Ads

Sunday, September 30, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra

* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 001
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 002
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 003
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 004
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 005
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 006
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 007
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 008
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 009
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 010
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 011
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 012
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 013
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 014
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 015
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 016
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 017
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 018
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 019
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 020
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 021
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 022
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 023
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 024
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 025
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 026
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 027
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 028
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 029
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 030
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 031
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 032
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 033
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 034
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 035
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 036
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 037
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 038
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 039
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 040
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 041
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 042
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 043
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 044
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 045
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 046
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 047
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 048
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 049
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 050
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 051
* Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 052 (TAMAT)

Monday, September 24, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 052 (TAMAT)

◄◄◄◄ Kembali

Matahari mulai condong ke barat. Nurseta masih menanti datangnya malam. Dia bersembunyi di atas sebatang pohon besar yang berdaun lebat sehingga tidak akan tampak dari bawah pohon sekalipun. Tiba-tiba dia yang mengintai dari atas pohon melihat seorang gadis berlari terhuyung-huyungi. Di belakangnya, sekitar belasan depa jauhnya tampak dua orang gadis lain mrngejarnya. Gadis Itu rambutnya terurai lepas dari gelungnya berkibar dibelakangnya. pakaiannya sudah koyak koyak dan melihat larinya yang terhuyung Itu Nurseta menduga bahwa ia tentu terluka

"Widarti, berhenti kau! serahkan kembali Megatantra kepada kami" teriak wanita-wanita yang mengejanya dan seorang diantara dua pengejar iu meluncurkan anak panah.

Anak panah mengenai bahu gadis itu, menancap dan gadis itu mengaduh lalu terpelanting rubuh. Kini Nurseta teringat, Gadis itu adalah Widarti, selir termuda dari Pangeran Hendratama, dan mereka yang mengejar adalah Sukarti dan Kenangasari, dua orang selir Pangeran Hendratama yang lain. Maka cepat Nurseta melayang turun dari atas pohon dan dengan lompataan yang jauh dan cepat, dia telah tiba lebih dulu di dekat Widarti.

Sukarti dan Kenangasari terkejut bukan main ketika tiba-tiba mereka melihat Nurseta disitu. Tanpa banyak capak mereka sudah meluncurkan anak panah menyerang pemuda itu. Namun Nurseta bergerak maju menghampiri mereka dan ketika empat batang anak panah menyambar kearah tubuhnya, dia menangkis dengan kibasan kedua tanga dan anak-anak panah itu rubuh.

Akan tetapi dua orang gadis canti itu selir Pangeran Hendratama itu kini menyerang dengan keris mereka, menusukkan keris itu ke arah perut dan dada Nurseta. Nurseta menangkis dengan pengerahan tenaga.

"Plak.. Plak"

Dua orang gadis itu menjerit kesakitan, keris mereka terlepas dari pegangan mereka dan terlempar dan lengan kanan mereka terasa nyeri bukan main terkena tangkisan tangan Nurseta. Maklum bahwa mereka berdua bukan lawan pemuda itu, Sukarti dan Kenangasari lalu membalikkan tubuh mereka dan melarikan diri secepatnya.

Nurseta tidak memperdulikan mereka, cepat dia menghampiri Widarti, lalu berjongkok untuk memeriksa keadaan gadis itu. Widarti rebah telentang, memandang kepada Nurseta dan tersenyum, walaupun senyumnya tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang ditanggungnya. Nurseta terkejut melihat bahwa gadis ini bukan hanya terluka anak panah yang masih menancap di bahunya, akan tetapi juga lambungnya bercucuran darah, agaknya terluka tusukan keris. Luar biasa sekali bahwa gadis itu masih dapat bertahan dan melarikan diri.

"Nurseta..... terima kasih..... engkau datang..... aku memang mencarimu..... untuk menyerahkan ini....." dengan tangan gemetar Widarti mengambil keris dengan warangkanya yang terselip di pinggangnya dan menyerahkannya kepada Nurseta. ".....ini..... Megatantra, terimalah....."

Nurseta melihat keris itu memiliki gagang dan warangka yang indah. Dia lalu mencabutnya dan alangkah girangnya melihat bahwa keris itu memang Sang Megatantra yang dulu ditukar dengan keris palsu oleh Pangeran Hendratama.

"Ah, terima kasih Widarti. Jangan banyak bicara, aku akan mencoba mengobati lukamu.:

"tidak, Jangan.. Percuma.. aku tidak kuat lagi.. "

"Akan tetapi, kenapa engkau lakukan ini , Widarti? Mengapa engkau mengambil Megatantra dan menyerahkan kepadaku dengan mengorbankan dirimu? Mengapa?"

Napas gadis itu sudah empas empis. Agaknya ia sudah mengeluarkan terlalu banyak darah dari luka dilambungnya sehingga wajahnya pucat sekali.

"...aku... ayahku.. dibunuh jahanam Hendratama itu.. karena tidak mau ikut memberontak.. aku.. aku lalu mencuri Megatantra...hendak aku serahkan kepadamu... akan tetapi aku kepergok Sukarti dan Kenangasari.. aku terluka... mencoba lari.. dan... " Ia terkulai, tidak kuat bicara lagi.

"Widarti... !" Nurseta mengguncang lengannya. Widarti membuka kembali matanya yang sudah kehilangan cahayanya.

".....Nur..... Nurseta..... aku.....maafkan aku....." Ia terkulai lagi dan ketika Nurseta memeriksanya, ternyata wanita itu sudah menghembuskan napas terakhir.

Gadis malang, pikir Nurseta dengan hati terharu. Gadis ini terpaksa menjadi selir Pangeran Hcndratama karena ayahnya seolah berada di tangan pangeran itu. ia terpaksa melayani dan bersikap setia kepada Pangeran Hendratama, akan tetapi akhirnya ayahnya dibunuh juga karena ayahnya tidak mau ikut memberontak. dan akhirnya, Widarti membalas dendam dengan mencuri Megatantra untuk dikembalikan kepadanya dan untuk itu ia harus menebus dengan nyawanya.

"Terima kasih, Widarti, semoga rohmu mendapatkan tempat yang jauh lebih membahagiakan daripada hidupnya di dunia ini." Nurseta berbisik dan menggunakan jari-jari tangannya untuk metutupkan sepasang mata yang agak terbuka itu.

Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari arah larinya dua orang selir Pangeran Hendratama tadi. Tentu dua orang selir itu memanggil bala bantuan. Nurseta cepat menyelipkan keris di pinggang, lalu memondong dan membawa lari jenazah Widarti pergi dari situ. Dia membawa jenazah itu cukup jauh memasuki kota raja sambil memondong jenazah sehingga orang-orang melihatnya dengan heran. Akan tetapi Nurseta langsung mencari Ki Patih Narotama di benteng pasukan. Setelah bertemu, diceritakannya tentang Widarti yang mencuri Sang Mcgatantra dari Pangeran Hendratama dan mengembalikannya kepadanya. Sore hari itu Juga K i Patih Narotama membawa Nurseta menghadap Sang Prabu Erlangga. Ketika Nurseta menceritakan tentang Widarti dan keris pusaka Sang Megatantra, lalu mempersembahkan keris pusaka itu, Sang Prabu Erlangga menerima dan mencabut keris pusaka itu. Dia menghela napas.

"Kasihan Widarti itu. Ia telah berjasa maka kakang patih, aturlah agar jenazah Widarti mendapatkan tempat pemakaman terhormat. Sekarang Sang Megatantra tidak berada di tangan Pangeran Hendratama lagi. Terimalah, Kakang Narotama dan pergunakan pusaka ini untuk diliatkan kepada para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama untuk membuktikan bahwa wahyu kedaton tidak berada pada pemberontak itu."

Narotama mengerti akan maksud Sribaginda. Dia menerima keris pusaka itu lalu mohon diri, keluar dari istana bersama Nurseta.

"Nurseta, menurut hasil penyelidikanmu tadi, yang berada di dalam hutan selatan itu hanya pasukan Kahuripan? Apakah andika tidak melihat dari empat kerajaan yang bergabung dengan Pangeran Hendratama itu?"

"Hamba kira mereka belum datang, gusti patih. Hamba melihat betapa sarang mereka itu dikepung oleh para penjaga yang terdiri dari perajurit Kahuripan. Kalau mereka sudah datang, tentu akan ada perajurit mereka yang ikut melakukan penjagaan."

"Bagus, kalau begitu, kita serbu mereka sebelum pasukan dari empat kerajaan itu datang bergabung. Kalau diberi kesempatan mereka bergabung, mereka akan menjadi barisan yang kuat sekali. Yang menjadi pelopor adalah Pangeran Hendratama yang mengandalkan pengaruh Sang Megatantra. Kalau dia dihancurkan, kerajaan-kerajaan kecil itu pasti tidak akan berani menyerang sendiri-sendiri. Juga tanpa ada pelopor yang mengaturnya tidak mungkin mereka berempat dapat bersatu karena di antara mereka sendiri sering terjadi bentrokan."

Ki Patih Narotama lalu memimpin sendiri pasukan Kahuripan memasuki hutan selatan, dibantu oleh Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, Nurseta dan beberapa orang senopati lain yang setia kepada Sang Prabu Erlangga. Karena Ki Patih Narotama sudah mengetahui siapa-siapa di antara para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama dan tahu berapa besar jumlah perajurit mereka, maka dia memimpin pasukan secukupnya saja agar kota raja tidak kosong dengan pasukan dan tetap terjaga.

