak sorai riuh rendah yang datangnya dari luar perkampungan. Lalu datang tergopoh-gopoh tiga orang lari menghampiri Ki Haryosakti.

"Celaka, denmas. Celaka, Bala Cucut datang menyerang dengan jumlah yang besar. Pimpinannya kini menantang-nantang di luar pintu gerbang!"

Mendengar ini, Sarmini sudah berlari cepat keluar dari tempat itu. Ia hampir bertubrukan dengan Saroji yang juga keluar membawa senjata tombak.

"Ada apa ribut-ribut itu?" tanya Saroji.

"Bala Cucut datang menyerbu, kakang. Mari kita ke sana!"

Mereka berdua lalu berlari cepat untuk memimpin anak buahnya ke luar dari perkampungan. Ternyata di depan pintu gerbang sudah berdiri seorang kakek tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan mata kirinya ditutup dengan kain hitam, yang dilibatkan di kepalanya. Kakek brewok itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan dia memegang sebatang golok besar yang tajam sekali dan ke lihatannya berat. Tempat itu disinari obor-obor yang dibawa para penyerbu dan juga banyak anak buah Jambuko Cemeng yang membawa obor bernyala. Jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang dan mereka semua bersenjatakan golok. Kepala mereka diikat dengan kain merah dan wajah mereka semua tampak buas.

"Suruh Ki Haryosakti, ketua kalian keluar untuk mengadu ilmu dengan aku. Katakan ini Brajamusti ketua Bala Cucut telah datang untuk menantangnya! Cepat suruh dia keluar, atau kami akan membikin perkampungan Jambuko Cemeng menjadi karang abang (lautan api)!"

Mendengar ini, Saroji dan Sarmini menjadi marah sekali. Mereka tahu bahwa ketua Bala Cucut ini hendak menuntut balas kematian tiga orang pembantunya.

"Tidak perlu ayah, kami berdua sanggup untuk mengirimmu ke neraka!" bentak Sarmini sambil menyerang dengan kerisnya. Pada saat itu, Saroji juga menyerang dengan tombaknya. Akan tetapi, Brajamusti menggerakkan goloknya dan sekali golok bergerak, dia sudah menangkis kedua senjata itu dengan kuat sekali. Tombak dan keris itu terpental dan hampir terlepas dari tangan kedua orang muda itu. Tentu saja mereka terkejut bukan main.

"Ha-ha-ha, jangan anak kecil yang maju. Panggil ayah kalian!" kembali Brajamusti menantang.

Akan tetapi Saroji sudah menyerang lagi dengan menusukkan tombak ke dada orang tinggi besar itu dan Sarmini juga sudah menubruk dan menikamkan kerisnya ke perut yang gendut itu.

"Tak ... ! Tak ... !" Keris dan tombak itu terpental seolah bertemu dengan dinding baja! Ternyata kakek itu memiliki kekebalan yang hebat.

"Ha-ha-ha-ha!" Brajamusti tertawa bergelak.

"Kalian berdua mundurlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Ki Haryosakti telah berdiri di situ, menyuruh kedua orang anaknya mundur.

Mendengar ini, dan melihat betapa saktinya pemimpin Bala Cucut, dua orang muda itu lalu mundur dan menonton dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa ayahnya kini berhadapan dengan lawan yang benar-benar amat tangguh. Ki Haryosakti beradu pandang dengan Brajamusti.

"Andika inikah pemimpin Bala Cucut?" tanyanya dengan lantang.

"Ha-ha-ha, benar akulah pemimpin Bala Cucut. Namaku Brajamusti dan kalau benar engkau ini yang bernama Haryosakti pemimpin Jambuko Cemeng, bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku!"

"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat memecahkan gunung! Aku adalah Haryosakti dan selama hidupku belum pernah aku mundur menghadapi lawan. Apa maksudmu malam-malam begini datang dengan anak buahmu ke perkampungan kami?"

"Ha-ha-ha, pertanyaan yang bodoh! Andika telah membunuh tiga orang anak buahku, tentu saja aku dating untuk membalas dendam!"

"Brajamusti, kalau benar engkau seorang gagah perkasa, datanglah di waktu matahari telah bersinar sehingga kita dapat berhadapan dalam cuaca terang. Tidak datang seperti maling malam-malam begini. Kalau engkau berani, aku tantang engkau bertanding besok pagi setelah matahari terbit, di tempat ini! Dan tidak boleh ada yang membawa pembantu. Kita bertanding satu lawan satu. Kalau aku kalah, maka aku akan menyerah dan engkau boleh berbuat sesuka hatimu. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minggat dari sini bersama anak buahmu!"