Setelah tiba di tengah hutan yang mereka datangi dengan diam-diam, Narotama mengatur barisannya mengepung sarang pemberontak itu. Setelah dikepung rapat, Narotama memberi isyarat dan para perajurit menyalakan obor dan menancapkan obor obor itu di atas tanah sedang mereka sendiri menjauhi penerangan obor agar jangan menjadi sasaran anak panah musuh.

Begitu obor-obor dinyalakan, gegerlah pasukan yang berada di sarang pemberontak itu. Mereka sedang menanti datangnya pasukan empat kerajaan yang akan bergabung dan tiba-tiba saja kini mereka dikepung musuh. Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya segera memimpin pasukan mereka untuk siap melakukan perlawanan. Pangeran Hendratama sedang marah-marah karena keris pusaka Sang Megatantra yang disimpannya telah hilang, padahal yang mengetahui tempat penyimpanan pusaka itu hanya dia sendiri dan tiga orang selirnya yang dia percaya akan kesetiaan mereka. Kemudian datang Sukarti dan Kenangasari yang melaporkan bahwa Widarti yang mencuri pusaka itu dan mereka berdua mengejarnya hanya berhasil merobohkan Widarti akan tetapi tidak dapat merampas kembali pusaka itu karena muncul Nurseta yang melindungi Widarti.

Saking kecewa, penasaran dan marahnya, Pangeran Hendratama mengamuk, membunuh Sukarti dan Kenangasari yang dia anggap bersekongkol dengan Nurseta dan sengaja membiarkan Widarti melarikan pusaka itu. Dia sedang marah dan kebingungan karena hanya pusaka itulah yang menjadi andalannya untuk menarik para senopati untuk mendukungnya. Dia merasa telah menemukan pusaka yang menjadi wahyu kedaton sehingga dia sudah ditentukan oleh para dewa untuk menjadi raja. Dan kini pusaka itu hilang!

Selagi dia marah dan kebingungan, terjadi geger bahwa sarang mereka dikepung balatentara Kahuripan! Para perajurit pasukan pemberontak menjadi panik dan karena ketakutan mereka lalu menyerang dengan anak panah secara ngawur karena biarpun di sekeliling sarang itu terang benderang oleh ribuan obor, namun pihak musuh tidak tampak. Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali sehingga terdengar oleh semua perajurit anak buah pemberontak.

"Dengar dan lihat baik-baik, para perwira dan tamtama Kahuripan yang memberontak! Aku Ki Patih Narotama memperingatkan bahwa kalian telah ditipu oleh pengkhianat Hendratama!" Suara Ki Patih Narotama terdengar lantang sekali karena patih yang sakti mandraguna ini mengerahkan tenaga saktinya sehingga suara itu terdengar nyaring dan jelas.

Pangeran Hendratama melihat Ki Patih Narotama berdiri di atas sebuah batu besar. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menghujankan anak panah kepada Ki Patih Narotama. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah patih yang berdiri di atas batu besar dan tampak jelas karena disinari beberapa batang obor yang ditancapkan di sekeliling batu besar. Akan tetapi, Nurseta yang sudah berada di situ dan memang bertugas melindungi Ki Patih Narotama, melompat dan memutar sebatang ranting. Tubuhnya berkelebatan seperti tatit dan ranting ditangannya itu menjadi gulungan sinar yang menangkis semua anak panah yang meluncur ke arah tubu Narotama. Patih ini yakin akan kemampuan Nurseta maka tidak mengacuhkan serangan itu dan melanjutkan kata-katanya yang nyaring.

"Dengar kalian semua! Pengkhianat Hendratama itu tidak memiliki keris pusaka Sang Megatantra. Lihat ini! Keris pusaka Sang Megatantra telah kembali kepada Gusti Sinuwun, Sang Prabu Erlangga. Ini buktinya, kalian lihat sendiri!" Narotama mengacungkan keris Megatantra ke atas sehingga dapat dilihat semua orang.

Para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama terkejut melihat keris pusaka di tangan Ki Patih Narotama itu.

"Bohong, dia bohong! Sang Megatantra ada padaku!"

Pangeran Hendratama berteriak dengan khawatir dan bingung, tidak mengira bahwa pusaka yang dicuri oleh Widarti itu kini telah berada di tangan Ki Patih Narotama.

"Kalau dia bohong, coba perlihatkan Pusaka Megatantra itu, pangeran!" kata seorang senopati yang diturut oleh yang lain.

"Ada, ada kusimpan baik-baik!" kata Pangeran Hendratama.

"Mari kita gempur pasukan kerajaan itu!"

Pada saat itu terdengar sorak sorai dari arah selatan. Seorang perajurit yang bertugas jaga di bagian selatan, datang berlari-lari dan melaporkan kepada Ki Patih Narotama.

"Gusti Patih, pasukan Parang Siluman dan Wengker sudah datang dari arah selatan! Jumlah mereka semua sekitar tiga ribu orang lebih!"

Mendengar laporan ini, Narotama kembali berseru dengan suara lantang. "Dengarlah, para senopati yang tertipu oleh pengkhianat Hendratama. Kalau kalian membantu kami menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker yang datang itu, rnaka dosa kalian akan diampuni! Sebaliknya kalau kalian melanjutkan pemberontakan mendukung pengkhianat Hendratama dan bergabung dengan empat kerajaan musuh, kalian semua akan dibinasakan!"

Mendengar seruan lantang ini, para senopati merasa bimbang ragu. Sementara itu, pasukan Parang Siluman yang dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala, yaitu kakak Ratu Durgamala, ditemani kedua orang keponakan juga muridnya, yaitu Lasmini dan Mandari, sudah tiba di luar sarang itu dan terjadilah bentrokan perang dengan pasukan Kahuripan. Juga pasukan Kerajaan Wengker yang dipimpin oleh Resi Bajrasakti dan muridnya, Linggajaya, sudah bertempur melawan pasukan Kahuripan yang mengepung sarang itu dibagian Barat Daya. Tiba-tiba para senopati yang tadinya, mendukung Pangeran Hendratama, berseru memberi perintah kepada pasukan mereka. Terdengar teriakan-teriakan menggegap gempita.

"Hidup Ki Patih Narotama! Hidup Sang Prabu Ertangga'" Dan mereka sudah bergerak ke selatan dan barat daya untuk membantu pasukan Kerajaan Kahuripan menyambut dan menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker!

Ki Patih Narotama tersenyum lega. Siasatnya berhasil. Pasukan yang tadinya mendukung Pangeran Hendratama yang hendak memberontak itu telah dapat disadarkan dan kini mereka menambah kekuatan pasukannya untuk menghadapi pasukan kerajaan-kerajaan yang sejak dulu memang memusuhi Kahuripan.

Maka dia lalu memberi aba-aba yang diteruskan para perwira untuk mengumpulkan pasukan dan menyerbu ke dalam sarang musuh. Dia sendiri bersama Nurseta memimpin paling depan. Karena yang berada di sarang itu hanya pasukan para senopati Kahuripan yang mendukung Pangeran Hendratama dan kini hampir semua pasukan telah membalik dan menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker yang baru tiba, maka pasukan Narotama yang memasuki sarang itu tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Sebagian dari mereka yang benar benar setia kepada Pangeran Hendratama dengan mudah dirobohkan atau ditawan.

Pangeran Hendratama menjadi panik melihat pasukan yang mendukungnya kini membalik malah menyambut kedatangan pasukan Parang Siluman dan Wengker dengan serangan. Perasaan takut lebih besar daripada kemarahannya. Dia maklum bahwa usahanya merebut tahta kerajaan dari Sang Prabu Erlangga telah gagal total. Maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, dia sudah bermaksud untuk melarikan diri, akan tetapi tiba tiba, di antara sinar obor obor yang begitu banyak sehingga cukup menerangi tempat itu, tahu-tahu Ki Patih Narotama sudah berdiri menghadang di depannya

"Pangeran Hendratama, permainan andika sudah usai. Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Gusti Sinuwun!" kata Ki Patih Narotama.

Sesosok bayangan lain berkelebat dan Nurseta berdiri di samping ki patih. Melihat dua orang ini, Pangeran Hendratama menjadi pucat wajahnya. Apalagi melawan keduanya, baru melawan seorang di antara mereka saja dia takkan menang. Namun karena keadaan sudah membuat dia tersudut, dia menjadi nekat. Dengan tombak pusaka yang sejak tadi memang sudah dibawanya, dia menyerang Ki Patih Narotama sambil mengeluarkan suara gereng seperti seekor harimau marah. Ki Patih Narotama melompat ke belakang.

"Nurseta, kuserahkan dia kepadamu. Tangkaplah agar dapat kita hadapkan Gusti Sinuwun!"

"Sendika, gusti patih!" kata Nurseta yang maklum bahwa Ki Patih Narotama mempunyai tugas yang penting, yaitu mengatur pasukan untuk menghadapi dua pasukan musuh dari Parang Siluman dan Wengker.

"Pangeran, memang lebih baik kalau andika menyerah." katanya sambil menghadapi pangeran yang sudah nekat itu.

Melihat pemuda yang dianggap menjadi gara-gara kegagalan ambisinya itu, Pangeran Hendratama menjadi semakin marah dan dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu tombaknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang dan membunuh Nurseta.

Akan tetapi, dengan ilmu meringankan tubuh yaitu Aji Bayu Sakti Nurseta yang bertangan kosong memainkan ilmu silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayangan sehingga Pangeran Hendratama menjadi bingung.

Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan. Karena lawan seolah tidak mungkin diserang, Pangeran Hendratama memutar tombak sehingga sinar tombak itu menjadi perisai yang melindungi dirinya. Dengan demikian, biarpun dia tidak dapat menyerang lawan, lawanpun sukar untuk dapat menyerangnya.

Kalau saja Nurseta menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkan pangeran itu dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh atau melukai pangeran ini yang bagaimanapun juga adalah kakak ipar Sang Prabu Erlangga sendiri. Bahkan Ki Patih Narotama saja tadi tampak enggan bertanding melawan Pangeran Hendratama.

Apalagi ki patih tadi menugaskan kepadanya untuk menangkap pangeran yang berkhianat dan memberontak ini, maka diapun bermaksud hendak menangkap tanpa melukainya. Melihat sang pangeran pemberontak itu memutar tombak dengan dahsyat sehingga sinar tombak membuat dia sukar untuk dapat menangkapnya, maka Nurseta terpaksa menggunakan satu di antara aji-aji pamungkasnya yang tidak akan dipergunakan kalau tidak terpaksa sekali.

Tiba-tiba Pangeran Hendratama menjadi bingung karena bayangan Nurseta kini hilang, tidak tampak lagi! Inilah Aji Sirnasarira yang dipergunakan Nurseta untuk menangkap lawannya.

Melihat pemuda itu hilang, Pangeran Hendratama mengendurkan putaran tombaknya karena memutar tombak sekuat itu dalam waktu lama akan menguras tenaganya. Begitu dia mengendurkan putaran tombak, tiba-tiba tombak itu berhenti berputar dan tidak dapat digerakkan. Kini tampak olehnya betapa Nurseta telah menangkap ujung tombaknya, dibawah mata tombak yang runcing

"Menyerahlah, pangeran!"

Pangeran Hendratama mengerahkan tenaga untuk melepaskan tombaknya dari pegangan lawan. Namun sia-sia karena tombaknya seolah melekat pada tangan Nurseta. Dalam kemarahan dan kenekatannya, Pangeran Hendratama melangkah maju dan menghantam dengan tangan kirinya kearah muka Nurseta. Kesempatan kini terbuka bagi Nurseta. Dia menyambut pukulan tangan kiri itu dengan ketukan jarinya ke arah bawah siku lengan kiri Pangeran Hendratama.

"Dukk!"

Seketika Pangeran Hendratama merasa lengan kirinya lumpuh dan di detik berikutnya, tangan Nurseta menepuk pundaknya dan tubuh pangeran itu terkulai lemas, tombaknya terlepas dari pegangannya. Pangeran Hendratama roboh terguling dan tidak mampu bangkit kembali. Dia tidak terluka dan tidak menderita nyeri, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.

Nurseta memanggil seorang perwira, menyerahkan pangeran itu agar ditawan dan dijaga agar jangan sampai dapat melarikan diri atau ada orang yang membebaskannya. Kemudian Nurseta menyusuli Ki Patih Narotama yang memimpin pasukan bersama para senopati menyerbu pasukan Parang Siluman dan Wengker.

Sementara itu, kedua pasukan yang baru tiba itu, menjadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba pasukan Kahuripan yang berada di sarang pemberontak itu, yang tadinya dianggap sebagai sekutu untuk membuat persiapan menyerbu kota raja Kahuripan, tiba-tiba keluar dari sarang dan menyerang mereka. Apalagi mendengar teriakan-teriakan mereka yang menyerukan hidup Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

Baik mereka yang memimpin pasukan Wengker, yaitu Resi Bajrasakti dan Linggajaya, maupun mereka yang memimpin pasukan Parang Siluman, yaitu Lasmini, Mandari dan paman atau guru mereka, Ki Nagakumala, semua merasa gentar mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama turun tangan sendiri memimpin pasukan. Apalagi mendengar bahwa pasukan pemberontak yang tadinya mendukung Pangeran Hendratama kini berbalik mendukung Kerajaan Kahuripan. Bahkan dari para penyelidik mereka mendengar bahwa Pangeran Hendratama tidak memiliki Sang Megatantra dan sekarang sudah menjadi tawanan. Mereka menjadi gentar sekali dan ketika pasukan Kahuripan menyerang, mereka hanya mempertahankan diri sambil mundur.

Melihat jumlah pasukan Kerajaan Kahuripan yang bergabung dengan bekas pendukung Pangeran Hendratama jauh lebih besar dari jumlah mereka, apalagi karena sudah merasa gentar karena di pihak Kahuripan terdapat Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dibantu pula oleh Nurseta yang juga memiliki kepandaian tinggi, nyali para pemimpin itu menciut dan eikhirnya, setelah terang tanah, mereka menarik mundur pasukan dan melarikan diri, kembali ke daerah masing-masing. Usaha persekutuan empat kerajaan yang membantu Pangeran Hendratama melaksanakan pemberontakan di Kahuripan itu gagal sama sekali.

Mengapa pasukan dua kerajaan lain yang juga bersekutu dengan mereka, yaitu Kerajaan Siluman Laut Kidul dan Wura wuri, tidak muncul malam itu? Ini adalah karena pasukan Siluman Laut Kidul yang paling jauh letaknya di pesisir Laut Kidul, datangnya terlambat, yaitu pada keesokan harinya setelah siang. Ketika mereka memasuki hutan, mereka melihat bekas pertempuran dan dari mereka yang terluka mendengar bahwa pasukan Wengker dan Parang Siluman telah terpukul mundur dan melarikan diri. Tentu saja mereka terkejut dan menjadi gentar, apa lagi mendengar bahwa Pangeran Hendratama telah tertawan dan pasukannya membalik dan membantu pasukan Kahuripan. Maka, Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul yang memimpin pasukan, lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan pulang keselatan.

Sementara itu, pasukan dari Wura-wuri datangnya malah lebih lambat lagi, terlambat dua hari dari malam yang ditentukan. Hal ini adalah Puspa Dewi memberi laporan yang sengaja dibuat agar pasukan itu datangnya terlambat. Maka ketika pasukan itu tiba di hutan, mereka tidak melihat sekutu mereka dan karenanya, Tri Kala yang memimpin pasukan itu bersama Puspa Dewi lalu menarik pasukan untuk kembali.

Dalam gerakan ini, tiga orang senopati Wura wuri itu, Kalamuka, Kalamanik, dan Kalateja tidak melihat Puspa Dewi. Setelah dicari mereka yakin bahwa gadis itu telah meninggalkan pasukan Wura-wuri dan pergi entah ke mana.

Dalam perjalanan kembali ke kota raja, Nurseta berjalan disamping Ki Patih Narotama dan mereka bercakap-cakap. Ki Patih Narotama merasa lega dan girang bahwa pemberontakan itu dapat digagalkan tanpa pertumpahan darah yang besar dan hanya mengakibatkan tewasnya beberapa puluh orang saja. Pangeran Hendratama juga sudah dapat diringkus dan menjadi tawanan dan yang lebih membuat girang adalah bahwa pasukan para senopati yang mendukung pemberontakan dapat disadarkan sehingga akhirnya mereka membalik dan membela Kahuripan. Dia pasti akan memintakan ampun kepada Sang Prabu Erlangga untuk para senopati yang terkena bujukan Pangeran Hendratama itu sehingga mereka tidak dihukum terlalu berat. Akan tetapi diam-diam Ki Patih Narotama mengakui bahwa yang paling besar jasanya sehingga pemberontakan ini dapat dengan mudah ditumpas adalah Puspa Dewi!

"Nurseta, aku ingin sekali mengetahui bagaimana nasib Puspa Dewi. Dara itu berjasa besar terhadap Kahuripan. Kalau tidak ada Puspa Dewi yang membocorkan rahasia persekutuan itu, tentu akan terjadi hal-hal yang lebih hebat lagi sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban."

"Paduka benar, gusti patih. Puspa Dewi memang berjasa besar sekali. Ia telah menjadi puteri istana Wura-wuri, entah apa yang menimpa dirinya kalau Raja Wura-wuri mengetahui akan perbuatannya yang tentu dianggap sebagai pengkhianat oleh Kerajaan Wura-wuri."

"Ya, akupun berpikir demikian dan mengkhawatirkan nasibnya. Akan tetapi, jasamu juga amat besar, Nurseta. Maka, akan kuhaturkan kepada Gusti Sinuwun tentang semua jasamu agar engkau mendapatkan kedudukan yang sepadan dengan jasamu."

"Maafkan hamba, gusti patih. Akan tetapi apa yang hamba lakukan semua itu bukan untuk membuat jasa dan mendapatkan imbalan, melainkan untuk melaksanakan kewajiban hamba. Hamba tidak menghendaki imbalan apapun, gusti patih, apalagi kedudukan yang mengikat hamba, padahal hamba masih harus melaksanakan tugas lain yang amat penting."

"Tugas apakah itu, Nurseta?"

"Hamba harus mencari ayah ibu hamba dan mengajak mereka menghadap eyang, juga hamba masih ingin bebas merantau untuk meluaskan pengalaman hamba."

"Hemm, bagus, itukah kehendakmu?" Narotama mengangguk-angguk. "Adalah hakmu untuk memilih dan kalau engkau memilih hendak merantau mencari orang tuamu, aku hanya titip pesan kalau engkau bertemu dengan Puspa Dewi agar memberi tahu bahwa aku dan Gusti Sinuwun ingin bertemu dan bicara dengannya."

"Baik, gusti patih."

"Dan ingatlah selalu akan peristiwa pemberontakan Pangeran Hendratama, Nurseta. Peristiwa itu dapat kita jadikan sebagai contoh betapa bahayanya kalau orang mengejar cita-cita."

"Akan tetapi, gusti patih. Bukankah seorang manusia, apalagi sewaktu muda, harus mempunyai cita-cita yang baik agar mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup?"

Ki Patih Narotama mengajak Nurseta berhenti di tepi jalan untuk bercakap-cakap.