Tidak ada yang tahu bahwa tantangan Ki Haryosakti ini mengandung kecerdikan. Dia tadi sudah banyak minum tuak, menjadi setengah mabok dan tentu saja dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat bertanding dengan baik. Selain itu, pihak Bala Cucut datang pada malam hari dan tentu sudah mempunyai perhitungan dengan baik, sedangkan pihaknya yang mendapat serangan tiba-tiba di tengah malam itu belum dapat melakukan atau mengatur siasat. Dan lebih dari itu, baru saja dia mengalami guncangan batin yang hebat melihat bahwa pengantin wanita yang dinikahinya ternyata adalah isterinya sendiri sedangkan Retno Wilis entah ke mana.

Di lain pihak, Brajamusti yang ditantang untuk bertanding besok pagi, tentu merasa malu untuk menolak. Menolak tantangan dapat diartikan tidak berani. Dan diapun mengira bahwa pihak tuan rumah tentu dapat mengatur siasat pertahanan lebih baik dari pada pasukannya yang tidak mengenal medan. Kalau pertandingan dilakukan besok di pagi hari, dia tidak khawatir musuh mengatur jebakan-jebakan yang tidak terlihat di waktu malam.

"Babo-babo, siapa takut padamu, Haryosakti! Besok pagi diwaktu matahari muncul, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawamu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, dia lalu meneriakkan anak buahnya agar mundur dan membuat perkemahan agak jauh dari kampung untuk melewatkan malam itu.

Sementara itu, Ki Haryosakti segera mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan menyusun pertahanan kalau besok musuh datang menyerang. Setelah itu, kembali dia mencari Retno Wilis, bahkan mengerahkan orang-orangnya untuk mencari di perkampungan itu, namun segala usahanya sia-sia. Retno Wilis dan Bagus Seto tidak dapat mereka temukan!

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai bersinar mengusir kabut pagi, muncullah Brajamusti bersama belasan orang pembantunya yang menjadi pasukan pengawalnya dan di belakangnya datang berbondong-bondong anak buahnya yang semua sudah membawa golok telanjang. Sikap mereka itu menantang dan bengis sekali.

Ki Haryosakti menyambut musuh, diiringkan Saroji dan Sarmini bersama pasukan pengawal yang belasan orang banyaknya. Akan tetapi pemuda dan gadis ini tidak berani sernbarangan maju karena mereka berdua sudah mengenal kesaktian Brajamusti yang memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga tombak dan keris mereka tidak mampu melukainya. Ki Haryosakti yang sudah mendengar keterangan dua orang anaknya tentang kesaktian Brajamusti juga melarang mereka maju. Dia sendiri yang akan menghadapi Ki Bajramusti yang tangguh itu.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya Ki Brajamusti ternyata memiliki kegagahan dan memenuhi tantanganku. Apakah andika telah siap untuk menghadapi kekalahan?" Ki Haryosakti berkata mengejek untuk menjatuhkan nyali lawan.

Ki Brajamusti tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, masih untung semalam aku menitipkan nyawamu kepadamu, Haryosakti. Akan tetapi pagi ini aku akan mengambilnya dan semua orang-orangmu harus tunduk kepadaku atau akan kubasmi semua!"

"Babo-babo! Jangan omong besar. Sekarang tentukan bagaimana pertandingan diadakan. Kita berdua satu lawan satu, ataukah main keroyokan? Kami sudah siap!"

"Jangan seperti anak kecil, Haryosakti. Kita berdua adalah orang-orang tua yang memegang teguh janji. Kita bertanding satu lawan satu dan siapa yang kalah harus menaati kehendak yang menang. Bagaimana, setujukah engkau dengan peraturan ini?"

"Bagus, itulah yang kukehendaki. Mari kita mulai!" jawab Ki Haryosakti yang sudah membawa senjata pusakanya, yaitu tombak pusaka yang ampuh. Dia melintangkan tombak di depan dada dan sikapnya menantang, kuda-kudanya teguh.

Melihat ini, Ki brajamusti mengeluarkan suara tawa bergelak, kemudian dia memutar golok besarnya ke atas kepala sambil berseru,
"Akupun sudah siap, mari kita mulai!"

Ki Haryosakti tidak sungkan lagi, berteriak lantang,
"Lihat tombakku!"

Tombaknya sudah menyambar ke depan dengan tusukan kilat ke arah perut lawan. Brajamusti menggerakkan goloknya menangkis serangan tombak yang amat berbahaya itu. Kini tentu saja dia tidak berani mengandalkan kekebalan tubuhnya. Tombak itu sebatang tombak pusaka dan kini digerakkan oleh seorang yang memiliki tenaga sakti kuat. Goloknya menangkis dari samping.

"Trangg ... !!" Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka panas ketika senjata mereka saling bertemu.

Haryosakti menyusulkan serangan bertubi dengan tombaknya. Brajamusti memutar-mutar goloknya dan beberapa kali tombak itu tertangkis golok. Ketika mendapat kesempatan, Brajamusti membalas serangan lawan, goloknya menyambar dengan serangan maut. Namun, Ki Haryosakti cukup gesit untuk mengelak dan ketika golok itu terus menerjang dengan ganasnya, diapun menangkis dengan tombaknya dan kembali dua senjata bertemu dengan kuatnya. Serang menyerang terjadi dan kedua orang itu masing-masing merasa terkejut karena ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang. Mereka mengeluarkan semua ilmu mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan kemenangan. Gerakan kedua orang itu demikian cepatnya sehingga bentuk golok dan tombak lenyap, berubah menjadi dua gulung sinar yang saling mendesak dan saling menekan.

Satu jam lebih mereka bertanding dan belum tampak ada yang akan menang atau kalah. Entah sudah berapa puluh kali senjata mereka saling bertemu. Akan tetapi diam-diam Haryosakti terkejut. Dia merasa betapa kedua tangannya lelah sekali karena benturan-benturan antara kedua senjata itu. Ternyata tenaga lawan luar biasa kuatnya. Karena maklum bahwa akhirnya dia akan kalah kalau pertandingan dengan senjata itu dilanjutkan, tiba-tiba dia melompat ke belakang dan berseru nyaring,

"Tahan senjata!"

Brajamusti menghentikan gerakannya dan tertawa.

"Ha-haha, belum lecet kulitmu engkau mengajak berhenti. Apakah engkau hendak mengaku kalah, Haryosakti?"

"Siapa yang kalah? Aku tidak kalah. Akan tetapi karena dalam pertandingan adu senjata kita sama kuat, bagaimana kalau sekarang diganti dengan pertandingan tangan kosong? Kita mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang, tidak lagi mengandalkan senjata melainkan mengandalkan kadigdayaan. Beranikah engkau?"

Brajamusti kembali tertawa. Dia sendiri sudah merasa bingung tadi karena sekian lamanya tidak mampu mendesak lawan. Kini lawannya mengusulkan untuk bertanding tanpa senjata, maka tentu saja dia merasa senang sekali. Dia memiliki tubuh yang kebal dan tenaga yang besar.

"Bagus, siapa takut padamu? Mari kita lanjutkan dengan tangan kosong!" Dia lalu menyerahkan goloknya kepada seorang pengawal.

Haryosakti juga menyerahkan tombaknya kepada Saroji dan kedua orang ketua jagoan ini kini saling berhadapan lagi dengan tangan kosong. Diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sakti disalurkan ke dalam ke dua lengan, dan Haryosakti berteriak,

"Lihat pukulan!" dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tangan kanannya menampar ke arah dagu lawan sedangkan tangan kirinya sudah siap menyusulkan serangan kalau tamparannya tidak berhasil.

"Hemm ... !" Brajamusti mengelak dengan menarik mukanya ke belakang hingga tamparan itu luput dan ketika tangan kiri Haryosakti menyusulkan tonjokan ke arah dadanya, tangan kanannya membuat gerakan berputar dan dia sudah menangkis pukulan ke arah dadanya itu.

"Dukk ... !" Kedua lengan bertemu dan keduanya mundur selangkah. Kini Brajamusti membalas serangan lawan dengan tendangan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali ke arah perut Haryosakti, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng inipun sudah dapat mengelak. Serang menyerang kembali terjadi di antara keduanya. Mereka mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh mereka dalam usahanya untuk merobohkan lawan.

Saroji dan Sarmini menonton dengan alis berkerut. Mereka berdua maklum bahwa pihak lawan sungguh amat tangguh dan mereka tadi sudah melihat keringat membasahi leher ayah mereka ketika berhenti sebentar. Mereka berdua tidak dapat membantu ayah mereka karena hal itu akan dianggap curang. Maka dengan jantung berdebar tegang mereka hanya dapat menonton.