"Justeru pendapat itulah yang menjerumuskan banyak orang, Nurseta. Cita-cita adalah tujuan, ambisi, cita-cita adalah harapan mendapatkan sesuatu yang belum diperoleh, masa depan dan bukan kenyataan, melainkan bayangan. Baik buruknya tujuan tergantung dari cara mendapatkan tujuan itu. Besar sekali bahayanya, tujuan menghalalkan segala cara, sehingga untuk mencapai apa yang dicita-citakan, orang tidak segan melakukan cara apapun. Jadi yang menentukan bukanlah bercita-cita muluk, melainkan caranya, pelaksanaannya, pekerjaannya dan sifat pekerjaannya itu. Yang baik atau buruk, benar atau salah, adalah caranya. Tidak mungkin cara yang jahat menghasilkan sesuatu yang baik. Kalau sedang bekerja mencari nafkah, bekerjalah yang baik dan benar, karena itulah yang menentukan hasilnya dan yang melakukan cara yang baik dan benar, hasilnya tentu baik dan benar pula. Sebaliknya kalau hanya mementingkan cita-cita atau tujuan, orang dapat terseret ke dalam cara yang buruk dan salah seperti penipu, korupsi, pengkhianatan seperti yang dilakukan Pangeran Hendratama. Dia bercita-cita memperoleh kedudukan tinggi dan menggunakan cara yang jahat dan buruk, berkhianat, memberontak dan bersekutu dengan musuh-musuh Kahuripan. Kalau saja dia menggunakan cara yang baik, berjuang dan bekerja dengan setia dan jujur untuk Kahuripan, tentu dengan sendirinya dia memperoleh kedudukan yang tinggi."

"Akan tetapi, gusti patih, hamba sering mendengar orang mengatakan bahwa tanpa cita-cita hidup akan kosong dan tidak akan memperoleh kemajuan. Cita-cita merupakan pendorong manusia untuk maju. Bagaimana pendapat paduka dengan pernyataan itu, gusti patih?"

"Ucapan seperti itu hanya dilakukan orang yang menganggap bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah mencari kemajuan yang berarti kekayaan dan kedudukan. Orang yang meningkat kekayaannya atau kedudukannya dianggap maju. Karena itu, dalam mengejar cita-cita untuk memperbanyak kekayaan dan mempertinggi kedudukan orang menjadi lupa diri, saling berebutan dan saling bermusuhan. Orang lupa bahwa kedudukan tinggi atau kekayaan besar sama sekali bukan ukuran orang untuk hidup berbahagia dan tenteram lahir batin. Cita-cita itu baru dapat dinilai bersih kalau ditujukan untuk kepentingan orang banyak dalam hal ini rakyat jelata yang hidupnya merana. Selama cita-cita itu untuk kepentingan pribadi, maka itu bukan lain hanyalah kemurkaan dan menuruti dorongan nafsu yang condong selalu mengejar kesenangan, mengejar yang serba enak dan menyenangkan jasmani. Orang menilai maju untuk meningkatkan harta dan kedudukan, mendewa-dewakan harta benda dan kekuasaan. Pengejaran keinginan nafsu berupa kesenangan jasmani inilah yang menyeret kita melakukan segala macam perbuatan jahat demi mencapai apa yang dicita-citakan itu."

Nurseta merasa kagum. Pendapat yang dikemukakan Ki Patih Narotama ini sungguh berbeda, bahkan berlawanan dengan pendapat umum tentang cita-cita, akan tetapi dia dapat menangkap kebenaran yang terkandung di dalamnya. Karena dia ingin mengerti lebih banyak, dia berkata lagi.

"Hamba masih mempunyai sebuah pertanyaan tentang citacita, gusti patih, yang hamba harap dapat menerima penjelasan dari paduka. Bagaimana kalau ada yang bercita-cita menjadi orang yang baik? Apakah juga tidak ada gunanya dan juga berbahaya karena menjurus ke arah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan?"

Narotama tersenyum. "Apakah andika pikir kebaikan atau kebajikan itu merupakan sesuatu yang dapat dicapai melalui suatu cara atau pelajaran? Ah, Nurseta. Kebajikan adalah suatu sikap hidup terhadap orang lain yang terpantul dari dalam perasaan hati sanubari. Kebajikan yang dilakukan dengan cara yang disengaja adalah kebajikan yang dibuatbuat. Mengejar cita-cita agar kita menjadi orang baik hanya akan membuat kita menjadi seorang munafik yang hanya baik pada lahirnya belaka yang sering bahkan berlawanan dengan keadaan batinnya. Mengejar kebaikan berarti kita mengejar pendapat orang agar kita dianggap sebagai orang baik, dan kalau sudah begitu, kita menghalalkan segala cara agar dapat dianggap baik. Tidak, Nurseta, kebaikan bukan merupakan tujuan, kebaikan bukan pamrih, kebaikan adalah suatu silat yang timbul dari hati sanubari. Hati sanubari yang sudah dihuni Kasih Sejati akan memancarkan sikap dan perbuatan yang pasti baik. Marah adalah buruk, sabar adalah baik. Dapatkah orang belajar sabar? Tidak mungkin. Selama ada kemarahan dalam hati, kesabaran menjauh, yang dapat dicapai hanya kemarahan yang bertopeng kesabaran atau kesabaran palsu. Kalau kemarahan tiada lagi di hati, tidak perlu belajar sabar lagi. Kalau kejahatan tidak lagi mengeram dalam hati, tidak perlu belajar baik lagi, kalau nafsu-nafsu daya rendah tidak lagi menguasai hati sanubari seseorang, dia
akan hidup sebagai seorang manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kalau iblis tidak lagi menguasai hati akal pikiran, Dewa Ruci (Sang Roh Suci) yang akan mengambil alih dan membimbing ke jalan benar dan baik. Bukan cita-cita menjadi baik yang penting, melainkan sekarang, saat ini, saat demi saat tidak ada lagi nafsu jahat menguasai diri lahir batin. Mengertikah andika, Nurseta?"

Nurseta menyembah. "Aduh, terima kasih, gusti patih. Semoga Hyang Widhi Wasa akan membimbing hamba sehingga dapat terbuka mata hati hamba untuk melihat kebenaran itu. Sekarang hamba mohon pamit, gusti. Hamba mohon sudilah kiranya paduka memberi tahu kepada kanjeng eyang Sindukerta bahwa hamba melanjutkan perjalanan mencari kedua orang tua hamba."

"Begitulah kehendakmu, Nurseta. Baik, akan kusampaikan kepada Paman Senopati Sindukerta. Selamat jalan dan semoga Sang Hyang Widhi selalu melimpahi Kasih Karunia dan bimbingan kepadamu."

Nurseta menyembah lagi lalu mengambil jalan simpang, meninggalkan Ki Patih Narotama yang mengikuti kepergian pemuda itu sampai bayangannya menghilang. Sampai di sini berakhirlah sudah riwayat Nurseta bagian pertama dalam episode "Sang Megatantra" ini dengan harapan pengarang semoga kisah ini bermanfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa di kisah selanjutnya, di mana pembaca akan mengikuti perjalanan Nurseta dan bertemu pula dengan Puspa Dewi, Linggajaya, Lasmini, Mandari, dan para tokoh lain dalam kisah selanjutnya yang berjudul "NURSETA SATRIA KARANGTIRTA".

TAMAT
==>> Nurseta Satria Karangtirta ==>

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 051

◄◄◄◄ Kembali

Tadi ketika menerima surat dari Puspa Dewi, dan setelah mendengar para penjaga bicara sambil tertawa-tawa karena menikmati minuman anggur kemudian suasana menjadi sunyi, Nurseta lalu menggunakan tenaga saktinya untuk membongkar gembok yang mengunci pintu besi kamar tahanan dengan mudah. Dia keluar dan membongkar gembok di pintu kamar tahanan eyangnya, Ki Sindukerta.

Mula-mula Senopati Sindukerta hendak mencela perbuatan Nurseta karena dia tidak setuju kalau harus melarikan diri dari tahanan atas perintah Sang Prabu Erlangga, kepada siapa dia amat setia dan taat. Akan tetapi setelah Nurseta menjelaskan apa yang terjadi dia terkejut bukan main bahkan mendesak kepada Nurseta agar cepat melaksanakan apa yang diminta oleh Puspa Dewi, yaitu membantu Ki Patih Narotama menghadapi musuh yang hendak membunuhnya.

Nurseta menanti sampai para pembunuh datang. Dia mendengar ucapan Puspa Dewi yang mengajak tiga orang pembunuh lainnya lari dan dia sengaja tidak merobohkan mereka dan tidak melakukan pengejaran karena dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu mempunyai maksud tertentu dengan ucapan itu. Akan tetapi setelah para pembunuh itu pergi, dia berkata kepada Senopati Sindukerta yang tadi bersembunyi dalam kegelapan seperti yang dikehendaki Nurseta karena dia tidak ingin eyangnya terancam bahaya maut.

"Eyang, harap eyang tinggal saja disini karena saya kira bahaya telah lewat Saya harus cepat melihat keadaan Ki Patih Narotama dan kalau perlu membantu beliau yang terancam pembunuhan."

"Benar, Nurseta, cepatlah pergi ke kepatihan!" kata Senopati Sindukerta.

Nurseta lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat memasuki taman. Karena dia tidak tahu akan pintu kecil, maka dia keluar dari taman istana itu dengan jalan melompat ke atas pagar tembok dan keluar dengan cepat. Malam telah berganti pagi ketika Nurseta melangkah menuju kepatihan. Karena sudah banyak orang berlalu lalang di jalan itu, Nurseta tidak berani berlari cepat, hanya berjalan agak cepat sambil memperhatikan keadaan di luar istana. Akan tetapi tidak tampak ada ketegangan dan wajah para penduduk kota raja, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang menggemparkan.