Kekhawatiran dua orang muda itu ternyata terbukti tidak lama kemudian. Setelah pertandingan berlangsung limapuluh jurus lebih, mulai tampaklah betapa Ki Haryosakti terdesak mundur. Sudah beberapa kali dia terkena tamparan dan pukulan lawan yang membuat dia terhuyung. Dan beberapa kali pukulannya juga bersarang kepada tubuh lawan, akan tetapi ternyata tubuh itu kebal, membuat pukulannya mental kembali seperti mengenai benda dari karet saja.

"Robohlah!" Tiba-tiba Bajramusti berseru dan sebuah tendangan kakinya mengenai perut lawan.

Ki Haryosakti tidak dapat menghindar. Perutnya tertendang dan dia-pun roboh terjengkang! Bajramusti bertolak pinggang sambil menertawakan lawannya. Para pembantunya ikut pula tertawa dan anak buahnya yang berada di belakang bersorak melihat kemenangan ketua mereka. Sebaliknya, di pihak Jambuko Cemeng orang-orangnya hanya berdiam saja dengan hati tegang.

"Ha-ha, Ki Haryosakti. Engkau sudah kalah! Akuilah kekalahanmu dan mulai sekarang kalian semua harus menaati perintahku!"

Tiba-tiba Saruji dengan tombak ayah-nya di tangan melompat maju.
“Ayah sudah kalah akan tetapi aku belum! Aku yang akan melawanmu, Bajramusti!"

Melihat majunya pemuda itu, Bajramusti tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, ayahnya sudah kalah kini maju anaknya. Heh, orang muda, engkau bukan tandinganku, apakah engkau sudah bosan hidup?"

Melihat puteranya maju, Ki Haryosakti juga berseru,
"Saroji, mundur kau!" Dia tahu bahwa kalau puteranya maju, sama halnya dengan membunuh diri.

Pada saat itu terdengar seruan suara wanita,
"Ki Bajraniusti, akulah lawanmu!"

Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya terkejut mendengar suara Retno Wilis, dan kini mereka melihat Retno Wilis muncul bersama Bagus Seto! Retno Wilis sudah melompat ke depan dan berkata kepada Saroji,

"Lebih baik andika mundur, biar aku yang menghadapi raksasa brewok ini!”

Saroji ragu-ragu, tidak tega membiarkan Retno Wilis melawan ketua Bala Cucut itu, akan tetapi sekali lagi Haryosakti menghardik kepada puteranya untuk mundur. Saroji lalu mundur dan menonton bersama adik dan ayahnya dengan hati tegang dan juga heran. Bagaimana Retno Wilis akan mampu menghadapi raksasa yang amat sakti itu. Bagus Seto juga memandang sambil tersenyum dan pemuda ini menonton di satu pinggiran, tidak mendekati keluarga Haryosakti.

Sementara itu, ketika Brajamusti melihat majunya seorang gadis yang cantik jelita, dia tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya.

"Hoa-ha-ha-ha! Jambuko Cemeng sudah kehabisan jago dan mengajukan seorang perawan cantik untuk melawan aku. Wong ayu, jangan andika yang maju sayang kecantikanmu, sayang kulitmu yang halus kalau sampai lecet. Lebih baik andika ikut bersamaku dan kujadikan selir, ha ha-ha!”

"Brajamusti, tidak perlu bermulut besar. Kalau andika dapat mengalahkan aku, barulah andika berhak untuk bermulut besar! Atau barangkali andika takut melawan aku?”

"Takut? Ha-ha, takut? Aku takut kalau sampai membunuh atau melukaimu, cah ayu.”

"Kalau begitu, bersiaplah andika!”

"Ha-ha-ha, aku sudah siap, ha-ha-ha!”

"Lihat seranganku! Haiiiittt ...!" Retno Wilis menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu.

Brajamusti hendak memamerkan kekebalannya maka diapun membiarkan saja dadanya terbuka untuk dihantam. Jari-jari tangan Retno Wilis yang kecil mungil itu bertemu dengan dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Akan tetapi ia mempergunakan aji Wisolangking.

"Wuuuttt.....dess ....!!”

"Aduh .... mati aku .....!!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan roboh terguling-guling. Brajamusti merasa dadanya seperti pecah. Untung dia tadi mengerahkan ilmu kekebalannya sehingga dia tidak mati terpukul. Dia melompat bangun, menggosok-gosok dadanya dengan telapak tangan kiri sambil memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong penuh kemarahan.