Tiba-tiba wajah Nurseta berseri dan hatinya lega karena dia melihat Ki Patih Narotama berjalan dari depan. Ki Patih Narotama juga melihat Nurseta dan dia memanggil.

"Nurseta, andika di sini?" Pertanyaan itu menunjukkan perasaan herannya melihat Nurseta yang berada dalam tahanan istana, pagi ini dapat berkeliaran di situ

"Ah, betapa lega rasa hati hamba Gusti Patih, melihat paduka dalam keadaan selamat, terhindar dari bahaya maut!"

"Apa? Hemm, andika tahu bahwa aku terancam bahaya?" Narotama menjadi semakin heran. “Nurseta, mari kita bicara di sana." Ki Patih Narotama mengajak Nurseta meninggalkan jalan raya memasuki ladang yang sunyi. "Nah, ceritakan sekarang, bagaimana andika yang ditahan di istana dapat berada di sini dan bagaimana pula andika dapat mengetahui bahwa keselamatanku terancam?"

Nurseta lalu menceritakan pengalamannya. Bagaimana ketika malam itu Puspa Dewi muncul di depan kamar tahanan dan melemparkan surat dengan tulisan bahwa malam itu dia dan eyangnya akan dibunuh, juga Ki Patih Narotama akan dibunuh orang. Maka dia lalu meloloskan diri dan melihat empat orang bertopeng yang hendak membunuhnya. Seorang di antara mereka adalah Puspa Dewi dan mereka berempat melarikan diri ketika melihat kamar tahanan kosong.

"Hamba memenuhi permintaan Puspa Dewi dalam surat itu agar hamba meninggalkan rumah tahanan dan menolong paduka yang terancam bahaya." Nurseta mengakhiri keterangannya sambil menyerahkan surat dari Puspa Dewi itu.

Ki Patih Narotama menerima surat itu dan membacanya. Dia mengangguk angguk. "Hemm, syukurlah bahwa anak itu ternyata telah menyadari kesalahannya. Mari, Nurseta, mari kita menghadap Gusti Sinuwun. Urusan ini mungkin masih ada ekornya. Tampaknya ada persekutuan yang membahayakan kerajaan. Kita harus melapor kepada Gusti Sinuwun."

Mereka berdua lalu bergegas menuju ke istana. Mereka semakin tegang dan curiga karena sepagi itu Sang Prabu Erlangga segera dapat menerima mereka, bahkan mereka diajak bicara dalam sebuah ruangan tertutup tanpa dapat didengar orang luar Pasti telah terjadi sesuatu di dalam istana, selain percobaan pembunuhan atas diri Nurseta dan Ki Sindukerta! Akan tetapi sikap Sang Prabu Erlangga masih tenang, walaupun alis matanya berkerut. Juga dia sama sekali tidak merasa heran melihat Nurseta yang mestinya berada dalam kamar tahanan dapat bersama Ki Patih Narotama menghadapnya.

"Kakang Patih Narotama, urusan apakah yang mendorong kakang sepagi ini datang menghadap? Dan andika, Nurseta, bagaimana andika dapat keluar dari tahanan dan ikut menghadap?"

"Perkenankan hamba yang melapor lebih dulu, gusti. Malam tadi, hamba diserang dan hendak dibunuh dua orang pembunuh gelap. Hamba dapat menghindarkan diri dan dua orang pembunuh gelap itu melarikan diri. Akan tetapi setelah hamba melakukan penyelidikan ternyata bahwa dua orang pembunuh gelap itu bukan lain adalah juru taman baru Linggajaya dan..... Lasmini. Mereka berdua telah melarikan diri dari kepatihan. Hamba datang menghadap paduka untuk melapor karena hamba khawatir terjadi sesuatu di sini."

Sang Prabu Erlangga sama sekali tidak terkejut karena dia sudah mengetahui semua itu dari laporan selirnya, Dyah Untari yang mendengar dari Puspa Dewi dan menyuruh Bancak dan Doyok melapor kepadanya.

"Dan andika, Nurseta, bagaimana ceritamu?" tanya Sang Prabu Erlangga kepada pemuda itu.

"Ampun, gusti, kalau hamba berani lancang ikut menghadap. Malam tadi juga terjadi percobaan pembunuhan atas diri hamba dan Eyang Sindukerta. Baiknya sebelum itu, Puspa Dewi telah memberi tahu hamba, sehingga hamba dan eyang dapat meloloskan diri. Puspa Dewi juga memberitahu bahwa gusti patih juga terancam, maka hamba bermaksud pergi ke kepatihan untuk membantu beliau, akan tetapi hamba bertemu dengan gusti patih di jalan dan langsung menghadap paduka."

Kembali Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk. "Kami sudah mengetahui semuanya dan ternyata Puspa Dewi tidak berbohong. Ketahuilah, kakang Narotama ada persekutuan jahat yang hendak melakukan pemberontakan. Persekutuan yang terdiri dari empat kerajaan Wura-wuri, Wengker, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman yang bergabung dengan Pangeran Hendratama yang hendak mengadakan pemberontakan. Yang menyedihkan, Mandari dan Lasmini juga terlibat sebagai wakil dari Kerajaan Parang Siluman. Kini Mandari juga sudah lolos dari istana”. Sang Prabu Erlangga menceritakan semua yang didengarnya tentang rencana pemberontakan itu seperti yang diceritakan Puspa Dewi kepada Dyah Untari.

"Syukur bahwa rencana pertama dan kedua, yaitu membunuh kakang Narotama dan Nurseta bersama eyangnya, telah dapat digagalkan. Akan tetapi yang berbahaya adalah rencana ke tiga, yaitu penggabungan pasukan mereka yang akan berkumpul di hutan selatan. Kami sudah mengutus Senopati Wiradana untuk mengerahkan pasukan untuk menghadapi pemberontakan. Akan tetapi sebaiknya andika sendiri, Kakang Narotana yang memimpin dan temuilah Senopati Wiradana. Ingat, Pangeran Hendratama ternyata benar seperti cerita Nurseta, dia mempunyai pusaka Sang Megatantra, maka ada juga para pengkhianat yang mendukungnya."

"Sendika, gusti. Mari, Nurseta, engkau harus membantuku!" kata Narotama dan setelah memberi hormat, mereka berdua bergegas meninggalkan istana.

Setelah tiba di luar istana, Narotama berkata kepada Nurseta.

"Sekarang kita membagi tugas. Aku akan menemui Senopati Wiradana dan mengatur pasukan, sedangkan engkau, pergilah lebih dulu ke hutan selatan dan selidiki keadaan mereka. Setelah mengetahui keadaan dan rencana mereka dengan baik, baru andika menemui aku."

"Baik, gusti patih!"

Mereka lalu berpisah dan Nurseta keluar dari kota raja melalui pintu gerbang selatan. Keadaan di kota raja masih tenang dan biasa saja karena tidak ada yang mengetahui bahwa kota raja saat itu terancam serbuan pasukan pemberontak!

Matahari telah naik tinggi ketika Nurseta tiba di tepi hutan selatan. Dia berhati-hati dan memasuki hutan lebat itu dengan sembunyi-sembunyi, menyelinap di antara pepohonan. Setelah tiba agak dalam di hutan itu, dia melihat betapa perajurit-perajurit melakukan penjagaan sekeliling tengah hutan dimana terdapat sebuah pondok besar dan beberapa pondok lain yang tampaknya baru saja dibangun. Nurseta mengelilingi tempat itu dan melihat betapa penjagaan amat rapat dan yang mengherankan hatinya, para perajurit itu adalah perajurit Kahuripan. Dia menduga bahwa tentu ini pasukan Kahuripan yang dipimpin para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama! Karena penjagaan ketat dan berbahaya sekali kalau sampai ketahuan, maka dia bersembunyi agak jauh, menanti datangnya malam. Dia akan lebih leluasa bergerak di waktu malam gelap.

Sementara itu, di kota raja juga terjadi kesibukan. Ki Patih Narotama bertemu dengan senopati Wiradana dan memberi petunjuk kepada senopati itu. Pasukan Kahuripan dikerahkan dan diketahui bahwa beberapa orang senopati muda telah membawa pasukan mereka pergi entah kemana. Narotama dapat menduga bahwa pasukan-pasukan yang menjadi pendukung Pangeran Hendratama itu pasti sudah berangkat ke hutan selatan untuk bergabung dengan pasukan dari empat kerajaan. Dia memerintahkan Senopati W iradana siap untuk diberangkatkan sewaktu-waktu untuk menyerbu para pemberontak di hutan selatan, mendahului mereka sebelum mereka bergerak menyerang kota raja agar tidak menggegerkan rakyat.

Untuk itu, dia menanti berita dan Nurseta yang sudah dikirim ke sana untuk melakukan penyelidikan. Kemudian, Narotama membawa seregu pasukan dan memimpin sendiri pasukan Itu menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Hendratama. Akan tetapi, seperti sudah diduganya terlebih dulu, gedung yang mewah seperti istana itu telah dikosongkan. Pangeran Hendratama dengan semua selir dan pembantunya telah pergi. Narotama menduga bahwa tentu pangeran itu juga pergi ke hutan selatan di mana pasukan-pasukan para senopati Kahuripan yang
mendukungnya sudah berkumpul.

Dugaan Narotama memang benar. Begitu mendengar akan kegagalan usaha pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama, Nurseta dan Senopati Sindukerta sehingga mengakibatkan Puteri Lasmini dan Puteri Mandari melarikan diri karena rahasia mereka terbongkar, Pangeran Hendratama juga merasa lebih aman untuk segera melarikan diri dari gedungnya di kota raja. Diapun membawa semua keluarga, pelayan dan harta bendanya yang ringkas melarikan diri kedalam hutan selatan dimana pasukan para senopati yang mendukungnya sudah berkumpul dengan mereka.

Senopati Sindukerta juga sudah dibebaskan atas perintah Sang Prabu Erlangga yang minta agar senopati tua itu membantu Ki Patih Narotama memimpin pasukan menghadapi pemberontakan. Demikianlah, kedua pihak, pemberontak dan kerajaan Kahuripan, telah membuat persiapan. Hanya perbedaannya yang menguntungkan Kerajaan Kahuripan adalah bahwa kalau pihak kerajaan sudah megetahui akan rencana pemberontakan yang menggabungkan pasukan di hutan selatan itu, sebaliknya pihak pemberontak sama sekali tidak tahu pihak kerajaan sudah mengetahui akan rencana mereka dan pihak pemberontak mengira bahwa Kerajaan Kahuripan tidak mengadakan persiapan apa-apa sehingga dapat diserbu dengan mendadak dan dapat dikalahkan!

-0000000000000000dewi000000000000000-

Lanjut ke Jilid 052 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

Saturday, September 22, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 050

◄◄◄◄ Kembali

Sementara itu, di istana Sang Prabu Erlangga juga terjadi hal-hal yang menggegerkan, walaupun Sang Prabu Erlangga merahasiakan peristiwa itu dan dengan bijaksana sekali mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi keadaan.

Terjadinya dua hari yang lalu. Pada hari itu, pada waktu siang, Dyah Untari selir pertama Sang Prabu Erlangga, mencari angin di taman karena hari itu panas bukan main. Dengan ditemani dua orang pelayan, yaitu dua orang gadis dayang Dyah Untari duduk di dekat kolam ikan yang ada air mancurnya sehingga terlindung pohon rindang, hawa udara disitu sejuk dan nyaman. Selagi ia duduk diatas bangku panjang dan menikmati semilirnya angin, tiba-tiba datang Puspa Dewi menghampirinya.

Karena di situ terdapat dua orang dayang pelayan selir pertama Sang Prabu Erlangga, Puspa Dewi berjongkok dan menyembah sebagaimana layaknya seorang dayang terhadap majikannya.

"Gusti Puteri Dyah Untari, perkenankan hamba menghadap dan menyampaikan seuatu yang amat penting kepada paduka." kata Puspa Dewi.

Dyah Untari memandang dan ia tersenyum. Sejak gadis ini menjadi dayang melayani Mandari, selir sang prabu yang paling baru, ia memperhatikannya dan ternyata sikap dayang ini baik, hormat dan ramah, terutama kepadanya sehingga sudah beberapa kali Dyah Untari bertemu dan mengajaknya bercakap-cakap. Ia menilai sikap Puspa Dewi baik sekali dan ia merasa suka kepada dayang ini, walaupun semula ia curiga karena Puspa Dewi adalah dayang pelayan Puteri Mandari.

"Ah, engkaukah itu, Puspa Dewi? Apakah engkau diutus Puteri Mandari kemari?"

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba mempunyai urusan teramat penting yang hanya dapat hamba sampaikan kepada paduka seorang, tanpa didengar oleh orang lain." kata Puspa Dewi sambil mengerling ke arah dua orang dayang pelayan yang duduk bersimpuh tak jauh dari situ.

Dyah Untari mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dayang pelayannya "Kalian pergilah ke pintu taman di sana dan jangan sekali-kali mendengarkan percakapanku dengan Puspa Dewi, juga jangan sekali-kali mengatakan kepada siapapun juga bahwa Puspa Dewi menghadap padaku."

Dua orang dayang itu menyembah lalu pergi. Puspa Dewi merasa kagum kepada Dyah Untari karena sebelum ia bicara puteri itu agaknya sudah tahu bahwa ia akan membicarakan hal penting sekali dan juga dapat menduga bahwa ia tidak ingin diketahui, terutama oleh Puteri Mandari bahwa siang hari itu ia menghadap Puteri Dyah Untari di dalam taman.

"Nah, bicaralah, Puspa Dewi." kata Dyah Untari. "Duduk sajalah di sini." Ia menunjuk ke sisi bangku di sebelahnya.

"Biar hamba di sini saja, gusti puteri. Kalau terlihat orang lain hamba duduk sejajar dengan paduka, sungguh akan menimbulkan kecurigaan dan keheranan orang."

"He , pada hakekatnya, kalau bicara dengan orang yang kurasa cocok, aku lebih suka bicara seperti sahabat, bukan seperti pelayan dengan majikannya. Akan tetapi sudahlah, mungkin engkau benar. Nah, apa yang hendak kaukatakan?"

"Perkara yang besar sekali, gusti puteri, yang juga mengancam keselamatan kerajaan paduka."

Dyah Untari terbelalak dan kini duduk tegak, alisnya berkerut dan ia memandang kepada Puspa Dewi dengan sinar mata menyelidik.

"Puspa Dewi, perkara sepenting itu sebaiknya kaulaporkan langsung kepada Gusti Sinuwun!"

"Tidak, gusti. Hamba tahu bahwa ada bahayanya laporan hamba tidak akan dipercaya dan hanya menimbulkan kegemparan. Hamba merasa bahwa di dalam istana ini, hanya paduka yang percaya kepada hamba, karena itu hamba memberanikan diri memberitahukan kepada paduka, dengan bahaya ketahuan."

"Cepat katakan, perkara apakah itu?" tanya sang puteri cemas mendengar bahwa ada perkara yang mengancam keselamatan kerajaan Kahuripan.

Puspa Dewi menoleh ke arah pintu ruangan itu. "Maaf, gusti puteri, hamba harus menutupkan daun pintu dan jendela itu dulu." Lalu ia bangkit dan menutupkan daun pintu jendela.

Dyah Untari memandang heran melihat kelakuan dayang yang muda dan cantik jelita itu.

"Ada apakah sebenarnya, Puspa Dewi, Engkau begitu penuh rahasia!" tanyanya

Puspa Dewi sudah duduk kembali diatas lantai, bersimpuh dan dekat sekali dengan Dyah Untari sehingga dengan berbisik saja ia sudah dapat didengar oleh puteri itu. Dengan suara berbisik Puspa Dewi menceritakan akan terjadinya persekutuan untuk membunuh Ki Patih Narotama, Nurseta, Senopati Sindukerta, dan pemberontakan yang direncanakan Pangeran Hendratama yang dibantu oleh empat kerajaan kecil. Mendengar ini, wajah Dyah Untari menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Puspa Dewi. Ada keraguan dalam pandangan matanya seolah ia kurang percaya akan laporan itu.

"Puspa Dewi, laporanmu ini merupakan perkara yang amat gawat! Akan tetapi sukar dapat dipercaya! Bagaimanakah engkau dapat mengetahui semua itu?" Mata yang lembut itu kini menatap wajah Puspa Dewi penuh selidik.

"Gusti puteri, sebaiknya hamba mengaku terus terang saja. Sesungguhnya, Hamba bukanlah dayang biasa. Hamba diselundupkan ke istana oleh Puteri Mandari."

"Ahh? Aku sudah menduga bahwa Engkau bukan gadis biasa seperti para dayang lainnya. Puspa Dewi, siapakah engkau sesungguhnya?"

"Hamba mempunyai seorang guru yang juga menjadi ibu angkat hamba dan ibu angkat itu kini menjadi Permaisuri Kerajaan Wura-wuri sehingga hamba diangkat menjadi sekar kedaton (kembang istana Kerajaan Wura-wuri.)"

"Ohh.....!" Dyah Untari terkejut bukan main. Wura-wuri adalah sebuah diantara kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan. Jadi, gadis ini adalah puteri kerajaan yang memusuhi kerajaan suaminya! "Lalu..... apa maksudmu..... eh, apakah engkau hendak membunuh aku?"

Puspa Dewi tersenyum. "Mengapa paduka mempunyai kekhawatiran seperti itu? Kalau hamba hendak membantu persekutuan itu, pasti hamba tidak akan bercerita seperti ini kepada paduka. Memang hamba ikut dalam rapat pertemuan sebagai wakil Wura-wuri karena hamba ditugaskan oleh Raja Wura-wuri yang menjadi ayah angkat hamba. Akan tetapi hamba sama sekali tidak setuju dengan perilaku mereka yang amat curang ini. Sekarang hamba mohon paduka cepat melapor kepada Gusti Sinuwun bahwa Pangeran Hendratama hendak memberontak dengan mengandalkan keris pusaka Sang Megatantra yang berada di tangannya agar wahyu keraton dan dia bersekutu dengan Kerajaan Parang Siluman yang diwakili oleh Puteri Mandari dan Puteri Lasmini, Kerajaan Siluman Laut Kidul yang diwakili oleh ratunya sendiri yaitu Ratu Mayang Gupita, Kerajaan Wengker yang diwakili oleh Linggajaya yang kini menjadi juru taman di kepatihan, dan Kerajaan Wura-wuri yang diwakili oleh hamba sendiri. Adapun rencana mereka adalah membunuh Ki Patih Narotama yang akan dilakukan oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya, membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta yang akan dilakukan oleh Ratu Mayang Gupita yang dibantu oleh orang-orang sakti lain, kemudian empat kerajaan hendak mengirim pasukan ke dalam hutan selatan, bergabung dengan pasukan yang akan di kerahkan Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya untuk menyerbu Istana."

"Aduh, bagaimana, ya? Kalau aku sendiri yang melapor tentu akan menimbulkan kecurigaan dan aku khawatir akan diketahui Mandari yang selalu mengamati kalau aku dekat dengan Sinuwun. Padahal urusan ini harus segera dilaporkan! Dan cara melaporkan harus dirahasiakan agar jangan bocor dan diketahui oleh orang orangnya persekongkolan jahat itu!"

"Terserah kepada paduka karena paduka tentu lebih mengetahui bagaimana sebaiknya hal ini dapat dilaporkan kepada Gusti Sinuwun. Akan tetapi hamba mohon dapat dilaporkan dengan secepatnya agar tidak terlambat. Sekarang hamba hendak mencari jalan untuk menghubungi Nurseta dan Senopati Sindukerta di rumah tahanan. Hamba pamit undur, gusti."

Dyah Untari mengangguk. "Terima kasih, Puspa Dewi. Engkau telah berjasa besar terhadap Kerajaan Kahuripan. Jasamu tidak akan kami lupakan. Hanya sebuah pertanyaanku yang akan selalu mengusik hatiku kalau belum kaujawab yaitu; Kenapa engkau yang sudah menjadi sekar kedaton Wura-wuri membela Kahuripan?"

Puspa Dewi tersenyum. "Alasannya banyak, gusti puteri. Pertama, hamba adalah penduduk Karang Tirta dan ibu kandung hamba juga berasal dari sana, dan mengingat bahwa Karang Tirta termasuk wilayah Kahuripan, maka berarti hamba juga kawula Kahuripan. Kedua, guru yang juga ibu angkat hamba itu biarpun sudah melepas banyak budi kepada hamba, namun ia adalah seorang datuk sesat dan raja Wura-wuri juga bukan orang yang berbudi luhur, maka hamba tidak suka membantunya dan lebih condong membela Kahuripan. Ketiga, persekutuan itu adalah persekutuan yang jahat dan curang dan hamba selamanya tidak suka akan kejahatan dan kecurangan. Apalagi hamba sudah banyak mendengar akan kebajikan yang diucapkan Ki Patih Narotama dan Nurseta."

Setelah Puspa Dewi keluar dari ruangan itu, Dyah Untari cepat menyuruh dayangnya untuk memanggil Bancak dan Doyok, dua orang hamba sahaya yang menjadi kiangenan (kesukaan) Sang Prabu Erlangga. Dua orang abdi yang sudah menjadi pengasuh Erlangga sejak dia masih kecil itu merupakan dua orang abdi yang selain terkasih juga paling dipercayai oleh Sang Prabu Erlangga. Hanya dua orang abdi inilah yang mampu mendekati Sang Prabu tanpa ada yang mencurigai mereka. Biarpun sedang berada di dalam kamarnya, kalau dua orang abdi ini yang datang menghadap, tentu akan diterima oleh Sang Prabu Erlangga.

Setelah Bancak dan Doyok datang menghadap, terheran-heran mengapa mereka dipanggil Dyah Untari hal yang langka terjadi, Dyah Untari lalu menyuruh para dayangnya keluar dari ruangan. Kemudian dengan berbisik-bisik ia menceritakan semua hal yang baru saja didengarnya dari Puspa Dewi itu kepada mereka. Dua orang abdi yang setia itu mendengarkan penuh perhatian dan wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak, berulang-ulang mereka menggeleng kepala dan menghela napas panjang, terheran-heran mendengar akan rencana pemberontakan yang amat jahat itu. Setelah menceritakan semuanya dengan jelas dan lengkap, Dyah Untari lalu berkata kepada mereka.

"Nah, demikianlah apa yang dilaporkan Puspa Dewi kepadaku, Paman Bancak dan Paman Doyok. Karena aku tidak tahu bagaimana akan dapat menyampaikan berita ini kepada Gusti Sinuwun tanpa diketahui orang lain, maka aku memanggil andika berdua dan setelah aku menceritakannya kepada kalian, sekarang menjadi tugas kalian untuk menyampaikannya kepada Gusti Sinuwun tanpa diketahui orang lain."

"Jangan khawatir, Gusti Puteri. Hamba berdua pasti akan dapat menyampaikan berita penting ini kepada Gusti Sinuwun." kata Bancak yang segera pamit dan bersama Doyok lalu cepat keluar dari ruangan itu dan bergegas mencari kesempatan untuk dapat menghadap Sang Prabu Erlangga.

Akhirnya Bancak dan Doyok mendapat kesempatan itu. Mereka dapat menghadap Sang Prabu Erlangga ketika Sri Baginda berada seorang diri dalam ruangan perpustakaan. Sang Prabu Erlangga terkejut bukan main mendengar laporan Bancak dan Doyok. Akan tetapi sebagai seorang raja yang bijaksana, Sang Prabu Erlangga tidak mau percaya begitu saja kepada laporan yang disampaikan Puspa Dewi kepada selirnya itu. Harus ada buktinya, barulah dia akan dapat bertindak menghukum mereka yang bersalah. Maka, dia merahasiakan urusan itu, akan tetapi diam-diam mengatur segalanya untuk mengatasi bahaya yang mengancam. Dia menulis sebuah surat perintah dan mengutus Bancak dan Doyok menyerahkan surat itu kepada Senopati Wiradana yang dipercaya karena Sang Prabu Erlangga sudah yakin akan kesetiaan senopati tua yang menjadi kepala dari semua senopati di Kahuripan.

Biasanya dia menyerahkan urusan penting ini kepada Ki Patih Narotama, akan tetapi karena dia mendengar bahwa komplotan itu juga merencanakan pembunuhan atas diri Narotama, maka ia memerintahkan Senopati Wiradana untuk mempersiapkan segalanya dan menghancurkan usaha pemberontakan itu, kalau benar-benar terjadi pemberontakan seperti yang dilaporkan Puspa Dewi itu.

Sementara itu, Puspa Dewi juga mencari akal untuk dapat memperingatkan Nurseta akan bahaya yang mengancam dirinya karena menurut rencana, malam itu ia dan Ratu Mayang Gupita beserta dua pembantunya, yaitu Dibya Mamangkoro dan Cekel Aksomolo, akan melaksanakan tugas membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta. Adapun tugas membunuh Ki Patih Narotama akan dilakukan malam itu juga oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya. Gadis yang cerdik ini akhirnya mendapat akal Ia menghadap Puteri Mandari untuk merundingkan dengan lebih terperinci tentang tugas membunuh dua orang tawanan itu.

Setelah berhadapan berdua saja, Puspa Dewi tidak bersikap sebagai seorang dayang karena ia menganggap dirinya sederajat dengan Mandari. Mandari adalah puteri Ratu Durgamala dari Parang Siluman akan tetapi iapun puteri Raja Bhismaprabhawa dari Wura-wuri, walaupun hanya anak angkat!

"Agar tugas yang kami lakukan dapat berhasil baik, saya minta diberi kesempatan untuk melakukan penyelidikan kerumah tahanan itu, melihat ruangan di mana Nurseta ditahan agar nanti malam kami dapat melaksanakan rencanan itu dengan hasil baik." katanya.

Mandari tidak menaruh curiga dan tentu saja menyetujui usul Puspa Dewi Itu. Ia lalu menuliskan surat kuasa untuk Puspa Dewi. Dan dengan membawa surat ini, Puspa Dewi dapat dengan mudah memasuki rumah tahanan karena para petugas yang menjaga di situ tentu saja tidak ada yang berani menentang surat perintah Gusti Puteri Mandari!

Para penjaga itupun tidak curiga karena mereka melihat dayang itu hanya lewat saja di depan kamar tahanan sambil memandang ke dalam. Nurseta yang sedang duduk bersila didalam ruangan tahanan yang berpintu baja dengan ruji ruji (terali), melihat Puspa Dewi dan dia merasa heran sekali. Akan tetapi, tanpa dapat dilihat para penjaga yang hanya memandang dari jauh, ada berkelebat sinar putih kecil memasuki kamar tahanannya. Dia cepat menangkap kertas terlipat-lipat yang meluncur ke arahnya itu. Setelah Puspa Dewi pergi, dia cepat membaca surat itu tanpa diketahui para penjaga. Tulisan itu rapi dan cukup jelas hanya singkat saja.

Bersiaplah! Malam nanti engkau dan Senopati Sindukerta akan dibunuh. Juga Ki Patih Narotama. Tinggalkan rumah tahanan dan selamatkan ki patih! Surat itu singkat namun cukup jelas. Walaupun Puspa Dewi tidak menyebut siapa yang akan membunuhnya, namun Nurseta dapat menduga bahwa pembunuhnya tentu ada hubungan dengan Pangeran Hendratama. Karena pangeran itulah yang merasa terancam olehnya. Tidak mungkin Sang Prabu Erlangga yang hendak membunuhnya karena Ki Patih Narotama juga terancam! Hemm, sebetulnya dia tidak takut dan tidak perlu melarikan diri. Akan tetapi dia teringat akan eyangnya Senopati Sindukerta juga hendak dibunuh dan biarpun eyangnya bukan seorang yang lemah, namun dia tidak bisa membiarkan eyangnya terancam bahaya maut. Si pembunuh tentu seorang yang sakti mandraguna karena tidak mungkin Pangeran Hendratama mengirim pembunuh yang kepandaiannya biasa saja. Malam nanti ....., Nurseta mengambil keputusan untuk bertindak sebelum para pembunuh muncul dan dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan untuk menyelamatkan eyangnya, juga untuk membantu Ki Patih Narotama yang juga akan dibunuh.

Kita telah mengetahui apa yang terjadi di kepatihan pada malam harinya. Pembunuhan yang diusahakan oleh Linggajaya dan Lasmini terhadap Ki Patih Narotama telah gagal, bahkan terpaksa Lasmini dan Linggajaya melarikan diri karena Ki Patih Narotama telah berhasil mengorek rahasia Lasmini dari mulut Sarti yang kemudian dibunuh Linggajaya dengan Pasir Saktinya.

Dan pada malam itu juga, usaha pembunuhan terjadi pula di rumah tahanan dalam kompleks istana Sang Prabu Erlangga. Ratu Mayang Gupita bersama Ki Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo dapat diselundupkan ke dalam taman istana oleh Puteri Mandari. Tiga orang ini mengenakan pakaian serba hitam dan kepala mereka dikerudungi kain hitam yang ada lubangnya di bagian kedua mata. Puspa Dewi juga muncul dan gadis inipun menggunakan pakaian dan kerudung kepala yang sama. Karena sebelumnya memang sudah diatur, maka tanpa banyak cakap lagi mereka berempat sudah bergerak dengan cepat, menyusup di antara pohon-pohon dan tanaman bunga di taman mendekati rumah tahanan.

Sejam kemudian empat orang ini bergerak, pelayan pribadi Puteri Mandari yaitu Kanthi wanita berusia tiga puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka burik hitam, membawa beberapa guci terisi anggur merah dan membawa minuman itu ke tempat para perajurit yang menjaga rumah tahanan itu. Jumlah mereka ada tujuh orang.

"Saya diperintahkan Gusti Puteri Mandari untuk menghadiahkan anggur ini kepada kalian dengan pesan agar kalian bertujuh tidak lengah dan menjaga benar benar supaya disini aman dan tidak ada tahanan yang dapat melarikan diri." kata Kanthi sambil menyerahkan guci-guci terisi anggur itu.

Para penjaga menjadi gembira bukan main, apalagi setelah mereka membuka tutup guci dan tercium bau anggur yang harum dan sedap bukan main. Setelah Kanthi pergi, mereka lalu minum-minum sampai lima guci anggur itu habis pindah ke dalam perut mereka. Dan beberapa lama kemudian, mereka bertujuh sudah rebah tumpang tindih di dalam gardu penjagaan dalam keadaan pulas dan mendengkur. Ternyata Mandari telah mengisi racun pembius yang amat kuat dalam anggur yang ia hadiahkan. Maka, empat orang calon pembunuh Itu mudah saja memasuki rumah tahanan karena semua penjaga telah tertidur dan suara apa saja tidak mungkin dapat mengugah mereka dari keadaan tidur yang lebih mirip pingsan itu.

Mereka segera memasuki rumah tahanan dan Puspa Dewi berjalan paling depan karena ia yang dianggap sebagai penunjuk jalan karena yang mengenal keadaan di situ. Puspa Dewi berjalan dan bersikap gagah, siap dengan pedangnya seolah ia yang akan bergerak lebih dulu menyerang dua orang yang harus mereka bunuh!

Akan tetapi ketika mereka tiba depan ruangan di mana Nurseta ditahan ruangan itu kosong! Mereka memeriksa ruangan kedua di mana Senopati Sindukerta dikeram, akan tetapi ruangan inipun kosong! Diam-diam Puspa Dewi tersenyum lega. Ternyata Nurseta telah mampu menggunakan kesaktiannya untuk membuka kamar tahanan itu dan keluar dari situ!

"Wah, celaka! Mereka berdua telah kabur!" kata Puspa Dewi.

Ratu Mayang Gupita dan dua orang pembantunya tentu saja menjadi terkejut bukan main. Ratu yang seperti raksasa betina ini tadinya sudah merasa yakin bahwa mereka berempat pasti akan dapat membunuh dua orang tahanan itu dan mereka sama sekali tidak khawatir karena yang menyelundupkan mereka masuk istana adalah Puteri Mandari selir terkasih Sang Prabu Erlangga sendiri. Juga andaikata mereka gagal, jalan keluar untuk kabur sudah dipersiapkan Puteri Mandari. Akan tetapi ternyata sekarang, dua orang tawanan itu sudah kabur, tidak berada di dalam kamar tahanan.

"Mereka ke mana? Ke mana kita harus mencari mereka?" tanya Ratu Mayang Gupita kepada Puspa Dewi.

"Aku khawatir kita terjebak....." kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi kecil seperti suara wanita. Bagaimanapun juga, kalau teringat akan nama besar Sang Prabu Erlangga yang terkenal sakti mandraguna, tiga orang itu merasa gentar bukan main.

Tiba-tiba Nurseta muncul dari kegelapan. "Kalian mencari aku? Nah, aku berada di sini!"

Dibyo Mamangkoro yang sudah gentar itu berseru, "Celaka, kita terjebak!"

Akan tetapi Ratu Mayang Cupita cepat mendorongkan kedua tangannya kearah Nurseta yang berdiri dalam jarak lima depa. Dari kedua tangan wanita raksasa ini keluar bola api yang mengeluarkan suara meledak!

Nurseta mengenal serangan ampuh dan dahsyat sekali. Diapun lalu mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan orang tinggi besar berkerudung hitam itu.

"BLAARRR....!,,

Dua tenaga sakti bertemu dan tubuh tinggi besar itu terhuyung kebelakang. Diam-diam Ratu Mayang Gupita terkejut bukan main.

"Bahaya, hayo kita lari!" kata Puspa Dewi dan Nurseta segera mengenal gadis itu. Seruan gadis itu tentu mengandung maksud agar dia membiarkan mereka berempat itu melarikan diri. Dia tidak tahu mengapa Puspa Dewi menghendaki demikian, akan tetapi yakin bahwa gadis itu tentu berniat baik terhadap dirinya, pun tidak mengejar dan membiarkan mereka berempat melarikan diri! Mereka berempat lari ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu kedalam taman lalu menuju ke sudut taman di mana terdapat semak-semak tebal. Di tempat itu muncul Puteri Mandari menyongsong mereka.

"Bagaimana hasilnya? Kenapa kalian berempat berlari seperti ketakutan? Sudah berhasilkah.....?" tanya sang puteri.

"Celaka, kita gagal' Mereka itu sudah keluar dari dalam kamar tahanan!" kata Ratu Mayang Gupita.

"Kita harus cepat lari dari sini!" kata Puspa Dewi.

"Jangan khawatir. Mari!" Puteri Mandari berkata dan mengajak mereka menyelinap di belakang semak-semak tebal.

Di sana ternyata terdapat sebuah pintu kecil yang memang disediakan untuk para abdi kalau ada keperluan di luar istana dan pintu kecil ini hanya diketahui oleh penghuni istana keputren. Biarpun tugas membunuh para tahanan itu gagal, namun Puteri Mandari tidak merasa gentar karena mereka berempat itu berkerudung sehingga Nurseta tentu tidak mengenal mereka dan kini mereka telah berhasil melarikan diri dengan selamat. Keadaannya menjadi aman sudah walaupun rencana ke dua itu gagal. Ia mengharapkan rencana pertama membunuh Ki Patih Narotama berhasil dan terutama yang terpenting adalah rencana ketiga, yaitu mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerbu istana dan menggulingkan kedudukan Sang Prabu Erlangga. Biarpun demi membela kerajaan ibunya ia tetap mencelakakan dan membunuh Sang Prabu Erlangga akan tetapi kalau ingat akan kejantanan suaminya itu, ingat akan ketampanan dan kegagahannya, kelembutannya kalau bermesraan, ia menjadi sedih karena maklum bahwa akan sukar mencari seorang pria seperti Sang Prabu Erlangga. Setelah empat orang pembunuh gagal itu keluar dari taman melalui pintu kecil, Puteri Mandari masih berdiri termenung. Ia merasa kecewa dan menyesal bahwa usaha empat orang itu gagal.

Selagi ia hendak kembali ke istana keputren, tiba-tiba ada bayangan berkelebat, la sudah siap untuk menyerang, akan tetapi niat itu urung ketika ia mengenal bahwa yang muncul di depannya bukan lain adalah Lasmini, mbakayunya! Dari sinar lampu taman, ia melihat wajah Lasmini pucat dan tegang.

"Mbakayu Lasmini ....."

"Ketiwasan (celaka), Mandari! Hayo cepat kita pergi dari sini. Cepat sebelum terlambat!" kata Lasmini memotong ucapan adiknya.

"Eh, ada apakah?" tanya Mandari terkejut dan heran.

"Jangan banyak bertanya, nanti kuceritakan. Sekarang, mari kita cepat melarikan diri!"

Mandari dengan ragu menengok ke arah istana. "Akan tetapi aku harus mengambil pakaian..... dan perhiasan....."

"Aduh, apa artinya semua itu dibandingkan keselamatan nyawamu? Cepat, sebentar lagi Ki Patih Narotama datang dan Sang Prabu Erlangga mendengar tentang kita. Rahasia kita telah pecah! Hayo kita lari!"

Mendengar ini, Mandari terkejut dan iapun menjadi ketakutan. Jelas bahwa usaha Lasmini dan Lingga jaya membunuh Narotama telah gagal. Kalau hanya gagal tidak mengapa, akan tetapi kalau rahasia mereka berdua yang bersekutu dengan pemberontak, hal itu sungguh berbahaya sekali. Maka, dengan hati tidak karuan rasanya mereka cepat melarikan diri melalui pintu kecil itu yang juga diketahui Lasmini sehingga ia tadi masuk dari situ. Dua orang puteri cantik jelita yang juga sakti itu malam-malam terus melarikan diri menuju ke Kerajaan Parang Siluman di selatan.

-00000000000000000dewi0000000000000000-
◄◄◄◄ Kembali