Sementara itu, Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya, juga para anggauta Jambuko Cemeng, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Baru sekarang mereka mengetahui bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebat sehingga sekali pukul saja dapat membuat raksasa itu roboh terguling-guling! Terutama sekali Ki Haryosakti. Wajahnya berubah pucat lalu kemerahan. Dan dia sudah hendak memperisteri gadis itu! Sekarang baru dia merasa bahwa dia dipermainkan!

Ki Bajramusti kini marah bukan main. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, dia lalu menyerang, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menerkam tubuh gadis itu. Akan tetapi tubrukannya luput dan tiba-tiba saja gadis itu lenyap. Kemudian dari belakang dia mendengar ada angin menyambar. Cepat dia merendahkan diri untuk mengelak. Ternyata gadis itu sudah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan gadis itu seolah-olah pandai menghilang saja. Dia menjadi semakin marah dan dengan mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, dia melanjutkan gerakannya, menyerang secara bertubi-tubi, mencakar, menampar, menghantam bahkan kakinya yang panjang besar itu beberapa kali menendang. Namun, dia seperti menyerang angin saja. Semua serangannya tidak mengenai sasaran.

Retno Wilis telah mempergunakan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak seperti seekor burung walet, menyambar-nyambar menghindar kesana-sini dan berputaran. Bajramusti ikut pula berputaran sampai kepalanya menjadi pening dan beberapa kali dia terhuyung! Ketika mendapat kesempatan, Retno Wilis kembali menampar dan tamparannya mengenai leher Bajramusti.

"Wuuuttt..... plak ....!" Biarpun yang menampar hanya tangan yang kecil mungil, akan tetapi Bajramusti merasa seperti disambar petir. Hanya kekebalannya yang luar biasa saja yang masih melindunginya. Tubuhnya berputaran, kepalanya pening dan akhirnya diapun roboh untuk yang kedua kalinya.

Akan tetapi dia memang kebal dan kuat. Dari keadaan roboh itu dia melompat dan kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap pinggang yang ramping itu. Dia mengeluarkan suara tawa girang dan dengan sepenuh tenaga dia hendak mengangkat tubuh yang pinggangnya sudah dilingkari jari-jarinya yang panjang dan besar itu.

Akan tetapi Retno Wilis yang tadi lengah sehingga pinggangnya dapat disambar, mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya seberat batu gunung. Bajramusti mengerahkan tenaga untuk mengangkat, namun tubuh itu tidak bergeming sedikitpun juga. Dia merasa terkejut dan penasaran, lalu mengerahkan lagi tenaga sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun tetap saja sia-sia. Dan Retno Wilis yang marah karena pinggangnya dipegang orang, lalu menggerakkan kakinya menendang, mengenai perut yang gendut itu.

"Wuuuttt .....ngekkk ...!" Pegangan Bajramusti terlepas dan tubuhnya terlempar dan terjengkang ke belakang, terbanting keras.

Kini agak lambat dia merangkak bangun karena kepalanya terasa pening. Dan setelah dia bangkit, dia sudah merampas golok yang dibawa pembantunya. Sikapnya amat menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, mukanya menjadi merah sekali, matanya melotot dan mengeluarkan busa. Dia mengangkat goloknya tinggi di atas kepala.

Ki Haryosakti dan dua orang anaknya yang tadinya terkagum-kagum melihat Retno Wilis berulang kali merobohkan Bajramusti, kini memandang dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Retno Wilis tetap bersikap tenang, ia meloloskan pedang Sapudenta dan menanti serangan lawan
dengan pedang di tangan. Ketika Bajramusti melihat gadis itu sudah memegang sebatang pedang yang baginya amat kecil tidak berarti, dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya sudah menerjang maju, goloknya menyambar-nyambar bagaikan cakar maut ke arah Retno Wilis.

Akan tetapi gadis ini dengan mudahnya mengelak ke sana sini, kemudian ketika golok itu dengan cepat menyambar ke arah kepalanya, iapun menggerakkan pedang Sapudenta untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Singgg ..... trakkk ....!!" Golok itu putus menjadi dua potong!

Ki Haryosakti sampai bersorak melihat kehebatan gadis itu. Sebaliknya Ki Bajramusti terkejut bukan main. Dia melemparkan gagang golok ke arah Retno Wihs. Gadis ini menangkis dengan pedangnya dan sisa golok itu meluncur ke bawah dan menancap ke atas tanah. Tiba-tiba Ki Bajramusti mengangkat kedua tangan ke atas, mulutnya berkemak kemik membaca mantra dan tiba-tiba saja ada asap hitam bergulung-gulung keluar dari kedua tangannya dan asap itu menyerbu ke arah Retno Wilis.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 030 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment